Sunday, March 30, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (30)

30. Kembali Pulang


Dengan menggunakan dua buah bus kami menuju ke Bandara King Abdul Aziz dalam perjalanan menuju pulang ke Jakarta. Hari baru jam setengah tiga siang. Fihak penyelenggara ingin agar kami menyelesaikan proses check in dan penimbangan barang bawaan yang dimasukkan di bagasi secepatnya. Barangkali saja harus membayar karena kelebihan berat barang dan agar hal itu bisa diproses secepatnya. Itu alasannya antara lain kenapa kami dibawa buru-buru berangkat meninggalkan hotel. Padahal, di tiket pesawat tercantum jadwal keberangkatan itu adalah jam sepuluh malam.

Di airport barang-barang yang mau dibagasikan diangkat dengan gerobak besar. Saya ingin memasukkan jeriken air zam-zam saya yang sepuluh liter ke bagasi. Oleh petugas disuruh bungkus dulu dengan special plastic wrap yang ada di airport itu. Saya segera melakukannya, dan bayar delapan rial, lima rial harga plastiknya dan tiga rial untuk ongkos mengelem. Air zam-zam yang disediakan oleh penyelenggara, 5 liter untuk setiap jamaah sudah di bungkus plastik sejak terlihat oleh saya di Jeddah, juga dimasukkan ke bagasi. Ternyata kemudian, kelebihan berat barang yang jumlahnya seratus kilo lebih untuk enam puluh orang jamaah dibebaskan oleh Penerbangan Saudia.

Lama kami menunggu sebelum disuruh masuk ke dalam ruangan tunggu untuk pemeriksaan imigrasi. Sementara duduk-duduk itu si Bungsu memotokan setiap anggota rombongan dengan kameranya. Kami bersantai-santai sambil ngobrol-ngobrol menunggu waktu. Airport ini ramai dengan jamaah antara bangsa yang hilir mudik. Jam empat kami masuk ke ruang tunggu. Setelah kami itu, masuk pula jamaah dari kafilah lain yang kelihatannya akan satu pesawat dengan kami. Sebelum jam lima kami disuruh membuat barisan antri. Sampai disini, terus terang, saya tidak tahu siapa yang menyuruh masuk ruangan, menyuruh antri ini. Antrian itu tidak ‘ngapa-ngapain’ meminjam istilah anak saya, sampai azan maghrib berkumandang. Di depan sana kami lihat ada petugas imigrasi Arab Saudi, tapi sekali lagi tidak ‘ngapa-ngapain’. Begitu azan selesai saya jadi kagok, mau shalat kami sedang dalam antrian, disamping tempat ini tidak cukup bersih kelihatannya untuk tempat shalat. Dan akhirnya memang saya tidak segera shalat. Biarlah dijamak ta’khir saja. Dan loket imigrasi itu baru dibuka sesudah para petugas itu selesai shalat maghrib. Barulah jamaah ibu-ibu mulai melalui counter imgrasi satu persatu. Perlu waktu satu jam lebih sampai saya dapat giliran. Dan saya shalat di seberang imigrasi itu, sendirian. Tadinya berharap ada yang akan makmum kepada saya, ternyata tidak ada. Beberapa calon penumpang pesawat ini shalat sendiri-sendiri pula. Saya agak kecewa sesudah itu karena di bagian dalam ruang tunggu, ada yang shalat berjamaah karena tempatnya lebih longgar.

Kami menunggu lagi. Hampir jam sembilan malam baru kami melalui gerbang terakhir sebelum naik bus yang akan mengantar ke pesawat. Disini kepada kami dibagikan oleh-oleh berupa mushaf al Quran dan paket buku dari kementerian waqaf Saudi Arabia. Sesudah itu kami naik ke pesawat. Jam sepuluh kurang pesawat itu bergerak siap untuk tinggal landas. Jadi dari fihak penerbangan tidak ada perubahan jadwal. Bahkan di fihak imigrasi tadipun kelihatannya tidak ada perubahan jadwal, memang jadwal membuka loket untuk kami adalah sesudah waktu maghrib sekitar jam setengah tujuh malam. Jadi mungkin fihak penyelenggara saja yang khawatir berlebihan sehingga maunya datang terlalu awal. Ya, mungkin ujian terakhir kesabaran sebelum pulang.

Di pesawat sesudah makan malam saya berusaha untuk tidur. Mungkin sudah sekitar jam setengah dua belas malam waktu Makkah. Tidak nyenyak, hanya sebentar saya sudah terbangun lagi. Saya menghitung-hitung kapan waktu shalat subuh. Saya berkesimpulan, subuh sekitar jam tujuh waktu Jakarta atau jam tiga waktu Makkah yang kira-kira jam lima di posisi pesawat ketika itu. Jam tiga waktu Makkah itu kami sudah separo jalan penerbangan ke Jakarta. Dan sekaranglah waktunya. Saya bangunkan anak-anak serta istri saya. Kami bertayamum. Lalu shalat di ‘mushala’ pesawat di bagian belakang. Arah kiblat selalu ditampilkan di layar monitor, yaitu persis arah ke belakang pesawat. Ada satu bapak-bapak anggota jamaah ikut shalat bersama kami. Tidak lama sesudah kami shalat sudah muncul cahaya siang.

Jam sebelas siang kami mendarat dengan selamat di Bandara Sukarno-Hatta. Alhamdulillah. Hari ini hari Kamis. Tepat dua puluh dua hari sejak kami berangkat. Kami lalui pemeriksaan imigrasi dengan mudah dan setelah itu langsung menuju tempat mengambil bagasi. Tidak terlalu lama menunggu. Alhamdulillah, semua barang-barang kami sudah kami dapatkan. Kecuali jeriken zam-zam. Kok belum muncul-muncul juga sedangkan ban berjalan sudah berputar berkali-kali. Si Bungsu penasaran, dan mulai ‘celingak-celinguk’. Ternyata jeriken zam-zam bertuliskan nama kakeknya sudah berada di troli barang jamaah lain. Si Bungsu langsung menyapa bapak-bapak yang punya barang itu seramah mungkin. ‘Maaf pak, ini air zam-zam saya,’ katanya. Kata bapak-bapak itu, ‘Oh tidak, ini punya saya.’ Kata si Bungsu lagi, ‘tapi maaf pak, ini ada nama saya di jerikennya.’ Si bapak itu melihat dan baru sadar. ‘Oh iya, ya. Maaf deh kalau gitu.’ Si Bungsu senang lalu mengambil jeriken zam-zam itu.

Kami melangkah keluar sesudah berpamitan dengan jamaah-jamaah yang lain. Saya menyewa dua buah taksi pesanan di counter taksi. Saya berdua dengan si Bungsu di satu taksi, istri saya dengan dua kakaknya di taksi yang satunya lagi. Sopir taksi kami ternyata tukang cerita. Ceritanya ke barat ke timur. Rupanya banyak juga pengalamannya. Saya mendengar ceritanya sambil terkantuk-kantuk. Entah bagaimana dia sampai memperlihatkan isi dompetnya yang ada beberapa lembar uang asing seperti yen Jepang, dolar Singapura dan uang kertas lainnya. Untuk menambah koleksinya saya berikan dua lembar uang satu rial, kembalian ongkos me-lem plastik jeriken kemarin. Dia senang sekali dan tertawa terbahak-bahak.

Jam satu kami sampai di rumah dengan selamat. Alhamdulillahirabbil’alamiin. Setelah menaruh barang-barang, saya ajak anak-anak untuk pergi sujud syukur sekaligus shalat zuhur ke mesjid. Istri saya tidak ikut karena untuk shalat dia harus berganti baju dulu. Tuntaslah perjalanan kami setuntas-tuntasnya.


******

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (29)

29. Jeddah


Kami tinggalkan Makkah. Dengan melengong juga ke belakang melihat menara-menara Masjidil Haram. Melalui terowongan-terowongan, lubang-lubang perut bumi yang bagai sambung menyambung di kota ini. Mula-mula menuju ke kantor maktab 106 dekat Aziziah untuk mengambil dokumen / pasport kami. Dan sesudah itu, beriring-iring, rombongan kami dengan rombongan besar, melaju di jalan raya bebas hambatan menuju Jeddah. Berhenti sebentar di check point. Entah apa yang mereka periksa. Dan ada cadeau lagi dari Khadamul Harramain. Kotak berwarna hijau lagi seperti ketika kami datang dua minggu yang lalu dari Madinah, beserta sebotol plastik ukuran satu liter air zam-zam. Tidak besar artinya kalau ditilik dari harganya isi kotak hijau berisi kue-kue dan minuman ini. Tapi saya terharu lagi, ini pemberian tanda putih hati. Kami ini tamu Allah, datang memenuhi panggilan Allah ke negeri ini, dan penjaga negeri ini menerima kami dengan basa basi yang paling asli. Bukan karena mau mengambil muka, muka siapa pula di antara kami ini yang akan mereka ambil. Bukan karena mau minta maaf, kesalahan apa pula yang mereka perbuat kepada kami. Tapi benar-benar sebagai tanda menghormati tamu. Subhanallah.

Bus melaju dan terus melaju. Melalui batas Haram. Keluar dari tanah Haram. Melalui padang pasir dan bukit batu gersang. Di negeri yang insya Allah akan selalu dikunjungi orang-orang yang beriman ini. Jarak sekitar seratus kilometer ke Jeddah terasa dekat saja ketika bus ini berlari di jalan yang mulus. Lebih kurang satu jam saja sejak kami meninggalkan hotel di Makkah kami sudah memasuki kota Jeddah. Untuk berputar-putar melihat kota pelabuhan dan pintu gerbang kerajaan Saudi ini. Kota yang dipoles-poles meniru kota moderen di manca negara. Di persimpangan-persimpangan jalan ditempatkan onggokan-onggokan objek abstrak sebagai hiasan. Sebagai pengganti patung. Karena patung tidak boleh karena ianya tidak islami. Maka macam-macam bentuk objek yang dipajang itu. Dari kubus-kubus batu bertumpuk-tumpuk. Ada pula yang separoh mobil sedan yang dipancangkan kedalam tonggak tembok masif. Ada pula sepeda besar sekali. Dan air mancur dengan kolamnya.
Ya, air adalah sebuah prestasi kepedulian negeri padang pasir ini. Air laut Merah yang tak terbatas jumlahnya itu, mereka suling untuk mengairi segalanya. Untuk air minum, air cuci-mencuci, air siram-menyiram. Untuk menyirami pohon-pohon yang ditanam untuk menghijaukan Arafah. Air, yang kami para jamaah nikmati, bagaikan tanpa batas banyaknya dimanapun kami berada di negeri padang pasir ini.

Kami berwisata sebelum menuju hotel di Jeddah ini. Melihat pantai laut Merah. Melihat Mesjid Terapung di pantai laut Merah dan berhenti sejenak disana persis saat menjelang maghrib. Untuk berpose dan melihat-lihat. Mengamati matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat di laut Merah. Kami berlima duduk-duduk saja di pinggir jalan. Ramai juga pelancong disini sore ini. Para jamaah haji Indonesia juga. Kelihatannya menziarahi Mesjid Terapung sudah merupakan bagian dari paket perjalanan ibadah. Meski sudah maghrib, tapi kami tidak shalat di mesjid itu. Kami segera berangkat setelah itu menuju ke hotel Ka’ki tempat kami menginap malam ini.

Sesudah shalat maghrib dan isya di hotel, saya dijemput anak / keluarga ‘belahan’ saya yang sudah jadi mukimin disini sejak nenek-nenek kami. Bertamu ke rumah mereka. Dijamu dirumah mereka dalam suasana persaudaraan yang tulus. Padahal mereka hampir tidak bisa berbahasa Indonesia. Kami hampir sangat tidak bisa berbahasa Arab. Dan kita berbahasa gado-gado, kadang-kadang bercampur dengan bahasa Inggeris. Kami sangat akrab. Anak-anak sangat akrab. Ini adalah pertemuan mereka yang kedua sesudah tahun 2001 waktu kami datang berumrah dulu. Kami lalui obrolan dalam bahasa yang ‘tidak karuan’ itu sampai hampir jam sebelas malam. Mereka menahan kami untuk menginap, tapi kami minta maaf karena tidak boleh berpisah dari jamaah dan rombongan.

Dan besok paginya kami dijemput lagi untuk pergi menziarahi seorang dari sepupu saya yang terbaring sakit di bagian lain kota Jeddah. A, nama suami sepupu saya adalah keturunan orang Jawa Timur yang sudah dua tiga generasi pula menetap di Makkah. Sangat ramah. Dia ingin mengajak kami melancong lagi di Jeddah, tapi kami beritahukan bahwa waktu kami sangat terbatas. Kami harus keluar dari hotel jam dua siang ini untuk bertolak ke Jakarta pada malam harinya. Disempatkannya juga membawa kami sekedar berkeliling-keliling. Sekedar menunjukkan bagian-bagian kota, yang tadi malam sudah kami lalui. Jam sebelas lebih kami diantarkannya kembali ke hotel. Kami berpisah dan saling mendoakan keselamatan masing-masing. Mudah-mudahan berjumpa lagi.

Di hotel sebenarnya ada temuramah terakhir dengan rombongan besar karena masing-masing kami nanti akan berangkat dari tempat pemberangkatan yang berbeda. Rombongan besar akan berangkat dari terminal umum, menggunakan pesawat Emirat yang akan membawa mereka terbang ke Dubai, Colombo, Kuala Lumpur dan Jakarta. Sementara kami akan berangkat dari terminal haji dengan pesawat Saudia dengan penerbangan langsung Jeddah – Jakarta. Sayang saya sekeluarga sudah terlambat untuk mengikuti acara temuramah itu. Tapi kami masih akan bersama-sama makan siang sebentar lagi. Sesudah shalat berjamaah di mushalla hotel. Kebersamaan ini, rupanya sudah benar-benar hampir selesai.

Masih ada lagi sedikit ‘ngepak-ngepak’ yang terakhir yang harus diurus. Mengepak oleh-oleh dari sepupu yang di Jeddah sini untuk sepupu-sepupu di Jakarta. Oleh-oleh sebagai tanda putih hati, sebagai tanda awak berdunsanak. Yang saya jadi ingat karenanya, sejak saya kecil dulu, setiap ada orang kampung kami yang pulang dari melaksanakan haji, selalu saja nenek, kemudian ibu saya, menerima paket dari ‘dunsanak awak’ di Makkah, berisi tamar, berisi kurma, berisi tiin. Oleh-oleh pengikat tali dunsanak. Dan sekarang akan diterima adik saya yang perempuan.

*****

Thursday, March 27, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (28)

28. Thawaf Wada’


Jam sepuluh lebih dua puluh. Si Bungsu melapor bahwa sampai saat ini dia ‘bersih’. Saya bilang, pergilah mandi dan setelah itu ‘bismillah’. Dia langsung mengerjakan yang saya suruh. Jam setengah sebelas kami semua turun dan berangkat menuju mesjid. Inilah ‘wada’ ‘ itu. Inilah perpisahan itu. Kami naik ke lantai dua mesjid. Berlima, sekeluarga utuh. Mudah-mudahan Allah terima ‘suci’ nya si Bungsu. Dan inilah sekali-sekalinya kami melakukan thawaf dengan bersama-sama seperti ini pada kesempatan berkunjung untuk ibadah haji ini. Segera saja kami dekati batas ‘start’ yang ada lampu tanda berwarna hijau. Berbaris berlima. Bismillahi Allahu Akbar. Memberi isyarat ke sudut hajar aswad. Dan setelah itu melangkah maju. Saya biasa membaca zikir, atau membaca ayat-ayat hafalan saya kalau sedang thawaf. Kecuali dari sudut yamani menjelang sudut hajar aswad, seperti yang disunnahkan membaca doa ‘sapu jagad’. Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wafil aakhirati hasanah, waqinaa ‘atzaabannaar. Saya biasa menandai dengan jari tangan setiap nomor putaran.

Kamipun melangkah terus. Sambil sekali-sekali yang sering kali melongok juga ke arah ka’bah. Dalam doa, dalam zikir. Dalam tetesnya air mata lagi. Di bawah sana, masya Allah ramainya jamaah yang sedang berthawaf pula. Itulah pertimbangannya tadi saya mengajak keluarga saya untuk melakukannya di lantai dua ini. Disinipun sebenarnya cukup ramai yang thawaf. Seorang ibu-ibu India salah berpegangan tangan kepada si Tengah. Berpuluh-puluh atau mungkin beratus langkah sebelum dia sadar dan melepaskan tangannya sambil tersipu. Sambil mencari pasangannya yang tertinggal beberapa langkah di belakang.

Kami selesaikan putaran demi putaran dengan santai. Tidak tergesa-gesa. Karena insya Allah waktu kami lebih dari cukup. Sementara itu jamaah yang datang ke mesjid makin bertambah banyak karena semakin mendekati waktu zuhur. Sebelum jam dua belas selesai ketujuh putaran itu. Kami berhenti di tempat yang kira-kira sejajar dengan maqam Ibrahim untuk shalat sunah. Sebelumnya saya ingatkan istri dan anak-anak saya agar nanti sesudah shalat zuhur langsung menjamak shalat ashar. Kalau memungkinkan kita lakukan bersama-sama, tapi kalau tidak memungkinkan biar saya sendiri terpisah. Saya suruh mereka duduk agak ke belakang, di tempat yang sudah banyak jamaah wanitanya. Saya berada di bagian depan. Beberapa jamaah yang bergabung wanita dan laki-laki di depan sini (seharusnya tentu mereka suami istri) di tegor oleh petugas berpakaian biasa, menyuruh agar wanitanya pindah ke belakang. Ada yang segera patuh saja, ada yang memerlukan beberapa kali tegoran sebelum mengerjakannya.

Jam setengah satu lebih berkumandang azan. Inilah azan terakhir kiranya yang akan saya dengar dari mesjid ini. Mudah-mudahan untuk kali ini dan mudah-mudahan Allah izinkan saya untuk mendengarkan azan seperti ini disini kembali nati. Saya shalat sunah qabliyah seperti kemarin. Dua kali dua rakaat. Yang kedua belum selesai, masih menjelang salam, terdengar iqamat. Kami berdiri berbaris rapi. Imampun takbir. Allaahu Akbar! Kamipun takbir.

Sesudah salam saya segera berdiri. Melihat ke belakang. Tidak mungkin kami shalat jamak berdekat-dekatan. Saya beri isyarat si Sulung yang pas melihat ke arah saya agar shalat di sana saja. Saya iqamat sendiri sambil berbisik. Dan shalat sendiri. Shalat ashar jama’ taqdim. Baru saya lanjutkan dengan zikir. Dengan doa lagi.

Waktu jamaah sudah mulai berdiri untuk beranjak keluar saya panggil istri dan anak-anak saya untuk mendekat. Memandang ka’bah dari atas sini, dari pagar pembatas. Memandang ka’bah yang akan kami tinggalkan. Saya suruh mereka berdoa. Berdoalah! mudah-mudahan Allah mengizinkan kita sekalian datang lagi kesini kelak. Mereka berdoa. Istri dan anak-anak saya. Mereka berdoa dan menangis. Cukup lama kita berdiri terpaku. Dan akhirnya tentu harus melangkah juga keluar. Harus meninggalkan juga tempat ini. Meninggalkan juga ka’batullah ini. Meninggalkan jamaah yang masih banyak di dalam mesjid.

Kami melangkah ke arah pintu. Menuruni anak tangga. Dan keluar dari mesjid. Dari pintu nomor 45, tempat kami selalu keluar masuk. Dalam diam. Semua diam tidak mengeluarkan sepatah katapun. Sesampai di hotel kami pergi makan siang. Kelihatannya kami termasuk rombongan yang terakhir. Ruangan makan itu sudah sepi. Jamaah lain sudah lebih dulu selesai makan dan sedang bersiap-siap untuk turun ke lobby. Kelihatannya semua sudah ingin cepat-cepat berangkat. Karena rencananya kami akan berangkat jam dua siang ini.

Kamipun mampir ke kamar. Mengemasi barang-barang tentengan. Dan langsung turun pula ke lobby. Akhirnya saya kena juga demam ingin cepat berangkat ini. Hari masih kurang dari jam dua. Dan saya tidak yakin kami akan benar-benar berangkat jam dua. Busnya belum lagi datang. Dan perlu waktu untuk menaikkan koper-koper kami ke bagasi bus. Saya ikut bergegas turun karena saya punya keperluan lain di bawah sana. Mengisi jeriken saya dengan air zam-zam. Jeriken ini saya beli tiga hari yang lalu, waktu dokter menganjurkan agar saya banyak minum. Dan sejak itu saya isi jeriken ini dengan air zam-zam untuk minum kami berlima kalau lagi di kamar. Dan sekarang jeriken ini sudah hampir kosong. Saya akan mengisinya untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Mulailah kami menunggu di lobby hotel. Menunggu sampai bus datang. Menunggu sampai barang-barang dinaikkan ke atas bus. Akhirnya liwat jam tiga baru kami bergerak meninggalkan hotel. Waktu yang nyaris ashar. Waktu orang sudah berduyun-duyun lagi menuju ke mesjid. Saya memandang mereka dengan pilu dan lesu. Saya tidak ikut lagi bersama mereka. Kami sedang berangkat pulang.


*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (27)

27. Hari Terakhir Di Makkah


Tidur saya tidak nyenyak semalam. Malam terakhir di Makkah. Tadi malam sekitar jam sepuluh petugas penyelenggara menimbang berat koper-koper kami. Konon perusahaan Penerbangan Saudia sangat ketat sekali dalam memberikan izin utuk kelebihan berat barang. Jadi untuk tertib dan bukti siapa yang punya barang lebih maka semua bagasi perlu ditimbang. Bagi kami tidak ada masalah, insya Allah. Jumlah berat barang kami masih dibawah kuota. Pagi-pagi sebelum shalat subuh barang-barang ini ditarok di luar kamar, siap untuk dibawa turun nanti dibawah urusan penyelenggara.

Saya selalu berangkat duluan ke mesjid sejak istri saya bisa pergi bertiga dengan si Sulung dan si Tengah. Dan pagi ini mudah-mudahan si Bungsupun akan bisa ikut pergi shalat. Karena dia tidak shalat sejak hari terakhir di Mina. Dan pagi ini saya ke tempat favorit. Perlu juga bernostalgia-nostalgia. Shalat seperti subuh kemarin. Berzikir seperti subuh kemarin. Berdoa seperti subuh kemarin. Apa lagi yang dapat saya ceritakan tentang kesyahduan? Tentang kebersamaan yang sunyi? Tentang ka’bah yang anggun ditutupi kiswah hitam? Tentang pancoran emas? Tentang jamaah yang tiada henti-hentinya thawaf bahkan di pagi buta ini sekalipun? Apa lagi yang dapat saya ceritakan tentang azan yang mendayu dengan suara dan irama yang khas yang dihantarkan oleh sistim suara yang prima? Tentang jamaah yang mengatur barisan tatkala shalat sunah fajar atau qabliyah subuh itu? Apa lagi yang dapat saya ceritakan tentang wajah-wajah tirus dibungkus sorban besar di kepala yang menatap sendu ke tempat sujud? Tentang bacaan imam yang menyejukkan? Apa lagi? Apa lagi yang dapat diceritakan tentang mata yang berkaca-kaca, nafas yang tertahan? Bahkan ketika imam membaca, ihdinashshiraathal mustaqiiim, shiraathallatziina an’am ta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘alaihim, waladhdhaaaaaaaalliiiiin.

Hampir selesai sudah. Hampir habis waktu. Iya kalau nanti Allah berkenan mengizinkan kembali. Berziarah kesini. Untuk shalat disini. Untuk thawaf dan sa’i lagi disini. Ya Allah, Maha Suci Engkau. Maha Bijaksana Engkau. Engkau perintahkan kami untuk berkonvensi akbar di tempat yang Engkau pilih ini. Ya Allah lembutkanlah hati-hati kami, ketika kami sampai dengan izin Engkau di kampung kami nanti, untuk tetap ikhlas dan khusyuk menghadapkan wajah kami ke arah bait Mu ini. Ya Allah persatukanlah hati kami dalam iman yang lurus dan teguh kepadaMu. Ya Rabb, ya Rabb, ya Rabbul ‘alamiin, jadikanlah kami hamba-hamba Engkau yang pandai bersyukur kepadaMu. Atas semua nikmat ini. Atas semua kemudahan ini. Atas segala rahmat Engkau. Ya Allah terimalah amalan yang sedikit ini, ampuni ya Allah, kekurangannya, kekeliruannya. Ya Allah, izinkan ya Allah hamba bertemu lagi dengan rumah suci Mu ini nanti.

Saya tarik langkah menuju hotel. Sambil menunduk menyembunyikan mata yang mungkin saja agak bengkak. Saya hitung langkah, saya hitung tarikan nafas. Sampai ke kamar hotel.

Si Bungsu yang mula-mula bertanya haru. ‘Bagaimana ini papa? Tadi saya tidak jadi pergi shalat subuh........,’ katanya tertahan. Ya, bagaimana ini? Maksudnya, dia tentu juga ingin thawaf wada’.

‘Sudah berapa hari kamu tidak shalat?’ tanya saya.

‘Ini hari ketujuh,’ jawabnya.

‘Berapa hari biasanya kamu libur?’ tanya saya.

‘Tidak tentu. Kadang-kadang lima hari, kadang-kadang enam hari, kadang-kadang tujuh hari,’ jawabnya.

‘Begini saja. Papa bukan mau sok pintar di hadapan Allah. Memohonlah kepada Allah agar kamu disucikanNya. Papapun akan mendoakan kamu. Kalau kamu bersih, sampai kita mau berangkat thawaf jam setengah sebelas nanti kamu ikut. Kalau tidak, kamu harus bersabar. Insya Allah tidak ada beban bagimu karena tidak thawaf wada’ dan nanti papa temani kamu untuk memandang ka’bah dari pintu mesjid, sebagai perpisahan, sebelum berangkat.’

Saya berdiri di jendela, memandang burung-burung elang yang terbang berputar-putar. Memandang merpati-merpati yang pindah dari bangunan yang satu ke bangunan yang lain. Memandang lalu lintas hamba-hamba Allah di bawah sana. Indah sekali. Memandang menyamping di kaca jendela ke arah Masjidil Haram untuk melihat sebagian atapnya yang putih. Dan menara-menara mesjid yang berdiri kokoh. Yang hanya terlihat sesudut saja karena terhalang oleh dinding bangunan ini. Memandang jauh ke seberang sana ke arah bangunan-bangunan yang berpacu-pacu dengan kaki bukit batu. Indah sekali. Negeri yang didoakan oleh nabi Ibrahim agar penduduknya diberi rezeki dengan buah-buahan oleh Allah, ini. Dan doa nabi Ibrahim itu dikabulkan oleh Allah. Wattiini wazzaituun. Wathuurisiiniin. Wa haatzal baladil amiin. (Demi buah tiin dan zaitun. Demi bukit thursina. Dan negeri yang aman ini.)

Si Sulung sedang mengaji pada bagian akhir juz amma. Istri saya sedang mengemasi pernak-pernik kecil yang masih belum beres. Dibantu si Tengah dan si Bungsu. Koper-koper kami sudah diangkat ke bawah ke lobby hotel. Tinggal beberapa barang tentengan yang akan kami bawa sendiri nanti. Termasuk jeriken putih 10 liter tempat zam-zam yang akan saya angkat sendiri nanti insya Allah. Saya suruh si Tengah menuliskan nama kakeknya dengan spidol hitam di jeriken itu. Sekedar untuk tanda biar tidak tertukar.

Dan kami menanti pukul setengah sebelas. Waktu kami untuk turun dan pergi ke mesjid. Untuk mengerjakan thawaf wada’.


*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (26)

26. Hari-hari Terakhir Di Makkah


Demikianlah waktu. Berjalan mengalir tak terbendung. Sedetik itu cepat. Sejam itu cepat. Sehari itu cepat. Hari kedua, ketiga, keempat dan seterusnya tetap mengalir tak terbendung. Hari Senin tanggal 9 Februari. Hanya sekedar menunjukkan bahwa dia sehari lebih awal dari tanggal 10. Yang sehari lebih awal pula dari tanggal 11. Begitu seterusnya. Dan tadi subuh, sesudah shalat subuh di mesjid, saya hemat-hemat mengaji. Saya berhenti di tengah juz amma. Yang akan saya tamatkan di hotel pagi ini.

Dan di hotel, setelah akhirnya menamatkan tadarus, saya melamun. Menghitung hari ke belakang. Baru kemarin kita berangkat dari Jakarta. Baru kemarin kita shalat di mesjid Nabawi. Baru kemarin kita bertolak ke Aziziah, berangkat ke Mina, wukuf di Arafah, baru kemarin. Baru kemarin kita thawaf ifadha, melontar jumrah. Baru kemarin kita pindah ke hotel ini. Dan sekarang adalah kemarinnya besok, sementara besok akan jadi kemarinnya lusa. Sudah sembilan belas hari kami berada di Haramain, sejak berangkat hari Kamis tanggal 22 Januari yang lalu, yang baru kemarin saja itu. Berkumpul dengan berjuta umat Allah yang datang memenuhi panggilanNya kesini. Tapi disini setiap ‘kami’ lebih banyak bersunyi diri di tengah sangat ramainya berjuta-juta umat itu. Bukan karena ego. Bukan karena tidak perduli. Bukan karena tinggi hati lalu tidak saling bertegor sapa. Tapi setiap ‘kami’ sibuk dengan zikir dan doa sunyi di dalam hati dan tidak ingin saling mengganggu ke kanan dan ke kiri. Wajah-wajah kami, yang meskipun tidak terlihat ramah, mungkin karena sembab oleh air mata, atau haru dalam mengingat dosa, paling tidak tidak ada satupun yang beringas, yang penuh dendam kesumat membara. Tafakur, zikir, doa telah menyibukkan setiap kami dari bercengkerama ke kanan dan ke kiri. Kadang-kadang saya berada di sebelah orang dari Afrika. Kali lain di sebelah jamaah dari India. Berikutnya dari Malaysia, dari Sri Langka, Afghanistan, Turki, Tunisia. Pokoknya darimana saja. Hampir tidak pernah kami bercakap-cakap satu sama lain. Karena di kiri dan kanan tidak ada pula yang berlaku demikian.

Dan kesunyian itulah yang membekas. Kesunyian dalam persaudaraan seiman. Kesunyian dalam penghormatan wajar yang satu terhadap yang lain yang cukup dicerminkan oleh wajah yang tafakur bersahabat meski saling membisu. Dan...... masa kebersamaan itu sedang menjelang berakhir. Kemarin sudah kami tinggalkan mesjid Nabawi. Sudah kami tinggalkan Raudhah dan makam Rasulullah SAW. Kemarin sudah kami tinggalkan Mina. Dan besok, yang akan jadi kemarinnya lusa, akan kami tinggalkan pula tanah suci ini.

Waktu siangnya pergi shalat zuhur serasa ingin saya menahan-nahan langkah, ingin menikmati langkah demi langkah yang saya langkahkan ke mesjid. Serasa ingin saya menyalami setiap jamaah di mesjid ini, semua saudara seiman ini. Rasanya ingin saya duduk seketat-ketatnya di lantai mesjid mulia ini. Tapi tentulah keinginan seperti itu tidak mungkin dilaksanakan. Yang dapat saya lakukan hanyalah menatap. Menatap ka’bah yang berdiri kokoh, menatap jamaah yang berthawaf, menatap jamaah di kiri dan kanan yang lagi-lagi dalam wajah pasrah. Yang dapat saya lakukan adalah mendengarkan setiap penggalan panggilan azan. Memanggil jauh kedalam relung hati. Mendengarkan komando iqamat, patah demi patah. Qadqaa matishshalaatu qadqaa matishshalaaah. Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Laailaha illaLlaaaah. Mendengarkan komando imam dalam takbir. Allaahu Akbar!

Sehabis makan siang ada pengumuman dan penjelasan dari penyelenggara mengenai tertib melaksanakan thawaf wada’ besok. Thawaf wada’ bisa dilakukan langsung sesudah subuh, dengan catatan sesudah itu tidak kembali lagi ke Masjidil Haram. Jadi shalat zuhurnya di hotel saja. Atau bagi yang tetap masih ingin shalat zuhur di mesjid, bisa juga dilaksanakan menjelang shalat zuhur, lalu tidak keluar dari mesjid sampai selesai shalat. Saya setuju sekali dengan cara yang kedua ini. Saya masih ingin shalat berjamaah di mesjid ini sampai yang terakhir kali sebelum berangkat. Rencananya kami akan meninggalkan hotel di Makkah ini sekitar jam dua siang besok.

Saya tunaikan pula shalat ashar dengan segala kesyahduannya. Dan sehabis maghrib saya ajak si Sulung dan si Tengah melakukan thawaf. Kami lakukan thawaf di lantai dua. Hanya kami bertiga. Karena istri saya tidak kuat kakinya. Dan si Bungsu masih dalam harap-harap cemas penantian, akankah dia bisa thawaf wada’ besok. Si Sulung yang sudah sangat normal keadaannya malahan paling kuat tatkala kami berjalan sangat tergesa-gesa dalam setiap putaran. Putaran yang saya hitung mula-mula memerlukan waktu sembilan menit menyelesaikannya. Tapi pada putaran berikut ada yang selesai dalam tujuh menit. Yang total jendral kami selesaikan ketujuh putaran itu dalam lima puluh enam menit . Tentu bukan kecepatan itu yang jadi target kami, tapi agar thawaf itu bisa selesai menjelang azan isya berkumandang.

Shalat isya dengan bacaan imam yang begitu menyentuh dalam shalat yang sedang-sedang saja kecepatannya. Yang sedang-sedang saja panjang ayatnya. Yang semua surah bahkan yang paling pendekpun dibaca oleh imam yang pasti hafadz al Quran itu pada saat shalat maghrib. Pada shalat isya bahkan surah al ghaasyiyah yang dua puluh enam ayat pendek-pendek itu dibagi dua untuk rakaat pertama dan kedua. Afalaa yanzhuruuna ilal ibilikaifa khuliqat. Wa ilassamaa ikaifa rufi’at.. Wa ilal jibaalikaifa nushibat. Wa ilal ardhikaifa suthihat . Fatzakkir! Innamaa anta mutzakkir. (Apakah mereka tidak memperhatikan onta bagaimana dia diciptakan? Dan langit bagaimana dia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana dia ditegakkan? Dan bumi bagaimana dia dihamparkan? Maka peringatkanlah! Sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan.)

Dan saat berpisah itu semakin mendekat.


*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (25)

25. Ziarah Di Makkah


Alangkah bersyukurnya saya kepada Allah SWT karena kami semua sudah menuntaskan rangkaian ibadah haji. Dengan selesainya anak saya yang paling tua melaksanakan thawaf, sa’i dan bertahallul kemarin sore, semua sudah menyelesaikan rukun haji dengan selamat. Kami serahkan kepada Allah semua amalan haji ini karena hanya Allah semata yang akan menilai dan memberi ganjaran. Mudah-mudahan Allah menerima dan ridha dengan amalan kami ini. Mudah-mudahan Allah mengampuni kekeliruan kami dalam melaksanakannya, mudah-mudahan Allah memaafkan kekurangan-kekurangannya. Saya juga bersyukur karena kesehatan saya dan istri saya terutama semakin baik meski batuk masih ada. Begitu pula dengan anak-anak, semua kebagian batuk tapi alhamdulillah tidak separah batuk kami.

Hari Ahad tanggal 8 Februari atau tanggal 17 Zulhijjah. Ada acara ziarah ke tempat-tempat khusus di sekitar Makkah yang memang sudah diprogram oleh penyelenggara. Berangkat jam setengah sembilan pagi dari depan hotel, mula-mula kami menuju ke arah jabal Tsur. Untuk melihat dari jauh bukit batu cadas yang menjulang cukup tinggi. Taksiran saya tingginya sekitar empat sampai lima ratus meter dari tempat kami berdiri. Di atas bukit ini terdapat gua Tsur, tempat Rasulullah SAW berdua dengan Abu Bakar bersembunyi dari kejaran kaum kafir Quraisy sebelum beliau berangkat hijrah ke Yathrib. Di kejauhan kami lihat titik-titik putih, berbaris berliku-liku menuju puncak. Itu adalah para peziarah yang mendaki ke puncak gunung itu. Kata yang pernah mendaki untuk sampai ke gua Tsur diperlukan waktu dua sampai tiga jam. Hal ini disebabkan karena jalan yang ditempuh sempit, berbatu-batu, terjal dan berliku-liku. Dan biasanya mereka yang ingin mendaki harus berangkat lebih awal, yakni segera sesudah shalat subuh. Saya sendiri belum pernah mendakinya. Kali inipun kami hanya memandangnya dari kejauhan seperti ini saja.

Dari kaki jabal Tsur kami melanjutkan perjalanan ke Arafah. Melihat tempat kami wukuf delapan hari yang lalu. Bus kami berhenti dekat jabal Rahmah. Banyak sekali peziarah di sekitar ini. Sebagian naik ke puncak bukit yang tidak seberapa tinggi ini. Disinipun saya tidak berminat untuk ikut naik ke atas bukit. Kami hanya melihat saja dari hamparan tempat mobil-mobil dan bus-bus di parkir. Banyak onta dengan sekedup (tempat duduk di punggung onta) yang sudah dihiasi meriah dibawa oleh orang-orang Arab untuk para ‘wisatawan’ ini. Biasanya banyak yang ingin berpose di punggung onta dan berfoto-foto. Dan kebanyakan yang melakukannya adalah jamaah dari Indonesia. Si Bungsu memotokan, seorang Arab yang dari tadi mendekati kami menawarkan ontanya. Anak-anak sayapun minta izin untuk berpose diatas onta. Ketiga-tiganya. Saya izinkan mereka. Ya sudahlah, bagi mereka mungkin ini ada maknanya. Saya tanyakan kepada orang Arab itu apakah kami boleh menyewa onta saja. Dia setuju karena dia memang hanya menyewakan onta dan tidak merangkap jadi tukang foto kilat. Saya cukup heran waktu saya tanya berapa sewanya jika anak-anak saya bergantian naik ontanya dan dijawabnya sepuluh rial. Sesudah anak-anak bergantian naik onta itu berdua-berdua (tiga kali) saya bayar dia lima belas rial. Pemilik onta itu tersenyum.

Rombongan juga membuat foto bersama dengan spanduk PT penyelenggara dengan latar belakang jabal Rahmah. Barangkali ini untuk bahan iklan nantinya.

Dari jabal Rahmah, kami mampir ke mesjid Namira yang terletak di perbatasan Arafah. Sebagian mesjid ini terletak di Arafah. Mesjid ini biasanya yang disorot dan ditayangkan tv pada saat khotbah wukuf. Kami hanya mampir di luar saja karena mesjid itu ditutup. Saya sempat shalat dua rakaat di bagian luarnya itu. Berikutnya kami mampir ke Mina, melihat ketiga jumrah yang beberapa hari yang lalu dirubung ratus ribuan manusia. Tempat ini sekarang sepi. Dan sudah bersih kembali. Tenda tempat kami bermalam masih disana tentu saja. Tapi sekarang kosong melompong.

Dari Mina kami menuju ke gunung Hira. Melalui jalan yang disisinya masih terlihat tembok bekas ‘tali’ air. Pemandu kami mengatakan tali air itu dibangun oleh khalifah Harun Al Rasyid dari dinasti Abbasiyah. Saya khawatir pemandu kami keliru waktu dia mengatakan bahwa saluran air itu adalah untuk mengalirkan air zam-zam ke Baghdad.

Kami akhirnya sampai di kaki gunung Hira, yang diatasnya terdapat gua Hira, tempat Rasulullah SAW menerima wahyu pertama kali. Seperti di bukit Tsur disinipun banyak peziarah yang mendaki puncaknya. Mereka kelihatan bagai titik-titik putih saja dari tempat kami memandang. Perlu tenaga dan semangat khusus untuk naik ke atas sana. Saya sependapat dengan umumnya ustad- ustad yang tidak menganjurkan mendaki bukit-bukit ini karena tidak ada nilai ibadahnya dan beresiko pula. Yang dalam istilah ustad-ustad tersebut tidak ada sunnahnya dan tidak dilakukan oleh para sahabat nabi. Buat yang mendaki mungkin mereka ingin menghayati sejarahnya.

Itulah rangkaian kunjungan ‘wisata’ atau ziarah kami pagi itu. Menjelang jam sebelas kami sudah sampai kembali ke hotel. Masih ada satu lagi permintaan anak-anak saya sesudah kami turun dari bus. Jajan ayam tawaf dan roti Arab. Ayam yang dipanggang utuh, di grill sambil berputar otomatis. Dulu nenek mereka (ibu saya) yang memberi istilah ayam tawaf dan mereka menyukainya. Ya, biarlah hari ini kita seperti orang berdarmawisata.



*****

Tuesday, March 25, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (24)

24. Masjidil Haram


Hari Sabtu subuh saya kembali shalat di tempat nostalgia saya di depan sisi ka’bah berpancoran emas. Selesai shalat tahajud dan witir saya duduk dalam zikir. Saya kelupaan kacamata lagi. Di samping saya duduk seorang jamaah dari Cina, juga sedang berdiam diri, mungkin dalam zikir pula. Saya setengah melamun, mengingat ketika tahun sembilan puluh dulu, pada suatu pagi, saat kami sedang bertadarus sesudah shalat subuh di tempat ini. Tiba-tiba datang serombongan yang terdiri dari empat orang Indonesia, satu laki-laki dan tiga perempuan, terlibat perbincangan yang segera saja menarik perhatian saya waktu itu. ‘Ya ini dia. Silahkan saja dicoba. Kan untuk iseng saja,’ kata yang laki-laki sambil menunjuk ke sebuah tiang. Yang wanita tersipu dan malu-malu, sambil pura-pura membantah, tapi lalu memeluk tiang itu. Setelah itu, setelah yang wanita berhasil memeluk dengan mempertemukan kedua tangannya dengan melingkari tiang tadi, yang laki-laki berkata, ’Nah tu kan?? Mudah-mudahan deh. Insya Allah tercapai yang diinginkan.’

Saya baru mengerti setelah diceritakan oleh jamaah Indonesia yang lain bahwa tiang itu adalah tiang jin namanya. Ada kepercayaan karut yang jelas-jelas cenderung kepada kesyirikan, bahwa siapa yang berazam, berkeinginan di dalam hatinya, lalu memeluk tiang itu dan berhasil, maka niat atau azamnya itu akan tercapai. Entah dari mana datangnya keyakinan seperti itu. Dan saya tidak tahu apakah keyakinan seperti itu ada juga pada jamaah dari negara lain atau hanya dikalangan jamaah Indonesia saja. Lalu kepercayaan itu ada pada orang yang baru saja melaksanakan ibadah haji. Alangkah sayangnya.

Sedang saya melamun mengingat-ingat itu, jamaah dari Cina di sebelah saya membaca ayat-ayat awal surah al Baqarah luar kepala. Perhatian saya beralih kepadanya. Saya simak bacaannya itu. Baru-baru beberapa ayat dia tertegun. Mungkin lupa. Dia coba mengulangi ayat yang sama, tapi sampai bagian yang tadi terhenti lagi. Saya bacakan bagian yang dia lupa itu. Dia menoleh kepada saya sambil tersenyum, lalu meneruskan bacaannya. Beberapa ayat kemudian macet lagi. Saya betulkan lagi. Dia berhenti sebentar. Setelah itu dia mengaji lagi, kali ini dia baca surah pertama juz amma. Amma yatasaa aluun.... dan seterusnya. Cukup lancar bacaannya.

Masih beberapa saat sebelum azan dia sudah berhenti mengaji. Waktu saya menoleh kepadanya, dia sodorkan tangannya untuk bersalaman. Saya menyalaminya. Saya tanyakan, ‘Xin Jiang?’ Dia mengangguk, tapi kemudian ditambahnya. Turki. Xin Jiang – Turki. Mungkin maksudnya dia lebih baik mengaku Turki. Dia bertanya dengan bahasanya yang tidak saya fahami sambil menunjuk kepada saya. Saya rasa dia ingin menanyakan dari mana saya berasal. Saya jawab, Indonesia. Dia tersenyum. Lalu bertanya lagi patah-patah, Indonesia... kullu muslim? Saya jawab dengan isyarat 90 persen. Dia mengangguk.

Tidak lama kemudian azan subuh berkumandang. Kami shalat qabliyah subuh. Jadi perhatian saya pula, jarak antara azan dan iqamat di Masjidil Haram ini rata-rata sangat ringkas. Pada waktu subuh agak lumayan, bisa untuk shalat sunah fajar dua rakaat dengan santai dan sesudah itu masih menunggu sebentar sebelum iqamat. Pada waktu shalat zuhur, kalau saya shalat qabliyah dua kali dua rakaat, waktunya pas-pasan. Bahkan pernah, sebelum saya selesai shalat muazin sudah iqamat. Pada waktu shalat ashar pas-pasan untuk shalat dua rakaat yang ringkas. Pada waktu maghrib kita tidak bisa shalat sunat sama sekali. Kali pertama saya shalat maghrib disini, saya shalat sunat sebelum maghrib, maksudnya shalat tahyatul masjid yang tertunda. Baru satu rakaat, muazin sudah iqamat. Besoknya saya tidak mau shalat sunat lagi. Pada waktu shalat isya juga lebih baik tidak shalat sunat karena jarak antara azan dan iqamat juga sangat dekat.

Sesudah shalat subuh dan zikir saya bergegas pulang. Rasanya badan saya masih belum sehat betul. Nanti siang rencananya akan menemani si Sulung thawaf dan sa’i karena ternyata kemarin siang dia belum bersih. Mudah-mudahan hari ini dia sudah bisa menyelesaikan rangkaian ibadah hajinya. Sesampai di hotel saya lebih banyak beristirahat dan mengaji. Tadarusan saya sudah juz dua puluh enam. Semakin optimis bisa menyelelesaikannya sebelum berangkat dari Makkah hari Selasa mendatang.

Sesudah zuhur saya menemani si Sulung thawaf. Dia kelihatan agak lemah tapi memaksakan thawaf karena yakin sudah bersih. Menurut dia biasanya di sekitar waktu ‘periode’ dia memang seringkali lemah dan pucat. Kami thawaf di tengah-tengah jamaah yang tetap saja ramai. Kami bergerak perlahan-lahan dan kadang-kadang malahan terdesak-desak khususnya ketika mendekati garis coklat. Setiap kali saya lirik keadaan si Sulung. Kelihatannya memang dia agak lemah. Setelah selesai putaran kelima, dia menanyakan apakah kita boleh beristirahat dulu. Saya tanyakan apakah dia sudah tidak kuat meneruskan. Dia bilang ingin berhenti dulu agak sebentar. Saya bilang, kalau begitu kita teruskan putaran ini, nanti kita beristirahat dekat tangga sambil minum air zam-zam. Sesudah minum kalau masih sanggup kita teruskan, tapi kalau sudah tidak kuat kita berhenti. Dia setuju dan itu yang kami lakukan. Saya suruh dia duduk di sisi tangga dan saya pergi mengambil air zam-zam. Saya biarkan dia duduk beberapa saat lagi sesudah minum. Dia menanyakan berapa putaran lagi yang harus diselesaikan dan saya jawab, satu setengah lagi. Dia merasa sanggup meneruskan. Kami kembali masuk jalur meneruskan satu setengah putaran yang terakhir. Alhamdulillah dengan selamat.

Hari baru jam setengah tiga sore. Kami pulang dulu ke hotel dan berencana mengerjakan sa’i nanti sehabis maghrib. Dan sa’i itu kami lakukan di lantai dua sesudah shalat maghrib. Si Sulung lebih kuat saat itu. Dia tidak lagi kelihatan pucat seperti tadi. Kami lakukan sa’i dengan tenang dan santai. Ada seorang jamaah wanita tua dari Turki, berjalan terbungkuk-bungkuk tapi kuat luar biasa. Dia berjalan di dalam jalur kursi roda. Setiap kali diperingatkan orang mendorong kursi roda, ‘hajjah..hajjah...’ dia cepat-cepat menepi. Gerakan tuanya yang kuat itu menimbulkan simpati saya melihatnya.

Kami selesai sa’i beberapa menit sebelum azan isya. Istri saya dan si Tengah sudah duduk menunggu waktu shalat dekat Marwa. Si Sulung segera bergabung dengan mereka dan saya mencari tempat agak ke depan. Sesudah shalat isya kami kembali ke hotel. Akhirnya selesailah semua anggota rombongan saya menyelesaikan ibadah haji. Tinggal thawaf wada’ yang menjadi kewajiban kami yang terakhir nanti hari Selasa insya Allah.



*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (23)

23. Tegoran Allah


Hari Jumat subuh saya terbangun dalam keadaan segar. Istri saya kebalikannya masih sangat lemah. Mungkin dia terlalu kecapekan sesudah thawaf dan sa’i kemarin. Subuh ini dia memilih tidak ikut ke mesjid lagi. Saya berangkat ke mesjid berdua dengan si Tengah. Pagi ini saya memakai jaket penahan dingin. Kami keluar sudah hampir jam setengah lima dan waktu masih di jalan berkumandang azan pertama. Sudah terlalu penuh untuk ke tempat saya shalat subuh kemarin. Saya ajak si Tengah ke tingkat dua. Saya tinggalkan dia di bagian jamaah wanita dan saya ingatkan untuk menunggu saya nanti sebelum pulang. Saya mengambil tempat sedikit ke belakang jalur thawaf di tingkat dua ini. Banyak orang yang thawaf subuh begini disini. Saya langsung shalat malam. Sesudah selesai shalat saya memperhatikan orang-orang yang sedang thawaf . Banyak diantara mereka yang setengah berlari-lari. Seperti berkejar-kejaran. Banyak yang berpakaian ihram. Tentu mereka melakukan umrah sunat dengan terlebih dahulu pergi miqat ke Tan’im.

Lalu berkumandang azan subuh. Orang-orang yang thawaf itu perlahan-lahan berhenti. Kami shalat qabliyah dua rakaat. Dan shalat subuh. Ternyata subuh hari Jumat inipun imam tidak membaca surah Alif Laam Miim Tanzil (sajadah). Agak sayang rasanya. Selesai shalat (dan shalat jenazah) dan zikir saya segera bangkit. Khawatir si Tengah telalu lama menunggu. Ternyata dia sudah berdiri disana. Kami segera pulang. Melalui tangga ke bawah dan di luar naik tangga lagi ke arah hotel di jalan yang sejajar dengan jalur Shafa – Marwa. Sejak kemarin subuh saya perhatikan ada antrian panjang jamaah wanita dekat tempat pengambilan air zam-zam. Rupanya antrian untuk mendapatkan pembagian mushaf al Quran. Mereka-mereka yang antri masing-masing memegang kupon yang nanti ditukarkan dengan al Quran. Saya tidak tahu dimana mereka mendapatkan kupon itu.

Kami terus berlalu menuju hotel. Istri saya masih tidur (tidur lagi sesudah shalat subuh). Begitu juga dengan si Sulung dan si Bungsu. Saya bangunkan mereka untuk pergi sarapan. Mereka bersiap-siap sebentar dan kami pergi ke ruang makan di lantai sepuluh. Waktu antri mengambil makanan saya bertemu dengan dokter rombongan. Dia bilang kalau kemarin dia datang ke kamar tapi saya sudah atau sedang tidur. Dan dia menanyakan bagaimana keadaan saya sekarang. Saya menjawab lepas, dengan maksud bercanda, bahwa penyakit saya sudah saya telan. Dokter itu tersenyum mendengar. Memang kelihatan anda segar-segar saja, katanya.

Kami sarapan dengan santai. Sesudah sarapan, waktu masih di ruangan makan ada pengumuman dari penyelenggara bahwa mereka menyediakan bantuan untuk menemani thawaf bagi yang belum mengerjakannya. Ada satu orang ibu-ibu yang belum thawaf dan menyatakan ingin ikut. Si Sulung berminat untuk ikut dengan mereka, tapi saya larang. Saya bilang biar saya temani saja. Si Sulung beralasan karena saya masih kurang sehat, jadi biar dia ikut petugas penyelenggara itu saja. Saya bilang orang masih berdesak-desak, orang yang akan mengantarkan itu pasti laki-laki, jadi kurang baik kalau dia ikut petugas itu. Si Sulung diam saja.

Kami kembali ke kamar. Hanya kira-kira sepuluh menit di kamar, tiba-tiba saya merasa kurang enak badan lagi. Saya tidur-tiduran dan tidak jadi membaca al Quran. Beberapa menit berlalu, saya mulai kedinginan. Saya beritahu istri saya kalau saya merasa tidak sehat. Dia meraba kening saya yang ternyata panas sekali. Saya minta obat turun panas seperti yang saya minum kemarin. Obat itu saya minum. Saya tetap tidur-tiduran. Sudah hampir jam sepuluh panas saya belum juga turun. Istri saya menyuruh si Bungsu memanggil dokter. Dokter itu datang dan terheran-heran. Kok......, katanya. Kan barusan waktu sarapan bapak sehat-sehat saja, ujarnya. Dokter itu memberi saya obat anti biotik serta obat flu. Saya segera meminumnya.

Pelan-pelan kembali ke dalam ingatan saya. Ini peringatan Allah. Saya telah takabur. Saya telah berdosa. Saya mengatakan kepada dokter itu tadi bahwa sakit saya kemarin sudah saya telan. Astaghfirullah....... Astaghfirullahal ‘azhiim. Saya istighfar berulang-ulang dan menangis. Ya Allah... ampunilah kelancangan hamba, ketakaburan hamba. Astaghfirullahal ‘azhiim, wa atubu ilaihi...... Saya ulang-ulang puluhan kali dengan air mata bercucuran. Istri dan anak-anak saya terheran-heran. Saya memohon sejadi-jadinya kepada Allah. Ya Allah, hari ini hari Jumat, ampuni hamba ya Allah, izinkan hamba untuk melaksanakan shalat Jumat di mesjidMu yang mulia ini ya Allah. Ya Allah sembuhkanlah hamba, ampuni hamba, maafkanlah kelancangan hamba karena kebodohan hamba.

Secara kenyataannya mungkin saya tertidur sejenak setelah lama menangis dan beristighfar itu. Sebentar, mungkin tidak sampai setengah jam. Jam setengah sebelas saya terbangun. Badan saya terasa enteng. Yang pasti sudah tidak panas. Saya bangun dan beristighfar kembali sebelum masuk kamar mandi. Saya mandi dan setelah itu bersiap-siap mau pergi ke mesjid. Istri saya meraba kening saya sebelum menanyakan apakah saya merasa cukup sehat untuk pergi ke mesjid. Saya jawab insya Allah saya sudah baikan.

Saya berangkat ke mesjid. Sudah hampir jam sebelas. Saya langsung saja mencari tempat ke lantai dua karena tidak yakin masih bisa dapat tempat di lantai bawah. Sesampai di mesjid, sesudah shalat tahiyatul masjid, saya baru sadar kelupaan membawa kacamata. Jadi saya tidak bisa membaca al Quran. Saya berzikir saja banyak-banyak dan beristighfar. Sambil merenung atas peringatan Allah yang telak betul kepada saya pagi ini. Dan Allah Yang Maha Pengampun Maha Penyayang, alhamdulillah, mengabulkan doa saya untuk dapat melaksanakan shalat Jumat dalam keadaan sehat siang ini. Sudah hampir jam setengah satu waktu azan pertama dikumandangkan. Sama seperti di mesjid Nabawi, di Masjidil Haram inipun azan shalat Jumat dua kali. Saya dengarkan khotbah Jumat dengan tenang tanpa mengantuk meski saya tidak terlalu faham apa yang disampaikan kecuali beberapa ayat yang saya kenal. Khotbah yang seandainya saya mengerti bahasa Arab pastilah sangat menarik karena khatib menyampaikannya dengan bahasa yang sangat lancar dan teratur.



*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (22)

22. Subuh Pertama Di Masjidil Haram


Hari Kamis subuh. Ini adalah subuh pertama kami berada di Makkah. Saya terbangun jam setengah empat dan segera bersiap-siap untuk pergi ke mesjid. Batuk saya masih berat tapi syukurlah tidak disertai flu. Tidak lama kemudian terbangun pula istri saya. Kondisi batuk dan flunya justru bertambah parah. Dia bilang dia tidak akan ke mesjid pagi itu karena ingin menyimpan tenaga untuk thawaf ifadha nanti siang. Di antara anak-anak, saat ini hanya si Tengah yang tidak berhalangan, sementara adik dan kakaknya sedang ‘cuti’. Saya tidak membangunkannya. Kasihan kalau dia ikut ke mesjid tidak ada teman (tidak ada ibunya, tidak ada kakak maupun adiknya). Saya berangkat ke mesjid sendirian. Waktu saya keluar pagi itu udara terasa tidak terlalu dingin. Saya mengenakan gamis dengan kaus oblong di dalam dan sorban merah putih menutupi kepala.

Di mesjid saya menuju ke tempat saya biasa shalat lima waktu ketika saya berhaji di tahun sembilan puluh. Saya masuk dari pintu nomor 45, terus ke depan ke bagian mesjid paling depan sebelum pelataran ka’bah. Berbelok ke kanan beberapa puluh langkah. Tepat melihat ke sisi ka’bah yang ada pancuran emas. Tempat ini sangat berkesan bagi saya karena disini dulu saya ikut tadarus dengan sekelompok jamaah mancanegara. Ketika itu mulanya saya melihat sekumpulan jamaah duduk melingkar. Di antara mereka ada seorang tua yang kelihatannya adalah pemimpin kelompok itu. Rupanya mereka sedang bertadarus bergantian membaca al Quran. Masing-masing membaca satu ‘ain. Saya duduk agak ke belakang di antara dua orang jamaah. Ketika jamaah yang di sebelah kiri saya selesai membaca, disodorkannya al Qurannya kepada saya dan meyuruh saya membaca. Saya ikut membaca satu ‘ain. Setelah saya selesai orang tua yang seperti pimpinan itu menepuk-nepuk pundak saya. Sejak itu jadilah saya ikut kelompok tadi yang bertadarus setiap habis shalat subuh, sehabis shalat ashar sampai sesudah isya. Kami menamatkan al Quran rata-rata dalam empat hari.

Sekarang saya berada kembali disini. Saya lakukan shalat malam. Sesudah shalat, saya membaca al Quran menjelang azan subuh berkumandang. Mungkin karena tempat ini terbuka ke depan, dan saya tidak memakai jaket, pelan-pelan terasa udara dingin. Saya melilitkan sorban di kepala untuk mengurangi rasa dingin. Sesudah azan kami shalat qabliyah sambil sebelumnya mengatur barisan. Jamaah sudah semakin penuh. Dan kamipun shalat subuh. Imam shalat subuh adalah Sudeish. Bacaannya sangat jernih dan tartil. Kadang-kadang suaranya melengking tinggi. Indah dan bagus sekali.

Sesudah shalat dan zikir saya masih duduk disitu sambil memandangi ka’bah. Bangunan mulia yang dibangun oleh nabi Allah Ibrahim a.s. beserta puteranya nabi Ismail a.s. entah berapa ribu tahun yang lalu. Hanya Allah SWT saja yang tahu kapan tepatnya kedua nabi Allah itu menyelesaikan bangunan ini. Bangunan yang jadi titik pemersatu arah bagi setiap umat Islam dalam melakukan shalat menyembah Allah SWT. Disini, di mesjid yang mulia ini umat Islam menghadap bangunan ini mengelilinginya dalam shalat seperti yang baru saja kami selesaikan. Dan saya tengah berada disini.

Di pelataran ka’bah jamaah melakukan thawaf ramai sekali. Mengelilingi bangunan mulia ini dengan khusyuk putaran demi putaran. Dalam zikir dan doa. Tidak pernah ada hentinya orang mengerjakan thawaf siang dan malam disini kecuali pada waktu saat shalat berjamaah. Tadinya ada keinginan saya untuk turun kesana, berbaur dengan jamaah yang banyak itu untuk melakukan thawaf. Tapi niat itu saya urungkan karena nanti saya akan menemani istri saya mengerjakan thawaf ifadha. Sementara pagi ini saya merasa badan saya kurang enak karena batuk.

Batuk mengagetkan saya untuk segera bangkit dan meninggalkan mesjid ini. Saya melangkah keluar dan menuju ke pemondokan. Di luar sudah mulai terang karena hari menjelang siang. Di kamar saya dapati istri saya sedang tidur kembali (sesudah shalat subuh). Saya bangunkan mereka dan mengajak mereka untuk pergi sarapan. Si Bungsu memprotes saya karena tidak mengajak kakaknya ke mesjid. ‘Kan dia di Madinah tidak banyak kesempatan ke mesjid. Kenapa disini tidak papa ajak?’ ucapnya. Si Tengah diam saja. Saya berjanji akan mengajaknya besok insya Allah.

Kami pergi sarapan ke ruang makan di lantai 10. Sesudah sarapan saya merasa badan saya kurang enak. Batuk saya masih banyak dan badan saya terasa dingin. Boleh jadi saya masuk angin. Kami hubungi dokter rombongan untuk minta obat. Dia tidak segera datang. Mungkin dia sibuk mengurusi pasien yang lain. Istri saya meraba kening saya dan mengatakan badan saya panas. Dia memberi obat turun panas dari persediaan obat yang kami bawa. Alhamdulillah saya tertidur sesudah itu. Jam sepuluh saya terbangun dengan peluh bercucuran. Badan saya terasa lebih enak sekarang. Saya pergi mandi. Masih lama sebelum waktu zuhur dan saya membaca al Quran meneruskan tadarus. Jam dua belas kurang saya berangkat ke mesjid sendirian. Istri saya mengatakan ingin thawaf sesudah ashar nanti karena sekarang udaranya masih panas. Saya rasa dia benar, siang ini sinar matahari terasa cukup panas.

Waktu shalat ashar saya berangkat ke mesjid bertiga degan istri saya dan si Tengah. Sesudah shalat kami turun ke pelataran ka’bah untuk mengerjakan thawaf. Si Tengah juga ikut menemani. Orang yang thawaf cukup ramai. Kami bergerak pelan sekali. Akhirnya hampir maghrib baru kami menyelesaikan ketujuh putaran. Sa’inya dilanjutkan sesudah maghrib dan selesai menjelang isya. Diakhiri dengan tahallul selesailah pelaksanaan haji istri saya. Tinggal si Sulung yang masih belum menyempurnakan rangkaian ibadah hajinya. Mungkin besok saya harus menemaninya pula untuk melakukan thawaf dan sa’i.

Kami segera pulang ke hotel. Sampai di hotel si Bungsu mengatakan bahwa tadi sore ada adik saya datang (dia pergi haji sendirian) dan juga adik istri saya yang datang dengan suaminya. Walaupun sedikit capek, alhamdulillah saya merasa sehat-sehat saja. Sesudah makan malam saya segera tidur.

*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (21)

21. Meningkalkan Mina Menuju Makkah

Sesampai di tenda, pulang dari menonton pemotongan, kami dapati anggota rombongan sudah bersiap-siap. Acara siang ini adalah melontar yang terakhir sebelum meninggalkan Mina. Rupanya sebagian besar jamaah sudah ‘demam’ ingin segera berangkat, karena sejak kemarin sudah ada kafilah tetangga yang meninggalkan Mina (nafar awal) sementara yang lain ada yang berangkat pagi ini. Petugas penyelenggara menyuruh kami untuk santai saja. Rencananya kita akan berangkat sehabis melontar sesudah shalat ashar. Untuk pergi melontar hari terakhir ini dianjurkan agar semua ikut, artinya termasuk yang tua-tua, yang biasanya diwakili. Jamaah yang pergi melontar pada hari terakhir ini ternyata masih lumayan ramai meski seramai hari kemarin. Dengan teknik saling berpegangan tangan sambil memagari jamaah wanita kami menyelesaikan acara melontar sore itu. Selesailah acara di Mina. Sekarang kami akan meninggalkan tempat ini setelah mabit selama tiga malam berturut-turut di tenda ini. Dan lembah Mina yang dipadati ratusan ribu manusia selama beberapa hari ini akan jadi lembah sunyi kembali sampai musim haji tahun depan. Kami akan kembali dulu ke Aziziah dan rencananya akan menuju hotel di Makkah sesudah waktu isya. Menurut penyelenggara hal ini perlu dilakuan demikian untuk meyakinkan bahwa kamar-kamar hotel itu sudah benar-benar siap untuk kami. Bahkan bukan tidak mungkin masuk hotelnya lebih telat, karena dikhawatirkan kamar-kamar itu belum siap. Hal yang sangat sering terjadi di musim haji. Bus yang akan mengantarkan kami ke Aziziah sudah siap. Jalan ke Makkah, atau tepatnya ke Aziziah sangat lancar. Hanya sekitar lima belas menit yang diperlukan untuk sampai disana. Kami mendapatkan kembali koper-koper kami yang ditinggal disini selama kami di Mina. Saya segera mandi dan setelah itu bersiap-siap untuk pergi ke mesjid Abu Bakar untuk shalat maghrib. Mesjid Abu Bakar sama ramainya seperti kami tinggalkan lima hari yang lalu. Ramai dengan jamaah dari Turki, Sudan dan Indonesia. Ada taklim sesudah shalat maghrib yang diikuti dengan tanya jawab. Sayang dalam bahasa Arab. Dan lebih sayang lagi karena saya harus bersiap-siap untuk pergi dari Aziziah yang mungkin segera sesudah shalat maghrib ini. Saya bergegas keluar dari mesjid sesudah shalat ba’diyah untuk menuju ke pemondokan. Acara pertama sesampai di pemondokan adalah makan malam. Pagi tadi saya berkonsultasi dengan ustad-ustad pembimbing tentang dam yang harus dibayar karena si Bungsu melakukan pelanggaran, tidak sengaja mencabut bulu mata. Menurut ustad harus membayar dam, dan dam itu seekor kambing. Hal ini yang menambah semangat saya pergi mengikuti rombongan ke tempat pemotongan pagi ini karena sekalian ingin memotong kambing dam diluar hadyu. Bahkan ustad Sy. tadinya mau minta petugas catering memasakkan kambing untuk makan malam di Aziziah. Tapi, kambingnya belum dapat, jadi malam ini tidak jadi makan gulai kambing. Saya menanyakan kepada pak W kapan rombongan akan berangkat. Dia masih belum tahu. Masih menunggu konfirmasi dari hotel tentang kesiapan kamar. Saya menanyakan apakah saya bisa kembali ke mesjid untuk shalat isya. Dia balik bertanya apakah saya tadi tidak menjamak shalat yang saya jawab tidak. Dia ragu-ragu sebentar sebelum akhirnya mengatakan silahkan, tapi sehabis shalat segera kembali. Saya langsung saja berangkat lagi ke mesjid. Sebelumnya saya mengingatkan istri dan anak-anak untuk mengemasi barang bawaan kami. Di mesjid ternyata taklim masih berlangsung. Di mesjid ini ada sebuah pengumuman dibingkai dan tergantung dekat mimbar, menunjukkan jarak waktu iqamat menjelang shalat sesudah azan dikumandangkan. Untuk shalat isya waktunya 20 menit. Hari baru jam tujuh lebih seperempat. Masih dua puluh menit lagi sebelum azan. Dan sesudah azan masih dua puluh menit lagi sebelum shalat. Menghitung-hitung waktu seperti itu menjadikan saya kurang tenang. Toh waktu itu akhirnya berlalu juga. Walaupun memang terasa agak lama. Sudah jam delapan waktu shalat isya selesai. Saya berzikir ringkas dan tidak shalat sunah lagi, khawatir orang-orang sudah menunggu saya. Saya segera melangkah keluar mesjid. Masya Allah, sampai di tangga mesjid saya lihat pak W. Langsung saya sapa dan menanyakan kalau dia mencari saya. Ternyata benar. Rombongan sudah berada di atas bus di dekat mesjid. Menurut pak W mereka sudah menunggu disana persis sejak iqamat untuk shalat isya. Kami melangkah ke bus dengan tergesa-gesa. Saya minta maaf kepada anggota rombongan karena telah terpaksa menunggu. Bus itu segera berangkat menuju Makkah dengan mengambil jalan alternatif yang lebih jauh dari jalan biasa. Hal ini dilakukan untuk menghindari arus jamaah yang keluar dari Masjidil Haram. Kami dibawa melalui jalan besar yang lalu-lintasnya lumayan lancar sampai masuk ke jalan yang relatif kecil dan banyak kendaraan nya di sekitar Misfalah. Saya melihat banyak maktab jamaah Indonesia di sepanjang jalan yang terakhir ini. Bus besar itu berjalan tersendat-sendat mendekati hotel Sofitel di dekat Marwa di ujung lain tempat sa’i. Kami harus menurunkan sendiri koper-koper kami dari bagasi bus dan mengangkatnya ke lobby hotel. Suasana di lobby itu ramai sekali karena di samping kami juga ada jamaah lain yang kelihatannya juga baru datang. Sudah menjelang jam setengah sepuluh malam waktu kami masuk ke kamar di lantai 9. Kami menempati satu kamar di antara tiga kamar dalam satu kompartemen. Bertetangga dengan rombongan pak J sedang kamar ketiga ditempati oleh lima orang bapak-bapak. Kamar hotel ini sedikit lebih besar dari kamar hotel di Madinah. Jarak ke mesjid juga lebih dekat. Saya yang sudah batuk-batuk sejak beberapa hari di Mina, merasa capek dan ingin cepat-cepat beristirahat. Insya Allah untuk bangun subuh besok. Untuk pergi shalat subuh yang pertama ke Masjidil Haram. *****

Saturday, March 22, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (20)

20. Pemotongan Hadyu


Hari Selasa tanggal 12 Zulhijjah pagi. Pak W memberi tahu dan mengajak saya untuk pergi menyaksikan pemotongan hadyu hari ini. Rencananya kami akan pergi sekitar jam sepuluhan ke tempat pemotongan yang katanya agak jauh dari Mina. Yang diajak ikut dibatasi hanya ketua-ketua regu saja mengingat tempat yang tentunya terbatas di mobil kecil yang akan disewa untuk pergi kesana. Ajakan itu tentu saja saya terima dengan senang hati. Tapi ternyata setelah ditunggu-tunggu sampai menjelang zuhur, kami belum jadi juga pergi. Siangnya saya diberitahu bahwa karena kendala teknis, rencana itu ditunda sampai besok. Akhirnya hari itu saya hanya menyibukkan diri dengan mentadarus al Quran saja sampai waktu melontar sesudah ashar.

Keesokan harinya baru kami pergi dengan menggunakan minibus sekelas L-300 yang dapat memuat sepuluh orang di luar sopir. Tempat itu ternyata memang lumayan jauh, melalui bagian luar kota Makkah. Kami berkenderaan sekitar lima belas menit di jalan yang lancar dari Mina, untuk sampai kesana. Rupanya tempat itu seperti pasar ternak yang ada rumah potongnya. Yang mula-mula menarik perhatian saya adalah keberadaan orang-orang berpakaian merah yang rupanya adalah petugas (di upah) resmi untuk memotong hewan. Mereka datang menyongsong kami untuk menanyakan apakah kami akan menggunakan jasa mereka. Sedikit demi sedikit saya baru mengerti bahwa pihak penyelenggara rupanya baru akan mencari kambing untuk hadyu itu, jadi bukan sudah ada kambingnya siap untuk dipotong dan kami datang untuk menyaksikan pemotongannya.

Di tempat itu banyak sekali kambing dan domba yang rata-rata berukuran besar (lebih besar dari kambing-kambing di Indonesia) dan gemuk-gemuk. Kata yang bercerita kambing-kambing itu adalah ternak tempatan sementara domba-domba itu diimport. Saya melihat kambing yang berbeda dengan kambing di negeri kita karena mempunyai buntut besar dan panjang sampai mencecah tanah. Ternak itu bergerombol-gerombol tanpa diikat. Ada orang yang datang membeli lalu menarik dan mengangkatnya ke mobil untuk dibawa pulang. Menariknya cukup dengan menarik satu kakinya (yang depan atau yang belakang) dan kambing itu menurut saja tanpa banyak cingcong.

Pak S dari penyelenggara sibuk sekali mencari kambing yang akan dibeli. Dia berkeliling-keliling di pasar kambing itu sambil tidak berhenti-henti menelpon melalui HP. Baru pula saya tahu bahwa target mereka adalah membeli kambing berukuran sedang atau kecil seharga 250 rial. Namanya juga bisnis, karena memang dalam perjanjian dengan anggota jamaah tidak dirinci kambing sebesar apa yang akan dikorbankan sebagai hadyu, maka pihak penyelenggara mencari yang sekedar memenuhi sarat dengan biaya agak ditekan. Kambing-kambing besar yang saya lihat banyak disana itu harganya berkisar antara 400 sampai 500 rial. Kalau melihat ukuran kambingnya harga sedemikian menurut perkiraan saya tidaklah terlalu mahal.

Setelah menunggu agak lama akhirnya pak S mendapatkan kambing yang berharga 250 rial. Kami mengiringkan mobil yang mengangkut kambing-kambing itu ke rumah potong. Waktu turun dari mobil saya sempat melihat kambing-kambing itu yang ternyata bayi kambing yang masih menyusu. Ada rasa kecewa dalam hati saya melihat ‘akibat’ penekanan harga ini yang akhirnya hanya mendapatkan anak-anak kambing yang terlalu kecil itu.

Dan ternyata kambing-kambing kecil itu ditolak. Saya melihat seorang yang mengatakan ‘haram..haram’ sambil mengibaskan tangan seolah-olah menyuruh agar mobil yang membawa kambing itu segera dibawa keluar. Pak W bercerita bahwa yang ‘mengusir’ itu adalah ulama yang ditempatkan di rumah potong ini untuk menilai sah atau tidaknya setiap kambing yang akan dikorbankan. Subhanallah, ternyata apa yang baru terbersit di hati saya terjawab. Jadi bagaimanapun pihak penyelenggara akan berbisnis, alhamdulillah ada yang menyaring disini supaya kambing yang dikorbankan itu tidak sia-sia dan asal-asalan. Pak S terpaksa terpontang panting lagi mencari kambing. Katanya kemarin untuk rombongan besar mereka membeli kambing seharga 250 rial sebanyak dua ratus ekor lebih dan sekarang stok kambing berukuran mini itu mungkin sudah habis.

Sementara pak S sibuk mencari kambing, kami melihat-lihat pelaksanaan pemotongan di dalam rumah potong itu. Tempat itu adalah bangsal besar yang disiapkan secara khusus. Ada tempat menggantung kambing yang baru dipotong untuk dikuliti. Ada saluran air tempat menghanyutkan darah dan kambing-kambing itu di potong dekat saluran air ini. Yang menakjubkan saya cara memotong yang sangat mudah dan tidak ribet sama sekali. Hanya dua orang saja yang bekerja untuk menyembelih kambing itu, seorang jagal dan pembantunya. Kambing itu di rebahkan dengan posisi keempat kakinya ke atas sebelum disembelih. Begitu mudah dan kambing itu tidak meronta sedikitpun. Lalu si jagal menggesekkan pisaunya di leher kambing itu, dua kali gesekan. Selesai. Kambing yang sudah disembelih itu meronta-ronta sedikit sebelum meregang nyawanya. Proses pengulitan dan pemotong-motongan barulah dikerjakan oleh orang-orang berseragam merah. Dengan cara seperti itu berpuluh-puluh kambing dipotong dalam tempo yang sangat cepat. Siapa yang mengambil dan memakan kambing-kambing hadyu itu? Ternyata kambing-kambing itu bisa pula ‘dibeli’ oleh orang yang mau dengan harga murah. Yang menjual adalah mereka yang mengerjakan pemotongan disana. Yang membeli bisa siapa saja. Tapi ternyata yang membeli itupun tidak banyak. Bahagian terbesar dari kambing-kambing yang sudah dipotong itu diambil oleh siapa saja. Katanya, banyak orang-orang Afrika mengambil untuk dibawa pulang ke kampung mereka. Menurut ustad Sy, salah satu pembimbing, yang penting tidak dibiarkan terbuang-buang mubazir.

Pak S akhirnya give up. Dia tidak mendapatkan kambing seharga 250 rial. Kami terpaksa pulang tanpa menyaksikan kambing hadyu rombongan kami dipotong. Menurut ustad Sy lagi, itu tidak jadi masalah, karena hari pemotongan hadyu tidak dibatasi selama kita masih berada ditanah haram. Jadi besok-besokpun bisa. Pak S yakin besok harga kambing itu pasti akan lebih murah. Atau paling tidak kambing seharga 250 rial akan ada lagi. Kami kembali ke Mina setelah hanya menonton pemotongan kambing tapi bukan kambing kami.



*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (19)

19. Mina


Mina adalah tempat dimana jamaah haji wajib mabit atau menginap minimum dua malam. Pada siang harinya, paling kurang tiga hari berturut-turut jamaah melontar jumrah, kegiatan lain dalam rangkaian ibadah haji. Tempat itu terletak di lembah antara dua bukit batu yang memanjang. Lembah yang relatif sempit itu saja, tentu tidak cukup untuk menampung dua setengah juta jamaah haji. Ada hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa Mina itu seperti perut ibu, yang artinya bisa menggelembung atau bertambah besar. Para ulama menafsirkan bahwa Mina yang sempit itu ‘bisa’ diperluas ke belakang bukit. Dan disanalah sebagian besar jamaah haji mabit pada hari-hari tasyrik.

Bukit-bukit batu yang mengapit Mina dalam ilmu geologi disebut ‘batholith’, tubuh intrusi batuan beku yang menjulang tinggi ke udara. Batuan masif dari jenis diorit, bertekstur kasar sehingga butir-butiran mineralnya dapat terlihat jelas bila batu itu disayat. Mineral-mineralnya berwarna pucat kemerahan sampai berwarna agak gelap. Batuan yang lebih asam dari diorit (berwarna lebih terang, banyak mengandung silika atau kwarsa), tapi bertekstur sama kasarnya, adalah batu granit yang kalau sudah dipoles rapi biasanya dijadikan lantai di rumah-rumah mewah. Jika teksturnya lebih halus tapi kandungan mineralnya sama, batuan itu disebut andesit. Kita lebih mengenal yang terakhir ini sebagai batu kali yang biasa digunakan untuk fondasi rumah.

Bukit-bukit batu yang kita lihat di Makkah maupun di Madinah umumnya terdiri dari jenis batuan diorit dan granit ini. Ornamen batu di mesjid Nabawi bagian belakang yang baru dibangun sesudah tahun 90an menggunakan bongkahan-bongkahan granit/diorit yang disayat halus dan dipoles. Saya pernah menonton tayangan tv beberapa tahun yang lalu tentang industri pemotongan dan pemolesan batu tersebut disuatu tempat di Arab Saudi.

Baik granit maupun diorit mempunyai kekerasan sekitar lima sampai enam pada skala Mohs, suatu sistim skala kekerasan yang menempatkan kapur tulis yang rapuh itu pada skala satu dan intan pada skala sepuluh. Artinya dengan menggunakan ‘pisau’ atau alat potong intan atau tungstein yang lebih keras lagi maka batuan itu dapat dibentuk suka-suka.

Karena sangat kaya dengan hasil penjualan minyak, sebagai penghasil serta pengekspor minyak terbesar di dunia (ekspornya pernah mencapai 10 juta barrel sehari), Kerajaan Arab Saudi mampu membuat dan membeli apa saja dengan uangnya yang banyak itu. Pemerintah negeri itu membuat dan melengkapi berbagai prasarana untuk memudahkan tamu-tamu Allah yang datang berhaji setiap tahun. Tentu saja sarana dan fasilitas itu tidak sekali buat seluruhnya tapi mereka tambah dan tingkatkan dari tahun ke tahun. Diantara sarana-sarana yang dibuat itu adalah terowongan-terowongan yang menembus bukit-bukit di Makkah sampai ke Mina untuk memudahkan jamaah berlalu lalang di antara kedua tempat itu pada saat melaksanakan ibadah haji. Bukit batu tadi ditembus bagai menembus gundukan pasir di pantai saja. Dan terowongan-terowongan itu memang banyak sekali manfaatnya bagi jamaah haji. Tatkala salah satu terowongan di Mina menimbulkan kecelakaan di tahun 90 karena satu terowongan digunakan untuk dua arah pergi dan pulang, maka tahun-tahun berikutnya terowongan itu dibuat kembarannya. Satu untuk yang pergi, satu untuk yang pulang dari arah tempat melontar. Begitu pula di Makkah banyak sekali dibuat terowongan.

*****

Jamaah haji yang pergi melontar jumrah berlanjut sampai malam hari. Sampai jam delapan malam jumlahnya tetap saja ramai. Gelombang manusia yang bagai tidak habis-habisnya itu datang dan pergi dari dan ke bagian Mina di sebelah bukit batu, melalui terowongan Mina. Malam itu saya berdiri lagi ke gerbang tenda ditemani anak-anak menunggu adik istri saya yang juga berhaji dengan suaminya. Kami sudah berkomunikasi melalui HP sejak kami berada di Madinah, tapi insya Allah baru malam ini akan bertemu disini, di Mina. Pada saat mereka kembali dari melontar. Kepadanya telah dijelaskan dimana posisi tenda kami berikut tanda-tanda untuk menemukannya. Dan tanda yang paling bagus adalah kami sendiri berdiri di depan menunggu mereka.

Lautan manusia mengalir tak putus-putus. Saya memandangi mereka yang berlalu itu dengan perasaan yang entah bagaimana. Melihat pemandangan seperti ini di malam hari menjadikan haru yang dalam pula di hati saya. Terngiang-ngiang, Labbaika Allahumma labbaik. Kami datang memenuhi panggilan Mu ya Allah. Kami datang beribadah kepadaMu ya Allah. Ke tempat yang jauh ini. Ke lembah yang sehari-harinya sunyi ini. Kami datang memenuhi perintah Mu. Kami taat dan patuh kepada Mu ya Allah. Ya Allah saksikan ketulusan hati kami ini. Ya Allah terimalah amal ibadah kami ini. Ya Allah peliharalah kami, lindungilah kami, maafkanlah kami. Dalam perasaan saya seperti itulah kira-kira doa setiap manusia yang berlalu ini. Saling berdoa untuk kebaikan semua. Dan saya menggumam doa itu dalam hati. Dengan airmata bercucuran memandangi mereka, saudara-saudara seiman dari segala bangsa.

Berkali-kali saya menyeka airmata dengan kain sorban yang terlilit di leher saya. Sambil memandang dan mencari-cari adik ipar dan suaminya. Tiba-tiba dari kejauhan tampak lambaian tangan. Tak pelak lagi itu adalah mereka. Dengan langkah seirama dengan jamaah yang banyak. Makin mendekat ke arah kami. Anak-anak menyambut ‘etek’ mereka itu dengan sukacita. Mereka berpeluk-pelukan. Kami masuk ke tenda untuk beramah tamah. Bercerita pengalaman-pengalaman yang kami alami. Suami adik ipar bercerita bahwa dia nyaris ikut terkorban pagi kemarin seandainya tidak di tolong oleh seorang jamaah dari Afrika yang membimbingnya keluar dari kerumunan manusia dalam keadaan lemas. Saya koreksi, kamu ditolong Allah dengan tangan jamaah dari Afrika itu.

Kami berbincang-bincang agak lama. Sampai akhirnya mereka mohon pamit untuk kembali ke tenda mereka. Kami antarkan mereka ke gerbang. Dan kami lihat mereka tenggelam ke dalam lautan manusia, yang hanya sedikit berkurang pada jam sepuluh malam ini. Menuju ke tenda mereka sekitar dua kilometer dari tempat kami. Mereka akan melalui terowongan Mina.



*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (18)

18. Melontar Jumrah (2)


Hari Senin tanggal 2 Februari, atau tanggal 11 Zulhijjah. Bagian terbesar dari anggota rombongan akan pergi melaksanakan thawaf ifadha dan sa’i hari ini. Mereka berangkat sekitar jam delapan pagi dari Mina. Kami yang sepuluh orang, rombongan saya dan rombongan pak J akan tinggal di Mina. Masih ada lagi pak dan ibu I yang juga tinggal karena ibu I sedang berhalangan bulanan pula. Pak W, petugas penyelenggara, ikut menemani rombongan itu ke Makkah. Sebelum berangkat dia berpesan, seandainya nanti mereka terlambat pulang, agar kami ikut bergabung saja dengan rombongan besar untuk pergi melontar. Pak W sudah pula memberi tahu ustad pembimbing di rombongan besar itu untuk mengajak kami bersama nanti sore.

Setelah rombongan itu berangkat saya meneruskan membaca al Quran. Sudah juz delapan belas. Insya Allah sebelum pulang ke tanah air bisa tamat. Masih ada waktu seminggu lebih lagi untuk menyelesaikannya. Tapi setelah membaca beberapa lembar, dari pengeras suara terdengar takbir. Saya memperhatikan suara takbir itu dengan penuh perhatian. Ya, hari ini adalah hari-hari tasyrik, hari raya yang disunahkan untuk bertakbir. Kalau di negeri kita, seingat saya orang bertakbir sesudah shalat-shalat fardhu pada tanggal 10, 11, 12 Zulhijjah ini. Tapi disini jam sembilan pagi. Tidak berapa lama sesudah takbir itu dikumandangkan terdengar pengumuman dalam berbagai-bagai bahasa. Bahasa Inggeris, Perancis, Turki, Pakistan, India, Indonesia dibacakan bergantian. Isinya mengingatkan pada jamaah yang sudah melontar agar berpindah ke pinggir dan segera meninggalkan area melontar untuk memberi tempat kepada jemaah yang baru datang. Saya yang dari subuh belum melihat keluar ke arah tempat melontar (tenda kami terletak dibagian dalam), bertanya-tanya apakah orang sudah mulai melontar jam segini. Karena ingin tahu saya berhenti membaca al Quran lalu pergi ke dekat pintu gerbang. Pemandangan yang saya lihat sungguh sangat mencengangkan. Jamaah yang bepuluh atau mungkin bahkan sudah beratus ribu banyaknya sudah hadir disini. Jalan raya penuh ditutupi jamaah yang umumnya berpakaian putih-putih. Mereka berjalan berombongan-rombongan. Ada yang membawa bendera kafilah, serta ada yang membawa bendera negara mereka masing-masing. Semua bergerak tak berhenti-henti, baik menuju tempat melontar atau yang sudah keluar dari sana. Terlihat bendera Canada, bendera RRC, bendera Turki, Pakistan, Bangladesh, India, Indonesia. Ada yang membawa plat bertuliskan nama negara saja. Terbaca Hongaria, terbaca Kazakhstan. Dan lain-lain. Subhanallah.

Sudah berdiri dekat gerbang saya jadi ingin keluar. Saya ingin pergi mencukur habis rambut yang kemarin belum sempat saya lakukan. Tempat tukang cukur persis di seberang jalan, dekat jumratul Wustha. Saya menyeberang, memotong arus jamaah yang banyak itu dengan hati-hati. Sekelompok jamaah Turki yang baru selesai melontar melintas di depan saya sambil bertakbir dipimpin oleh satu orang. Allahu Acbar, Allahu Acbar, Allahu Acbar. Orang Turki rupanya sulit memprononsiasikan ‘Akbar’ dan tererosi menjadi ‘Acbar’.

Setelah selesai bercukur gundul, saya kembali ke tenda. Melihat rombongan manusia yang makin bertambah banyak. Untuk menyeberang saya perlu lebih hati-hati. Takbir melalui pengeras suara dari tempat petugas tadi berkumandang berulang-ulang diselingi dengan pengumuman peringatan yang sama dibaca berulang-ulang pula. ‘Para-para haji yang dihormati sekelian.......... dan seterusnya.’ Logatnya malahan lebih mirip bahasa Malaysia.

Saya suka memperhatikan lautan manusia yang bergelombang-gelombang itu. Memperhatikan wajah-wajah yang tidak gentar karena memang tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah. Mereka bahkan tidak surut meski korban sudah berjatuhan. Wajah-wajah patuh, mematuhi keyakinan bahwa ini adalah ibadah kepada Allah. Dan semua berlalu, baik yang baru datang maupun yang berangkat pulang dengan langkah-langkah yang wajar. Dengan ekspresi yang wajar. Tidak dengan kuyu dan loyo dan tidak pula dengan ceria dan sombong. Berkali-kali saya datang ke dekat gerbang untuk memandangnya. Semakin siang semakin ramai. Dan ambulans-ambulans datang dengan sirine dibunyikan dari arah jumrah Aqabah. Beriring-iring. Apakah ada korban musibah lagi? Namun sekali lagi keberadaan ambulas dengan sirinenya itu tidak berpengaruh apa-apa kepada rombongan manusia yang beribu-ribu ini.

Sesudah makan siang, saya diberitahu ustad dari rombongan besar bahwa mereka akan segera pergi melontar dan menanyakan apakah kami akan ikut. Saya jawab bahwa kami ingin menunggu rombongan yang sedang thawaf dulu. Mereka pergi tanpa kami ikuti. Berseragam, kaus biru dan jilbab biru. Hampir dua ratus orang jumlahnya. Saya terheran-heran, apakah mereka akan bisa melontar dengan aman jika pergi dalam rombongan sebesar itu? Mereka berangkat dengan strategi jamaah laki-laki saling berpegangan tangan, memagari jamaah wanita. Saya tetap belum terlalu yakin bahwa mereka akan dapat menyelesaikan melontar itu dengan mudah.

Kira-kira empat puluh lima menit, rombongan itu sudah kembali. Tentu mereka sudah selesai melontar. Ustad pembimbing itu mengatakan bahwa di tempat melontar di atas jumlah jamaah tidak terlalu banyak. Mereka baru saja bisa melontar dari bibir pembatas tempat melontar. Dia menawarkan untuk menemani kami kalau mau pergi melontar sesudah ashar.

Sementara itu kami terima berita buruk. Seorang jamaah wanita, sudah tua, yang tadi thawaf bersama-sama terlepas dari rombongan dan hilang. Para petugas sudah berusaha mencarinya tapi belum berhasil. Akibatnya anggota rombongan lain yang meski sudah selesai thawaf dan sa’i belum mau pulang karena masih berusaha mencari nenek-nenek itu. Jadi sudah tidak perlu kami tunggu rombongan itu dan saya usulkan untuk melontar sesudah ashar seperti yang ditawarkan ustad tadi. Pas sesudah shalat ashar, kami berdua belas ditemani ustad pembimbing itu yang mengajak dua orang petugas lain, melangkah menuju ke tempat melontar. Dia meminta agar kami yang laki-laki memagari yang wanita, persis seperti yang dilakukan rombongan besar tadi. Mendekati jumrah Ulaa ustad itu memimpin untuk masuk kedalam kerumunan orang secara perlahan-lahan. Setiap satu orang yang keluar dari tempatnya melontar kami gantikan sampai akhirnya kami sampai ke bibir pelontaran itu. Wanita-wanita disuruh melontar lebih dulu baru dikuti oleh bapak-bapak (saya, pak J dan pak I). Ternyata cara memasuki area melontar seperti ini sangat efektif dan aman. Menurut istilah ustad itu, bergerak dengan lentur, tidak agresif dan mendekat sampai ke tepi tempat melontar.

Kami segera kembali ke tenda. Saya menanyakan apa yang harus dilakukan sendainya nenek yang hilang tadi itu tetap tidak diketemukan. Kata ustad, kita akan sweeping ke maktab-maktab jamaah Indonesia. Saya tanya lagi pernah tidak, hal yang sama selama ini terjadi. Dia bilang pernah, bahkan sampai dua hari. Saya menawarkan diri untuk ikut membantu jika nanti memang harus melakukan sweeping.

Tapi syukur alhamdulillah, nenek itu ternyata pulang dengan diantar jamaah haji dari Pacitan yang menolongnya persis menjelang maghrib. Dia sampai lebih dulu dari anggota rombongan yang lain.




*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (17)

17. Melontar Jumrah (1)


Menjelang jam empat kami sampai di Mina. Mina masih ramai sekali dengan jamaah yang datang dan pergi untuk melontar. Sejauh mata memandang dari depan kompleks tenda-tenda kami, yang terlihat adalah ribuan manusia. Baik yang di jalan maupun yang berada di jalur jamarat, di bagian bawah. Semua bergerak. Ada yang baru datang ada yang mau berangkat pergi. Yang juga menarik perhatian saya adalah suara sirine ambulans yang tetap ramai. Apakah sampai sore hari ini masih ada lagi korban?

Kami langsung menuju ke tenda. Rencananya kami akan melontar sesudah shalat ashar nanti. Begitu sampai, salah satu jamaah bercerita bahwa dia baru saja menerima sms dari Jakarta yang mengatakan peristiwa musibah Mina sudah ditayangkan tv Indosiar. Katanya lebih dua ratus empat puluh orang korban meninggal dan sebagian besar orang Indonesia. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Cerita tentang bagaimana musibah itu terjadi agak simpang siur.

Ingatan saya kembali melayang ke tahun sembilan puluh. Waktu itu terjadi musibah yang paling besar di terowongan Mina, juga tanggal 10 Zulhijjah. Ketika itu jamaah yang datang dari melontar dan yang akan pergi melontar sama-sama berada dalam terowongan yang panjang itu. Tiba-tiba entah karena apa, konon lampu penerangan dalam terowongan itu mati. Terjadi kepanikan di kalangan para jamaah. Itulah yang jadi pangkal terjadinya musibah yang menyedihkan itu. Ribuan jumlahnya korban yang jatuh ketika itu dan dari jamaah Indonesia juga yang terbanyak. Saya sendiri pada waktu terjadinya musibah itu masih berada di dalam bus yang tidak kunjung menemukan lokasi tenda kami. Bus itu berputar-putar di sekitar Mina sejak jam enam pagi sampai jam sebelas siang ketika akhirnya kami diturunkan kira-kira tiga ratus meter dari tenda jamaah Indonesia yang ditandai dengan bendera merah putih. Selama tertahan dibawa hilir mudik oleh bus itu terdengar suara sirine ambulans tidak pernah berhenti-henti. Kami baru tahu bahwa terjadi musibah dahsyat keesokan harinya dari jamaah yang membaca koran terbitan Saudi.

Melontar jumrah, khususnya pada hari pertama (tanggal 10 Zulhijjah) dan hari ketiga (12 Zulhijjah) memang perlu keberhati-hatian ekstra karena jumlah jamaah yang ingin mengerjakannya pada waktu afdal (waktu dhuha untuk yang pertama dan segera setelah masuk waktu zuhur untuk yang kedua). Tanggal 10, jamaah ingin cepat-cepat pergi melontar kemudian sesegera mungkin pula turun ke Makkah untuk thawaf ifadha. Tanggal 12, mereka yang akan segera meninggalkan Mina (nafar awal) berebutan untuk secepatnya pergi melontar. Yang pertama lebih sulit lagi karena jumrah yang dilontar hanya satu (jumrah Aqabah) dan dari setengah sisi pula. Disinilah tingkat ‘kesulitan’nya bertambah. Namun satu hal yang perlu disadari, ada, bahkan lebih banyak musim haji dimana korban yang jatuh pada saat melontar itu bisa diabaikan. Artinya, dengan keberhati-hatian khusus, insya Allah bisa selamat.

Bagaimana dong terjadinya kecelakaan itu? Seberapa jauh tanggung jawab aparat keamanan Saudi untuk mengamankan pelaksanaan ibadah tadi? Bagi yang belum melaksanakan haji, mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya ketika ratusan ribu umat manusia berkumpul kesatu titik yang relatif sempit pada saat yang hampir bersamaan dengan tujuan yang sama pula. Jumlah itu benar-benar ratusan ribu, dua ratus ribu, tiga ratus ribu dari dua setengah juta jumlah jamaah haji, berdesak-desak. Bagaimana petugas keamanan akan mengamankan manusia sebanyak itu dan berapa banyak petugas yang harus diadakan? Hampir tidak mungkin mereka dikerahkan untuk mengawalnya dan lalu dengan pengawalan diharapkan keadaan akan menjadi aman. Petugas keamanan ada disekitar sana (asykar, polisi) tapi tidak banyak yang bisa mereka perbuat. Lalu bagaimana dong? Lingkungan melontar itu bisa dianggap aman sampai ke jarak dua puluh sampai tiga puluh meter ke dekat jumrah yang akan dilempar karena sampai titik itu arus gelombang manusia masih searah. Di dalam radius dua puluhan meter barulah suasananya rawan karena sebagian dari jamaah itu berbalik setelah selesai melontar. Selama masing-masing individu menguasai suasana, berusaha untuk lentur dengan dorongan-dorongan orang banyak untuk mencari celah, seperti yang umumnya dilakukan oleh sebagian besar jamaah, insya Allah akan selamat. Tapi jangan cepat panik, jangan melawan arus, jangan membuat gerakan-gerakan yang membahayakan seperti mengambil barang jatuh, karena hal-hal inilah yang sering menimbulkan bencana. Suasana panik sangat buruk akibatnya. Itulah yang terjadi di terowongan Mina tahun sembilan puluh. Orang-orang panik yang menerjang kemana saja, menimbulkan kepanikan baru dikalangan yang di terjang, akhirnya berubah menjadi malapetaka, ketika orang-orang yang terjatuh tidak dapat bangkit menyelamatkan diri, akhirnya menjadi korban terinjak-injak.

Melontar jumrah tidak mungkin di drop dari wajib haji. Orang akan tetap datang untuk melakukannya kesana biar sudah banyak jatuh korban sekalipun. Pemerintah Saudi, yang menurut pandangan netral saya, sudah berbuat sangat banyak untuk kemashlahatan jamaah haji dari seluruh pelosok bumi Allah ini, tengah merencanakan membuat tempat melontar itu menjadi tujuh tingkat untuk mengantisipasi musim-musim haji masa mendatang.

*****

Sesudah mandi dan shalat ashar kami yang sepuluh orang ditambah pak W, pergi melontar. Orang tetap masih ramai. Saya mengajak semua anggota berdoa khusyuk-khusyuk untuk keselamatan bersama. Sebagai manusia biasa ada juga rasa ketar-ketir di hati saya. Tapi sudahlah, kepada Allah saya bertawakkal.

Kami mendekati jumrah itu sampai jarak sepuluh meter. Jarak yang relatif aman pada saat itu. Setelah itu saya kawal istri dan anak-anak saya satu persatu untuk melontar dari jarak yang lebih dekat, kira-kira lima meter dari jumrah. Kami terdorong-dorong waktu mendekat itu, tapi alhamdulillah selamat. Saya berusaha untuk berdiri kokoh dengan membuka kaki waktu melindungi mereka. Akhirnya kami berhasil menyelesaikan lontaran itu dan kembali ke tenda.



*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (16)

16. Thawaf Ifadha, Sa’i, Tahallul


Karena tempat duduk di bus hanya lima puluh, sementara kami jumlahnya enam puluh maka sepuluh orang dari anggota rombongan dititipkan untuk bergabung ke rombongan besar. Yang sepuluh orang itu terdiri dari saya sekeluarga dan pak J dengan istri, anak perempuan, adik dan adik iparnya. Semua anggota rombongan pak J adalah wanita. Jadi kami bersama-sama terdiri dari dari dua orang laki-laki dan delapan orang perempuan. Kalau bus yang kami ikuti pagi ini langsung ke Makkah, tidak demikian halnya dengan rombongan yang lain. Rupanya waktu berangkat dari Arafah kemarin malam mereka mengambil jalan yang berbeda dengan kami, sehingga di Muzdalifah kami terpisah, dan pagi ini mereka tidak bisa langsung ke Makkah.

Setelah bersuci, berwudhuk dan menggosok gigi di toilet umum Masjidil Haram saya kembali berkumpul dengan jamaah yang akan melakukan thawaf. Oleh pembimbing kami disarankan untuk thawaf dalam rombongan-rombongan kecil dan nanti kalau sudah selesai dengan sa’i kami akan berkumpul di tempat pertemuan favorit di bawah ‘Jam Gadang’. Ini sangat membantu bagi ustad-ustad pembimbing dan mereka dapat lebih berkonsentrasi menolong jamaah yang sudah tua. Saya dan pak J sepakat untuk bergabung dalam satu rombongan. Seorang anggota penyelenggara dari rombongan kami, pak W, ikut bergabung. Kami mengantarkan dulu istri dan anak saya si Sulung ke dekat ‘Jam Gadang’ karena mereka tidak ikut thawaf. Setelah itu barulah kami masuk ke mesjid, langsung mendekati garis coklat. Orang yang thawaf luar biasa banyaknya. Seluruh pelataran Ka’bah seperti ditutup rapat dengan manusia. Orang banyak itu bergerak pelan sekali. Hampir seluruh laki-laki dalam pakaian ihram. Ternyata yang langsung turun ke Makkah dari Muzdalifah pagi ini banyak sekali. Kami menjalani putaran demi putaran dengan sabar. Saya selalu berusaha mengenali nomor setiap putaran. Pada putaran terakhir saya beritahukan bahwa kita sudah hampir menyelesaikan ketujuh putaran. Pak J minta konfirmasi karena dia menghitung baru lima yang sudah selesai. Anak-anak serta ibu J setuju dengan saya bahwa kita sudah menyelesaikan enam putaran. Akhirnya pak J mengatakan bahwa yang petama sekali tidak dia hitung karena waktu itu dia tidak melihat garis coklat. Dia menanyakan apakah kalau kita tidak melihat garis coklat, putaran itu syah. Saya coba menjelaskan bahwa garis coklat itu hanya alat bantu. Biarpun kita tidak melihatnya, tapi sudah melaluinya tentu putaran itu syah. Pak J bisa menerima. Selesai thawaf kami mundur ke belakang sejajar dengan maqam Ibrahim untuk shalat sunat dua rakaat. Di dekat itu banyak jamaah lain yang shalat. Namun demikian tetap saja ada jamaah yang menerobos melintas di depan orang yang lagi shalat itu.

Sesudah berdoa, kami menuju ke tempat sa’i tapi sebelumnya mampir dulu untuk minum air zam-zam. Tadinya saya memperkirakan bahwa sa’i akan lebih longgar. Ternyata dugaan saya salah. Jamaah yang sa’i sama membludaknya. Kami berdesak-desak mendekat ke ‘bukit’ Shafa. Formasinya tetap sama seperti waktu thawaf. Saya dan pak W di depan. Di belakang saya si Tengah dan si Bungsu. Di belakangnya lagi ibu J dan adiknya. Seterusnya anak dan adik pak J dan dibelakang sekali pak J. Kami ikuti arus manusia yang banyak itu, yang bergerak sangat pelan sekali. Ada sedikit kendala sebenarnya dengan jalur sa‘i dari Shafa ke Marwa ini. Ada beberapa pintu untuk masuk ke mesjid di sepanjang jalur ini. Dan jamaah yang akan ke mesjid memaksakan juga masuk melalui pintu-pintu itu. Maka terjadi tabrakan arus manusia. Pada waktu jamaah sa’i tidak banyak, orang-orang yang masuk itu bisa saja memotong jalan mereka yang sedang sa’i tanpa banyak resiko. Tapi pada saat ramai seperti ini suasananya berbeda. Beberapa kali anak-anak saya terdorong dari belakang sampai tergencet ke punggung saya. Ini disebabkan jamaah di depan saya berhenti karena harus memberi jalan kepada mereka yang masuk, sementara dari belakang tetap mendorong untuk maju. Kalau sudah begitu biasanya banyak jamaah mengangkat tangan kanan dengan kelima jari dipertemukan dan mengatakan ‘suaya’ (maaf kalau salah ejaannya), yang artinya menyuruh yang di belakang bersabar dan tidak mendorong-dorong. Kode itu cukup efektif. Tapi di dekat pintu masuk berikutnya kejadian dorong-dorongan terulang kembali. Saya jadi kehilangan keberanian jadinya. Terlalu berat untuk perempuan-perempuan yang enam orang di belakang saya. Saya usulkan kepada semua agar kita menarik diri saja, tidak jadi melanjutkan sa’i. Dan semua setuju. Mendekati pintu berikutnya saya minta jalan sambil memberi tahu bahwa kami akan keluar. Kami diberi jalan untuk keluar dan langsung menuju ke tempat istri dan anak saya menunggu. Pak W, anggota penyelenggara itu, tanpa menganjurkan untuk mengikutinya, mengatakan bahwa dia akan mencoba sa’i di lantai dua. Saya yang sedikit grogi sehabis berdesak-desakan sebentar ini tidak berminat ikut. Dan yang lain setuju dengan saya.

Terasa lapar. Pagi ini kami hanya sarapan selembar ‘crape’ yang dibagi-bagikan ustad tadi di bus. Kami keluar mencari makanan (sandwich kebab). Lumayan untuk mengganjel perut. Sesudah itu kami istirahat di tempat teduh dari panas matahari, dekat Pemadam Kebakaran. Saya seperti kehilangan semangat dan hanya duduk saja istirahat di tempat itu. Lama juga kami berdiri disana sambil tiap sebentar mengintip kalau-kalau sudah ada yang datang ke bawah ‘Jam Gadang‘. Sampai masuk waktu zuhur, tidak ada yang datang kesana. Kami pindah ke halaman mesjid di luar jalur Shafa – Marwa untuk shalat zuhur. Setelah shalat barulah jamaah rombongan besar dengan jilbab seragam berwarna biru muncul satu persatu. Dan hadir pula ustad pembimbing ahli hadits. Saya ceritakan bahwa kami belum sa’i karena saya tadi takut meneruskannya. Ustad itu mendesak agar kami mengerjakan sa’i sekarang di lantai dua. Dia bilang mereka akan menunggu kami. Saya beritahukan hal itu kepada pak J dan saya ajak dia untuk ikut saja. Ternyata dia setuju. Kami berdelapan naik ke lantai dua untuk mulai lagi sa’i. Ternyata di atas lebih teratur. Meskipun jamaahnya sama mbludaknya tapi tidak ada rombongan jamaah masuk memotong arus. Kira-kira satu setengah jam kami selesaikan sa’i itu. Sesudah bertahalul, kami turun dan mencari rombongan tadi. Ternyata tidak ada orang di tempat itu. Saya mencari-cari sambil memandang berkeliling. Tidak ada siapapun. Ibu J menanyakan nomor HP istri saya. Setelah saya beritahu dia coba menelpon. Tapi tiba-tiba muncul istri dan anak saya. Rupanya mereka menunggu di tempat lain. Rombongan jamaah tadi sudah lebih dulu diantar pulang ke Mina. Tapi ustad tadi dan ustad yang lain masih ikut menunggu kami. Kami segera berangkat menuju Mina dengan bus kecil coaster. Waktu itu saya mendengar berita bahwa pagi tadi telah terjadi (lagi) musibah dengan banyak korban di Mina.



*****

Friday, March 21, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (15)

15. Mabit Di Muzdalifah


Perlu waktu agak lama juga untuk mengumpulkan anggota rombongan mendapatkan busnya masing-masing. Mendekati jam delapan malam baru kami akhirnya meninggalkan Arafah. Jalan menuju Muzdalifah relatif tidak ramai meskipun tidak pula terlalu lancar. Benar-benar sangat kontras dengan waktu saya melaksanakan haji dulu yang jalanan macet bukan main. Mungkin kali ini disamping jalan menuju ke Mina melalui Muzdalifah sudah bertambah, disertai pula waktu keberangkatannya lebih awal. Saya ingat dulu itu kami baru kebagian bus sudah jam sebelas malam dan jalan sudah dipadati banyak sekali bus. Dulu kami hanya singgah sebentar saja di Muzdalifah, sekedar untuk mencari kerikil, meski saya dan istri melakukan shalat maghrib dan isya di jamak ta’khir waktu itu, dengan terlebih dahulu mengingatkan sopir bus agar jangan meninggalkan kami.

Kali ini kami sampai di Muzdalifah menjelang jam setengah sepuluh malam. Bus berhenti di tempat banyak bus-bus lain sudah lebih dahulu berhenti. Kami turun dan menggelar tikar plastik yang sudah disiapkan. Setelah itu saya segera mengajak anak-anak melakukan shalat maghrib dan isya (istri dan si Sulung sudah mulai dapat cuti). Disekitar tempat itu sudah ada jamaah dari bermacam-macam negara. Ada di antara mereka yang sudah mulai tidur.

Baru saja kami selesai shalat seorang ustad pembimbing mengatakan, tempat ini ‘belum’ Muzdalifah karena Muzdalifah mulai beberapa meter lagi ke arah dalam. Dia meminta kami segera pindah. Kamipun mengemasi tikar plastik dan bawaan lainnya dan mengikuti ustad itu. Di tempat yang baru, jemaahnya jauh lebih banyak. Tidak mudah menemukan tempat lapang. Dan tempat itu tidak pula rata karena terletak dekat tebing batu. Akhirnya rombongan kami terpaksa berpencar-pencar. Saya sekeluarga mendapatkan tempat yang ternyata adalah bahu jalan di kaki tebing. Kami gelar kembali tikar di bawah langit lepas. Tempat itu agak remang-remang karena tidak ada lampu disitu. Lampu penerangan jalan terletak agak jauh ke tengah. Ustad tadi masih sempat bergurau, ‘silahkan dinikmati hotel berbintang-bintang ini.’ Tempat itu pas-pasan untuk kami berlima bersempit-sempit. Saya segera ingin mencoba tidur. Ternyata cukup mudah (pada dasarnya saya memang diberi nikmat oleh Allah dengan mudah sekali tertidur, pokoknya asal kepala diistirahatkan, dalam bilangan beberapa menit sudah langsung ‘fly’).

Jam satu malam saya terbangun karena rasa dingin yang sangat menusuk. Benar-benar dingin luar biasa. Biarpun saya meringkuk melipat badan rasa dingin itu tetap terasa. Apa lagi saya hanya berpakaian ihram dan saya tidak ingin menutupi kepala. Saya berdoa (sambil menangis lagi), ya Allah berilah hamba kekuatan. Ya Allah hamba ini sedang mematuhi perintah Engkau, sedang beribadah kepada Engkau. Berilah hamba kekuatan ya Allah. Allah Maha Besar, entah dengan cara bagaimana, saya tertidur kembali. Tapi dua jam kemudian, jam tiga saya terbangun lagi, oleh serangan dingin yang lebih dingin dari tadi. Saya ulang doa yang sama. Dan tertidur pula kembali. Setelah itu jam empat kembali terbangun. Subhanallah, kali ini tidak karena dingin. Saya ingin buang hajat kecil. Nah, bagaiman caranya? Saya bawa botol air kecil yang isinya sudah tinggal sedikit dan pergi ke bongkah batu besar yang agak terpisah dari kumpulan jamaah. Saya harus memanjat tebing untuk mendapatkan tempat yang benar-benar terlindung dan melepaskan hajat sambil duduk diatas batu besar. Waktu saya kembali istri dan anak saya mengatakan ingin buang air kecil juga. Mereka pergi ke bus yang terparkir beberapa puluh meter dari tempat itu. Baru saya ingat bahwa bus itu ada toiletnya.

Saya sudah tidak tidur lagi. Para jamaah satu persatu terbangun. Pemandangan itu mungkin replika kecil bangkitnya kita nanti di Padang Mahsyar. Ustad pembimbing mengajak saya mencari air untuk berwudhuk. Katanya dia tadi malam melihat mobil tangki tidak jauh dari tempat bus parkir. Kami berjalan kesana. Mobil tangki itu kami temukan, tapi tidak ada air yang bisa kami dapatkan. Mobil itu ternyata bukan mobil penyuplai air wudhu untuk jamaah seperti yang diduga ustad tadi. Akhirnya kami putuskan untuk bertayamum saja. Jam setengah enam lebih sedikit masuk waktu subuh. Azan berkumandang. Ternyata sama lagi seperti di tenda, bahkan disini mungkin lebih ramai yang azan. Kami shalat qabliyah subuh. Dan shalat subuh berjamaah dengan imam yang banyak (lebih dari satu). Sesudah shalat subuh para jamaah bersiap-siap berangkat. Kamipun mengemasi tikar dan barang-barang sebelum melangkah ke bus yang rupanya stand by semalaman disini. Sebuah sistim transportasi yang sama sekali berbeda dengan tahun lalu. Sampai di bus, anak-anak saya setengah protes kepada ustad pembimbing dengan mengatakan bahwa di Muzdalifah ini waktu yang paling baik untuk berdoa adalah sesudah shalat subuh sampai terbit matahari. Ustad itu dengan tersenyum mengatakan, kalau kalian masih ingin berdoa lagi, pergilah tapi jangan lama-lama. Mereka bertiga turun dan pergi kembali untuk berdoa. Saya biarkan saja mereka pergi bertiga. Setelah kira-kira sepuluh menit mereka kembali ke bus. Jamaah lain toh belum semua hadir.

Sudah hampir terang waktu semua anggota rombongan naik ke bus. Kami punya dua kemungkinan sekarang. Kalau jalan ke Makkah tidak macet, maka kami akan langsung kesana untuk thawaf ifadha. Tapi kalau macet kami akan kembali ke tenda di Mina untuk nanti pergi melontar. Ternyata jalan ke Makkah sangat lancar. Kami sampai di Makkah saat khatib sedang berkhotbah (Idul Adha). Bus kami berhenti kira-kira dua ratus meter dari Masjidil Haram. Kami mengatur rencana untuk masuk mesjid untuk thawaf. Tapi sebelumnya harus ke kamar kecil dulu untuk berbersih-bersih dan berwudhuk.



*****

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (14)

14. Wukuf


Agak lama kami menunggu bus yang akan membawa ke Arafah. Karena jalan macet sekali. Bus-bus itu berjalan sedikit lalu berhenti, berjalan sedikit, berhenti lagi. Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah macet seperti ini, yang nyaris tak bergerak ini sampai ke Arafah? Kalau benar, betapa besarnya resiko. Saat itu sudah lebih jam sembilan. Nah, kalau lalu lintas macet seperti ini berjam-jam, kapan sampainya di Arafah? Tapi saya tidak yakin macet ini sampai kesana yang jaraknya sekitar lima belas kilometer dari Mina. Paling tidak, melihat fihak penyelenggara santai-santai saja, saya yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Jam sepuluh kurang, bus kami datang. Perlu sekitar lima sampai sepuluh menit sampai semua anggota rombongan naik ke atas bus. Inilah rupanya yang menyebabkan kemacetan. Pada waktu sebuah bus menaikkan penumpang, bus tersebut menghalangi bus dibelakangnya. Setelah semua anggota rombongan naik, bus itu berjalan perlahan-lahan sampai persimpangan ke arah Arafah yang terletak lebih kurang satu kilometer dari tempat kami naik. Ternyata kemacetan itu hanya sampai menjelang persimpangan itu saja dan sesudah itu jalan lancar sampai ke Arafah. Jalan menuju ke Arafah dari Mina dibuat berlapis-lapis banyak sekali. Jalan itu dibangun demikian untuk mengurangi kemacetan. Kami melintas di hadapan mesjid Namira, mesjid yang sebagian berada di Arafah dan sebagian lagi di Tanah Haram. Tapi kami tidak berhenti disana melainkan langsung menuju tenda maktab 106 di area tenda-tenda jamaah Indonesia. Kami harus berjalan sekitar seratus meter dari pinggir jalan menuju ke tenda. Disana sudah banyak jamaah dari kafilah lain. Saat itu sudah hampir waktu zuhur, sudah mendekati saat dimulainya wukuf, rukun haji itu.

Kami mendapatkan sebuah tenda besar untuk semua jamaah rombongan kami yang 60 orang. Tenda ini juga dilengkapi kasur dan bantal. Salah satu tenda, (bukan tenda kami) bahkan dilengkapi kasur spring bed. Mungkin untuk jamaah Super Plus agaknya. Tidak ada pemisah antara tempat laki-laki dan perempuan dalam tenda ini. Jemaah ibu-ibu menempatkan tas mereka di tengah-tengah sebagai pembatas.

Tidak berapa lama kemudian masuk waktu zuhur. Azan berkumandang dari tiap-tiap tenda seperti di Mina. Ustad pembimbing kelompok kami menyampaikan khotbah Arafah. Seputar ma’na wukuf dan apa saja yang seharusnya dilakukan. Intinya, ini adalah kesempatan di antara banyak kesempatan lain selama melaksanakan rangkaian ibadah haji, untuk bertaubat. Untuk minta ampun atas segala kesalahan dan kekhilafan masa lalu. Untuk memohon kepada Allah agar diteguhkan iman dan taqwa. Agar Allah meridhai amalan dan ibadah yang dilakukan. Agar Allah membalasnya dengan pahala di akhirat nanti. Di samping itu para jamaah diingatkan untuk banyak-banyak berzikir, bertafakur, merenung, menghitung-hitung apa saja yang sudah disiapkan untuk dibawa menghadap Allah kelak. Sesudah khotbah kami lakukan shalat zuhur dan ashar, dijamak dan diqasar dan setelah itu masing-masing jamaah langsung menerapkan apa yang baru saja dinasihatkan. Berzikir dan berdoa. Banyak yang meneteskan air mata dalam keheningan zikir dan doa itu.

Saya ingat waktu melaksanakan haji tahun 90, saya dengan beberapa jamaah lain keluar dari tenda dan duduk di bawah pohon yang waktu itu masih rendah untuk berzikir. Tahun 90 itu haji dilaksanakan di bulan Juni dengan temperatur lebih dari 50 derajat Celcius. Kali ini saya ingin mengulangi duduk di bawah pohon di luar tenda. Dan sayapun keluar dari tenda. Tapi saya kecewa karena tenda kami dibatasi pagar dan di dalam area berpagar itu tidak terdapat sebatang pohonpun. Saya tidak berusaha untuk keluar dari pagar dan kembali ke tenda. Biarlah saya berzikir di dalam saja. AC di tenda ini kebetulan tidak berfungsi, karena kelihatannya ada masalah dengan aliran listrik. Kipas angin yang disediakan juga tidak berfungsi. Tapi alhamdulillah udara di dalam tenda tidak terlalu panas meskipun di luar sinar matahari terasa cukup terik.

Wukuf ini akan berlangsung sampai waktu maghrib nanti, sekitar lima setengah jam lagi. Waktu yang cukup panjang. Saya berniat, lalu berusaha untuk tidak tertidur. Sesudah berdoa dan berzikir saya kembali membaca al Quran meneruskan tadarusan. Kalau mata saya sudah terasa capek, saya keluar sebentar untuk melemaskan otot-otot dan setelah itu kembali lagi dengan zikir, doa dan tadarusan.

Kira-kira jam lima sore seorang di antara ustad pembimbing, memimpin kami untuk berdoa. Lebih tepatnya dia berdoa dan kami mengaminkan. Dia berdoa dengan kata-kata yang dirangkai sedemikian rupa dengan kalimat-kalimat yang menyentuh. Ditambah dengan kepandaiannya berdoa (berorasi) dan sambil terisak-isak pula, membuat suasana haru segera muncul. Dan para jamaahpun bertangisan tanpa terkecuali. Saya yang sejak berangkat dari Mina berkali-kali tercegut dalam linangan air mata, kali ini ikut terisak-isak. Cukup lama waktu berdoa ini. Dan diakhiri dengan saling bermaaf-maafan sesama jamaah. Saling bermaafan antara suami dengan istri. Antara anak-anak dan orang tua. Suasana benar-benar sangat mengharukan. Di penghujung doa itu kami dianjurkan untuk melanjutkan dengan doa sendiri-sendiri di luar tenda. Kamipun keluar. Ternyata suasana haru terjadi di semua tenda. Di luar kami mendengar para ustad dari masing-masing kafilah memimpin doa yang mengharukan pula. Meski ada yang dengan penekanan dan bahasa yang kurang ‘indah‘ dibandingkan dengan ustad kami tadi (yang memang bolehlah).

Tidak berapa lama kami dapat kabar duka. Seorang jamaah dari rombongan lebih besar (partner rombongan kami) meninggal dunia sesaat setelah berakhirnya pembacaan doa di tendanya. Orang tua itu, yang memang kurang sehat, menghembuskan nafas terakhir dihadapan istri dan anaknya, benar-benar sesudah mengaminkan doa yang mengharukan. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mudah-mudahan beliau akan bangkit di padang mahsyar nanti dengan berpakaian ihram sambil melantunkan talbiyah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW. Saya menyempatkan untuk melayat ke tendanya yang agak terpisah dari tenda kami.

Menjelang berakhirnya waktu wukuf, sayangnya, banyak di antara jamaah yang melampiaskan rasa sukacita (?) dengan berfoto-foto. Apa lagi ada bintang sinetron terkenal di antara jamaah. Mereka menyempatkan berfoto bersama dengan aktor itu. Laki-laki dan perempuan. Suasananya jadi agak bising, dengan senda gurau dan tawa. Pada hal baru saja bertangis-tangisan. Ya begitulah.

Maghrib segera menjelang. Kami berkemas-kemas untuk segera meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Kami tidak shalat maghrib disini tapi nanti di Muzdalifah akan dijamak ta’khir. Beriring-iringan kami melangkah menuju bus yang akan membawa kami ke Muzdalifah.


*****