Friday, February 25, 2011

KENANGAN MASA PRRI (4)

4. Di Lengangnya Malam

Jam sembilan malam di malam yang gelap. Malam yang kelam. Kelam pirik kata orang di kampung. Gelap yang sedemikian rupa sehingga seseorang tidak bisa melihat tangannya sendiri yang diacungkan ke mukanya. Gelap karena langit tak berbintang, ditutupi awan. Tapi bukan malam yang sunyi. Suara kodok heboh di mana-mana. Kodok selalu berpesta pora di musim penghujan seperti sekarang ini. Dan suara jengkerik yang nyaring bersahut-sahutan. Kadang-kadang terdengar pula suara kepakan kelelawar.

Junaidi berjalan menggunakan naluri di jalan yang lanyah di dalam gelap itu. Menuju rumah tuan Asmar, wali jorong. Rumah itu agak terjorok ke dalam di tengah kampung. Melalui parak atau kebun betung. Suara desir daun betung ditiup angin ikut menambah ramai orkes malam di dalam gelap gulita itu. Ada tebat besar di samping rumah tuan Asmar. Junaidi berjalan meraba-raba di sisi tebat agar tidak jatuh terjerembab masuk air. Tuan Asmar memelihara anjing, yang dulu, sebelum perang sering dibawanya pergi berburu. Anjing itu menyalak ketika Junaidi mendekat ke rumah itu tapi hanya sebentar. Mungkin anjing itu segera mengenali bahwa yang datang adalah orang yang biasa datang. Junaidi sudah sampai di halaman rumah tuan Asmar tapi dia harus memutar. Kamar tuan Asmar terletak di sisi sebelah ke hilir.

Junaidi bergeritik pelan di dinding dekat kamar tuan Asmar. Lalu menunggu beberapa puluh detik. Setelah itu dari dalam terdengar pula ketukan halus di dinding papan rumah itu. Terakhir Junaidi mengulangi lagi dengan ketukan pelan-pelan. Ditunggunya lagi beberapa saat sampai akhirnya terdengar suara pelan dari arah kamar.

‘Engkau?’ suara itu setengah berbisik.

‘Iya,’ jawab Junaidi, juga hampir berbisik.

‘Lalulah ke pintu,’ perintah dari dalam.

Junaidi sudah diberi tahu semua prosedur itu waktu dua hari yang lalu dia datang ke rumah ini. Dia harus datang dengan sangat rahasia, tidak boleh dilihat siapapun. Karena kalau ketahuan, akan buruk akibatnya untuk tuan rumah dalam suasana perang seperti sekarang ini. ‘Lalulah ke pintu’ yang dimaksud tuan Asmar adalah melewati pintu kandang. Pintu kandang itu terletak di bagian belakang rumah, dipasak dengan tongkat dari dalam rumah. Tuan Asmar berjalan berjinjit-jinjit ke dekat pasak kandang itu dan menarik tongkatnya. Junaidi mendorong pintu itu, lalu masuk, menutup pintu kembali, untuk kemudian meraba-raba ke arah tangga. Ada tangga untuk masuk ke rumah, ke bilik di bagian belakang rumah. Pintu masuk dari kandang ke bilik itu adalah lantai rumah yang dipotong dan bisa diangkat. Biasanya lantai yang dipotong jadi pintu itu ditutupi dengan tikar.

Junaidi naik ke rumah. Bilik itu diterangi sebuah lampu togok yang nyalanya sangat kecil. Tuan Asmar sudah duduk di lantai bilik itu.

‘Sudah benar-benar siap, kau?’ tuan Asmar bertanya dengan berbisik.

‘Sudah, tuan,’ jawab Junaidi, juga berbisik.

Mereka melanjutkan pembicaraan dengan berbisik-bisik.

‘Apa saja yang kau bawa dalam buntilmu ini?’

‘Pakaian tiga pasang dan kain sarung,’ jawab Junaidi.

‘Cukuplah itu. Kau tidak membawa-bawa uang, kan?’

‘Ada, dua ratus rupiah.’

‘Ya sudahlah. Tidak ada kau bawa barang-barang berharga, kan? Tidak kau bawa barang emas misalnya…’

‘Hanya jam tangan ini. Yang lain tidak ada, tuan.’

‘Apakah kau memerlukan benar jam tangan itu?’

‘Kenapa tuan?’

‘Untuk berjaga-jaga saja. Supaya tidak menjadi sesuatu yang menimbulkan perhatian. Yang aku khawatirkan, dalam keadaan tidak seperti biasanya di luar sana kawan-kawan pun bisa saja tergoda berbuat jahat. Faham kau?’

‘Akan ambo simpan di kantong saja kalau begitu tuan. Kalau memang tidak ada yang memakai jam tangan, tidak akan ambo pakai.’

‘Baiklah kalau begitu. Begini….. Kau tidur saja dulu di sini. Tan Basa akan datang lewat tengah malam nanti.’

‘Baik, tuan.’

‘Ada yang akan kau tanyakan?’

‘Tidak ada, tuan.’

‘Kau tentu sudah dinasihati orang tua kau tadi di rumah. Aku tidak akan menambahkan apa-apa lagi selain mengingatkan kau agar pandai-pandai menjaga diri. Yang akan kau sabung adalah nyawamu. Senantiasalah kau mengingat Tuhan Allah.’

‘Ya, tuan. Ambo pegang teguh nasihat tuan.’

‘Sudahlah…... Aku akan kembali ke bilikku dulu.’

Tuan Asmar meninggalkan Junaidi di dalam bilik itu. Dia keluar dengan berjinjit-jinjit kembali ke kamarnya.

Junaidi duduk bersandar ke dinding. Sambil menerawang. Mengingat langkah yang sudah dibuatnya sampai detik itu. Sejak dia berbicara menggunakan bahasa rahasia dengan tuan Asmar dua hari yang lalu. Bahasa kode yang diketahuinya dari temannya Tamrin yang dulu mengajaknya untuk ikut ke luar. Tamrin sudah ikut bergabung dengan tentara luar sejak tiga bulan yang lalu. Tamrin dulu mengajarkan, bagaimana caranya membuka pembicaraan dengan tuan Asmar seandainya suatu hari dia juga ingin ikut.

Mulanya, tuan Asmar tidak menanggapinya. Mungkin beliau tidak percaya bahwa Junaidi akan ikut-ikutan lari ke hutan. Bukankah dia seorang guru? Junaidi bercerita singkat tentang pengalamannya ditangkap dan dipekerjakan tentara APRI hari itu. Dan keinginannya untuk ikut bergabung dengan tentara luar dikarenakan pengalaman pahitnya itu. Tuan Asmar menanyakan kesungguh-sungguhannya, yang dijawabnya bahwa dia sangat bersungguh-sungguh. Wali jorong itu akhirnya percaya, bahkan mengatakan seandainya dia siap dia bisa langsung ikut malam itu juga.

Tapi Junaidi baru siap hari itu. Waktu mereka bertemu dan berbicara dengan berhati-hati dua hari yang lalu, tuan Asmar memberi tahu agar datang paling cepat jam sembilan malam. Lalu diberitahunya pula kode yang akan digunakan. Maksudnya agar jangan sampai ada orang kampung yang tahu atau melihat bahwa Junaidi datang ke rumah tuan Asmar sebelum dia menghilang dari kampung.

Tadi dia sudah berpamitan dengan ayah dan mak. Sudah berpergilah bertinggallah. Mak terlihat lebih tegar di saat-saat terakhir ini. Sejak kedatangan mak dang Endah Kayo tadi sore. Mak hanya berpesan agar dia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Allah. Tidak melupakan sembahyang. Ayah pun berpesan begitu pula. Dalam keadaan takut, dalam keadaan bahaya, sembahyang itu bahkan boleh dikerjakan dalam keadaan berjalan. Begitu ketetapan Tuhan Allah di dalam al Quran. Jadi, kata ayah, jangan sekali-kali sampai kau meninggalkan sembahyang. Kalaulah Tuhan Allah berkehendak, engkau terkorban, ayah doakan agar kau menjadi seorang syuhada. Begitu kata ayah memberinya nasihat. Disalaminya ayah dan mak dengan takzim. Dia minta doa restu dan minta maaf. Minta agar diikhlaskan seandainya terjadi apa-apa dengan dirinya selama dia pergi meninggalkan rumah. Dan mak sungguh sangat tegar. Beliau tidak meneteskan air mata sedikitpun.

Dan sekarang dia sudah berada di sini. Di rumah tuan Asmar. Menunggu rombongan tentara luar yang akan membawanya ikut pergi. Dan dia sudah siap untuk sehidup semati dengan mereka. Niatnya, melawan kemungkaran. Melawan kelaliman dan kesemena-menaan seperti yang telah dialaminya sendiri. Sudah disaksikannya korban berjatuhan di kampungnya. Anak-anak muda teman sepermainannya.

Dia tahu, yang dihadangnya adalah kesulitan. Tentara luar itu tinggal di hutan. Mungkin bukan di tempat yang layak. Mungkin tidak jelas bagaimana makan minumnya. Dan dia sudah siap. Kalau semua makan rumput hutan dia akan ikut makan rumput hutan. Kalau semua tidur di alam terbuka dia akan ikut tidur di alam terbuka. Dan semua telah diawalinya sejak menapakkan kaki dari rumah orang tuanya tadi. Dengan bismillah.

Malam semakin larut. Di luar terdengar suara kodok bersahut-sahutan, tidak berhenti-henti dari tadi. Dan suara jengkerik. Dan suara lolongan anjing di kejauhan.

Junaidi tidak berusaha tidur. Dia ingin menunggu sampai rombongan itu datang. Mungkin tiga jam lagi. Digiringnya ingatannya ke awal peperangan ini.

Terbayang di pelupuk matanya ketika puluhan pesawat terbang APRI menderu dari arah timur, melintas di udara. Saat itu dia sedang berada di atas bendi di Parit Putus akan menuju Bukit Tinggi. Pesawat-pesawat itu rupanya datang untuk membom pemancar RRI di Simpang Limau. Entah kenapa pemancar itu yang jadi sasaran. Melihat pesawat-pesawat itu meraung-raung di udara dan mendengar suara tembakan, mak kusir memutuskan untuk kembali ke Biaro. Mengerikan sekali pemandangan ketika itu. Kuda-kuda bendi bagaikan dipacu kusirnya menjauh dari Bukit Tinggi.

Beberapa pekan kemudian suasana perang semakin terasa. Tiap hari terdengar suara letusan mortir ditembakkan dari Bukit Tinggi ke arah Lasi di kaki gunung Marapi. Dimana-mana orang membicarakan peperangan. Kampung jadi ramai karena orang-orang dari kota-kota pulang ke kampung. Orang berharap di kampung bisa terhindar dari suasana perang.

Dan dia ingat Tamrin, temannya di Sekolah Rakyat. Junaidi melanjutkan sekolah ke SGB di Bukit Tinggi, sedangkan Tamrin melanjutkan ke SMP di Tanjung Alam. Ketika perang itu pecah, Tamrin sudah duduk di kelas tiga SMA B Bukit Tinggi, tapi dia tidak bisa melanjutkan sekolah karena Bukit Tinggi sudah diduduki tentara APRI. Tamrin memutuskan untuk ikut bergabung dengan tentara PRRI. Diajaknya Junaidi ikut. Alasannya karena negeri kita diserang dan kita diperangi, jadi kita ikut membela negeri. Alasan Tamrin hanya seperti itu. Junaidi faham dengan apa yang dikatakan Tamrin. Tapi dia sedang menikmati pekerjaannya sebagai guru. Dia berkeyakinan guru tidak akan terganggu oleh peperangan.

Ternyata dugaannya salah. Sebagai remaja berumur sembilan belas tahun dia tidak aman sedikitpun. Belum terlalu fatal yang dialaminya. Dan dia tidak ingin sampai kejadian yang benar-benar fatal itu menimpa dirinya.

*****

No comments: