Thursday, November 20, 2008

SANG AMANAH (67)

(67)

Anak itu biasanya memang suka nekad. Beruntung mereka melihat ibu Purwati sedang berjalan dari kantor Tata Usaha menuju ke arah kantor guru. Kedua anak itu mempercepat langkah mereka mendekati ibu Purwati. Ibu Purwati kebetulan melihat ke arah mereka secara tidak sengaja.

‘Maaf buk. Boleh kami menanyakan sesuatu?’ Rinto langsung mengajukan pertanyaan.

‘Apa yang mau kamu tanyakan?’ tanya ibu Purwati sambil menatap tajam ke arah Rinto.

‘Di kalangan teman-teman beredar desas-desus bahwa…bahwa….,’ Rinto kehilangan kata-kata.

‘Bahwa apa?’ ibu Purwati setengah membentak.

‘Bahwa ada anak baru…katanya keponakan ibu… yang tadi dibawa ke rumah sakit sebelum masuk kelas. Apa memang benar ada buk?’ Rinto berhasil menyusun kata-kata.

‘Dari siapa kamu dengar?’ tanya ibu Purwati balik bertanya.

‘Dari teman-teman buk. Teman-teman lagi ramai membicarakan berita itu,’ jawab Rinto.

‘Baik. Kamu bilang kepada teman-teman kamu bahwa tidak ada anak baru yang di terima di sekolah ini hari ini. Tidak ada anak yang baru diterima di sekolah ini. Semua yang bersekolah di sini adalah murid-murid lama,’ jawab ibu Purwati.

‘Bagaimana dengan anak sekolah yang tadi pagi jatuh pingsan lalu dibawa ke rumah sakit. Katanya itu keponakan ibuk?’

‘Kamu melihatnya?’ tanya ibuk Purwati.

‘Ada teman yang melihat buk. Bukan saya,’ jawab Rinto.

‘Tadi pagi ada seorang anak yang ingin dimasukkan oleh orang tuanya ke sekolah ini. Orang tuanya itu saudara sepupu saya. Anak itu tadi pagi sakit dan jatuh pingsan. Tapi dia belum diterima di sekolah ini,’ jawab ibu Purwati hati-hati.

Agaknya dia tidak ingin berita ini menjadi rancu dan berubah menjadi tidak menguntungkan bagi dirinya.

‘Kabarnya lagi anak itu….korban narkoba, buk. Apa benar?’ Rinto makin berani.

‘Kamu bertanya mewakili OSIS? Atau hanya sok jadi wartawan?’ ibu Purwati balik bertanya.

‘Maaf….saya pengurus OSIS, buk. Tapi saya menanyakan ini bukan sebagai pengurus OSIS. Maksud saya….. keterangan ibuk ini nanti akan saya sampaikan kepada pengurus OSIS untuk menjernihkan desas-desus yang sedang beredar,’ jawab Rinto sedikit gugup.

‘Dengar. Walaupun ayah anak yang tadi pagi datang ke sini itu sepupu jauh saya, saya tidak kenal dengan anaknya. Saya baru melihatnya tadi pagi. Jadi saya tidak tahu persisnya apakah dia itu korban narkoba atau bukan. Bagaimana? Cukup puas?’ ibu Purwati ingin agar wawancara itu segera diakhiri.

‘Baik buk. terima kasih buk,’ jawab Rinto sambil menarik tangan Rano untuk berlalu dari tempat itu.

Beberapa anak murid kelas lain yang juga ikut mendengar wawancara singkat tadi itu ikut membubarkan diri.

Ibu Purwati meneruskan langkahnya ke ruang guru. Masih tiga menit lagi sebelum jam istirahat pertama berakhir. Di ruang guru juga sedang terjadi sidang darurat. Guru-guru sedang membahas berita yang sama. Pak Mursyid juga hadir dan kelihatannya dia yang banyak memberikan penjelasan. Waktu ibu Purwati masuk mata guru-guru itu semua memandang ke arahnya. Ibu Purwati tersenyum kecut dan membuka suara.

‘Kayaknya lagi pada ngomongin saya, ya?’ katanya.

‘Ini lho mbak. Bapak-bapak dan ibu-ibu ini pada menanyakan apa yang terjadi tadi pagi. Maksudnya dengan…. pak kolonel Sudibyo dan anaknya tadi pagi itu,’ pak Mursyid mencoba memberi keterangan pendahuluan.

‘Iya.. ada apa tho, bu?’ tanya pak Muslih.

‘Baik. Saya jelaskan secara ringkas. Tadi pagi ada sepupu saya, ingin memasukkan anaknya ke sekolah ini. Sepupu saya ini menelpon saya tadi malam. Anak itu tadinya sekolah di SMU 235 tapi dikeluarkan karena ada kasus. Saya tidak diberi tahu sebelumnya kasusnya itu apa. Saya persilahkan dia datang untuk bertemu dengan bapak kepala sekolah langsung. Nah, tadi pagi mereka, bapak dan anak itu datang. Tapi pak Umar kebetulan sedang tidak ada. Waktu menunggu pak Umar anaknya itu jatuh sakit dan pingsan, yang saya sekali lagi tidak tahu sakit apa. Dari omongan anak itu yang banyak ngawurnya serta analisa pak Mursyid, saya percaya bahwa anak itu adalah pengguna obat-obat terlarang jenis obat suntik. Tadi anak itu langsung dibawa ayahnya, sepupu saya itu. Saya rasa mereka langsung ke rumah sakit, tapi saya tidak dapat berita lagi dari mereka,’ ungkap ibu Purwati.

‘Ooh begitu. Tapi tadi belum sempat bertemu pak Umar?’ tanya pak Muslih lagi.

‘Pak Umar datang waktu mereka sudah mau berangkat. Mereka tidak sempat berbicara apa-apa,’ jawab ibu Purwati.

‘Jadi anak itu belum ketahuan apa diterima atau tidak di sini?’ tanya pak Muslih.

‘Belum. Orang saudara saya itu belum sempat berkenalan dengan pak Umar sudah keburu harus pergi lagi kok,’ jawab ibu Purwati pula.

‘Tapi harusnya kalau memang madatan begitu biar nanti berusaha minta tempat lagi tidak usah diterima itu,’ komentar pak Hardjono.

‘Mestinya begitu. Tapi bagaimanapun itu kan wewenangnya pak Umar sebagai kepala sekolah untuk menetapkan,’ jawab ibu Lastri pula.

‘Pak Umar nggak komentar apa-apa bu?’ tanya pak Hardjono.

‘Nggak tuh. Tapi mau komentar apa? Kan belum sempat ngomong dengan orang tua anak tadi itu,’ jawab ibu Purwati.

‘Barangkali sesudah ibu Purwati beritahu bahwa orang itu ingin memasukkan anaknya ke sini beliau memberi pendapat. Akan menerima atau akan menolak,’ tambah pak Hardjono pula.

‘Tidak ada. Pak Umar tidak mengatakan apa-apa,’ jawab ibu Purwati lagi.

‘Kalau pendapat ibu sendiri bagaimana? Apakah akan diajukan lagi agar anak itu diterima di sini?’ tanya pak Muslih pula.

‘Bapak-bapak! Harap diingat. Saya bukan yang mengajukan. Waktu saudara sepupu saya itu mengatakan akan memindahkan anaknya ke sekolah ini, saya katakan silahkan saja dibawa, nanti saya kenalkan dengan bapak kepala sekolah. Dan itu yang dia lakukan. Dia datang tadi pagi membawa anaknya itu. Saya tidak tahu kalau anaknya itu pengguna narkoba. Seandainya anak itu bukan anak yang bermasalah, untuk menerimanya di sekolah ini adalah wewenang pak kepala sekolah. Biar pak Umar yang menentukan. Tapi sebelum sempat bertemu pak Umar anaknya tumbang seperti tadi itu. Jadi belum ada langkah apapun yang diambil. Dia belum mengajukan permohonan untuk memasukkan anaknya secara resmi ke pak Umar, jadi belum ada apa-apa,’ jawab ibu Purwati mulai merasa kurang enak karena menghadapi pertanyaan yang bertubi-tubi itu.

Lonceng masuk berbunyi. Guru-guru itu bersiap untuk pergi mengajar ke kelasnya masing-masing. Termasuk ibu Purwati yang harus mengajar di kelas satu D. Ibu Purwati jadi agak salah tingkah. Kejadian pagi itu betul-betul diluar dugaannya dan sepertinya semua orang, baik guru maupun murid rasanya hari ini memandang sinis kepadanya. Atau mungkin juga itu hanya perasaan ibu Purwati saja.


*****


Sesudah shalat isya ada acara ta’ziah ke rumah pak Rahardjo. Ibu mertua pak Rahardjo meninggal dunia tadi pagi dan jenazahnya sudah di kebumikan tadi siang. Adalah kebiasaan penghuni kompleks perumnas Jatiwangi, apabila ada yang kemalangan seperti itu, maka malamnya diadakan acara ta’ziah. Jemaah mesjid al Muhajirin datang ke rumah duka untuk menghibur anggota keluarga yang kemalangan. Acaranya biasanya diisi dengan ceramah. Biasanya yang memberi ceramah adalah imam mesjid al Muhajirin, bergantian antara pak Umar dan pak Abdus Salam. Pada malam hari ini giliran pak Umar yang memberikan ceramah atau ‘siraman rohani’ yang berkaitan dengan kematian.

Isi ceramah agama dalam rangka ta’ziah itu berisi peringatan bahwa masalah ‘mati’ adalah sesuatu yang sangat biasa. Sudah merupakan ketetapan Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Jadi pada hakikatnya menemui kematian itu adalah suatu kepastian yang akan jatuh kepada setiap makhluk dan hanyalah merupakan soal waktu, kapan giliran siapa. Oleh karena itu pada saat datangnya kematian kepada seseorang anggota keluarga yang dicintai tidak ada yang dapat diperbuat selain sabar dan bertawakal kepada Allah. Karena seandainya seseorang yang ditinggalkan orang yang dicintainya dengan kematian itu protes maka tidak ada yang sanggup mengembalikan orang yang sudah mati itu hidup kembali. Diingatkan pula bagaimana seyogianya manusia yang masih hidup, yang masih sehat wal’afiat mempersiapkan dirinya menghadapi kematian, yang pasti akan mendatanginya pula suatu saat yang entah kapan waktunya. Yakni dengan memelihara iman kepada Allah SWT, mematuhi segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Akhirnya dalam ceramah itu diingatkan bagaimana hubungan antara seseorang yang sudah meninggal dengan sanak keluarga yang ditinggalkannya. Sesuai dengan salah satu hadits nabi Muhammad SAW yang mengatakan; ‘Apabila mati anak Adam maka putuslah segala amalannya kecuali tiga perkara. Yaitu sedekah jariah atau pemberian yang ikhlas karena Allah, maka selama yang disedekahkan itu masih bermanfaat kepada orang yang masih hidup, niscaya keutamaan amalan yang dilakukan orang lain itu masih mengalir kepada yang bersedekah semasa hidupnya itu. Yang kedua ilmu yang bermanfaat yang pernah diajarkannya. Seperti ilmu tulis baca, ilmu agama, atau mungkin ilmu masak memasak yang diajarkan seorang ibu kepada tetangganya atau anak-anaknya, maka selama ilmu itu masih diamalkan maka keutamaannya masih akan tetap mengalir kepadanya. Yang terakhir adalah anak yang shalih yang senantiasa mendoakannya, maka selama anak itu berdoa bagi kebaikan orang tuanya, maka orang tua yang telah meninggal itu masih akan dapat pahala amalan dari anak-anak yang mendoakannya itu, insya Allah.

Maka kepada anggota keluarga yang ditinggalkan, terutamanya kepada putera puteri kandung almarhumah, diingatkan agar senantiasa mendoakannya, jika mereka benar-benar mencintainya. Karena hanya dengan cara mendoakan itulah almarhumah akan senantiasa menerima sambungan pahala pengganti amalan yang sudah tidak mungkin lagi dilakukannya.

Itulah rangkuman isi ceramah berkenaan dengan acara ta’ziah malam itu. Sesudah itu jemaah mesjid yang hadir mohon pamit kembali ke rumah masing-masing.

Di antara yang hadir di rumah duka saat acara ta’ziah itu adalah adik pak Rahardjo dan suaminya, keluarga Sudibyo. Kolonel Sudibyo hadir di rumah duka itu sejak sebelum shalat isya. Waktu ceramah ta’ziah itu berlangsung kebetulan dia duduk persis di hadapan pak Umar. Mata perwira intelijen yang sudah terlatih itu langsung mengenali pak Umar, yang meskipun saat itu berbaju koko dan berkopiah, sebagai orang yang dijumpainya sekilas, bahkan dibentaknya di SMU 369 tadi pagi. Kolonel Sudibyo tidak ragu sedikitpun tentang itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah kepala sekolah itu juga tinggal di kompleks perumnas ini, bertetangga dengan keluarga iparnya.

Sesudah ceramah ta’ziah itu selesai dan ketika ada sambutan dari yang mewakili anggota keluarga, kolonel Sudibyo bertanya dengan berbisik kepada iparnya, pak Rahardjo yang duduk bersebelahan.

‘Mas, bapak yang memberi ceramah barusan itu tinggal di kompleks ini juga, ya?’ tanyanya.

‘Betul, beliau itu pak Umar. Dia imam mesjid Al Muhajirin di kompleks ini,’ jawab pak Rahardjo.

‘Kalau nggak salah, dia itu kepala sekolah SMU yang di Kali Malang sana itu bukan?’ tanya kolonel Sudibyo lagi.

‘Betul. Apa dik Dibyo mengenalnya?’ tanya pak Rahardjo.

‘Ah, nggak. Tapi rasanya saya pernah bertemu. Dia itu imam mesjid di sini, begitu?’ tanyanya lagi.

‘Ya. Beliau ini imam mesjid dan pemuka atau orang yang disegani di kompleks ini. Orang yang sangat saleh dan baik. Jadi panutan masyarakat kompleks ini,’ pak Rahardjo menjelaskan.

‘Mas kenal baik dengannya?’

‘Semua penghuni kompleks ini kenal baik dengannya.’

Bisik-bisik mereka terhenti waktu pembawa acara mengumumkan bahwa itulah akhir rangkaian acara ta’ziah dan para tamu akan mohon diri dari rumah duka. Para tamu bersalam-salaman dengan tuan rumah sebelum pergi meninggalkan rumah itu. Tentu saja pak Umar ikut menyalami pak Rahardjo dan kolonel Sudibyo yang berdiri di sampingnya. Kolonel Sudibyo dengan agak kikuk melirik melihat mata pak Umar waktu bersalaman itu. Pak Umar hanya tersenyum waktu menyalaminya.

Sebenarnya pak Umarpun, dengan mata seorang guru yang terlatih mengenali murid-murid yang ratusan jumlahnya, mengenali kolonel Sudibyo sejak pertama kali dia melihatnya di rumah itu. Tapi dia tidak terlalu memperdulikan orang itu. Kalau dia hadir di rumah duka ini tentu karena ada sangkut pautnya dengan tuan rumah, pikirnya.

No comments: