Saturday, November 22, 2008

SANG AMANAH (70)

(70)

‘Kenapa abang sampai tertidur di luar tadi?’ tanya ibu Fat.

‘Abang tadi melamun. Lalu abang jadi ketakutan. Terus abang tersadar, lalu abang shalat dan berdoa. Lama abang berdoa sampai akhirnya tertidur di sini, mungkin karena kelelahan,’ jawab pak Umar.

‘Abang melamun? Melamunkan apa bang?’ tanya ibu Fat lagi terheran-heran.

‘Melamunkan nasib yang menimpa anak muda yang abang ceritakan kemarin. Anak tentara, anak saudara sepupunya ibu Purwati, yang pingsan di sekolah pagi kemarin itu,’ jawab pak Umar pula.

‘Kenapa rupanya bang? Kok sampai jadi pemikiran abang terus anak itu?’

‘Tadi malam ayah anak itu datang ke sini. Ayah anak yang kemarin pingsan di sekolah itu, tentara yang abang ceritakan kemarin itu, rupanya adalah adik ipar pak Rahardjo. Tadi malam dia ada di rumah pak Rahardjo waktu kami berta’ziah. Tidak lama sepulang dari ta’ziah itu, pak Rahardjo bersama orang itu datang ke sini. Kamu sudah tidur waktu itu. Kedatangannya untuk minta maaf karena dia merasa telah berlaku kurang pantas terhadap abang pagi kemarin di sekolah. Dan dia bercerita tentang anaknya itu. Bagaimana asal usul sampai anaknya terlibat dalam urusan obat bius. Orang itu sangat kecewa dan sedih memikirkan nasib anaknya itu. Abangpun ikut sedih mendengarnya. Setelah mereka pergi, abang masih tercenung lama sekali. Barangkali setan menakut-nakuti abang, kalaulah kejadian seperti itu menimpa anak-anak kita, betapa ngerinya. Abang takut memikirkannya. Untung abang cepat sadar dan beristighfar. Abang pergi berwudhu lalu shalat. Setelah itu abang berdoa memohon kepada Allah agar kita semua, anak-anak kita, murid-murid abang, bahkan anak pak tentara itu dilindungi Allah dari kehancuran akibat narkoba. Lama abang berdoa. Rupanya tanpa sadar abang rebah dan tertidur di sini,’ cerita pak Umar panjang lebar.

Ibu Fat mendengar cerita panjang itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Beberapa saat mereka berdua terdiam, mungkin hanyut dalam pikiran masing-masing. Ibu Fat ikut cemas memikirkan tentang kemungkinan datangnya bahaya seperti itu menimpa anak-anak mereka. Dan itu bukan sesuatu yang mustahil.

‘Tapi, bang. Bukankah kita sudah berusaha mendidik anak-anak kita sebaik-baiknya agar mereka tidak terjerumus kepada pengaruh narkoba itu? Mudah-mudahan dengan usaha kita seperti itu, Allah melindungi anak-anak kita,’ kata ibu Fat memecah keheningan.

‘Itulah yang sebenar-benarnya jalan keluar, Fat. Campur tangan Allah. Kepada Allah-lah kita harus berserah diri dan meminta pertolongan. Tidak bisa kita merasa yakin akan selamat hanya dengan usaha kita sendiri saja tanpa campur tangan Allah. Kalau kita perhatikan bagaimana nekadnya para pengedar narkoba itu, siapapun terancam oleh pengaruh jahat mereka. Seperti pengalaman si Arif yang hampir diracuni, dicekoki oleh bandit-bandit itu. Sekali lagi itu yang abang mohonkan kepada Allah. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari pengaruh jahat itu.’

‘Benar bang. Benar sekali yang abang katakan. Di samping itu, kita juga harus memberi pengertian yang mendalam kepada anak-anak kita, serta kepada murid-murid abang di sekolah, tentang buruknya pengaruh penyalahgunaan obat bius itu. Dengan kejadian di sekolah kemarin, saat ini tepat sekali untuk menasihati anak-anak itu kembali,’ usul ibu Fat.

‘Kamu benar. Itu pula yang ada dalam pikiran abang. Apalagi kemarin sempat beredar desas-desus, seolah-olah anak itu sudah diterima sebagai murid SMU 369 oleh ibu Purwati. Perlu benar abang meluruskan masalah itu di sekolah,’ pak Umar menambahkan.

‘Namanya juga gossip. Kalau tidak cepat dipintas, yang sejengkal nanti bisa jadi sedepa. Yang tidak ada bisa jadi ada.’

‘Padahal ibu Purwati belum menerimanya sebagai murid di sekolah itu. Dan menurut ibu Purwati pula dia sama sekali tidak tahu bahwa anak itu kecanduan narkoba seperti itu.’

‘Tapi bagaimana pendapat abang, seandainya anak itu suatu saat, dengan pertolongan Allah, sembuh dari ketagihan obat bius? Bisa tidak anak itu bersekolah kembali? Bisa tidak anak itu di terima di sekolah yang abang pimpin?’

‘Kalau memang sudah terbukti sembuh, dia harus diberi kesempatan lagi untuk bersekolah. Justru anak-anak seperti itu harus dibina dengan lebih baik. Sesudah pengalaman buruk mereka sebagai pengguna obat terlarang, mudah-mudahan mereka lebih sadar sehingga lebih banyak kesempatan mereka untuk menjadi orang baik-baik,’ jawab pak Umar.

‘Alhamdulillah, sependapat benar saya dengan abang.’

‘Iyalah, Fat. Kalau memang dia itu sudah sembuh, kewajiban kita untuk membina anak-anak seperti itu kembali. Mereka itu tetap berhak untuk mendapatkan pendidikan. Justru sangat tidak adil jika ada anak-anak korban narkoba tidak diijinkan kembali ke sekolah.’

‘Hanya saja, menurut pendapat saya perlu adanya perhatian lebih khusus, bang. Paling tidak agar anak-anak seperti itu dapat terhindar dari kekeliruan yang sama untuk kali berikutnya. Siapa tahu, karena pergaulan dengan teman-teman lama, mereka itu bisa kena pengaruh lagi.’

‘Sudah barang tentu,’ jawab pak Umar.

Masih seperempat jam sebelum azan subuh. Fauziah terbangun. Didapatinya kedua orang tua sedang berbincang-bincang sambil duduk di sajadah masing-masing. Fauziah tersenyum manja melihat orang tuanya. Dia mengucapkan salam kepada mereka dengan sapaannya yang khas.

‘Assalamu’alaikum warahmatullah ya abiy, ya ummiy,’ yang disahut ayah dan ibu hampir berbareng.

‘Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh ya habibiy.’

Fauziah langsung ke kamar mandi untuk berwudhuk. Beberapa menit kemudian Faisal dan Amir menyusul bangun. Mereka bersiap-siap untuk pergi shalat subuh ke mesjid. Tidak lama kemudian azan subuh berkumandang dari mesjid Al Muhajirin. Mereka bergegas menuju mesjid.


*****

Rinto dan Rano sedang dikerubungi beberapa teman-temannya. Mereka menanyakan apa hasil wawancara kedua anak itu dengan ibu Purwati siang kemarin, mengenai issue yang lagi ramai digossipin anak-anak tentang seorang murid baru yang katanya ‘morfinis’. Gaya kedua anak itu memberi keterangan menjawab pertanyaan teman-temannya seperti pejabat sedang melakukan konferensi pers.

Anto sedang berjalan berdua dengan Herman dengan santai, melalui kerumunan anak kelas dua A, menuju kelas mereka. Kedua anak itu berdiri sebentar persis dekat wawancara yang tengah berlangsung. Sebenarnya Anto tidak tertarik dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi lamat-lamat dia mendengar.

‘Anak yang kemungkinan memang morfinis itu, memang keponakan ibu Purwati. Tapi kayaknya belum diterima di sekolah ini.’

Anto tertarik untuk tahu lebih banyak. Dia ikut merapat dan mendengar wawancara itu, sementara Herman sama sekali tidak tertarik dan terus berlalu menuju kelasnya, kelas dua C .

‘Emangnya, lo dibilangin ibu Purwati kalau anak itu memang keponakannya?’ tanya Ames.

‘Iya,’ jawab Rinto.

‘Dan lo tau dari mana kalau anak itu morfinis?’

‘Dari pak Mursyid. Pak Mursyid bilang, gejala kayak gitu nggak salah lagi pasti ‘pemakai’ aktif,’ Rano tidak mau kalah memberi keterangan.

‘Emang, pak Mursyid juga ngelihat anak itu kemaren? Kalau gitu jangan-jangan anak itu memang udah jadi murid baru di sini,’ kata Dewi.

‘Kayaknya pak Mursyid nggak ngelihat langsung, deh. Kayaknya dia berkesimpulan dari ceritanya ibu Purwati. Waktu gue tanyain, dia juga nggak tahu gimana anak itu bisa sampai pingsan,’ Rinto menjelaskan.

‘Pak Mursyid cerita nggak, apa anak itu sudah resmi jadi murid di sini?’ tanya Dewi lagi.

‘Gue nggak nanya. Tapi kayaknya anak itu memang belum diterima di sini deh,’ jawab Rinto.

‘Lo yakin anak itu belum diterima? Bukannya kemarin itu sudah mau mulai belajar di sini, katanya?’ tanya Ames lagi.

‘Katanya siapa? Ah, lo selalu sok tau gitu deh,’ Dewi berkomentar.

‘Katanya gossip… mangkanya gue nanya. Apa bener begitu?’

‘Nggak bener. Menurut ibu Purwati, itu nggak bener. Ayah anak itu memang kepengen mendaftarkan anak itu di sekolah ini. Tapi belum. Tadinya ibu Purwati mau nemanin menghadap pak Umar, mau nanyain apa anak itu bisa masuk di sini. Tapi belum sempat ketemu pak Umar sudah kejadian begitu,’ jawab Rinto.

‘Tapi katanya pak Mursyid kemarin sudah ketemu pak Umar, gimana sih?’ tanya Dewi pula.

‘Sudah ketemu di tempat parkir, waktu tentara sama anaknya itu mau pergi, pak Umar datang. Tapi mereka belum sempat ngomong apa-apa dengan pak Umar,’ jawab Rinto menjelaskan.

‘Gimana kalau kita tanya pak Umar?’ Dewi mengusul.

‘Lo, mau nanyain apa?’ Rinto balik bertanya.

‘Kan belum pasti apa anak itu sudah diterima di sini atau belum. Mendingan kita tanya lagi aja pak Umar, biar jelas ,’ Dewi menambahkan.

‘Terus kalau misalnya pak Umar bilang, emang sudah diterima lo mau bilang apa?’ tanya Ames.

‘Ya, gue nggak tau. Tapi kan biar nggak penasaran. Biar yakin. Soalnya gue pengen tau apa pak Umar mau menerima anak-anak yang terlibat kasus ngeboat gitu. Kalau ia, kalau dia mau nerima, gimana dong teman-teman kita yang dulu pernah dikeluarin dari sekolah ini?’ ungkap Dewi.

‘Oh, begitu maksud lo. Gue rasa mendingan kasus ini diterusin dulu ke OSIS. Biar OSIS yang nanyain. Kalau memang iya, bener juga yang dibilang Dewi. Gimana dengan teman-teman kita yang dulu dikeluarin dari sini,’ usul Ames.

‘Emang siapa aja sih yang dulu udah dikeluarin itu?’ tanya Rano.

‘Masak lo udah nggak ingat sih? Itu lho. Edwin, Parlin, Wahyu. Anak-anak kelas dua tahun lalu. Semua kan ada catatannya di TU,’ Ames masih hapal aja.

‘Tapi, kok jadi ngawur gini sih? Lagian, emangnya lo-lo tau kalau tuh anak-anak yang dulu dikeluarin masih pengen sekolah lagi?’ Sri ikutan nimbrung.

‘Ya, mending gitu aja, Rinto. Lo kan pengurus OSIS. Lo diskusiin sama pengurus lainnya. Terus nanti datang menghadap pak Umar. Untuk klarifikasi ceritanya. Nih, kan ada anak OSIS lain, ada Anto juga di sini,’ usul Ames lagi sambil melirik Anto. Ames dari dulu memang ngefan berat sama Anto.

Dari tadi Anto berusaha menjadi pendengar yang baik. Dia hanya menyimak diskusi anak-anak itu tanpa mengajukan pertanyaan atau berkomentar apapun. Rano yang baru sadar kalau Anto berada di antara kerumunan anak-anak itu, melirik Anto dan bertanya.

No comments: