Tuesday, December 23, 2008

SANG AMANAH (104)

(104)


Guru-guru itu semua diam. Tidak ada yang berkomentar. Akhirnya pak Mursyid membuka suara.

‘Maksud bapak, mobil hadiah itu mau bapak jual? Kenapa tidak dipakai saja pak?’ tanyanya.

‘Walaupun saya masih seperti setengah bermimpi, saya berharap bahwa ini bukan mimpi. Betul sekali, kalau hadiah itu benar-benar seratus persen nyata seperti yang tertulis di koran itu, maka saya akan menjualnya. Kenapa? Pertama saya tidak punya uang untuk membayar pajak undian yang duapuluh persen. Saya juga tidak punya uang untuk membayar biaya balik nama. Saya lebih tidak punya uang untuk membiayai sebuah mobil. Dan rasa-rasanya, mobil itu buka milik saya. Maka apa yang terfikir oleh saya saat ini, sekali lagi mudah-mudahan hadiah itu sungguh-sungguh, uang hasil penjualannya itu kita gunakan pertama sekali untuk biaya perawatan Suwagito. Seandainya uang itu berlebih, rasa-rasanya tentu berlebih, uang itu akan saya tempatkan dalam tabungan kepala sekolah di Bank Muamalat. Uang itu akan digunakan untuk kemashlahatan atau keperluan yang bersangkut-paut dengan sekolah. Seperti misalnya membantu Suwagito sekarang ini. Seandainya, Allah SWT berkehendak, umur saya singkat, maka uang itu hanya dapat diambil oleh kepala sekolah berikutnya. Tentu saja bapak-bapak dan ibu-ibu semua dapat mengontrol penggunaannya,’ pak Umar menjelaskan.

Sekarang semua guru-guru itu malahan bingung dengan apa yang baru saja mereka dengarkan. Jadi pak Umar tidak akan menggunakan hadiah itu untuk dirinya sendiri? Wah! Benar-benar.

‘Maaf pak, apa saya boleh mengusul,’ ujar pak Muslih.

‘Silahkan pak Muslih!’

‘Saya ingin usul, silahkan saja pak Umar menjual mobil hadiah itu karena memang terbentur dengan biaya pajak, balik nama dan sebagainya. Tapi menurut pendapat saya, sisa uangnya tetap milik bapak. Kalaupun bapak mau membantu biaya pengobatan Suwagito, bagus-bagus saja. Tapi biar orang tuanya juga ada pengorbanannya. Apalagi kalau dia sudah bersedia mau menjual rumahnya. Itu memang sudah merupakan resiko orang tua. Dan saya rasa, jangan terus semua biaya diambil alih oleh pak Umar, biarpun ternyata sekarang ada hadiah ini. Itu saja usul saya, pak.’

‘Maaf, sebelum pak Umar menanggapi pak Muslih, boleh saya menambahkan pak?’ tanya pak Hardjono.

‘Silahkan pak Hardjono!’

‘Pertama saya sependapat dengan pak Muslih. Yang kedua, mungkin perlu juga dipertimbangkan untuk memberi bahagian kepada Arif, pak. Karena dia yang telah mengisi kupon undian itu untuk bapak. Itu saja pak,’ ujar pak Hardjono.

‘Masih ada yang ingin menambahkan?’ tanya pak Umar.

Guru-guru itu diam semua.

‘Baiklah. Pertama saya ulangi kembali, saya tetap tidak merasa memiliki hadiah itu. Biarpun nama saya tercantum di sana, tapi saya tidak merasa telah berbuat apa-apa untuk memperolehnya. Katakanlah itu memang rezki saya dari Allah, biarpun saya tidak berusaha apa-apa tapi Allah berkehendak memberikannya kepada saya. Seandainya ini benarpun, saya merasa bahwa ini merupakan ujian Allah bagi saya. Bagaimana saya harus menyikapinya. Sementara itu, ada seseorang, yang kehidupannya tidak terlalu mudah. Seorang sopir taksi yang setiap hari harus mengejar setoran, tiba-tiba mendapat musibah. Kebetulan orang itu adalah orang tua dari murid kita. Kebetulan musibah itu terjadi di depan hidung kita. Ketika dia mau pulang dari sekolah, dia mengalami kecelakaan. Tiba-tiba begitu saja. Perlu biaya besar untuk menyelamatkannya. Allah menitipkan kepada saya sejumlah uang, yang bukan hasil cucur keringat saya, tapi tertulis atas nama saya. Maka saya tidak akan sanggup mengambil uang itu. Yang terakhir, yang lebih penting lagi, kalau kita hubung-hubungkan sedikit apa penyebab awal dari datangnya hadiah itu. Kupon itu diisi oleh Arif Rahman yang menemani Hardi mengambil foto hasil pertandingan bola basket. Foto-foto itu dibiayai dengan uang kas sekolah. Memang saya yang memberikan uang itu kepada pak Hardjono dan pak Hardjono memberikan kepada Hardi, tapi uang itu uang kas sekolah. Bukan uang saya. Jadi yang berhak dengan hadiah itu adalah sekolah.’

Kembali diam. Tapi ada bisik-bisik. Pak Wayan berbisik-bisik dengan pak Tisna yang duduk di sebelahnya. Ibu Purwati berbisik-bisik pula dengan pak Situmorang. Lalu ibu Purwati mengangkat tangan.

‘Boleh saya ikut menambahkan lagi pak?’ tanya ibu Purwati.

‘Silahkan bu!’

‘Bagaimana kalau begini saja pak. Saya coba menghitung-hitung. Kalau saya tidak salah hadiahnya sebuah Toyota Kijang. Kita tidak tahu jenis yang mana. Kita anggap yang model sederhana, bukan Kijang Super. Harganya, kosong sekitar seratus dua puluh juta. Pajak undian dua puluh lima persen, tiga puluh juta. Tinggal sembilan puluh juta. Pak Umar sumbangkan sepuluh juta untuk biaya pengobatan Suwagito, biar ayahnya mencari sisanya. Agar seperti kata pak Muslih orang tuanya merasa bertanggung jawab juga. Lalu sisa uangnya masih delapan puluh juta. Katakanlah pak Umar bagi juga berapa misalnya dengan Arif. Jumlah yang tersisa masih cukup besar. Bagaimana kalau sisanya itu dibelikan mobil bekas, karena hadiah awalnya adalah mobil, dan mobil itu digunakan sebagai kendaraan dinasnya pak Umar. Katakan juga kalau memang pak Umar nanti pindah entah kapan-kapan dari sekolah ini, mobil itu biar tetap ada di sini, sebagai mobil dinas sekolah.’

Guru-guru itu manggut-manggut. Sepertinya usulan ibu Purwati sangat masuk akal dan tidak mengada-ada.

‘Maaf, ibu Purwati. Saya tidak sanggup membiayai mobil dinas sekalipun. Benar-benar tidak sanggup. Tentu nanti mobil itu perlu biaya pemeliharaan. Perlu biaya ini-itu. Biaya bensinnya sehari-hari. Saya tidak sanggup. Dan saya tidak pula memerlukan mobil. Kembali kepada orang tua Suwagito. Saya setuju agar dia juga ikut memikirkan biaya pengobatan anaknya. Tapi dia jelas tidak sanggup. Saya tidak sampai hati membiarkannya tidak punya tempat tinggal. Tempat tinggal yang dipunyainya sekarang mungkin hasil dia menabung bertahun-tahun.

Gabungan dari kedua alasan itu tadi, saya tidak butuh mobil, uang ada, pak Slamet terancam harus menjual rumah, bagi saya hanya ada satu kesimpulan. Biarlah biaya perawatan Suwagito itu menggunakan uang itu saja. Sisanya kita simpan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat nanti.’

‘Saya usul pak,’ giliran pak Sofyan.

‘Baik pak Sofyan.’

‘Karena dalam hal ini pak Umar sangat tegas dalam memegang prinsip, saya rasa tidak perlu dipanjangi lagi pak. Kalau menurut pak Umar, memang itu yang terbaik, saya rasa, atau saya ingin usul, agar kita serahkan saja kepada kebijakan pak Umar sendiri. Apa yang disampaikan sebagian dari guru-guru, yang menurut kami-kami adalah baik, tapi menurut pak Umar ada yang lebih baik lagi, maka akhirnya lebih baik kita serahkan saja kepada pak Umar. Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain?’

‘Setuju!!!’ ujar beberapa orang guru.

‘Apa perlu voting?’ tanya pak Mursyid sambil tersenyum.

‘Nggak usah, pak. Saya setuju. Atau……. Siapa… bapak ibu yang setuju usul pak Sofyan? Coba angkat tangan!’ ujar pak Muslih.

Gerrrrr. Guru-guru itu tertawa. Waktu pak Muslih mengangkat tangan, yang lain ikut-ikutan mengangkat tangan. Akhirnya semuanya mengangkat tangan.

‘Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu. Kalau begitu kita akhiri saja rapat kita siang ini. Maaf ini, saya ingin melihat anak itu lagi ke rumah sakit. Dengan demikian rapat ini saya tutup dengan resmi.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.’

(Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu).

Rapat itu selesai. Sebelum bubaran, pak Hardjono menghampiri pak Umar.

‘Bapak mau ke rumah sakit lagi?’

‘Benar pak Hardjono,’ jawab pak Umar.

‘Bagaimana kalau saya ikut? Maksud saya kalau bapak ikut mobil saya. Nanti bapak saya antar kembali ke sini.’

‘Tawaran yang sangat bagus. Terima kasih. Saya setuju.’


*****

No comments: