Monday, December 31, 2007

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag. 1)


MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL

1. JAKARTA – DUBAI

Suatu petang, ketika kami berbincang-bincang santai, istriku mengatakan bahwa tahun ini, ibu-ibu (istri karyawan) Total akan pergi berdarmawisata ke Istambul, Turki. Darmawisata seperti itu biasanya menggunakan biaya sendiri dengan sedikit subsidi dari kantor. Yang disubsidi hanya biaya fiskal dan visa negara yang dituju. Aku tidak terlalu menanggapinya ketika itu dan istriku juga tidak berharap untuk ikut pergi, karena dia tahu aku tidak akan mengizinkannya pergi tanpa aku.

Beberapa bulan kemudian, di awal Agustus yang lalu, ketika kami berbincang-bincang lagi di suatu saat, pembicaraan kami menyinggung tentang Turki. Dan istriku mengatakan bahwa rombongan ibu-ibu yang akan ke Turki, kali ini akan disertai juga seorang bapak, pensiunan karyawan Total. ‘Kok ada bapak-bapak diizinkan ikut, bukankah biasanya pesertanya hanya ibu-ibu saja?’ aku bertanya. Rupanya karena jumlah peminat dibawah quota, maka suami ataupun anak-anak diperbolehkan untuk ikut dengan syarat harus membayar penuh tanpa subsidi.

Di ujung pembicaraan, aku bertanya kepada istriku, apakah dia berminat untuk ikut. Dia melongo keheranan mendengar pertanyaan seperti itu. Aku memperjelas, tentu saja kalau aku juga boleh ikut, dan kita pergi bersama-sama. Istriku sangat surprise dan sangat senang. Tapi masih mungkinkah bisa mendaftar? Karena rombongan itu akan berangkat tanggal 13 Agustus. Istriku segera sibuk mencari informasi. Mulanya, sepertinya kami sudah tidak bisa ikut karena setiap anggota rombongan sudah mendapatkan tiket pesawat pulang pergi serta visa Turki. Kami menunggu hampir seminggu, untuk mendapat kepastian mendapatkan tiket. Kepastian itu baru datang, pada tanggal 7 Agustus, enam hari sebelum berangkat. Barulah kami pergi mengurus visa Turki, yang tidak sulit mendapatkannya. Artinya kami siap untuk ikut dalam rombongan wisata itu.

Tanggal 13 Agustus itu kami berangkat dari rumah sebelum jam setengah enam sore, karena semua peserta diminta sudah hadir di bandara jam tujuh. Waktu yang kurang aku sukai untuk berangkat meninggalkan rumah karena hanya 30 menit sebelum waktu magrib. Kami akhirnya shalat magrib di perjalanan ke bandara yang langsung kami jamak dengan shalat isya. Jam tujuh lebih kami sampai di bandara, dan ternyata kami adalah yang paling akhir di antara peserta. Mereka sangat antusias dan berhati-hati rupanya untuk perjalanan jauh ini. Aku yakin, ini adalah keberhati-hatian yang berlebihan mengingat pesawat kami baru akan berangkat jam sepuluh nanti.

Benar saja, ketergesa-gesaan itu sebenarnya tidak terlalu perlu. Kami menunggu sekitar tiga jam sebelum keberangkatan pesawat. Perjalanan itu menggunakan pesawat Boeing 777 dari maskapai penerbangan Emirat, yang berangkat jam sepuluh malam dari bandara Soekarno – Hatta. Kami transit sekitar satu jam di Kuala Lumpur, dan jam dua belas tengah malam (menurut jam Jakarta) melanjutkan penerbangan ke Dubai. Kenyamanan di pesawat berbadan lebar ini cukup menyenangkan, karena dilengkapi dengan segala pernak-pernik peralatan audio visual untuk dinikmati sepanjang perjalanan. Aku perhatikan sebahagian besar pramugarinya berkulit putih dan berbicara dengan aksen Inggeris British. Meski ada juga yang bertampang Asia (Philipina atau Cina atau Korea) dan sedikit sekali yang bertampang Timur Tengah. Dari brosur yang terdapat dikantong kursi dihadapanku terbaca bahwa maskapai penerbangan ini menjelajah hampir ke segenap pelosok di lima benua. Mereka mempunyai 90 buah pesawat berbadan lebar sejenis Boeing 777 ini. Garuda pasti jauh tertinggal di belakang Emirat.

Penerbangan ke Dubai ditempuh dalam waktu sekitar 7 jam. Aku berhasil tertidur sebentar dalam rentang waktu itu. Jam empat subuh waktu Dubai kami mendarat di bandara Dubai. Belum masuk waktu subuh. Temperatur di luar saat itu dilaporkan 40 derajat. Ini adalah musim panas. Kami melalui pemeriksaan imigrasi karena kami akan transit sekitar 10 jam di kota ini. Ketika sedang antri di loket imigrasi terdengar azan subuh. Sesudah melalui loket tersebut kami mencari mushala untuk shalat subuh.


*****

2. DUBAI

Dubai adalah sebuah negeri yang WAH. Airportnya besar dan moderen. Dengan puluhan pesawat terparkir, sebagian besar pesawat Emirat dari kumpulan yang 90 buah lebih itu. Penerbangan Emirat memang dipusatkan disini. Pemeriksaan imigrasi berjalan lancar. Dan cukup banyak orang antri di loket-loket imigrasi pada subuh begini. Mungkin orang-orang seperti kami yang akan transit sebentar sebelum meneruskan penerbangan ke negeri lain.

Kami sudah ditunggu oleh petugas perjalanan yang akan membawa kami melihat-lihat kota Dubai. Begitu keluar dari ruangan bandara, terasa udara panas padang pasir. Mataku melihat sebuah sedan super limosin yang panjangnya mungkin mencapai sepuluh meter. Entah Syeikh mana yang punya. Kami menaiki bus pariwisata yang akan membawa kami ke sebuah hotel untuk sarapan. Sebenarnya aku tidak lapar karena di pesawat kami baru saja mendapatkan sarapan besar. Tapi dalam program perjalanan kami rupanya sudah diatur demikian, kami akan mampir dulu di hotel Lotus. Lalu lintas masih belum terlalu sibuk di pagi hari itu. Hanya dalam beberapa menit kami sudah sampai di hotel yang dimaksud. Meski hanya menggunakan fasilitas umum di hotel itu, lumayan juga karena kami dapat mencuci muka dan berganti pakaian sebelum sarapan. Menu sarapan dan suasana di restoran hotel ini mengingatkanku ke hotel Kakhi di Jeddah. Anggota rombongan terlihat sedikit lebih segar sesudah mencuci muka dan berganti pakaian pula. Kami sarapan sambil berbincang-bincang santai. Waktu kami berfoto-foto, dan suasana terlanjur agak ramai, kami ditegur petugas hotel. Dia menunjuk ke sebuah pengumuman yang melarang memotret di dalam ruangan restoran. Sebagian peserta menggerutu. Aku menduga, larangan itu disebabkan karena restoran adalah ruangan semi umum, dimana wanita yang bercadarpun bisa masuk dan pastilah mereka membuka cadarnya untuk makan dan itu yang dilarang untuk dipotret. Larangan pagi ini rasanya disebabkan karena rombongan kami agak sedikit riuh dan ramai. Maklumlah rombongan ibu-ibu.

Sesudah sarapan, sekitar jam setengah sembilan waktu Dubai kami dibawa berkeliling untuk melihat-lihat. Pemandu wisata kami seorang wanita berasal dari Peru - Amerika Selatan. Kami dibawa melalui jalan raya besar di pusat kota. Di kiri kanan terlihat bangunan-bangunan tinggi pencakar langit dan banyak sekali bangunan-bangunan yang masih dalam tahap pembangunan.

Pemandu kami bercerita tentang Dubai. Negeri yang tadinya dihuni oleh sekelompok kecil orang Arab Badui yang mungkin sesudah capek mengembara lalu membanting kemudi menjadi nelayan dan penyelam mutiara di tepi pantai teluk. Tentang Dubai yang kemudian menjadi satu dari tujuh emirat yang berserikat dalam Uni Emirat Arab. Dengan penduduk sekitar dua juta jiwa yang hanya 15 persen pribumi dan sisanya adalah pekerja pendatang dari India, Pakistan, Banglades, Korea dan Philipina (dia tidak menyebutkan Indonesia). Tentang pembangunan dan pembangunan yang memang gila-gilaan. Sebuah kota yang konon jumlah crane (alat pemindah bahan bangunan di pembangunan gedung bertingkat) paling banyak saat ini. Tentang sebuah bangunan yang akan menjadi yang tertinggi di dunia yang minimum akan 800m tingginya. Akupun bertanya, minimum? Memang berapa maksimumnya, apakah tidak ada rencananya? Lalu dijawab, memang, 800m itu sudah pasti, tapi lebihnya dari 800m masih dalam perbincangan.

Dan kami dibawa singgah ke kantor perencanaan kota (?). Disini kami lihat maket rencana pengembangan kota buatan di pinggir laut yang dibentuk menyerupai pohon kurma. Dan ini bukan hanya sekedar maket karena sebagian sudah direalisasikan pembangunannya. Mereka menyedot pasir dari laut dalam untuk kemudian dijadikan pulau buatan dan pulau itu dibuat menyerupai pohon dan pelepah kurma yang di setiap lembaran pelepah dibangun puluhan bangunan bertingkat untuk jadi apartemen, perkantoran dan sebagainya. Masya Allah. Dan rencana lebih besar adalah membangunan beberapa pohon kurma lagi, sehingga besar rangkaian kota buatan itu nantinya, akan lebih besar dari kota Paris. Dengan emas semua kemas, dengan padi semua jadi (itu dulu) dan sekarang dengan minyak semua rancak.

Dan tadi di antara bangunan tinggi aku melihat di puncaknya potongan ayat al Quran, wa lilLaahi maa fis samaawati wamaa fil ardh. Dan kepunyaan Allah lah apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi.

Ini adalah sebuah kota yang sangat ambisius dan sangat WAH (sekali lagi) karena taburan petro dollar dari hasil penjualan minyak bumi. Ada pembangunan sarana transport kereta bawah tanah (entahlah kalau itu memang perlu) yang pemborongnya adalah syarikat Mitshubishi. Dan pemborong utama bangunan-bangunan tinggi dan besar-besar itu adalah syarikat Al Amar, milik pribumi Dubai. Membangun, membangun, membangun dan membangun. Apa saja yang tidak akan dibangun. Bahkan, aku melongo mendengarnya, ada bangunan tempat bermain ski setinggi empat ratus meter agar pemain ski dapat meluncur meliuk-liuk ke bawah. Bermain ski di sebuah ruangan yang dibekukan untuk membuat es di tengah cuaca yang elok untuk memanggang. Membangun apa saja. Yang bekerja buruh pendatang yang datang dari Asia Selatan dan Asia Timur. Untuk penduduk asli disediakan segala kemudahan dan kemudahan. Dari sarana pendidikan, pengobatan dan tempat tinggal semua diberikan nyaris cuma-cuma kepada penduduk asli.

Dan kami dibawa pula ke pantai. Yang panasnya 45 derajat celcius. Tapi ada juga orang yang sanggup berjemur di pantai yang membara itu. Ambisi menjadikan Dubai kota wisata campuran barat dan timur di Asia Barat sedang direalisasikan. Entahlah kalau orang mau datang berbondong-bondong nanti kesini, bahkan untuk berjemur di pantai dibawah cuaca terik seperti ini.

Kami mampir pula ke sebuah super mall. Untuk melihat-lihat. Aku harus merasa rendah diri melihat barang-barang yang dipajang di mall dengan harga yang tidak mudah dijangkau rupiah. Sebuah sepatu yang biasa-biasa saja harganya di atas 400 dirham alias sejuta dua ratus ribu rupiah lebih. Di dalam super mall ada juga Carrefour yang kasirnya kebanyakan laki-laki. Sambil menunggu ibu-ibu melakukan shopping (baik window shopping maupun shopping benaran) aku dan bapak satunya dalam rombongan, duduk di sebuah bangku di depan Carrefour sambil berbincang-bincang. Membahas kecanggihan dan kehebatan Dubai.

Kami dibawa pula mampir sesudah itu ke Hardrock Cafe Dubai sekedar melihat-lihat karena ketika itu bukan pada saatnya beroperasi. Ya Allah, bangunan yang seronok inipun ada disini. Banyak petugas bertampang kurang begitu jelas entah dari negeri mana di dalamnya sedang berbersih-bersih. Ada beberapa orang laki-laki Amerika Latin beranting-anting. Entah kenapa ada pula acara mengunjungi tempat ini. Tapi bagi ibu-ibu yang heboh itu kunjungan ini bermakna sekali. Mereka berebutan membeli baju kaus berlogo Hardrock Cafe Dubai yang harganya 25 dollar selembar. Bukan main.

Setelah itu kami dibawa berputar-putar menjelajahi kota pelabuhan laut. Terlihat kapal-kapal kayu berbaris-baris bersandar. Konon kapal-kapal itu datang dari Pakistan. Memang banyak orang bertampang Pakistan di pelabuhan itu.

Setelah mengelilingi Dubai yang hebat sekitar enam jam, kami diantarkan kembali ke bandara untuk melanjutkan penerbangan kami ke Istambul. Kami melintas di depan toko-toko bebas bea di dalam bangunan bandara. Yang menawarkan apa saja. Datanglah ke Dubai, bawalah uang sebanyak-banyaknya, berbelanjalah disini sepuas-puasnya, itulah kesan yang aku tangkap. Dan bandara ini ramai dan sibuk dengan orang yang datang dan pergi. Aku boleh tidak terlalu yakin orang akan datang ke Dubai mengunjungi negeri panas di tepi padang pasir, tapi kenyataannya orang-orang berdatangan. Menumpang pesawat Emirat. Mungkin yang dari Paris mau ke Tokyo. Yang dari London mau ke Sidney. Yang dari Rio de Janeiro mau ke Berlin. Semua dikunjungi oleh pesawat Emirat dan dibawa singgah ke Dubai.


*****

HARI DI PENGHUJUNG TAHUN

HARI DI PENGHUJUNG TAHUN

Hari ini hari terakhir di tahun ini
Meski bukan hari terakhir di pekan ini
Dan pekan ini bukan pekan terakhir di bulan ini

Hujan rinai saat ini disini
Disertai guruh di langit tinggi
Entah pertanda apa di penghujung tahun ini

Tahun yang segera akan berakhir ini
Dalam beberapa saat lagi
Pergi membawa catatannya sendiri

Aku mencoba menghitung dengan jari
Segala pencapaian yang sudah diperolehi
Maupun duka dan nestapa yang menghampiri

Untuk diriku sendiri
Tahun yang akan berakhir ini
Jadi saksi berakhirnya masa bakti

Tiga puluh lebih tahun aku geluti
Dalam rangka mencari rezeki
Dalam usaha eksplorasi minyak bumi

Pernah kutapak negeri-negeri
Di semua pulau-pulau besar negara ini
Dalam tugas yang kujalani

Sangat patut kusyukuri
Semua telah selesai kulakoni
Tanpa cacad pribadi
.................................

Meningkat ke lingkungan kecilku ini
Di sebuah kompleks perumahan di Bekasi
Dengan lebih kurang 700 orang penghuni

Aku bersyukur sekali lagi
Kehidupan kami disini sangatlah serasi
Dalam keguyuban yang bukan basa basi

Pusat tempat beribadah kami
Mesjid Al Husna yang asri
Dengan jamaah yang selalu siap berbagi

Mesjid ini bagiku punya arti tersendiri
Tempat kami berajamaah menegakkan perintah Ilahi
Semangat muhibbah telah merekat hati-hati kami

Melingkar spiral ke arena lebih besar lagi
Di antara Jakarta dan Bekasi
Kami jadi saksi derita banjir awal tahun yang mau berakhir ini

Kala itu kami ikut bersimpati
Merogoh kocek mengeluarkan sekedar tanda putih hati
Dalam bentuk pemberian sederhana termasuk berkarton supermi

Bahkan lebih jauh lagi
Ketika Sumbar di landa gempa bumi
Jamaah mesjid ini ikut perduli

Seperti bencana yang sama sebelum itu lagi
Gempa di Jogya dan di Pangandaran tsunami
Serba sedikit kami ikut berbagi

Dan kami lakukan shalat jenazah ghaib setiap kali
Ada korban bencana yang dijemput maut ke haribaan ilahi
Hanya dengan ketulusan doa kami iringi mereka pergi

........................................

Lalu di lingkaran yang berikutnya lagi
Dalam tatanan lingkaran negara ini
Yang juga sangat akrab dengan berbagai cerita ngeri

Bencana terjadi berkali-kali
Bencana alam ataupun bencana yang manusiawi
Sejak dari letusan gunung berapi sampai gempa bumi

Banjir bandang menerkam berpuluh beratus negeri
Angin puting beliung memporakporandakan atap rumah petani
Bahkan dari arah laut banjir datang menghampiri

Sedangkan yang langsung melibatkan tangan insani
Pesawat, astaghfirullah, bahkan pesawat raib di telan bagian bumi
Dan kapal-kapal yang tenggelam di telan laut sakti

Kereta api terguling dari rel besi
Bus dan kendaraan lain saling mencelakai
Para pemudik lebaran bersepeda motor yang jadi korban tabrak lari

..............................................

Terakhir di merata bumi
Kekerasan dan perang tetap berlanjut di beberapa negeri
Iraq, Afghanistan, Ghaza, Palestina dan Tanah Kurdi

Politik sering kali memang susah bagiku untuk kumengerti
Menghalalkan segala cara dalam perang bengis tak berperi
Membunuh insan-insan dhaif di negeri-negeri

Ada negeri adi kuasa yang berbuat sekehendak hati
Merangsek masuk membunuhi penduduk negeri
Akhirnya terkepung oleh perlawanan para pejuang berani mati

Perang bertahun yang tak kunjung henti
Beratus ribu korban sudah jatuh di seantero negeri
Perang itu sang adi kuasa belum mampu mengakhiri

Dan hanya dua tiga hari di penghujung tahun ini
Seorang wanita politik yang penuh ambisi
Diterjang peluru yang akhirnya mengirim jasadnya ke perut bumi

................................

Hujan rinai-rinai masih terus membasahi bumi
Tepat enam puluh menit sebelum tahun berganti
Akan adakah besok sinar matahari?

Aku prihatin dalam hati
Tidak untuk diri karena aku kecil tak berarti
Bukan untuk kompleks perumahan kami

Aku khawatir dalam hati
Akankah murka dan cobaan Tuhan Allah datang lagi?
Menimpa penduduk negeri-negeri?

Aku berdoa dalam hati
Kiranya Allah Yang Maha Tinggi
Melindungi penduduk negeri ini

Aku memohon dalam hati
Agar Allah mengakhiri
Penjajahan dan penzhaliman negeri-negeri

Akan berakhir tahun ini
Akan dimulai tahun yang baru lagi
Akankah anak-anak manusia mengerti?

Bahwa waktu demi waktu kan berganti
Bahwa manusia-manusia hanya singgah sebentar sekali
Menompang hidup di dunia ini?



Jatibening, jam 23.30 Senin, 31 Desember 2007

*****

Saturday, December 29, 2007

KETIKA MUSIBAH MENYAPA TANAH BUNDO

KETIKA MUSIBAH MENYAPA TANAH BUNDO

Prakata;

Ulasan mengenai musibah yang agak bertubi menimpa negeri ini dan lebih khusus tanah Minangkabau.

Adakah kita memetik pelajaran dari rangkaian pristiwa ini??

Penulis

*****


1. Istano Pagar Ruyung Terbakar

Aku baru menyelesaikan bagian ke 22 dari cerita ’Seminggu Di Ranah Bako’ tanggal 27 Februari 2007 malam itu. Dan langsung mengirimnya untuk konsumsi Rantau Net. Ketika memposting jam 22.15 malam itu, sempat sekilas aku melihat di email yang masuk, berita tentang ’ Istano Pagar Ruyung terbakar.’ Inna lillahi wa inna ilaihi raa’jiuun, secara spontan ungkapan itu keluar dari mulutku. Subhanallah, Istano Pagar Ruyung itu bahkan sudah masuk kedalam ceritaku, pada bagian ke 12 yang aku posting tanggal 8 Februari 2007. Sebuah bangunan adat yang indah, untuk menunjukkan keelokan Negeri Minangkabau dan memang seolah menjadi ikon pariwisata Ranah Bundo. Aku pernah masuk beberapa kali ke dalam bangunan rumah adat yang anggun itu.

Berita itu terasa sangat memilukan. Dalam waktu sekitar dua jam saja bangunan kayu beratap ijuk itu habis ludes dilalap api, yang tinggal hanya tiang-tiang beton kerangkanya. Bahkan sebuah rangkiang yang terletak sekitar dua puluh meter di hadapannya ikut hangus terbakar. Berita itu semakin jelas, ketika aku membaca informasi bahwa ’Istano Pagar Ruyung di tembak patuih tungga’. Dan pemadam kebakaran tidak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkannya.

Besoknya, tanggal 28 Februari, ketika aku menghadiri acara pelantikan anakku di Universitas Tri Sakti, kebetulan aku diminta memberi kata sambutan mewakili orang tua dokter gigi baru. Mungkin saja karena mendengar bahasa Indonesia yang ber ’nuansa’ Minang, Dekan FKG ketika bersalaman denganku berkata, ’kabarnya istana Pagar Ruyung terbakar tadi malam,’ dan aku jawab, ’ya saya baca di internet tentang berita itu’. Sedangkan orang luar Minang yang mengetahui kejadian itu terharu, apatah lagi kita orang Minang.

Berbagai macam reaksi masyarakat di perantauan, begitupun yang terpantau di Rantau-Net. Ada yang larut di dalam duka, ada yang timbul emosi keminangannya, ada yang realistis, ada yang kurang realistis, semua bercampur dan bergalau. Ada yang bak rasa akan didatanginya Pagar Ruyung sebentar itu juga. Bak rasa akan ditebang betung, ditebang pohon, ditarah kayu, dikumpulkan ijuk untuk segera menegakkan kembali pengganti rumah gadang yang sudah habis terpanggang itu. Ada yang menghimbau agar perantau Minang turun ’berdoncek’, beriyur mengumpulkan uang untuk membangun kembali Istano Pagar Ruyung.
Jarang terbaca yang menyikapi terbakarnya istano itu dengan mengambil pelajaran bahwa ini sebuah peringatan Allah. Bahwa ini sesuatu yang terjadi dengan kekuasaan Allah, murni. Bahkan tidak ada ’lobang’ untuk menunjuk ’kambing hitam’. Bangunan indah itu disambar petir Allah.

Aku termasuk yang tidak bereaksi ketika ada ajakan ’berturun’ atau beriyur untuk menghimpun dana bagi pembangunan kembali Istano Pagar Ruyung. Biarlah dulu sebentar, kita lihat bagaimana rencana pemerintah termasuk pemerintah daerah. Karena membangun istano basa itu tidak akan mungkin tercapai dengan uang iyuran masyarakat secara pribadi-pribadi. Begitu pendapatku pribadi.

2. Gempa Raya Ranah Minang

Tepat seminggu sesudah musibah kebakaran di Pagar Ruyung, ketika membuka internet sehabis makan siang hari Selasa tanggal 6 Maret, aku membaca berita tentang berita gempa yang baru saja melanda Bukit Tinggi. Kekuatannya 5.8 skala Richter dan terasa sampai ke Pekan Baru. Gempa memang kejadian sehari-hari di negeri ini dan 5.8 skala Richter bukanlah sesuatu yang besar sangat. Itu yang terbayang di benakku.

Sekitar jam dua siang, berita gempa di Padang makin ramai. Teman-teman sekantor mengatakan gempa itu dahsyat dan ada korban jiwa. Aku telpon kakak sepupu di Bukit Tinggi untuk mengecek berita ini. Ternyata benar. Gempa ’barusan’ itu dahsyat dan terjadi berulang-ulang. Yang pertama sekitar jam 10.45 dan yang terakhir yang lebih keras jam 12.45, begitu kata kakakku. Kabarnya, katanya, daerah Solok yang paling parah. Sedang disini, di Bukit Tinggi, Pasar Ateh sedang terbakar. Entah ada hubungannya dengan gempa entah tidak, belum tahu lagi.

Sore harinya aku lihat di tv, korban jiwa akibat gempa itu sudah dihitung sebanyak 79 orang. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Aku mengajak jamaah mesjid untuk shalat janazah gaib sesudah shalat maghrib. Kami membiasakan mengerjakan shalat jenazah gaib setiap kali ada musibah yang menelan banyak korban jiwa.

Malamnya berita itu semakin jelas. Banyak korban, baik korban harta benda maupun korban nyawa. Aku tersentuh melihatnya. Hatiku menyuruh berbuat sesuatu, tapi apa? Besoknya ada himbauan untuk ’berdoncek’ lagi di Rantau Net. Bahkan ada usul agar aku menampung sumbangan. Insya Allah jawabku. Aku beritahukan nomor tabungan BCA-ku dan mengajak mereka yang ingin menyumbang mentransfer uang ke rekening tersebut.

Terpikir pula, kenapa tidak mengajak jamaah mesjid untuk ikut berpartisipasi. Jamaah yang sudah beberapa kali teruji dan terbukti ikhlas untuk menyumbang bagi hal-hal seperti ini. Cukup aku umumkan, dan beri contoh dalam arti kata aku awali ikut menyumbang. Dan yang lain insya Allah akan ikut serta. Begitu kami buktikan untuk Jogya, untuk Pangandaran, untuk banjir Jakarta dan dulu untuk Aceh. Alhamdulillah kali inipun reaksinya sama.

Hari Kamis pagi tanggal 8 Maret, sudah terbayang bisa terkumpul uang hampir Rp 10 juta, dari Rantau Net ditambah dengan dari mesjid Al Husna. Alhamdulillah, aku hubungi ustad Zulharbi Salim di Bukit Tinggi dan aku kabarkan tentang jumlah sumbangan ini serta minta tolong kepada beliau untuk mengancar-ancar kemana baiknya sumbangan ini diserahkan. Berita yang kubaca semakin membuat trenyuh. Kali ini pikiranku berubah, aku ingin pergi langsung menyerahkan sumbangan itu kesana. Ya, aku akan ke Solok, ke Bukit Tinggi. Aku hubungi ustad Zulharbi dan aku sampaikan niatku ini. Beliau gembira mendengarnya dan memberi tahu bahwa kita bisa pergi ke Solok pada hari pertama kunjungan itu yang direncanakan Sabtu siang. Dan hari berikutnya di sekitar Bukit Tinggi dan Batu Sangkar.

Aku beritahu keluargaku di rumah tentang rencana ini. Anakku nomor dua bertanya apakah dia boleh ikut dan aku jawab boleh. Aku memesan tiket untuk berangkat hari Sabtu siang dan mendapatkan tempat di pesawat Lion.

3. Jumlah Sumbangan Itu

Ketika dalam perjalanan ke kantor hari Kamis pagi aku mendapat sms dari nyiak Sunguik alias mak Ngah Sjamsir menanyakan namaku sesuai yang tertulis di KTP. Beliau ingin mengirim sumbangan pula untuk korban gampo. Kubalas sms itu. Sungguh luar biasa, siang harinya aku mendapat sms lagi dari beliau memberi tahu bahwa beliau sudah mengirim uang melalui moneygram yang dapat aku ambil di Lippo atau Bank Danamon. Bank Lippo kebetulan bertetangga dengan bangunan kantorku. Aku langsung kesana dan dengan cukup mudah menerima kiriman nyiak Sunguik sebesar Rp 1,001,000.- sesudah dipotong biaya meterai.

Di kantor aku tidak mengajak siapa-siapa, tidak juga ’urang-urang awak’ teman sekantor. Biarlah yang lain yang berinisiatif menghimpunnya, pikirku. Tak urung, teman di sebelah ruangan yang mungkin mendengar ketika aku berkomunikasi dengan ustad Zulharbi dan ketika aku memesan tiket, spontan mendatangiku dengan mengatakan, ’pak, nitip sedikit untuk korban gampo.’ Dia menyerahkan sebuah amplop ke tanganku.

Sehabis shalat Jum’at aku mampir ke BCA, mengecek sekaligus mengambil semua sumbangan Rantau Net. Jumlahnya berikut yang dari nyiak Sunguik sudah lebih dari Rp 5 juta. Alhamdulillah. Setelah mengambil uang itu aku baca email dari dunsanak Darul Makmur St. Parapatiah memberi tahu bahwa dia sudah memindahbukukan pula uang sebanyak Rp 820,000 ke BCA-ku. Biarlah ini aku ambil besok saja di ATM sebelum berangkat.

Sore itu aku terima tiket untuk perjalanan besok. Lion Air yang akan berangkat dari Jakarta pukul 12.05. Aku sudah memberi tahu ustad Zulharbi tentang rencana kedatangan di MIA besok.

Sesudah shalat subuh hari Sabtu pagi aku terima dari jamaah mesjid Al Husna di kompleks tempat tinggalku sebanyak Rp 6,415,000.- Jumlah 15,000 diujungnya menunjukkan bahwa yang menyumbang sesuai dengan kemampuan masing-masing. ’Gadang kayu gadang bahan’. Maklumlah komplek kami ini dihuni oleh mayoritas pensiunan. Aku sekalian pamit dengan jamaah untuk dua hari ini dan meminta agar aku didoakan dalam perjalanan. Ketika aku sampai di rumah, masih ada yang datang menyusul ingin menambahkan sumbangan itu. Akhirnya terkumpul sebanyak Rp 6,715,000. Aku terharu menerimanya.

Sebelum berangkat ke Bandara aku mampir di ATM BCA mengambil tambahan Rp 820,000 yang disusulkan angku Patiah. Dengan demikian jumlah keseluruhan yang aku bawa adalah;

Rp 6,715,000.- dari jamaah mesjid Al Husna
Rp 5,931,000.- dari Rantau Net (dibulatkan)
Rp 200,000.- dari teman di sebelah ruangan di kantor

Jumlah Rp 12,846,000.-

Di Bukit Tinggi seorang keponakan yang tinggal di Jogya yang mengetahui aku sedang pergi menyampaikan sumbangan secara spontan ikut pula menyumbang sebesar Rp 1,000,000.- sehingga jumlah akhir menjadi Rp 13,846,000.- Jumlah inilah yang kami bagi-bagikan pada hari Sabtu dan Ahad 10-11 Maret yang lalu.


4. Berangkat Ke Sumatera Barat

Hari Sabtu tanggal 10 Maret kami, aku dan anakku nomor dua, berangkat dari rumah jam 10 pagi diantar oleh adikku ke Bandara Sukarno-Hatta. Kami mampir dulu di ATM mengambil kiriman dari mak Darul St. Parapatiah yang Rp 820,000.- Jalan tol Cikampek agak macet. Memasuki jalan tol dalam kota terlihat kemacetan di pintu tol Cawang. Kelihatannya macet di jalur ke arah Grogol. Kami memilih jalan melalui Tanjung Priok, yang alhamdulillah ternyata cukup lancar. Tak urung, sudah hampir jam setengah dua belas ketika kami sampai di bandara. Kami langsung check in dan diingatkan oleh petugas Lion agar segera masuk ke ruang tunggu karena sebentar lagi akan boarding. Tergesa-gesa kami menuju ke ruang tunggu. Ternyata masih belum akan boarding. Pesawat itu terlambat seperempat jam dari jadwal 12.05. Masih lumayanlah. Sebelum menaiki pesawat aku tidak lupa mengirim sms ke ustad Zulharbi, memberi tahu bahwa kami segera berangkat.

Penerbangan ke MIA di Padang berjalan sangat mulus, alhamdulillah, tidak ada hambatan sama sekali. Jam dua kurang kami sudah mendarat di MIA. Ketika menyalakan hp sebelum turun dari pesawat aku lihat ada sms dari ustad Zul, memberitahu bahwa beliau sudah ada di bandara. Langsung aku telpon untuk mengetahui dimana persisnya beliau menunggu. Kami bertemu di depan Bank Nagari. Ustad Zulharbi bersama adik ipar beliau pak H. Masdar. Anakku minta tunggu sebentar karena dia belum shalat (aku sudah shalat di pesawat) dan diantarkan ke mushala. Rupanya disana juga ada istri ustad Zul sedang shalat (yang nantinya aku panggil umi).

Sesudah itu barulah kami meninggalkan bandara sambil berunding kemana tujuan pertama. Kami sepakat untuk menuju ke Solok. Mobil yang kami gunakan adalah minibus travel yang dikemudikan oleh pak Masdar. Sebelumnya memang aku sudah minta tolong kepada ustad Zulharbi untuk mencarikan mobil untuk disewa.

Sambil berjalan kami berdiskusi bagaimana baiknya memberikan sumbangan. Ustad Zulharbi mengusulkan dua kemungkinan. Memberikan uang kontan (dimasukkan amplop) atau memberikan kupon yang bisa ditukar dengan DO semen. Yang terakhir ini tentu harus mendatangi pula terlebih dahulu toko material bangunan, yang mungkin sudah tutup saat kami sampai di Solok nanti. Akhirnya kami setuju untuk memberikan uang dalam amplop saja. Biar para korban gempa itu nanti yang menggunakan sesuai dengan kebutuhan mereka yang paling utama.

Kami sepakati pula untuk memasukkan seratus ribu rupiah per amplop dan uang yang Rp 12,846,000 (sebelum ditambah Rp satu juta) akan kami bagi tiga masing-masing untuk Solok dan sekitarnya, Bukit Tinggi dan sekitarnya serta terakhir Batu Sangkar dan sekitarnya. Ternyata ustad Zul sudah siap dengan amplop. Kami bertiga (aku, umi Yusra dan anakku) bergotong royong memasukkan uang ke dalam amplop.

Mobil kami melaju menuju ke arah Padang Panjang. Tidak terlihat kerusakan akibat gempa di sepanjang jalan ini sampai ke Kayu Tanam. Di lembah Anai barulah terlihat bekas longsoran tebing yang sudah dibersihkan. Umi Yusra yang rupanya membawa bekal untuk makan siang mengingatkan untuk mencari tempat yang nyaman untuk berhenti dan makan. Tapi waktu mobil mau dihentikan dekat sebuah tebing beliau melarangnya. Khawatir kalau-kalau tebing itu nanti runtuh pula. Akhirnya kami tidak jadi berhenti. Mobil terus melaju. Kira-kira 300 meter sesudah air terjun Anai kami lihat bongkah batu sebesar meja menutupi rel keretapi. Aku mengajak berhenti sebentar untuk memotretnya.

Kami teruskan lagi perjalanan. Entah kenapa (mungkin ustad Zulharbi yang memutuskan) kami berhenti di restoran pak Datuak di Padang Panjang untuk makan siang. Memang sudah lumayan lapar karena sudah jam tiga lebih dan di pesawat kami hanya dapat segelas air.


5. Menuju Solok

Sesudah makan kami lanjutkan perjalanan. Cuaca yang tadinya hujan sejak kami melalui Kayu Tanam sekarang sudah kembali cerah. Di pasar Padang Panjang kami berhenti lagi sebentar karena anakku minta tolong dicarikan cassete untuk handicam. Tapi sayang kami tidak menemukan, mungkin karena toko masih banyak yang tutup.

Sekarang kami menuju arah ke Solok. Sejak keluar dari kota Padang Panjang kerusakan akibat gempa sudah kelihatan. Bahkan masih di kota Padang Panjang kami lihat sebuah pesantren di sebelah kiri jalan yang menggelar tenda di pekarangannya. Menurut ustad Zulharbi dinding pesantren itu retak-retak. Di Batipuah, Batipuah Baruah dan terus sampai ke Ombilin banyak rumah-rumah yang hancur. Bahkan jalan yang akan kami tempuh ada yang retak. Banyak posko di pinggir jalan ini, dari bermacam organisasi dan partai. Karena kami sudah berniat untuk terus ke Solok dan karena dekat tempat yang kami lalui ini banyak posko, kami tidak berhenti disitu.

Beruntung jalan hampir tidak terganggu menuju Solok, kecuali ada retak di beberapa tempat. Mobil dapat berlari normal sepanjang pinggir danau Singkarak. Danau yang kelihatan tenang sekali sore itu, konon menimbulkan tsunami saat terjadi gempa hari Selasa yang lalu. Ini mengingatkanku kepada cerita Buya Hamka dalam tafsir beliau (yang aku lupa entah di juz ke berapa) tentang tsunami danau Maninjau ketika gempa tahun 1926. Danau yang bak bejana besar berguncang airnya akibat gempa yang dahsyat, itulah tsunami. Dan sekarang, di pinggir danau Singkarak ini aman-aman saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Air danau hanya beriak halus dan perahu nelayan terapung tak bergoyang.

Jam lima kurang kami sampai di Sumani, sebelum kota Solok. Pemandangan disini sangat mengharukan. Kami lihat sebuah gedung pertemuan di sebelah kanan jalan yang hanya sedikit bagian di kedua ujungnya yang tinggal sementara bagian tengahnya sudah tidak ada lagi. Puingnyapun sudah pula disingkirkan. Dan rumah yang terjungkal ke dalam sungai, rumah yang hancur dindingnya. Di sekitar bangunan rusak ini, di dekat pasar juga sudah ada posko dari organisasi-organisasi maupun partai. Kami berhenti dan berbelok ke pekarangan mesjid Fathur Rahman di sebelah kiri jalan. Satu dari dua kubahnya (kubah di bagian mihrab) runtuh. Bagian dalam mesjid ini juga hancur. Kami temui seorang anak muda di pekarangan mesjid dan kami tanyakan kalau kami boleh bertemu dengan pengurus mesjid. Dia menyuruh seseorang untuk mencari ketua pengurus mesjid. Ustad Zulharbi mengusulkan agar kita menyumbang untuk mesjid ini dalam bentuk semen. Aku setuju saja. Tapi untuk membeli semen atau mengeluarkan DO semen tentu kita harus mencari toko bahan bangunan dulu. Seperti kami bahas sebelumnya kelihatannya cukup repot. Akhirnya kami masukkan uang sebanyak Rp 200,000 ke dalam sebuah amplop dan diberi catatan agar dibelikan 5 sak semen.

Ketua pengurus mesjid itu datang. Nama beliau Yusri Herizal. Kepadanya kami serahkan sumbangan sebesar Rp 200,000 untuk membeli 5 sak semen dan kami sampaikan bahwa sumbangan ini berasal dari RantauNet dan jamaah mesjid Al Husna di Bekasi. Begitu ustad Zulharbi menyampaikan. Kami tanyakan apakah ada mesid yang rusak lagi dekat mesjid itu. Kami diberitahu bahwa sekitar 500m ke arah Solok ada lagi mesjid Aur Duri yang juga rusak parah. Kami menuju ke sana.

Dan betul sekali. Mesjid itu bersebelahan dengan sebuah pondok pesantren (Pesantren Darus Salam). Gonjong kubah mesjid ini bahkan jatuh terguling ke tanah. Sementara pesantren di sampingnya mengalami rusak pada dinding-dindingnya. Kami serahkan pula masing-masing sebuah amplop a Rp 200,000 yang diterima bapak D. Datuak Bagindo Malano imam mesjid dan bapak Drs. H. Burhanuddin Chatib sebagai pimpinan pondok pesantren Darus Salam.

Di pesantren ini kami dengar cerita tentang ke Maha Kuasa an Allah. Seorang ibu guru yang hamil 9 bulan terperangkap di bawah runtuhan tembok pesantren dalam ruangan sempit sekedar tempat dia berbaring. Alhamdulillah dia tidak terluka. Yang mengagumkan dia keluar sendiri dari lubang di sela runtuhan puing yang sangat kecil. Rasanya tidak mungkin seorang wanita hamil 9 bulan bisa melalui lubang sebesar itu untuk keluar. Tapi itulah yang terjadi dan ibu muda itu selamat. Diselamatkan Allah Yang Maha Penolong.

Kami tanyakan dimana daerah yang parah kerusakannya dekat tempat itu. Mereka menyebutkan Malalo di seberang danau Singkarak atau kalau mau yang agak dekat ke Ranah di sebelah timur Sumani. Kami memutuskan untuk menuju Ranah. Sebelum menuju Ranah, kami mampir di depan dua buah rumah yang menurut kabar dihuni seorang wanita tua dan rumah itu hancur. Kami datangi rumah itu tapi tidak bertemu dengan ibu tua itu. Kami titipkan sebuah amplop ke tetangganya yang rumahnya juga hancur (yang juga kami beri sebuah amplop).


6. Jorong Ranah

Kami menuju ke jorong Ranah. Untuk menuju kampung ini kita berbelok ke kiri di pasar Sumani kalau kita sedang mengarah ke kota Solok dari arah Padang Panjang. Jalannya lebih kecil dari jalan raya arah ke Solok tapi diaspal. Hari sudah mulai agak gelap. Ada pertigaan di kampung Ranah ini dan di pertigaan itu sudah ada posko. Kami melanjutkan perjalanan masuk lebih ke dalam. dan menemukan rumah-rumah yang rusak. Yang runtuh, yang dindingnya lepas, yang sebagian ternganga. Listrik kelihatannya dimatikan oleh PLN karena cukup berbahaya. Kami berhenti di sebuah tempat yang ada tenda di halaman rumah-rumah yang rusak. Orang sedang shalat maghrib di dalam tenda itu. Ustad Zulharbi langsung saja mendata. Siapa yang punya rumah yang rusak ini, tanya beliau di setiap rumah rusak itu. Pemiliknya dipanggil dan kepadanya diberikan sebuah amplop. Nama orang tersebut terlebih dahulu dicatat ustad Zulharbi dan ketika sudah menerima amplop orang itu disuruh menandatangani daftar yang sudah disiapkan.

Kami tidak melakukan shalat maghrib di situ dan berniat akan menjamak ta’khirkan saja nanti, karena di tempat itu kurang leluasa untuk berwudhu.

Kami datangi rumah demi rumah yang rusak maupun hancur dan kami bagi-bagikan amplop berisi Rp 100,000.- Masyarakat itu sangat berterima kasih dan ada yang mencucurkan air mata. Waktu kami sedang mendata di satu rumah, lalu ada orang datang meminta diberi sumbangan, kami tanyakan apakah rumahnya juga rusak. Kalau dia jawab iya, kami datangi rumahnya yang rusak itu. Secara keseluruhan membagi seperti itu cukup tertib. Orang kampung itu ada yang datang meminta tapi tidak agresif. Ketika diminta menunjukkan rumah mereka yang rusak mereka tunjukkan. Waktu kami menunjuk ke satu rumah, pemiliknya mengaku bahwa dia sudah dapat amplop tadi.

Keadaan mereka memang sangat memprihatinkan. Ibu-ibu memasak di halaman atau dalam ’parak’. Namun anak-anak masih ceria-ceria saja. Umumnya kesehatan mereka masih baik-baik saja pada waktu itu.

Kami masuk sampai ke ujung kampung Ranah sebelum kembali ke simpang tiga. Dari simpang tiga kami tuju pula jalan yang satunya lagi dan mendapatkan beberapa buah rumah yang juga hancur di situ. Sama saja, disana kami lakukan pembagian dengan cara yang sama. Seorang anak muda pengurus mushala di kampung itu menanyakan kenapa kami tidak menyerahkan saja ke posko dan biar posko yang membagikan kepada warga. Kami jawab bahwa kami dapat amanah untuk membagikannya langsung kepada korban gempa. Dia menanyakan apakah kami bisa menyumbang untuk mushala yang juga rusak di kampung itu dan kami jawab, bisa, tapi kami ingin melihat mushalanya dan bertemu dengan pengurus mushala itu. Anak muda ini berjanji akan memberitahu pengurus mushala kalau kami melalui depan mushala pada saat kami akan keluar ke jalan raya nanti. Kami selesaikan membagi-bagikan sebanyak 35 buah amplop kepada masyarakat di kampung Ranah itu.

Sesuai janji dengan anak muda tadi, yang menunggu kami di simpang tiga, kami berjalan kaki menuju mushala Taqwa yang rupanya memang rusak di bagian dalam. Kami bertemu denga ketua pengurus mushala ini dan kami berikan sumbangan Rp 200,000 untuk 5 sak semen.

Dari pengamatan sepintas terlihat bahwa umumnya rumah-rumah yang rusak adalah rumah semi permanen, rumah yang dibangun tanpa tiang beton untuk menambah kekuatan penahan goncangan. Inilah pelajaran yang seharusnya diambil masyarakat kalau nanti mereka membangun kembali rumah-rumah mereka.

Sesudah selesai membagi-bagikan amplop di kampung Ranah kami menuju ke Bukit Tinggi untuk beristirahat. Waktu itu sudah lebih jam delapan malam. Kami berbincang-bincang sepanjang jalan, mengenai akibat gempa yang baru kami saksikan. Aku sampaikan kepada ustad Zulharbi, kelihatannya bertambah berat tanggung jawab ulama di Minangkabau sesudah ’pelajaran’ ini. Banyak sekali mesjid yang rusak. Terlepas dari sunatullah bahwa barangkali saja konstruksi mesjid-mesjid itu memang kurang kokoh tapi bukan sekedar kebetulan bahwa sebegitu banyaknya bangunan sarana ibadah itu yang rusak. Tentu kita harus bijaksana membaca peringatan Allah dengan bencana yang ditimpakan Allah tersebut.

Ustad Zulharbi berkomentar bahwa boleh jadi karena ’kita’ cenderung gemar memperindah mesjid, tapi ’lupa’ memakmurkan mesjid. Wallahu a’lam. Beliau berkata pula, susah memahami kenapa ada rumah yang masih berdiri tegak dengan utuh sementara di kiri dan kanannya bangunan pada hancur. Aku coba menerangkan bahwa negeri kita itu ibarat sebuah piring porselen, dimana semua bahagiannya berpotensi untuk pecah. Jika piring porselen itu terjatuh dia akan pecah. Tapi tidak ada yang tahu sebelumnya bahagian mana yang akan pecah tersebut. Dan ketika dia pecah, di garis pecahnya itu dapat saja dia berderai tapi di bahagian lain dia tetap utuh. Begitulah lebih kurang kondisi semua tempat di bagian barat pulau Sumatera.

Sudah hampir jam setengah sepuluh ketika kami sampai di Bukit Tinggi. Aku minta tolong diantarkan ke Belakang Balok, ke tempat kakak sepupuku. Kami berjanji akan meneruskan kunjungan di sekitar Bukit Tinggi jam sembilan pagi besok.


7. Di Sekitar Bukit Tinggi

Jam sembilan tepat rombongan kemarin sudah datang menjemput kami di Belakang Balok. Ditambah dengan Rahima Rahim, ustadzah muda yang kini tinggal di Bukit Tinggi. Aku baru sekarang ini bertemu muka dengan Rahima meski kami sudah berbicara beberapa kali di telepon. Pagi ini kami bergegas saja berangkat, mampir sebentar ke pasar, ke Kampuang Cino. Ustad Zulharbi mau singgah di ATM BCA dan aku mencoba menanyakan cassete untuk handicam. Tidak ada disana dan kepadaku dianjurkan melihatnya di toko dekat lapangan kantin. Kami menuju kesana, dan alhamdulillah mendapatkan cassete kosong tersebut.

Sekarang kami mulai kunjungan ke daerah korban gempa. Tidak jauh-jauh, di Koto Baru – Jambu Air di sisi ngarai Sianok. Pinggir kota Bukit Tinggi yang inipun baru kali ini aku tempuh. Kami jumpai jalan yang ditutup dan ditandai bendera merah karena berada persis di sisi ngarai yang runtuh. Jalan ini sudah retak-retak. Kalau dilalui kendaraan bermotor memang sangat dikhawatirkan tanah dibawahnya sudah tidak kuat menopang dan bisa runtuh. Di depan kami adalah ngarai Sianok dengan bagian tebingnya yang runtuh. Kami berjalan menuju perumahan penduduk dan kami dapati rumah-rumah yang rusak. Tidak hancur benar seperti yang tadi malam kami lihat di Sumani, tapi kerusakannya umumnya cukup parah. Umumnya dindingnya hancur dan di bagian dalam rumah langit-langit rumah terban. Ada 13 buah rumah rusak yang kami temui dan kepada pemiliknya kami bagikan amplop berisi Rp 100,000.-

Di kampung ini ada tenda darurat tempat masyarakat bernaung dan waktu kami datang masih mereka gunakan. Seorang ibu yang rumahnya juga rusak, dalam keadaan sakit dan bernaung di tenda ini. Kepadanya tentu saja kami berikan pula sumbangan. Kami selesaikan kunjungan di kampung ini. Sekarang kami menuju ke arah Taluak IV Suku.

Ustad Zulharbi menunjukkan mesjid Taluak yang antik yang jadi kebanggaan mak Amzar Bandaro. Menaranya yang anggun terletak di luar mesjid. Menara itu kini retak dan kelihatan bidang retaknya. Menurut informasi yang kami dapat disana Dinas PU sudah menginstruksikan agar menara itu diruntuhkan. Disini kami berkunjung pula ke rumah mantan walikota Padang Panjang yang rupanya kenal baik dengan ustad Zulharbi. Kunjungan ’menyilau’ rumah beliau yang juga rusak akibat gempa.

Setelah itu barulah kami mengunjungi penduduk yang rumahnya rusak. Kerusakan disini juga tidak separah di Sumani. Ada delapan buah amplop yang kami bagikan di Taluak ditambah sebuah amplop untuk pengurus mesjid Taluak yang menaranya rusak itu.

Kami terus lagi ke arah selatan ke Ladang Laweh. Disini ada tujuh buah rumah yang rusak yang kami bagi sumbangan. Umumnya rumah-rumah kayu. Ada juga kami lihat rumah gadang yang ditinggal pemiliknya (rumah kosong) yang ikut rusak akibat gempa di kampung ini.

Tujuan berikutnya adalah nagari Sungai Tanang yang menurut ustad Zulharbi cukup parah keadaannya. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Sungai Tanang kami mampir sebentar di pasar Padang Lua, karena umi Yusra ingin membeli penganan dan buah ’nan ka digatok di ateh oto’. Dia pergi sebentar ditemani Rahima. Kami menunggu di mobil di simpang arah ke Koto Tuo.

Aku termangu memikirkan kerusakan yang aku lihat sejak kemarin. Kelihatan bahwa umumnya rumah penduduk memang tidak disiapkan untuk ’tahan gempa’. Di beberapa buah rumah yang rusak aku lihat bahwa rumah itu tidak mempunyai tiang yang memadai. Tiang di sudut rumah hanya dibuat dari batu bata merah yang didobelkan. Tentulah bangun seperti itu tidak memadai untuk menahan goncangan. Begitu keadaan rumah-rumah lama dan begitu juga dengan rumah-rumah yang relatif baru di kampung-kampung. Pikiranku melayang pula ke masalah perijinan mendirikan bangunan. Setiap bangunan yang akan didirikan wajib mempunyai izin bangunan. Tapi kegunaan surat izin mendirikan bangunan atau IMB itu seringkali sekedar formalitas saja. Tidak ada kontrol dari dinas yang mengawasi perumahan yang dibangun. Masalah ini jadi sangat nyata ketidakbersungguh-sungguhannya ketika melihat betapa mudahnya masyarakat merenovasi rumah tinggal mereka sesuka-suka mereka tanpa memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan. Padahal seyogianya instansi yang mengeluarkan IMB itu juga memperhitungkan dan mengawasi faktor-faktor tersebut.


8. Sungai Tanang jo Koto Gadang

Sejak sekolah di SR dulu sudah biasa aku mendengar lagu ’Ba bendi-bendi ka Sungai Tanang’ tapi baru kali ini pula aku mengunjungi nagari yang sebenarnya sangat terkenal ini. ’Janiah ayianyo Sungai Tanang, Minuman nak rang Bukik Tinggi, Tuan kanduang tadanga sanang, Baolah tompang badan kami’. Dan kami tidak datang ba bendi-bendi kesini.

Sampailah kami di kampung Sungai Tanang di kaki gunung Singgalang. Kampung yang indah dengan kolam air besar yang airnya berasal dari mata air di dasar kolam itu. Kesibukan masyarakat di kampung ini kelihatannya sudah seperti biasa, tapi pemandangan rumah-rumah hancur sangat menyedihkan. Ada posko besar di tengah kampung. Di simpang tiga kami berbelok ke kiri. Sekarang di sebelah kiri kami mesjid jami’ Sungai Tanang, persis di hadapan kolam besar Sungai Tanang. Mesjid ini rusak parah. Di belakang mesjid ada rumah yang runtuh sampai atapnya mengheram ke tanah. Masya Allah. Di sisi lain kolam ada bangunan mirip mesjid bertingkat yang rupanya adalah sekolah Taman Pendidikan Al Quran. Bangunan ini juga rusak.

Ustad Zulharbi mencari pengurus mesjid. Tidak kunjung bertemu. Kami balik ke samping posko, bertanya di kantor yang aku lupa entah kantor apa. Ada beberapa orang petugas disana. Karena tetap tidak menemukan pengurus mesjid kami menanyakan apakah kami boleh menitipkan sumbangan untuk mesjid jami’. Bapak Faisal bersedia menerimanya untuk diserahkan kepada pengurus mesjid (Rp 200,000) dan pengurus TPA (Rp 100,000). Tapi beliau tidak bersedia memberitahu kepada siapa saja sebaiknya sumbangan diberikan dikalangan penduduk. Menurut beliau kalau beliau menyebutkan nama, dikhawatirkan nanti akan disalahtafsirkan masyarakat dan beliau anjurkan agar kami langsung saja melihat kondisinya di tengah kampung.

Kami langsung saja menemui penduduk yang rumahnya rusak di sepanjang pinggir jalan. Perjalanan itu kami teruskan sampai ke Sungai Tanang Ketek. Disini ada sebuah surau, Al Abrar namanya yang kami beri pula sumbangan. Dan kami temui pula penduduk yang rumahnya rusak. Hanya dua belas buah rumah yang mendapatkan sumbangan kami di kampung ini. Kerusakan rumah disini memang lebih parah dibandingkan dengan yang kami lihat di sekitar Bukit Tinggi sebelumnya.

Belakangan aku membaca di sebuah posting yang berasal dari koran Padang Express tentang kejadian yang menimpa seorang ibu yang terkorban ditimpa bagian bangunan mesjid yang runtuh ketika sedang shalat di mesjid jami’ Sungai Tanang itu. Pada waktu gempa kedua terjadi sekitar jam 12.45 orang sedang shalat berjamaah zuhur di mesjid. Pada saat gempa terjadi, jamaah lain berhamburan keluar menyelamatkan diri kecuali ibu itu yang tetap khusyuk dalam shalatnya. Akibatnya beliau syahid, meninggal dalam keadaan shalat. Dan menurut berita itu, jenazah beliau berbau harum ketika diselenggarakan untuk pemakaman. Subhanallah. Cerita ini tentu bukan dongeng karena baru saja terjadi. Dengan memuat di koran orang dapat mengecek kebenarannya seandainya mau. Dan aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menyampaikan pesan yang sangat jelas dalam kejadian itu. Mudah-mudahan ibu yang terkorban itu mendapat keutamaan yang tinggi disisi Allah.

Kami tinggalkan kampung Sungai Tanang. Sekarang kami menuju Koto Gadang melalui Guguak. Di sepanjang jalan ini tidak tampak pengaruh gempa. Sampailah kami di depan mesjid Nurul Iman Koto Gadang. Mesjid yang bagaikan terbelah, hancur. Saat itu masyarakat sedang bergotong royong meruntuhkan bagian yang ’tagurajai’ dan rusak-rusak dengan cara menariknya dengan tali. Sedih melihat pemandangan seperti itu. Dan ini entah mesjid yang ke berapa yang rusak yang aku lihat sejak kemarin.

Menurut cerita penduduk di situ, jamaah sedang shalat zuhur berjamaah pula ketika gempa kedua hari Selasa itu terjadi. Ada delapan orang bapak-bapak yang sedang shalat dan menyelesaikan shalat mereka sampai tuntas. Waktu mereka mengucapkan salam di akhir shalat, bagian belakang mesjid itu sudah menganga akibat runtuhnya dinding mesjid.

Ada petugas Metro TV mendatangiku dan mengatakan ingin mewawancaraiku sehubungan dengan musibah di mesjid itu. Aku katakan bahwa aku juga pengunjung dan kusuruh petugas itu mencari pengurus mesjid saja.

Kami berikan pula sumbangan kepada pengurus mesjid untuk rehabilitasi mesjid. Tapi kami tidak berkunjung ke dalam kampung di Koto Gadang.

Bertambah termangu-mangu aku menyaksikan akibat yang ditinggalkan oleh gempa. Kalau Allah berkehendak, betapa mudahnya bagi Allah menghancurkan apa saja. Laa haula wa laa quwwata illaa billaahi.


9. Ke Batu Sangkar

Kami sudahi kunjungan kami di Koto Gadang sampai di simpang di depan mesjid Nurul Iman itu saja. Di jalan keluar ke arah Koto Tuo ada sebuah rumah gadang batu bagonjong yang retak-retak di sebelah kiri jalan. Rumah yang dikabarkan rusak oleh dunsanak Q. Sutan Nan Labiah beberapa hari sebelumnya. Kami tidak mampir ke rumah itu.

Sudah terasa lapar karena sudah hampir jam dua siang. Kamipun belum shalat. Aku umumkan bahwa aku mengundang kami semua yang dalam mobil itu untuk makan siang di restoran mana saja sebelum ke Batu Sangkar. Rahima langsung mematahkan undanganku tersebut dengan mengatakan, ’Mak Lembang tamu, jadi tidak boleh mengundang. Saya yang mengundang,’ begitu katanya. Aku berusaha membantah, mengatakan bahwa aku asli orang Bukik Tinggi bagaimana mau dikatakan tamu. Ustad Zulharbi menengahi dan mengatakan, ’kalau kami ke Jakarta nanti kapan-kapan bolehlah angku Lembang mengundang kami,’ kata beliau.

Kami singgah di rumah makan Ayia Badarun di jalan ke Padang Panjang. Ada mushala yang cukup bersih di depan rumah makan itu. Kami shalat terlebih dahulu, dijamak dan diqasar. Barulah sesudah itu kami makan di restoran yang ramai pengunjungnya itu. Karena memang sudah lapar, bertambah enak rasanya makan. Masih aku coba ’merayu’ agar biar aku saja yang membayar, sesudah kami selesai makan tapi Rahima lebih ’gesit’ dariku.

Sudah kenyang perut, kami lanjutkan lagi perjalanan, menurun ke Padang Panjang, berbelok ke arah Solok. Menyusuri jalan yang kemarin sore kami tempuh sampai ke Ombilin. Hari cerah di sepanjang jalan. Di Ombilin kami jumpai dua mobil regu penolong dari Uni Emirat Arab beserta krunya. Dua buah Toyota Land Cruisser besar yang kelihatannya dibawa langsung dari negeri mereka. Kemarin aku lihat ada sebuah pesawat cargo berwarna putih di MIA, mungkin itu agaknya pesawat mereka. Mereka sedang menuju ke arah Solok.

Kami mengambil jalan melalui arah ke Simawang untuk menuju ke Batu Sangkar. Mungkin karena tadi malam kami sempat saling mengurai cerita dan terbuka obrolan bahwa istriku berasal dari Simawang (meskipun dia sangat tidak tahu sudut nagari Simawang itu). Aku katakan kepada anakku bahwa kita akan melalui kampungnya. Dia tersenyum mendengar meski agak exited bahwa dia akan melalui kampung neneknya. Tapi kami tidak masuk ke kampung Simawang melainkan terus menuju arah Batu Sangkar. Namun kami berhenti di sebuah panorama dengan pemandangan ke arah Simawang di seberang lembah. Ada sebuah rumah baru di pinggir jalan yang rusak pula. Kami singgah melihat rumah itu. Berjumpa dengan pemiliknya, seorang penghulu, Datuak Asa Kayo. Menurut beliau rumah itu baru dua bulan ditinggali. Dindingnya retak-retak tapi tidak parah. Aku tanyakan kalau beliau mengenal famili keluarga istriku dan ternyata belaiu mengenalnya. Tempat itu masih bagian dari Simawang, sebuah nagari dengan 7 buah jorong.

Jalan inipun baru kali ini aku tempuh. Ternyata hampir tidak ada rumah yang rusak di sepanjang jalan ini. Kami baru menjumpai ada rumah yang rusak kampung Bukik Siangok, menjelang Batu Sangkar. Itupun tidak parah.

Ustad Zulharbi membawa kami singgah ke Pabalutan di mana beliau sedang merintis pendirian sebuah pesantren. Kampung ini rupanya adalah kampung asal beliau. Kami kunjungi pula mesjid Ihsan di kampung itu, yang juga agak sedikit rusak oleh gempa. Pada waktu kejadian gempa hari Selasa itu ustad Zulharbi sedang shalat berjamaah pula di mesjid ini.

Masih banyak amplop yang belum kami bagikan sedangkan di daerah ini tidak ada korban gempa. Besok rencananya aku akan kembali ke Jakarta. Jadi lanjutannya akan diteruskan oleh ustad Zulharbi, mungkin di sekitar Parabek dekat Bukit Tinggi yang tidak kami datangi tadi pagi.

10. Singgah Di Pagar Ruyung

Hari baru jam lima sore waktu kami memasuki kota Batu Sangkar. Rahima ternyata baru sekali ini kesini. Kami putuskan untuk mampir sebentar ke Pagar Ruyung melihat bekas kebakaran. Meskipun ini bukan lagi kunjungan mengantarkan sumbangan gempa. Karena di daerah sekitar Batu Sangkar yang kami lalui tidak terlihat adanya korban gempa.
Masih sore dan sangat terang waktu kami sampai di Pagar Ruyung. Tepatnya di bekas Istano Pagar Ruyung. Yang tinggal hanyalah tiang-tiang beton dan dua buah bangunan kecil (salah satunya tabuah larangan) yang masih tersisa. Banyak juga pengunjung sore itu, mungkin karena hari Ahad. Ada foto-foto pada saat terjadinya kebakaran dipajang di sebuah board bertutup kaca. Mataku menangkap foto api bertulisan arab Allah (tanpa alif) dan foto asap juga bertulisan seperti itu. Wallahu a’lam. Pedagang asongan di depan bekas istana itu menawarkan VCD kebakaran. Aku membelinya sebuah.

Rahima menanyakan apakah Istano itu tidak dilengkapi dengan penangkal petir. Aku jawab, mungkin ada. Hanya tidak dilengkapi dengan penangkal ’kehendak Allah’. Kalau Allah berkehendak bangunan itu terpanggang meski dilengkapi penangkal petir sekalipun, apalah akan daya sang penangkal petir.

Menjelang maghrib kami tinggalkan Pagar Ruyung dan kami menuju Bukit Tinggi melalui Tabek Patah. Kami mampir untuk shalat maghrib di mesjid Rao-Rao. Sebuah mesjid tua yang anggun, bercat biru. Dan mesjid ini selamat dari gempa.

Kami teruskan lagi perjalanan menuju Baso. Lalu ke Biaro. Aku ajak juga rombongan mampir sekedar ’menyilau’ kampungku, Koto Tuo Balai Gurah. Kampung yang kok semakin luar biasa sepinya, kata anakku. Alhamdulillah, keadaan disana aman-aman saja. Tapi kami tidak mampir ke rumah. Karena rumah-rumah ’kaumku’ semuanya kosong terkunci, ditinggal merantau.

Karena sudah lebih jam delapan malam aku ajak rombongan untuk mampir makan malam di sebuah lepau di Garegeh. Lepau yang dulu seingatku cukup menyelera masakan ala rumahnya, malam itu aku dapatkan sudah sangat ’biasa-biasa’ saja, tidak seenak dulu lagi. Sesudah makan malam aku minta tolong diantarkan ke rumah adik iparku, tidak jauh dari tempat kami makan di Garegeh itu juga. Kami berpisah setelah rombongan mampir sebentar di rumah iparku. Sisa amplop akan dilanjutkan pembagiannya oleh ustad Zulharbi insya Allah.

Di tempat adik iparku itu sudah ada kakak iparku yang datang menjemput anakku untuk dibawa ke Sawah Lunto malam itu. Aku diantarkan mereka ke Belakang Balok untuk beristirahat. Besoknya aku berangkat ke Padang melihat kakak iparku (istri dari kakak sepupuku) yang sedang sakit di Rumah Sakit Islam Padang. Dan sorenya aku berangkat kembali ke Jakarta.

Hari Rabu ustad Zulharbi menyelesaikan pembagian amplop sumbangan itu di Parabek, Sungai Tanang (lagi), Banto Laweh, Bukik Batabuah, Sungai Pua, Sungai Landai, Guguak Randah, Galo Gandang. Dan keseluruhan dana yang aku bawa sebanyak Rp 13,841,000.- terbagikan. Selisih hitung Rp 5000 yang terjadi dari jumlah yang seharusnya Rp 13,846,000.- aku harap sudah termasuk kedalam ’katidiang’ untuk korban gempa yang disodorkan orang di pompa bensin, pada hari Ahad sore sebelum kami singgah makan di rumah makan Ayia Badarun.


tamat

NASI BUNGKUS

NASI BUNGKUS

Karena hari hujan siang itu aku minta tolong kepada pesuruh kantor membelikan nasi bungkus untuk makan siang. Tidak berapa lama kemudian pesananku itu datang, berupa nasi dengan lauk ayam bakar dari warung nasi ala Solo, dibungkus dengan kertas merang berwarna coklat yang satu sisinya beremail, licin. Nasi dan ayam bakar serta sayur lalap berikut sambel dibungkus terpisah, masing-masing menggunakan kertas pembungkus yang sama. Rasanya biasa-biasa saja.

Aku memperhatikan kertas pembungkus berwarna coklat ini. Aku tidak tahu apakah kertas seperti ini bebas resiko untuk kesehatan karena bersinggungan langsung dengan makanan. Aku juga tidak tahu apakah ketika kertas ini ditempeli oleh nasi panas dia tetap aman tanpa mengeluarkan reaksi apapun. Penggunaan kertas coklat ini perlahan-lahan sudah menggantikan daun pisang yang dulu biasanya digunakan secara khusus untuk membungkus nasi. Atau paling tidak akhir-akhir ini ada yang mengkombinasikan daun pisang dan kertas coklat ini. Penggunaannya sudah merambah ke daerah-daerah termasuk ke kampung halaman kita.

Aku ingat, dulu kalau kita membeli nasi ramas di lapau nasi (kita tidak menyebutnya nasi bungkus) maka nasi tersebut selalu dibungkus dengan daun pisang. Apakah kita membelinya di lapau nasi alias rumah makan ataupun di kedai nasi Kapau, kita mendapatkan hal yang sama. Kenapa yang ini disebut nasi ramas? Karena biasanya lauknya dicampur dengan gulai sayuran serta kuah atau sambel dari lauk lain. Ketika kita memesan nasi ramas dengan dendeng, artinya lauk utamanya adalah dendeng tapi kedalamnya dimasukkan pula gulai nangka, dedak rendang, lado dendeng dan kuah gulai lainnya. Porsi nasi ramas bungkus biasanya sangat besar. Konon karena katanya yang biasa memesan nasi bungkus adalah sitokar oto yang tidak punya waktu datang ke lepau dan makannya biasanya banyak sehingga porsi nasi bungkus selalu extra ordinair.

Nasi bungkus lapau dulu menggunakan daun pisang yang tidak ’diapa-apakan’ kecuali hanya sekedar dilap saja. Daun pisang yang digunakan adalah daun pisang batu karena jenis daun pisang ini liat dan tidak mudah robek. Daun ini diperjualbelikan untuk bermacam-macam keperluan bungkus membungkus, baik untuk masakan yang sudah matang maupun untuk bahan masakan yang masih mentah. Sekarang ini meskipun penggunaan daun pisang sudah berkurang sekali, karena umumnya sudah digantikan oleh kantong plastik dan sebangsanya, namun pemanfaatannya tetap dapat kita temui terutama di pasar-pasar tradisional.

Di kampung dulu kami sangat akrab dengan nasi bungkus dan menyebutnya benar-benar nasi bungkus untuk membedakan dengan nasi bungkus dari lapau yang kami sebut nasi ramas tadi itu. Pergi berjalan-jalan sekolah (berdarmawisata, sekali-sekali pernah juga kami diajak oleh guru kala itu), ataupun ketika hari menerima rapor sebelum liburan sekolah, meski tidak kemana-mana, tapi kami makan nasi bungkus bersama-sama di sekolah. Ketika aku kelas tiga SMP kami mengikuti pelajaran tambahan di sore hari, dan karena sekolah jauh dari rumah (jaraknya 3.5km) kami datang ke sekolah berbekal nasi bungkus. Tidak terbayangkan untuk makan di lepau tiap hari karena biayanya pasti mahal sekali.

Diluar kegiatan sekolah kami biasa membawa nasi bungkus ke tempat kami pergi berjalan-jalan di kaki Gunung Marapi. Atau ketika pergi berburu. Atau kalau sedang iseng benar kami pergi membawa nasi bungkus ke sawah atau ke munggu yang kami sebut Guguk di tengah persawahan. Atau ketika kami pergi ke Bukit Tinggi ikut menonton pacuan kuda di Bukit Ambacang.

Untuk orang dewasa mereka makan nasi bungkus kalau ada gotong royong agak keluar kampung seperti membersihkan bandar air sawah. Ketika perang PRRI, saya masih kelas 2 atau 3 SR, biasa serombongan tentara PRRI mampir di kampung kami lalu dibuatkan nasi bungkus secara bergotong royong oleh penduduk. Kami yang kecil-kecil bertugas mengambilnya ke rumah-rumah untuk diserahkan ke rombongan tentara ’luar’ tersebut yang menunggu sambil beristirahat di simpang jalan.

Nasi bungkus di kampung itu menggunakan daun pisang yang dilayukan di atas uap bara api. Daun yang diproses seperti ini menjadi lebih liat dan memberi aroma khas kepada nasi bungkus. Lauk yang sangat populer untuk nasi bungkus adalah telor itik rebus lalu di goreng sampai bagian putih telornya kering. Telor goreng ini kemudian di beri cabe (dilado-i). Nasi panas, dengan telur belado yang banyak ladonya, dibungkus dengan daun pisang yang sudah disangai lalu kami biarkan lima sampai enam jam sebelum dimakan siang hari nanti. Walaupun nasinya sudah tidak lagi panas (tentu saja) rasanya luar biasa. Aroma daun pisang pembungkusnya menambah enak rasa nasi tersebut.

Ketika aku sekolah petang di SMP 3 yang harus setiap hari membawa nasi bungkus, tentulah tidak enak kalau setiap hari lauknya telur rebus goreng balado. Ibu membuat alternatif beberapa lauk lain. Kadang-kadang ikan mujair (dari tabek di belakang rumah) di goreng balado, atau ikan sepat di goreng balado. Jarang sekali daging atau dendeng karena daging mahal. Dan apapun pilihannya hampir pasti selalu digoreng balado. Samba lado dalam nasi bungkus itu yang membuatnya istimewa.

Ketika kelas 3 SMP, kami sudah beranjak remaja. Sudah banyak yang memasuki masa pancaroba. Sudah puber. Sudah ada yang pandai berpacaran, istilahnya sudah pandai ber’pomle’. Entah berasal dari bahasa mana kata-kata ini. Ada seorang temanku yang jarang terlihat membawa nasi bungkus, tapi selalu makan siang (nasi bungkus) bersama kami. Ternyata pomlenya yang membawakan bekal untuknya. Ini benar-benar luar biasa. Entah dengan cara apa sang pomle memberi tahu orang tuanya di rumah ketika dia selalu membawa dua bungkus nasi setiap berangkat ke sekolah.

Waktu remaja kecil masih bersekolah di SR, pergi menonton pacu kuda ke Bukit Ambacang kami juga membawa bekal nasi bungkus. Namun pernah terjadi, saking asiknya menonton pacuan itu, kami lupa makan. Nasi bungkus itu hampir saja dibawa kembali pulang. Waktu kami sampai di pasar atas, sebelum kami menuju ke stoplat keretapi Aur Tajungkang, salah seorang teman mengajak kami mampir ke lepau nasi. Anak yang memang agak mentiko (=bergajul) ini entah bagaimana caranya berhasil meminta ijin urang lapau untuk makan nasi bungkus kami di lepau tersebut. Orang lapau yang baik hati itu bahkan memberi kami hadiah gulai sayur gratis. Kami terkekeh-kekeh sekeluar dari lepau itu ketika teman yang mentiko ini dengan gaya lucu bertanya; ’Bara du mak, nasi babao ’tang di rumah, gulai kuah-kuahno, ayia putiah sagaleh.’ ('Berapa kami harus bayar paman? Nasi kami bawa dari rumah, gulai kami ambil kuahnya saja, minumnya air putih). Orang lepau itu menyambut dengan pura-pura marah, ’Kambuik di kalian! Makan perai kalian disiko. Bih bakirok lah kalian lai.’ (Sialan kalian! Makan gratis kalian disini. Pergilah kalian nyah dari sini!).

Begitu berkesannya kenangan nasi bungkus, aku masih sering mintak tolong istriku membuatkan nasi bungkus serupa yang di kampung dulu itu. Dibungkus dengan daun pisang yang dilayukan dan dibiarkan beberapa jam sebelum kami santap. Masih sama rasanya. Anak-anakpun menyenangi. Cuma mereka agak malas mendengar kalau dibumbui dengan cerita bahwa nasi bungkus ini sebuah nostalgia.

Ketika aku tinggal di Balikpapan, kami jamaah pengajian kantor sering pergi berkunjung dan mengikuti dakwah ke daerah pemukiman transmigran di luar kota Balikpapan. Biasanya kami pergi dalam rombongan cukup besar sampai lima puluh pasang suami istri bahkan dengan anak-anak. Kami membawa bekal nasi bungkus dan dilebihkan membungkus untuk penduduk di lokasi trans itu. Sesudah acara siraman rohani kami makan nasi bungkus bersama dengan penduduk setempat. Kali ini lauknya tidak mesti telor rebus goreng balado. Istriku biasa membuat nasi bungkus dengan kalio ayam tapi tetap ditemani samba lado. Lain pula mantap rasanya.


*****

Friday, December 28, 2007

TAKLIM BUYA ABIDIN (3)

TAKLIM BUYA ABIDIN (3)

OBROLAN AGAMA DI LEPAU RENDAH

Pagi ini suasana Lepau Rendah agak berbeda dari biasanya. Baru mulai ramai sesudah selesai shalat subuh di mesjid. Mak Marah, Malin Ameh, Sutan Mantari, Malin Deman dan Mangkuto Labiah datang berbarengan. Di dalam lepau sudah ada Bagindo Baro yang sedang berbincang-bincang dengan Sati Bandaro pemilik lepau. Ketika kelima orang itu masuk, Bagindo Baro menyambut mereka dengan pertanyaan.

‘Darimana ini datang berombongan pagi-pagi begini? Dari melayat ? Ada warga yang meninggal ?’ tanyanya.

‘Bukan. Kami dari shalat. Dari mesjid,’ jawab Malin Ameh.

Ondeh mandeh...... Sudah salah sangka aku kiranya. Rupanya para ustad ini baru kembali dari mesjid. Oi Sati! Bergegaslah. Cepat buatkan kopi untuk ustad-ustad kita ini. Ck..ck..ck... Bukan main. Benar-benar banyak kemajuan orang kampung kita ini sejak diceramahi Buya Abidin rupanya. Wahai ustad, naiklah ke mimbar, dekat podium ini. Berilah kami sedikit ceramah. Kuliah subuhlah untuk kami,’ Bagindo Baro mencerocos dengan cemoohan yang asli.

‘Kok terlihat aneh benar oleh Bagindo kami datang dari shalat ?’ tanya Sutan Mantari tersenyum.

‘Bukannya aku memandang aneh. Kenapa pula mesti aneh. Bukankah itu berarti kemajuan? Sesudah kaji didengar tentu diamalkan. Bukankah begitu Marah?’

‘Betul,’ jawab mak Marah pendek.

‘Jadi main domino tentu tidak boleh lagi kita sekarang? Bukankah itu dosa ?’

‘Masak subuh buta begini mau main domino. Becanda Bagindo,’ jawab Sutan Mantari.

‘Bukan. Maksudku, nanti sorepun. Tentu tidak ada lagi kawan berdomino. Kamu sendiri bagaimana Deman? Kamu juga tidak mau lagi main domino? Huh, betul-betul hebat pengaruh pengajian si Abidin. Jadi orang beriman semua penduduk negeri ini,’ Bagindo Baro terus menyerocos.

‘Harusnya kita bersyukur kalau semua masyarakat kampung ini benar-benar sudah beriman. Hei, Sati. Mana kopi untukku? Kok, lama amat?’ Mak Marah mengalihkan pembicaraan.

‘Benar, Sati. Buruan! Cepatlah buatkan kopi untuk ustad ini! Biar dapat pahala. Sambil menunggu kopi datang Marah, cobalah jelaskan apa saja isi pengajian inyiak Abidin itu. Siapa tahu, nanti aku juga ingin menjadi orang yang beriman. Mau pula aku ikut menghampir ke mesjid seperti para buya ini. Bukankah begitu Sati ? he..he..he..,’ ujar Bagindo Baro masih dalam cemooh yang kental.

‘Kaji inyiak Abidin itu sebenarnya tidak ada yang sulit. Bagiku yang menggetarkan hatiku benar adalah uraian tentang hidup yang hanya sementara, dan nanti akan berhenti ketika datang kematian. Umurku sudah lima puluh tahun, rasanya sudah lebih dari separo jalan yang aku lalui. Entah nanti, entah besok tentulah aku akan mati. Hal ini cukup menjadikan aku takut. Takut dengan perkara yang harus kuhadapi sesudah mati.’

‘Iya...iya....Benar itu. Oleh karenanya jadi rajin kita shalat. Mudah-mudahan sedang shalat itu nanti kita mati. Begitu rupanya, Marah?’

‘Bukan pula aku berkeinginan mati sedang mengerjakan shalat. Aku tidak tahu entah dengan cara apa aku akan mati. Harapanku, mudah-mudahan aku mati dalam keadaan beriman yang sesungguhnya.’

‘Iya..iya... Benar sekali. Hidup berakal, mati beriman. Begitu bukan? Iya..iya...’

‘Bagindo Baro! Hentikanlah mencemooh. Capek pula orang mendengar cemooh berkepanjangan begitu. Cobalah dengar kaji mak Marah ini baik-baik,’ Sati Bandaro pemilik lepau menimpali. Entah bersungguh-sungguh, entah cemooh pula.

‘Cobalah teruskan Marah!’ pinta Bagindo Baro.

‘Bagindo tidak yakin dengan kedatangan kematian itu. Begitu agaknya, bukan?’

‘Yakin. Kenapa tidak? Setiap saat kita melihat orang mati. Satu per satu orang yang kita kenal sudah pada mati. Kenapa aku mesti tidak yakin? Aku pasti yakin.’

‘Lalu, bahwa ketika sesudah mati, mayat kita dimasukkan ke dalam kubur, lalu akan datang malaikat menanyai kita? Adakah Bagindo yakin yang demikian?’

‘Wah! Kalau yang itu entahlah. Belum ada orang kembali dari kematian. Belum ada yang bercerita tentang itu. Tapi taruhlah hal itu benar. Lalu bagaimana ?’

‘Bagaimana ? Kalau malaikat itu bertanya, apa yang akan Bagindo jawab ?’

‘Entahlah. Tapi begini saja. Kalau kita tahu jawabannya, kita jawab. Kalau kita tidak tahu, katakan tidak tahu. Kita katakan baik-baik. ‘Maaf, engku malaikat, tidak jelas bagi hamba yang engku tanyakan.’ Jawab saja serupa itu.’

Orang selepau tertawa mendengar ocehan Bagindo Baro.

‘Baiklah. Sesudah itu nanti di hari kiamat semua kita akan dikeluarkan dari kubur masing-masing. Semua berkumpul di Padang Mahsyar nama tempatnya. Apakah Bagindo percaya tentang hal ini?’ lanjut mak Marah.

‘Itupun entahlah. Namun, katakan pulalah betul. Betapa akan ramainya umat disitu pada masa itu. Sebab semua orang yang sudah mati akan berkumpul di Padang Mahsyar itu. Disana nanti akan aku cari Marah. Kemana Marah pergi aku ikuti. Masuk Marah ke dalam surga aku akan ikut berebut masuk. Tapi kalau ke neraka tentu aku tidak mau ikut,’ jawab Bagindo Baro.

‘Disana itu nanti, menurut cerita inyiak Abidin, kata al Quran, semua kita akan ditanyai di pengadilan Allah. Segala-galanya akan ditanya. Apa saja yang kita kerjakan selama kita hidup akan diminta pertanggungjawabannya. Dihitung pahala dan dosa. Setiap amal baik akan diberikan pahalanya. Setiap amal yang buruk akan diberi hukuman atas dosanya. Lalu, jika timbangan pahala lebih berat, orang itu akan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, jika timbangan dosanya yang lebih berat maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka. Disana itu tidak ada tolong menolong di antara sesama umat. Jangankan untuk mengikuti aku, mengikuti orang tua Gindopun, Gindo tidak akan bisa. Sebab setiap diri akan sibuk dengan masalah dan urusannya masing-masing. Menjawab tanya kepada diri masing-masing. Obrolan kita di lepau pagi inipun nanti akan ditanya Allah. Apa saja yang kita perbincangkan sekarang sedang dicatat oleh malaikat. Semua perbuatan kita akan dicatatnya, tidak ada satupun yang luput. Lengkap catatan dengan waktunya, kata-kata yang kita keluarkan, pekerjaan yang kita lakukan.’

‘Betapa akan letihnya malaikat itu mencatat semua itu.’

‘Entah dia capek atau tidak, entahlah. Kita tidak tahu. Tapi yang pasti ada dua malaikat di kiri dan di kanan setiap kita yang tugasnya mencatat terus menerus setiap amal perbuatan yang kita lakukan. Yang di sebelah kanan mencatat segala kebaikan, yang di sebelah kiri mencatat segala keburukan.’

‘Sudah pernahkah Marah bertemu dengan malaikat-malaikat itu?’

‘Tidak pernah, sebab keberadaannya tidak dapat kita lihat. Tapi aku yakin tentang keberadaannya. Seperti aku yakin bahwa hidup ini akan mati, lalu kita akan ditanyai malaikat dalam kubur nanti. Seperti aku yakin bahwa aku akan diadili Allah nanti di akhirat.’

‘Meski mereka tidak tampak, Marah tetap yakin ?’

‘Ya. Aku yakin.’

‘Kalau bagiku, kalau tidak kelihatan itu aku agak ragu. Rasa-rasanya mungkin tidak akan demikian adanya.’

‘Oh begitu. Kalau kelihatan baru Gindo percaya. Boleh aku bertanya? Bagindo mempunyai nyawa, bukan?

‘Tentu. Aku orang hidup. Tentu aku bernyawa.’

‘Bisa tolong ditunjukkan yang mana nyawa Gindo? Aku tidak melihatnya.’

‘Ini, yang turun naik di dadaku ini. Inilah nyawaku. Marah tidak melihatnya?’

‘Dada Gindo yang turun naik itu? Itukah nyawa Gindo? Benar juga ya. Bukankah orang mati tidak kelihatan lagi dadanya turun naik. Lalu kalau suara Gindo? Adakah tampak suara itu? Atau beginilah. Apa saja yang ada di dalam perut Gindo? Punyakah Bagindo hati, jantung, usus? Pernahkah Gindo melihatnya?’

‘Bukankah kita ini hampir sama saja dengan binatang ternak, punya kepala, punya perut, punya kaki. Ketika kita memotong hewan kurban, dapat kita lihat hatinya, jantungnya, ususnya. Pada tubuh kita tentu seperti itu pula.’

‘Serupa belum tentu sama. Jantung Gindo sendiri, bukankah belum pernah Gindo lihat? Atau sudah pernah?’

‘Belum. Tapi aku yakin bahwa dia ada. Kalau dia tidak ada bagaimana mungkin aku bisa hidup.’

‘Persis seperti itulah kajinya. Aku yakin dengan keberadaan malaikat yang mencatat segala perbuatanku walaupun aku belum pernah melihat malaikat itu.’

‘Kenapa perlu benar adanya malaikat yang mencatat itu ? Tentulah diupah Tuhan Allah dia agaknya ya ?’

‘Perlu, karena kita hidup di dunia ini disuruh Allah untuk beribadah dan menyembah kepada Nya. Ditunjukinya kita dengan agama, melalui nabi-nabi yang menerima wahyu Allah melalui perantaraan malaikat Allah itu. Setiap wahyu dan ajaran agama yang datang dari Allah itu dituliskan dalam kitab suci. Untuk kita umat nabi Muhammad SAW, kitab suci kita adalah al Quran. Di dalam al Quran itu dijelaskan tentang perintah dan larangan Allah, tentang pahala dan dosa, tentang surga dan neraka, tentang malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah untuk bermacam-macam urusan. Berita itu sudah sampai kepada kita. Quran itu masih ada sampai sekarang dan akan selalu ada sampai hari kiamat. Bagaimana kita menerimanya. Mau patuh atau mau menolak, kedua-duanya boleh. Tapi semua itu dicatat. Nanti catatan itu akan diperlihatkan kepada kita sehingga kita tidak bisa memungkirinya. Semuanya tertulis sejelas-jelasnya. Hari itu, jam sekian, detik sekian, di tempat itu Bagindo sedang mengerjakan pekerjaan yang baik, yang ada pahalanya. Pada hari yang lain, jam sekian, detik sekian Bagindo sedang mengerjakan pekerjaan buruk. Tercatat pula. Catatan itu sangat lengkap, tidak ada satu hal jugapun yang dapat dipungkiri. Barulah sesudah itu dihitung timbangan perbuatan baik dan perbuatan buruk, dihitung pahala dan dosa. Kalau yang lebih berat pahala dari perbuatan baik maka surgalah ganjarannya. Kalau dosa yang lebih berat maka nerakalah tempatnya. Jadi, bagaimana kira-kira?’ mak Marah menguraikan panjang lebar.

‘Aku bukan orang jahat. Aku tidak suka berbuat dosa. Aku suka menolong orang. Kira-kira kemana aku akan dimasukkan nanti?’

‘Jahat atau tidak jahat bukan sekedar menurut takaran kita sendiri. Kita ini dapat perintah dari Allah untuk menyembah Nya. Untuk beribadah kepada Nya. Ada agama yang mesti dijalankan. Agama itu berisi perintah dan larangan Allah. Sudahkah perintah dikerjakan? Sudahkah larangan dihentikan? Barulah sesudah itu kita dapat menguji diri, apakah kita ini orang jahat atau bukan di hadapan Allah. Ketika kita menolak perintah Allah untuk menegakkan shalat, berarti kita jahat di mata Allah. Ketika apa yang dilarang Allah kita kerjakan juga, berarti kita jahat di mata Allah. Sekarang cobalah tanyai diri Gindo. Bagaimana kira-kira?’

‘Jadi, pagi ini karena aku belum shalat subuh, aku berdosa?’

‘Itu biarlah salung saja yang menyampaikan. Kira-kira kan cukup jelas urusannya.’

‘Kapan, lagi Buya abidin itu akan datang?’

‘E eh. Kok itu yang ditanya? Apa maksud Gindo?’

‘Ingin pula aku mendengar langsung darinya. Benar atau tidak semua yang Marah uraikan ini.’

‘Hari Sabtu sore besok dia akan datang lagi. Mari kita lihat, apa benar Bagindo Baro akan datang,’ ajuk Mangkuto Labiah.

‘Jadi nanti sore kita nggak main domino lagi Gindo? Tanya Malin Deman memancing

‘Entahlah. Bagaimana itu Marah? Main domino itu berdosakah?’

‘Beginilah. Kalau main tidak bertaruh, tidak ada dosa judi di dalamnya. Kalau main itu berhenti ketika azan dikumandangkan, tidak ada dosa melalaikan shalat. Kalau main itu tidak dikerjakan karena kita pergi mendengarkan pengajian ada pahala karena mendengarkan kaji itu. Jadi terserah kepada kita mana yang akan dipilih.’

‘Bertele-tele betul kaji Marah, pusing kepalaku dibuatnya. Biarlah, kalau inyiak Abidin itu datang akan aku tanyakan hal ini kepadanya. Sementara ini aku akan tetap main domino selama masih ada yang menemani.’

‘Lalu? Nanti shalat zhuhur sudah bisa kita pergi bersama-sama?’

‘Lihat sajalah nanti. Sati! Ini uang. Aku mau pergi dulu.'

Bagindo Baro bergegas keluar dari lepau. Entah kemana dia pergi.


*****

TAKLIM BUYA ABIDIN (4)

TAKLIM BUYA ABIDIN (4)

KEWAJIBAN MEMELIHARA ANGGOTA KELUARGA DARI NERAKA

Sudah hari Sabtu malam lagi. Sudah datang lagi waktunya wirid Buya Abidin di mesjid Gurun. Alhamdulillah jumlah jamaah yang tertarik kepada pengajian ini semakin banyak saja. Terasa benar faedahnya oleh masyarakat kampung Gurun apa-apa yang disampaikan oleh Buya Abidin untuk kehidupan mereka sehari-hari. Dulu ketika awal-awal beliau datang untuk memberikan ceramah, yang mau mendengarkannya boleh dihitung dengan jari. Berkat kesabaran dan kesungguhan beliau makin banyak saja orang yang tertarik untuk ikut mendengarkan pengajian tersebut.

Buya Abidin sangat penyabar, tapi sangat pula keras dan tegas dalam setiap penyampaian beliau. Bagi beliau kebenaran adalah sesuatu yang jelas dan tidak bisa ditawar-tawar. Yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Hal ini beliau tunjukkan dengan contoh dalam kehidupan sehari-hari.

Malam ini masalah yang dibahas adalah tanggung jawab setiap orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari siksaan api neraka. Beliau menyitir ayat al Quran surah At Tahrim ayat ke delapan yang artinya; ‘Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan keluargamu dari ancaman api neraka....(sampai akhir ayat).’ Para jamaah yang mendengarkan jadi terbuka mata mereka.

Yang menarik dalam pengajian buya Abidin adalah diadakannya tanya jawab sesudah beliau menyampaikan materi ceramah. Para jamaah boleh bertanya apa saja dan beliau berusaha menjawab dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan agama beliau sangat luas sehingga hampir setiap pertanyaan itu dapat beliau jawab.

Begitu pula pada malam hari ini, kembali terjadi tanya jawab. Katik Marajo yang memulai pertanyaan.

‘Ustad, saya ingin bertanya. Yang diseru oleh Allah untuk menjaga diri dan keluarga mereka dari siksaan api neraka adalah orang-orang yang beriman. Pertanyaan saya, apakah yang diseru ini khusus laki-laki saja sebagai kepala keluarga atau termasuk juga para wanitanya ? Terima kasih Ustad.’

’Seruan Allah ini bersifat umum. Artinya berlaku kepada setiap orang yang beriman, termasuk laki-laki maupun wanita. Semua wajib hukumnya menjaga diri mereka dan keluarga mereka dari siksaan api neraka. Harus dimulai dengan diri kita masing-masing terlebih dahulu. Berusaha dengan sungguh-sungguh menjaga diri dengan senantiasa mengingat segala perintah Allah. Dan setiap perintah itu segera laksanakan. Begitu pula sebaliknya, sadari dan ketahui setiap larangan Allah. Dan hindarkan diri dari setiap yang dilarang Allah tersebut. Kalau kita sudah mampu berbuat demikian untuk diri kita sendiri, perhatikan pula sekarang pasangan hidup kita masing-masing. Ingatkan, jaga, agar pasangan hidup kita dapat pula berbuat sama. Bapak-bapak menjaga dan mengingatkan istri, ibu-ibu mengingatkan suami agar senantiasa berada di jalan yang diridhai Allah. Begitu pula seterusnya dengan penjagaan terhadap anak-anak. Jadi jelas, ibu-ibu juga bertanggung jawab menjaga suami mereka. Perlukah istri menjagai suami? Atau bisakah istri menjagai suami? Jelas bisa. Oleh karena itu, hendaknya istri-istri pandai menyesuaikan diri dengan kemampuan suami. Jangan terlalu banyak permintaan. Kalau istri terlalu banyak permintaan, dan suami terlalu sayang kepada istri, apapun yang diminta istri dia berusaha memenuhi, sementara kemampuannya terbatas. Apa yang bisa terjadi? Si suami akan berlaku curang untuk memenuhi permintaan istrinya. Mungkin dengan korupsi, mungkin dengan menipu, atau bahkan mungkin dengan mencuri. Maka istri yang menjadikan suaminya berlaku curang seperti itu, berarti dia tidak menolong menjaga suaminya dari api neraka tapi sebaliknya justru mendorongnya masuk ke dalam neraka. Atau bisa juga begini. Si istri tidak banyak permintaan ini itu. Hanya saja dia cerewet sehingga suaminya jadi tidak betah tinggal di rumah, sebab di rumah ada-ada saja yang menyebabkan kejengkelan oleh perkataan atau prilaku istrinya. Pelariannya, si suami pergi dan menghabiskan waktunya ke warung. Main domino, berhabis waktu dengan obrolan yang tidak jelas.

Si istri tahu bahwa suaminya tidak betah duduk di rumah karena prilakunya. Harusnya dia berusaha memperbaiki suasana di rumah. Dengan cara seperti itulah dia memelihara suaminya sebagai pasangan hidupnya dari ancaman api neraka.

Lebih jauhnya lagi, dengan cara apa lagi kita memelihara pasangan hidup serta anak-anak dari kekeliruan dan dosa ? Dengan cara dakwah. Selalu ingatkan mereka untuk menegakkan kebenaran dan meninggalkan kemungkaran. Itu berarti bahwa setiap kita bertanggung jawab untuk saling menjaga. Sabda Nabi SAW, ‘Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawababnya atas apa yang dipimpinnya, nanti di akhirat. Setiap laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, setiap istri pemimpin atas amanah harta dan anak-anak dari suaminya. Semua akan diminta tanggung jawabnya atas apa yang dia pimpin.’ Apakah yang demikian cukup jelas engku Katik?’

‘Cukup jelas Ustad. Terima kasih,’ jawab Katik Marajo.

’Saya ingin melanjutkan pertanyaan tadi Ustad,’ giliran Kari Sutan ingin bertanya.

‘Silahkan, engku Kari. Apa yang mau ditanyakan.’

‘Seandainya kita sudah berusaha menjaga anak istri, setiap saat mengingatkan mereka, tapi ternyata sang istri tidak patuh. Dia tidak merasa perlu menjaga dirinya sendiri dari kedurhakaan kepada Allah. Dalam hal seperti ini bagaimana tanggung jawab suaminya Ustad?'

’Pertama sekali, dakwah kepada anak dan istri itu hendaklah dilakukan dengan berkesinambungan. Harus terus menerus dan jangan terhenti karena bosan. Harus dilakukan dengan kesabaran, dengan taktik yang tepat, dengan keterangan yang jelas dan disampaikan secara santun. Seperti itu hendaknya usaha dakwah dilakukan. Jangan cepat putus asa. Nah, kalau usaha sudah maksimal, tetap tidak ada juga hasilnya barulah lepas tanggung jawab kita. Kita serahkan kepada Allah untuk menilainya. Sebab memang ada orang yang kalau kata Allah dia tidak akan dapat petunjuk, biar siapa juga yang mengingatkan tidak ada guna baginya, tetap dia tidak akan dapat petunjuk. Di dalam surah Tahrim pada ayat berikutnya dicontohkan oleh Allah tentang istri nabi Nuh dan nabi Luth. Keduanya akan masuk neraka dikarenakan kedurhakaan mereka. Padahal mereka istri nabi.

Jika dakwah kepada istri dan anak-anak tidak diperhatikan dan tidak disempurnakan, maka anak dan istri bisa jadi musuh. Baik di dunia apalagi nanti di akhirat. Jadi musuh secara nyata ataupun musuh secara tersembunyi. Secara nyata, misalnya istri jadi pelawan, suka merongrong, suka membuat masalah.

Atau secara sembunyi-sembunyi. Rumah tangga terlihat megah. Rumah gedung mewah bertingkat. Perabotan serba indah. Mobil mewah bertumpuk di garasi. Tapi nilai kekeluargaan tidak jelas. Suami tidak tahu entah kapan datang dan perginya. Istri begitu pula karena sama sibuknya. Anak-anakpun demikian. Lalu, dalam waktu tidak terlalu lama, berguguran satu persatu. Si suami berselingkuh dengan istri orang. Si istri pergi pula mengikuti suami orang. Anak-anak terjerumus ke jurang narkoba. Maka tidak ada lagi yang tinggal selain dari kebinasaan. Allah sudah mengingatkan, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istri kalian serta anak-anak kalian ada yang bisa menjadi musuh kepada kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka.... (sampai akhir ayat. (At Taghabun ayat 14). Berhati-hatilah terhadap mereka. Berhati-hati dalam memimpin mereka, menasihati mereka, mengajari mereka. Berhati-hati membimbing dan mengawasi mereka. Sebab jika tidak mereka bisa jadi musuh kalian. Intinya, dakwah kepada anak dan istri itu sangat perlu. Dilakukan secara berkesinambungan dan penuh kesabaran serta disertai contoh nyata. Harus dimulai dengan diri sendiri. Itulah awal kaji kita tadi. Apakah dapat engku Kari fahami ?’

’Alhamdulillah Ustad. Jadi rupanya tidak mudah tanggung jawab dalam berumah tangga ini. Tanggung jawab besar yang harus dipikul. Bukanlah kehidupan berumah tangga itu sekedar untuk bersenang-senang saja. Terima kasih Ustad.’

‘Betul sekali yang engku Kari sebutkan. Tidak mudah karena kita faham dan mengerti. Karena kita menyadari semua ini akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Namun, sebenarnya tidak pulalah terlalu berat. Sebab petunjuk Allah sudah ada. Contoh soal sudah banyak. Tinggal kewajiban kita mempelajari. Mengaji dan mempelajari petunjuk-petunjuk Allah tersebut. Petunjuk di dalam al Quran yang dijamin Allah bahwa isinya tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Adakah kita beriman? Kalau kita beriman, maka ikutilah petunjuk itu. Kalau tidak jelas keterangannya dari yang kita baca, ikuti seperti yang dicontohkan Rasulullah. Sunah-sunah Rasulullah. Dengan cara seperti itulah hendaknya kita menjalankan agama ini. Artinya sangatlah perlunya mengaji. Datang ke pengajian seperti ini. Tanyakan yang kurang jelas agar dapat kita fikirkan dan fahami bersama isi pengajian tersebut. Bagi orang yang rajin mengaji, dan dia sudah faham, tidak ada lagi baginya pilihan selain menjalankan sesuai dengan apa yang sudah dipahaminya itu. Lalu mengamalkan apa-apa yang sudah didapat dari pengajian dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Dilakukan dengan penuh keberhati-hatian, dengan rasa tanggung jawab, serta mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Sampai disini pula dulu taklim kita kali ini. Insya Allah nanti kita sambung pula di lain hari,’ demikian Buya Abidin menutup pengajian beliau malam itu.


*****

TAKLIM BUYA ABIDIN (2)

TAKLIM BUYA ABIDIN (2)

PATUH KEPADA ALLAH

Sudah datang lagi waktunya pengajian Buya Abidin di Mesjid Gurun. Jamaah sudah berkumpul sejak sebelum shalat isya. Bertambah banyak juga yang datang. Kalau biasanya jamaah bapak-bapak hanya sedikit lebih dari dua saf, kini bahkan sudah mencapai empat saf penuh. Begitu pula dengan jamaah ibu-ibu. Mudah-mudahan hal ini dikarenakan bertambahnya kesadaran masyarakat sesudah mendengar pengajian beliau. Bahkan anak-anak muda sekarang mulai pula tertarik mendengarkan ceramah Buya Abidin. Sedikit demi sedikit masyarakat kampung itu ikut merasakan kesejukan dari pengajian ini dan langsung mengamalkannya serta mengajarkan kepada orang-orang terdekat di sekitar mereka.

Kali ini pengajian itu membahas tentang kepatuhan kepada Allah dan perlunya ikhlas dalam menjalankan perintah-perintah Allah. Menurut keterangan Buya di dalam al Quran terdapat firman Allah yang berbunyi; ‘Wamaa umiruu illaa liya’budullaaha mukhlishiina lahuddiin’ Surat Al Bayyinah (98) ayat 5. Yang artinya, ‘Padahal mereka itu hanyalalah disuruh menyembah Allah serta ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah.’

Lawan dari patuh adalah ingkar, tidak patuh. Tidak patuh ini adalah dosa yang mula-mula sekali terjadi dan dilakukan oleh iblis. Dia tidak mau patuh ketika disuruh memberi hormat (sujud) kepada Adam, manusia pertama yang diciptakan Allah. Kenapa iblis menolak? Ternyata karena sombong dan tekebur. Karena merasa diri lebih. ‘Abaa wastakbara’ artinya, enggan serta merasa tekebur. Karena merasa dia lebih utama. Lebih senior dan lebih dulu dijadikan. Karena menurut dia asal usulnya lebih baik dibandingkan asal usul Adam si pendatang baru itu. Itulah sebabnya. Karena merasa hebat. Maka dia ingkar dan tidak patuh lalu durhaka kepada perintah Allah dan akhirnya diusir oleh Allah. Maka iblis terusir ke muka bumi menjadi musuh, menjadi tukang menipu daya terhadap anak cucu Adam. Menjadi provokator dan menjadi penyeru kepada pembangkangan terhadap Allah. Agar setiap anak cucu Adam terpeleset mengikuti tipu daya setan, agar mereka terpeleset untuk jadi tekebur, sombong bahkan pendurhaka.

Mendurhaka kepada siapa saja bahkan kepada Allah yang telah menjadikannya. Allah memerintahkan manusia agar menyembah Allah selama mereka hidup di muka bumi ini, agar berjalan di muka bumi dengan santun dan tidak sombong, tidak berbuat kerusakan atau kebinasaan. Allah telah mengutus para Rasul untuk menyampaikan pesan untuk bertauhid mengesakan Allah, untuk mengajarkan cara-cara beribadah menyembah Allah, untuk menjalani kehidupan di jalan yang lurus agar tidak tersesat dan salah jalan. Untuk mengingatkan peraturan-peraturan Allah tentang apa-apa saja yang boleh dikerjakan dan apa-apa saja yang tidak boleh dilakukan. Lawan dari seruan para Nabi dan rasul tadi adalah rayuan dan tipu daya setan. Setan yang senantiasa mematahkan apa-apa yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul itu dan menggantinya dengan hal yang berlawanan. Yang memoles agar semua yang disampaikan para Nabi itu agar terlihat bertentangan. Yang diperintah jadi terlihat seolah-olah buruk, berat dan menyusahkan sehingga akhirnya manusia yang tertipu tidak jadi mengerjakan yang diperintah. Begitu pula memoles apa-apa yang dilarang para Rasul itu menjadi seolah-olah terlihat indah dan bagus sehingga hati manusia yang lemah cenderung kepadanya. Padahal sesungguhnya kalau dituruti yang diperintahkan itu tidaklah berat sangat untuk mengerjakannya. Tidak ada perintah itu yang susah untuk dikerjakan melampaui kemampuan manusia untuk melakukannya. Allah banyak memberikan kemudahan-kemudahan untuk apa-apa yang Dia perintahkan ketika manusia yang diperintah berada dalam kesulitan untuk melaksanakannya. Ambil contoh perintah menegakkan shalat. Kalau tidak sanggup mengerjakan secara utuh dengan berdiri boleh juga dikerjakan dengan duduk. Tidak sanggup duduk boleh dalam keadaan berbaring. Yang terutama bahwa kita patuh untuk menerima perintah itu dan mengerjakannya dengan ikhlas semata-mata karena Allah.

Itulah lebih kurang inti ceramah Buya Abidin. Para jamaah terpaku mendengarnya. Ada yang manggut-manggut faham. Tibalah giliran untuk berdiskusi dengan tanya jawab. Bermacam-macam pertanyaan yang keluar. Mulai dari pertanyaan sungguh-sungguh sampai pertanyaan main-main atau asal-asalan. Malin Ameh termasuk yang kritis dan bermutu pertanyaannya sebagai berikut.

‘Saya awali bertanya Ustad. Kita disuruh Allah agar patuh kepada apa-apa yang diperintahkan Allah, dan menghentikan segala yang dilarang Allah serta ikhlas dalam beragama. Bagaimanakah tandanya ikhlas itu Ustad. Sebab mungkin saja ada orang yang semua perintah dikerjakannya, semua larangan dijauhinya namun entahlah kalau dia itu ikhlas karena Allah atau bukan. Tolong dijelaskan Ustad. Terima kasih.’

‘Dia beramal dan beribadah, Perintah Allah seperti shalat puasa dan sebagainya dia kerjakan. Larangan Allah dia tinggalkan. Tapi tidak tahu apakah dia itu ikhlas atau bukan. Begitukan pertanyaannya Malin? Agar kita ketahui, bahwa ketika kita beribadah, iblis dan setan tidaklah dia akan tingal diam. Semakin seseorang itu rajin beribadah, semakin giat pula iblis untuk menggelincirkannya. Maka, adakah orang yang sudah berusaha seperti itu tadi dlam kepatuhannya kepada Allah namun tergelincir juga? Jawabnya ada. Yakni orang-orang yang beribadah tapi tidak ikhlas. Tanda ketidak ikhlasannya, kadang-kadang bisa dilihat dari cara orang tersebut beribadah yang asal-asalan. Tidak dengan kesadaran. Tidak dengan pengertian dan tidak terlihat bahwa dia bersungguh-sungguh. Tidak terlihat keyakinannya bahwa dia sedang mengerjakan yang diperintahkan Allah karena dia mengerjakannya dengan setengah hati, sekedar pelepas hutang saja. Misalnya shalatnya asal-asalan, tidak ada tumakninahnya. Ketika dia puasa, puasa itu dihiasinya dengan keluh kesah dan omelan, karena rasa haus, karena udara panas dan sebagainya. Orang yang melakukan amalan dengan cara seperti ini dapat dipastikan bahwa dia tidak ikhlas. Seharusnya kalau akan dikerjakan juga amal itu hendaklah dikerjakan dengan baik. Dengan sungguh-sungguh dan penuh keberhati-hatian. Dengan keyakinan bahwa yang diharapkan adalah keridhaan Allah. Ada rasa takut dan cemas kalau-kalau yang dikerjakan itu tidak cukup baik untuk diterima Allah. Jadi tidak dikerjakan sesuka hati saja, sekedar pelepas hutang.

Lalu ada pula orang yang beramal karena mengharapkan pujian dari orang lain. Terlihat dia beramal juga, berbuat juga, beribadah juga tapi sangat kentara bahwa dia sangat mengharapkan nilai dari orang lain. Orang seperti ini jelas bukan termasuk kategori orang yang ikhlas karena Allah. Mereka ini adalah yang kena tipu daya setan. Segala sesuatu yang diperbuatnya tidak lebih dari sekedar ria. Sedekahnya ria, menolongnya ria, shalatnya ria. Yang dia harapkan hanyalah pujian dan penilaian baik dari orang lain. Ketika dilihat orang dia bisa berakting dengan sangat sungguh-sungguh. Shalatnya indah, ibadah lainnya bagus, sedekahnya banyak. Tapi ketika tidak ada orang yang akan memuji semua itu ditinggalkannya. Dia sangat berharap agar orang mengaguminya. Memujinya dan mengatakan bahwa dia seorang ahli ibadah. Seorang penyantun. Seorang yang sanagt taat. Dan dia sangat senang serta bangga dengan segala pujian gombal seperti itu. Terbusung dadanya, kembang kempis hidungnya ketika dipuji orang. Padahal yang seperti ini tidak disukai Allah. Karena amalan seperti ini bukan amalan karena Allah. Jadi disilah perlunya ikhlas tadi. Shalat ikhlas karena mematuhi perintah Allah. Beramal ikhlas karena Allah. Bersedekah ikhlas karena Allah. Berkata-kata, berbuat apa saja semata-mata hanya karena mengharapkan keridhaan Allah. Itu yang disebut ikhlas. Bagaimana? Apakah dapat Malin fahami?’

‘Ada Ustad. Insya Allah saya dapat memahaminya.’

‘Saya juga ada yang ingin ditanyakan Ustad. Menyimak kaji ustad tadi, sepertinya tidak akan sulit mengerjakan apa-apa yang diperintahkan agama. Banyak kemudahan dari Allah untuk beramal. Tapi dalam kenyataan tidak demikian. Seringkali sulit sekali untuk berbuat amala itu. Mungkin hal ini karena bujuk rayu setan dan iblis seperti yang Ustad uraikan. Pertanyaan saya, bagaimana caranya mengalahkan bujuk rayu iblis sementara dia itu tidak kelihatan. Itu saja pertanyaan saya Ustad,’ kata Sutan Mantari.

‘Wah, pertanyaan Sutan Mantari ini sulit. Bagaimana kita akan melawan setan sementara setan itu tidak kelihatan. Padahal musuh yang terlihat saja tidak sanggup kita melawannya? Jadi bagaimana caranya? Caranya dengan melatih diri kita untuk banyak-banyak dan terbiasa zikir mengingat Allah. Tidak bosan-bosannya kita berzikir dan berdoa memohon kepada Allah. Bukankah banyak sekali ucapan-ucapan zikir ketika kita melihat apa saja atau mengalami apa saja. Mengucapkan bismillah ketika mengawali pekerjaan. Mengucapkan alhamdulillah ketika mengakhiri pekerjaan. Membaca subhanallah ketika mengagumi kebesaran Allah. Membaca masya Allah ketika melihat suatu hal yang mencemaskan. Dan sebagainya. Latih lidah kita akrab dengan zikir seperti itu. Sering-sering kita meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah. Membaca ta’awutz, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk dengan membaca a’uutzubillahiminasysyaithaanirrajiim Jangan bosan-bosan mamintak perlindungan Allah dari setiap bujuk rayu setan. Jadi disadari betul bahwa pekerjaan melawan setan itu memang berat. Bagaimana tidak akan dikatakan berat sebab kita tidak bisa melihatnya. Jadi caranya, mohon pertolongan dan perlindungan Allah. Hanya itu yang dapat kita lakukan dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sebab setan itu sangat tangguh. Dia bahkan bisa masuk ke dalam setiap sudut dan rongga dalam tubuh kita. Dia bisa masuk ke dalam hati. Masuk melalui mata, melalui mulut, melalui pendengaran, melalui hidung. Dapat menggunakan kaki kita. Dia dapat menggunakan tangan kita. Itulah lagi sebabnya kita harus dalam keadaan siaga setiap saat dan membentengi diri kita dengan pagar perlindungan Allah semata. Tanpa pertolongan Allah niscaya kita akan jadi bulan-bulanan dan sasaran empok setan-setan yang sangat lihai dan licik dalam menggoda kita umat manusia. Lalu disamping itu hendaklah kita saling ingat mengingatkan. Disinilah perlunya pengajian seperti ini. Tempat kita saling ingat mengingatkan tentang yang hak agar kita menegakkan yang hak. Tempat kita saling ingat mengingatkan tentang kebatilan, agar kita meninggalkan kebatilan tersebut. Dan hendaklah setiap kita membuka hati untuk mau menerima kebenaran dan peringatan. Ketika kita terkeliru, ada orang mengingatkan, latihlah diri agar mau menerima tegoran orang itu. Mungkin juga, ketika kita sedang hangat dibawah tipu daya setan tidak serta merta kita mau mendengarkannya, tapi paling tidak seandainya ada yang mengingatkan kita agar beristghfar memohon ampun kepada Allah, hendaknya anjuran itu didengarkan dan segeralah beristighfar. Dengan mendengar disebut orang nama Allah, disuruh orang agar minta ampun kepada Allah, hendaklah dilatih diri kita agar segera surut dan kembali kepada kebenaran Allah. Mengerjakan yang demikian itu akan lebih mudah kalau hati kita sudah biasa dilatih untuk mau menerima kebenaran. Bergetar dia ketika disebutkan orang nama Allah, tidak terus membara saja dengan nafsu. Bagaimana, apakah uraian ini menjawab pertanyaan Sutan Mantari?’ tanya Buya Abidin

Sutan Mantari mengangguk-angguk kecil.

‘Sudah terjawab Ustad,’ katanya.

*****

Thursday, December 27, 2007

BENCANA (LAGI)

BENCANA (LAGI)

Telah terjadi lagi bencana
Berulang kembali bencana
Bahkan belum selesai pedih sebuah bencana
Telah datang lagi bencana
Bahkan lebih dahsyat pula bencana
Berpuluh beratus korban bencana

Di negeri yang terlalu akrab dengan bencana
Laut membawa bencana
Hujan membawa bencana
Angin membawa bencana
Gunung berbagi bencana
Bahkan bumi yang dipijakpun berbencana

Tak kunjung habis derita
Bertumpuk-tumpuk derita
Anak-anak meratap dalam derita
Tua jompo merintih dalam derita
Petani menderita
Nelayan disamun derita

Dimana agaknya salahnya?
Apa agaknya yang menjadi puncanya?
Kenapa begini adanya?
Di bumi yang padahal aduhai indahnya?
Di negeri yang subhanallah kayanya?
Dengan masyarakat yang alangkah banyak ragamnya?

Sombong, mungkin itulah agaknya
Takabur, barangkali itu penyebabnya
Durhaka, padahal sudah mereka dengar beritanya
Khianat, jadi hiasan hidupnya
Zhalim, para pemukanya
Tipu permainan hidupnya

Sombong
Mereka menyangka mereka serba bisa
Menyangka tidak suatu apapun yang menghalangi kehendak mereka
Semua bisa dibeli belaka
Dan uang adalah segala-galanya
Padahal apalah arti uang yang entah dari mana datangnya

Takabur
Semua seolah enteng-enteng saja
Negeri bagai tidak ada tepi untuk mereka
Hukum mereka yang punya
Kuasa ada ditangan mereka
Wahai, alangkah jumawanya

Durhaka
Ibu bapa durhaka kepada anaknya
Guru durhaka kepada muridnya
Pedagang durhaka kepada pembelinya
Imam durhaka kepada makmumnya
Pemimpin durhaka kepada Tuhannya

Khianat
Kalau engkau tidak melihat, maka hanya ‘aku’lah yang benar
Kalau engkau melihat, maka uang’ku’lah yang benar
Kalau tidak ada yang tahu, maka semua boleh ‘ku’lakukan
Kalau rakyat banyak tahu, hakim dapat ‘ku’kendalikan
Padahal Tuhan pasti tahu, dan ‘aku’ tidak memperdulikan

Zhalim
Biar orang lain mampus selama ‘aku’ suka mana ada urusan?
Biar negeri ini karam selama ‘aku’ dapat untung lalu apa permasalahan
Biar ada penegak hukum, huh, bagi’ku’ semua bukan halangan
Biar beribu korban, selama tidak menyentuh’ku’ tidak ada persoalan
Biar anak istri’ku’ mendapat laknat bagi’ku’ tak ada kekhawatiran

Tipu
Di pasar banyak tipu
Di jalan raya ada tipu
Di sekolah penuh tipu
Di kantor-kantor........
Di pengadilan ..........................

Mungkin itulah sumber bencana
Ketika amanah jadi barang langka
Ketika kejujuran tak bermakna
Ketika ketakaburan membutakan mata
Ketika kezhaliman bersimaharajalela
Ketika tipu dan khianat jadi hiasan dunia

Cobalah simak
‘Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, sesungguhnya Kami bukakan keberkahan kepada mereka dari langit dan bumi. Tapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami. Lalu Kami siksa mereka karena ulah mereka.’ (Al A’raf (7) ayat 96)

Dan cobalah simak,
‘Telah terjadi kerusakan (malapetaka) di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan tangan mereka, agar mereka kembali.’ (Ar Ruum (30) ayat 41)

Maka
Belum jugakah datang waktunya untuk kembali?
Menyadari betapa kecilnya nilai masing-masing diri?
Disisi Allah Yang Maha Menguasai?
Dia mampu mendatang bencana bagi seluruh negeri
Sungguh, tidak ada daya apapun bagi setiap diri disisi ilahi

Ya Allah Rabbil ‘iizzati
Lembutkanlah kiranya hati-hati ini
Untuk takut dan mengerti
Lalu bersimpuh bersujud dengan sepenuh hati
Memohon ampunan Mu ya Rabbi
Dan hentikanlah kiranya cobaan demi cobaan ini


Jatibening, ba’da subuh, Jumat 18/12/1428