Sunday, January 2, 2011

MUSIBAH AWAL TAHUN

MUSIBAH DI AWAL TAHUN

Pagi yang cerah. Matahari segera akan terbit. Langit biru pucat tak berawan di awal tahun baru ini. Mungkin warna pucat di langit disebabkan sisa-sisa asap kembang api dan mercun yang dibakar dan menimbulkan suara gegap gempita tadi malam. Ya, tadi malam adalah malam tahun baru. Malam yang diwarnai dengan sebuah budaya yang semakin menggila-gila dengan pesta kembang api. Sangat banyak orang yang merasa perlu melalui pukul dua belas tengah malam pada pergantian tahun dengan ritual-ritual yang dibuat-buat. Di antaranya pesta kembang api. Berdentam-dentam dan berdesir-desir bunyi kembang api yang dibakar tak henti-henti. Entah berapa biayanya. Entah berapa harga kembang api yang dibakar. Entah apa nikmatnya. Entah apa maknanya.

Ada pula orang yang sengaja melewatkan malam pergantian tahun di acara-acara khusus. Di hotel-hotel. Di kelab-kelab malam. Judulnya malam ‘Old and New’. Acaranya tentu khusus pula. Dan yang bisa menghadirinya hanyalah orang-orang khusus saja. Orang-orang yang punya uang berlebih, untuk difoya-foyakan.

Malam tahun baru itu sudah berlalu. Bagi yang tidak faham, atau bagi yang tidak ikut-ikutan, terlihat tidak ada bedanya malam tadi malam. Tidak ada bedanya pagi hari ini dengan hari-hari sebelumnya. Entahlah.

***

Teguh berjalan tergopoh-gopoh menuju rumah pak RT. Sudah jam enam saat itu dan sinar matahari sudah mulai tampak.

‘Assalaamu’alaikum…… Pak RT…pak RT…..,’ Teguh berteriak memanggil

Teguh mengulang ucapan salam beberapa kali dari luar pagar. Belum kunjung ada jawaban dari dalam rumah. Pak Fakhri, pak RT itu sedang menyapu pekarangan di belakang rumah. Setelah beberapa saat, ibu Lela yang mendengar teriakan salam itu, membuka pintu depan rumahnya dan melihat keluar.

‘Wa’alaikumussalam….. Ada apa Guh?’ tanya bu Lela.

‘Ada perlu dengan pak RT, bu. Beliau ada di rumah?’

Wajah Teguh terlihat tegang.

‘Ada…... Masuklah, Guh. Biar ibu panggilkan bapak ke belakang.’

Pak Fakhri muncul di ruang tamu.

‘Assalaamu’alaikum pak RT…… Maaf saya langsung saja…. Ada musibah pak….. Pak Martin meninggal…….,’ nafas Teguh tersengal-sengal.

‘Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun……. Pak Martin…..? Pak Martin tetanggamu….? Kapan Guh? Kenapa?’

Pak Fakhri tentu saja sangat kaget. Sore kemarin dia masih berbicara dengan pak Martin tentang rencana pertandingan voli antar RT. Waktu itu pak Martin terlihat sehat wal’afiat.

‘‘Iya, pak. Pak Martin….. Saya nggak tahu kenapa, pak RT. Tadi sebelum waktu subuh katanya, pak Martin dibawa ke rumah sakit, dan jam lima tadi beliau meninggal di Rumah Sakit Mitra. Jenazahnya sebentar lagi akan dibawa pulang,’ jawab Teguh masih tersengal-sengal.

Teguh adalah tetangga sebelah rumah pak Martin. Pak Martin yang baru berumur sekitar 35 tahun itu adalah pelatih voli Karang Taruna, sementara Teguh adalah pemain voli terbaik di komplek itu. Teguh sangat akrab dengan pak Martin seperti umumnya anak-anak muda Karang Taruna yang lain.

‘Baik, Guh. Kamu duluan saja ke sana. Saya segera menyusul,’ kata pak Fakhri.

Lima menit kemudian pak Fakhri sampai di rumah duka. Sudah banyak tetangga dan warga komplek di situ. Jenazah pak Martin masih belum tiba. Para pelayat saling bertanya-tanya, sakit apa pak Martin sebelum meninggal. Pak Kirno, ayah Teguh, bercerita bahwa dia dikagetkan oleh tangis dan teriakan histeris bibik Suma tadi subuh. Bibik Suma adalah pembantu di rumah keluarga Martin. Bibik Suma histeris setelah menerima berita melalui telepon dari ibu Sri, istri pak Martin. Dia langsung menggedor pintu rumah pak Kirno sambil berteriak-teriak dan meratap. Bibik Suma mengatakan bahwa dia baru saja ditelpon ibu Martin, disuruh agar memberitahu tetangga.

Menurut bibik Suma, bapak Martin baik-baik saja waktu berangkat dari rumah sekitar jam delapan tadi malam. Bapak dan ibu Martin pergi melewatkan malam tahun baru. Keduanya berpakaian seperti mau ke pesta. Dan keduanya belum pulang sejak tadi malam. Lalu tiba-tiba ibu Martin memberi kabar seperti itu.

Pak Kirno segera pula memberitahu tetangga-tetangga yang lain. Mereka berdatangan ke rumah duka.

Tidak berapa lama kemudian jenazah pak Martin datang dengan menggunakan mobil jenazah. Ibu Sri duduk di bagian depan mobil bersama dengan ibu mertuanya. Mata kedua wanita itu sembab karena tangis. Ibu Sri masih memakai gaun pesta, meski sekarang memakai selendang di kepalanya. Jenazah pak Martin diturunkan dari mobil dan dibaringkan di ruang tengah rumah itu. Ibu-ibu warga komplek yang datang melayat di pagi itu ikut menangis, larut dalam kepiluan bersama ibu Sri.

Jam sepuluh pagi jenazah pak Martin dimandikan. Rencananya akan dimakamkan sesudah shalat zuhur. Orang yang datang melayat semakin banyak. Pak Martin memang sosok pria yang pandai bergaul. Dia disenangi warga komplek dan rekan-rekan sejawatnya di kantor.

Melalui bisik-bisik, beredar cerita bagaimana pak Martin menghadapi maut. Di anrtara para pelayat. ada yang sama-sama hadir di tempat bapak dan ibu Martin melewatkan malam tahun baru.

Tadi malam mereka berpesta di sebuah hotel terkenal. Pengunjung di acara itu banyak sekali. Semua tempat duduk yang disediakan hotel di ruangan besar itu terisi. Menjelang tengah malam acara itu diisi dengan nyanyian dan pertunjukan sulap. Para pengunjung menonton sambil menikmati hidangan makan malam. Tepat tengah malam lampu di ruangan itu dimatikan. Semua pengunjung meniup terompet kertas yang sudah disiapkan. Waktu lampu dinyalakan kembali para pengunjung melakukan ‘adu gelas’ sambil mengucapkan selamat tahun baru. Gelas itu berisi sampanye.

Setelah itu mereka berdansa. Mula-mula mengikuti musik dengan irama pelan. Makin lama suara musik itu makin keras dan menggila. Peserta pesta itu semakin asyik menggoyang-goyangkan tubuh mereka di lantai dansa. Musik demi musik sambung menyambung. Suaranya sangat memekakkan telinga. Seperti itulah suasana pesta tahun baru itu.

Di tengah suara hingar bingar itu tiba-tiba ibu Sri menjerit histeris. Pak Martin yang sedang ikut berjingkrak-jingkrak tiba-tiba terjatuh. Terjatuh seperti tapai jatuh. Terjelepok. Dan akhirnya tergeletak di lantai. Nafasnya tersengal-sengal. Dia merintih kesakitan sambil tangannya memegang dadanya. Perlu beberapa menit sebelum musik bisa dihentikan, karena si pengatur musik tidak segera mengetahui bahwa ada yang jatuh pingsan. Suasana di ruang pesta berubah menjadi mencekam. Musik yang barusan berdentam-dentam sementara terhenti. Orang berkerumun di sekitar pak Martin tergeletak.

Pak Martin segera dilarikan ke rumah sakit. Dibawa ke ruangan gawat darurat. Dokter jaga di rumah sakit itu berusaha memberikan pertolongan tapi hasilnya sia-sia. Pak Martin tetap tidak sadarkan diri. Sampai akhirnya jam lima pagi malaikat maut melaksanakan tugasnya, mencabut nyawa pak Martin. Dokter menyimpulkan bahwa dia mendapat serangan jantung.

***

Siang itu jenazah pak Martin dimakamkan. Malamnya ada acara tahlilan di rumah duka. Orang membaca surah Yasin beramai-ramai. Ada yang hafal luar kepala, ada yang membaca dari kitab al Quran ada yang membaca buku Yasinan bahkan ada yang membaca melalui tulisan latin dari buku Yasinan itu. Semua membaca dengan suara keras, berpacu-pacu. Berdengung suaranya.

Pak Kiyai yang memimpin tahlil berulang-ulang mengirimkan bacaan alfatihah, bacaan surah-surah pendek, semuanya untuk bekal almarhum pak Martin di alam kubur. Tidak lupa pula beliau mengutip ayat-ayat terakhir dari surah Al Fajr dan terjemahannya. ‘Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb mu dengan senang dan diridhai Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba Ku. Dan masuklah ke dalam surga Ku.’

Indah betul yang beliau harapkan. Mungkin beliau tidak tahu bagaimana kejadian sebelum kematian almarhum.

‘Apakah kematian seperti ini husnul khatimah, pak? tanya pak Karim berbisik kepada pak Somad di sampingnya.

‘Hus! Tidak usah hal itu ditanyakan,’ jawab pak Somad berbisik pula.

‘Saya bertanya sungguh-sungguh….,’ kata pak Karim pula.

‘Saya tidak tahu. Kenapa hal itu yang pak Karim tanyakan?’

‘Karena pak Kiyai menyitir ayat ‘wahai jiwa yang tenang’……. Apakah menurut bapak jiwa pak Martin tenang saat ini?’

‘Wallahu a’lam…… Saya tidak tahu. Pak Kiyai juga tidak tahu. Tidak ada di antara kita yang tahu,’ jawab pak Somad.

Pak Karim tidak meneruskan lagi pertanyannya.

Jam setengah sembilan acara tahlilan itu selesai. Yang hadir pulang membawa besek. Membawa berkah, yang disediakan tuan rumah, sesudah mereka bersama-sama mengirim amal bacaan untuk almarhum pak Martin. Hari pertama di tahun baru telah dimulai.

*****