Wednesday, October 27, 2010

MISIONARIS

MISIONARIS

Wanita muda itu bersirobok pandang lagi denganku. Ini adalah yang ke empat kali, kalau aku tidak salah, kami bertemu di dalam metro ini. Kali ini dia duduk di bangku diagonal berseberangan denganku. Sepertinya dia tersenyum kepadaku. Aku balas dengan senyuman pula. Melihat wanita yang warna kulitnya sama denganku memang menyuruhku untuk terlihat ramah kepadanya. Ingin juga aku menyapanya sekedar berbasa basi, tapi tentu tidak mungkin kulakukan dari jarak sejauh ini.

Ketika metro mendekati pemberhentian Lourmel, aku segera berdiri dari tempat dudukku dan memutar tubuhku menuju ke arah pintu, membelakangi wanita muda itu. Aku bergegas turun. Di luar gerbong metro udara terasa dingin sekali. Aku melilitkan syal ke leher dan menutupi sebahagian telinga. Aku melangkah cepat menuju ke luar, menuju ke tempat tinggalku di rue de Lourmel. Orang berduyun-duyun menaiki tangga untuk menyembul dari stasiun bawah tanah. Semua kedinginan. Semua tergopoh-gopoh. Memang begitu caranya di sini. Di Paris ini.

Lamat-lamat aku mendengar orang memanggil ‘monsieur – monsieur’ di belakangku. Tentu saja aku tidak menyangka bahwa panggilan itu ditujukan kepadaku, di tengah kerumunan sebegitu banyak orang. Sampai akhirnya si pemanggil itu menepuk pundakku. Aku menoleh dan ternyata si wanita muda di metro tadi. Dia berdua dengan seorang wanita lain berkulit putih.

Oui?!’ kataku dengan pandangan setengah tidak percaya.

‘Bolehkah kami minta waktu anda sebentar?’ tanyanya dengan bahasa Perancis yang fasih.

Sok benar wanita ini, pikirku dalam hati. Atau mungkin dia menjaga hati temannya yang wanita kulit putih itu sehingga dia berbahasa Perancis kepadaku? Ah, sesuka hatinyalah.

‘Ada apa? Apa yang bisa saya perbuat untuk anda?’ jawabku berbasa basi.

Tanganku seperti beku kedinginan. Aku meremas-remaskan kedua telapak tanganku menahan dingin. Di sebuah toko di depan sana terpampang pada sebuah running text informasi temperatur saat itu; satu derajad celcius.

‘Maukah anda kami ajak minum kopi di café itu? Disana kita berbicara sebentar? Disini dingin sekali,’ katanya. Mungkin memperhatikan keadaanku yang ‘mati’ kedinginan.

‘Kalian mau berbicara apa?’ tanyaku sambil setengah melotot kepada wanita muda berparas Solo itu.

‘Ayolah kita ke café itu,’ ajaknya lagi.

Aku menurut sambil bertanya-tanya dalam hati. Jangan-jangan wanita muda ini sedang ada masalah dengan wanita kulit putih itu lalu ingin meminta bantuanku. Kami masuki café itu dan mengambil tempat duduk di bagian dalam. Wanita muda itu memesan tiga cangkir kopi.

‘Maaf, kalau kami mengganggu anda. Kami ingin berkenalan dengan anda,’ katanya sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

‘Anda orang Indonesia, kan? Kenapa dari tadi berbahasa Perancis terus? Ada apa sebenarnya?’ tanyaku dalam bahasa Indonesia.

Dia mengangkat alis matanya dan tersenyum.

‘Anda berbicara kepada saya?’ tanyanya lagi dalam bahasa Perancis.

‘Ya,’ kataku. ‘Anda bukan orang Indonesia?’ tambahku lagi.

‘Ah…. Bukan. Tentu anda mengira saya orang Indonesia,’ katanya tersenyum.

‘Anda……… orang Pilipina?’

‘Non plus…… Saya orang Madagaskar katanya.’

Aku terperangah. Aku langsung ingat guru sejarah di SMA dulu yang bercerita bahwa, ‘nenek moyangku orang pelaut, menempuh badai tiada takut,’ lalu nenek moyang kita itu berhanyut-hanyut sampai ke Madagaskar dengan rakit pohon kelapa. Inilah bukti keterangan sejarah pak guruku itu. Sekarang di depan mataku. Wanita muda yang aku sangka orang Solo, ternyata adalah orang Madagaskar.

‘Mais….. est-ce que vous êtes originaire de Madagascar?’

‘Ya…. Anda mengira saya orang Indonesia ?’ tanyanya tersenyum.

‘Kulit anda dengan kulit saya persis sama.’

‘Anda orang Indonesia rupanya. Saya menyangka anda orang Jepang,’ katanya.

‘Ya sudahlah….. Apa maksud anda? Apa yang anda perlukan dari saya?’

‘Baiklah….. Agar anda tidak penasaran…. Kami ingin menyampaikan pesan kepada anda. Mudah-mudahan anda berkenan mendengarnya.’

‘Pesan? Pesan apa?’

‘Baik…. Saya mulai. Saya ingin bertanya. Apakah anda seorang yang beragama?’

Waaaw.. Aku mulai bisa menebak.

‘Ya. Saya beragama,’ jawabku pendek.

‘Anda bukan seorang Kristen?’

‘Malheureusement non. Pourquoi?’

‘Oui…. Malheureusement non. Pasti anda akan tertarik kalau anda saya tunjukkan jalan yang menuju keselamatan.’

Aku tersenyum. Bersobok lawan aku rupanya, kataku dalam hati.

‘Jalan apa itu maksud anda ?’ tanyaku.

‘Jalan juru selamat. Ikutilah, anda pasti selamat.’

‘Bagaimana kalau anda berdua saya ajak untuk berbicara di tempat tinggal saya saja ? Mungkin di tempat ini kita kurang leluasa untuk bercerita panjang,’ ajakku.

Wanita muda Madagaskar berwajah Solo itu tersenyum sumringah. Mungkin dalam hatinya dia berkeyakinan bahwa kailnya sudah dimakan ikan pancingannya.

‘Seandainya hal itu tidak mengganggu anda, kami akan sangat bersenang hati. Anda tinggal di mana ?’ tanyanya.

‘Tidak akan mengganggu. Lagi pula saya sudah ditunggu istri saya. Ayolah kita ke tempat saya,’ ajakku.

Kami tinggalkan café itu, menuju ke apartemenku di rue de Lourmel.

‘Anda tinggal dekat sini?’ tanya wanita berkulit putih. Baru sekali itu suaranya terdengar.

‘Ya,’ jawabku. ‘Di bangunan di depan itu,’ aku menunjuk ke bangunan beberapa puluh meter di hadapan kami.

Aku persilahkan kedua wanita itu masuk ke apartemen kecil kami. Istriku sedikit terheran-heran melihat mereka.

‘Sebelum kita lanjutkan pembicaraan tadi, saya minta izin untuk beberapa saat. Mungkin sekitar sepuluh menit. Mudah-mudahan anda tidak keberatan.’

‘Pasti tidak. Terima kasih, anda telah baik hati sekali mengajak mampir. Silahkan anda melakukan keperluan anda. Biar kami tunggu,’ kata wanita kulit putih, yang tiba-tiba sekarang jadi banyak bicara.

Apartemen kami itu kecil. Hanya ada satu kamar tidur, lalu ruangan tamu yang sempit dan dapur merangkap ruangan makan. Di ruang terakhir ini biasanya kami shalat berjamaah. Aku memberi isyarat kepada istriku untuk mengerjakan shalat isya.

Kami shalat isya berjamah. Dengan bacaan dijahar tentu saja. Sesudah shalat dan berzikir barulah aku menghampiri mereka.

‘Sebelumnya, walaupun kita belum saling kenal, tapi saya ingin memberitahu anda bahwa ini istri saya.’

Istri saya menyalami kedua wanita itu.

‘Lalu….., silahkanlah lanjutkan cerita anda tadi.’

‘Jadi….. Anda orang Islam ?’ tanya wanita kulit putih.

‘Ya…. Saya beragama Islam.’

‘Bon…. Tidak apa-apa….. Kami ini dari gereja Hati Kudus. Kami ingin mengajak anda untuk mengikuti juru selamat. Dia yang menyelamatkan umat manusia semuanya….’ Si wanita kulit putih agak terbata-bata.

‘Siapa itu juru selamat anda?’

‘Jesus. Dia yang mati di tiang salib untuk menyelamatkan semua manusia dari hukuman atas dosa-dosa mereka,’ giliran si wanita Madagaskar berbicara.

‘Begini…… Pertama, saya sudah mempunyai ‘juru selamat’ saya sendiri. Dia adalah Allah, Sang Maha Pencipta alam raya ini. Dia yang menciptakan bumi yang kita huni sebagaimana juga Dia yang menciptakan matahari, bulan dan bermilyar-milyar bintang……’

‘Ya….. itulah Tuhan. Dan Tuhan itu mengutus anak Nya yang tunggal untuk menyelamatkan semua manusia. Kita tidak akan sampai ke rumah Tuhan kalau tidak melalui anak Nya itu,’ kata wanita kulit putih memotong pembicaraanku.

‘Saya tidak percaya. Bagaimana dia akan menyelamatkan manusia sementara dia tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri?’

‘Dia tidak mau menyelamatkan dirinya karena dia mengorbankan dirinya untuk keselamatan manusia.’

‘Siapa yang mengatakan itu? Yang mengatakan bahwa dia membiarkan dirinya disalibkan orang untuk menyelamatkan manusia?’

‘Dia sendiri yang mengatakan.’

‘Anda punya bukti bahwa itu kata-katanya sendiri? Bahwa dia mengatakan dirinya disalib untuk keselamatan manusia? Apa bukan dia malahan merintih memanggil Tuhan dan protes kenapa Tuhan meninggalkan dia? Apa bukan dia yang mengatakan Eli..Eli Lama sabakhtani ?’

‘Anda tahu itu ?’

‘Ya saya tahu itu.’

‘Tapi dia adalah juru selamat……’

‘Tidak…. Dia adalah seorang nabi utusan Tuhan. Nabi Allah. Dia mengajak manusia, khususnya Bani Israel agar menyembah Allah. Allah Yang Maha Satu. Yang tidak ada Tuhan selain dari Dia. Yang tidak ada yang setara dengan Nya.’

‘Anda pernah mendengar tentang Jesus?’

‘Kami menyebutnya Nabi Isa. Dia seorang di antara nabi-nabi utusan Allah.’

‘Dia anak Tuhan. Dia lahir dari seorang perawan suci yang tidak bersuami.’

‘Dia bukan anak Tuhan. Dia adalah manusia biasa, makhluk ciptaan Tuhan. Ciptaan Allah.’

‘Dia bukan manusia biasa. Dia terlahir dari seorang wanita. Wanita suci yang tidak pernah disentuh manusia.’

‘Ya…. Wanita itu Maryam, seorang wanita tidak bersuami. Lalu Allah, Tuhan yang Maha Pencipta meniupkan ruh ke dalam rahimnya, sehingga dia mengandung kemudian melahirkan Isa. Kami juga menyebutnya sebagai Isa putera Maryam.’

‘Dia bukan manusia biasa. Dia anak Tuhan, diutus Tuhan untuk menyelamatkan anak-anak manusia yang berdosa.’

‘Terserah anda mau menyebutnya seperti itu. Tapi bagi kami orang Islam, Isa putera Maryam adalah seorang utusan Allah untuk Bani Israel. Kelahirannya tanpa ayah adalah hal yang mudah bagi Allah Yang Maha Pencipta. Sebagaimana mudahnya bagi Allah menciptakan Adam yang tidak punya ayah dan ibu.’

‘Jadi anda tidak mempercayainya sebagai juru selamat ?’

‘Dia seorang utusan Allah, dikhususkan untuk Bani Israel. Anda menyebutnya untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang dari anak-anak Israel. Begitu kan?’

‘Dari mana anda tahu ?’

‘Saya membaca juga kitab anda sedikit-sedikit.’

‘Jadi anda mempunyai penyelamat sendiri? Anda yakin bahwa dia akan menyelamatkan anda? Tanpa bantuan sang juru selamat?’

‘Ya… Penyelamat dan penolong saya adalah Allah. Saya tidak memerlukan juru selamat selain Dia’

‘Maaf…. Tadi… Sebelum ini apa yang anda kerjakan berdua dengan istri anda?’

‘Kami mengerjakan shalat. Kami menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta.’

‘Dimana Tuhan anda itu berada?‘

'Dia berada di tempat Nya. Yang tidak dapat dilihat oleh mata. Tapi Dia Maha Melihat. Dia menyaksikan dan mendengar apa yang sedang kita perbincangkan saat ini karena Dia Maha Mendengar.’

‘Pernahkah anda berjumpa dengan Nya ?’

‘Tidak pernah. Karena Dia tidak terjangkau oleh panca indera kita.’

‘Baiklah…… Kalau begitu…….. Karena anda sudah mempunyai penyelamat anda sendiri…. Mungkin kami tidak perlu lagi meneruskan…..’

‘Terserah anda.’

‘Maaf, kami telah mengganggu anda. Biarlah kami mohon diri kalau begitu…’

Kedua wanita itu meninggalkan apartemen kami.

‘Siapa mereka? Kenal di mana dengan mereka?’ tanya istriku setelah mereka pergi.’

‘Kan kamu dengar sendiri tadi siapa mereka. Tadi aku disamperi setelah keluar dari metro. Mula-mula diajak ke café. Setelah itu aku ajak sekalian ke sini,’ jawabku menjelaskan.


*****

1 comment:

zahra_wardah said...

assalamu'alaikum. boleh beri email saudara?