Thursday, December 27, 2007

HELAT KHATAM KAJI

HELAT KHATAM KAJI

Sudah tiga hari Syamsuddin Sutan Rajo Endah berada di kampung. Akhirnya sampai juga dia di kampung setelah sembilan tahun tidak menjejak negeri ini. Padahal sudah berkali-kali pula mamaknya Marah Sutan berpesan menyuruh dia pulang. Sanak saudara sudah rindu kepadanya anak beranak. Alhamdulillah akhirnya kesampaian juga. Mereka sekeluarga bisa pulang kampung ketika anak-anak sedang libur kenaikan kelas. Berkendaraan Kijang Krista.

Dan ternyata kampung sedang ramai-ramainya. Sumatera Barat sedang di serbu orang rantau. Banyak benar orang rantau pulang. Bermacam-macam nomor polisi mobil di parkir di bawah Jam Gadang. Ada oto dari Medan, dari Pekan Baru, dari Jambi, dari Palembang, dari Lampung, dari Jakarta (jangan lagi dihitung), dari Bandung, dari Semarang, dari Surabaya dari Bali, bahkan dari Kalimantan Timur. Sudah seperti Indonesia kecil Bukit Tinggi.

Ini adalah hari-hari helat khatam Quran. Di tiap kampung ada perayaan khatam Quran. Perayaan yang merupakan helat nagari. Berdiri merawa dan umbul-umbul. Ada gapura dengan baleho dan tulisan besar. Biasanya tertulis ‘Perayaan Khatam Quran yang ke sekian’, dengan bilangan kesekiannya bisa mencapai angka 40 atau bahkan lebih. Artinya sudah empat puluh kali lebih pula perayaan yang sama diadakan setiap tahun.

Tidak terkecuali di kampung Syamsudin. Pesta kali ini adalah yang ke empat puluh lima. Meskipun dia pulang bukan khusus untuk menghadiri Perayaan Khatam Quran, tapi karena sudah di kampung kenapa pula tidak diikuti saja. Apatah lagi, kemenakannya Kamisah ikut berkhatam tahun ini. Di rumah ibunya orang sibuk menyiapkan perhelatan besok hari. Seekor kambing dipotong sore ini dan ibu-ibu bergotong royong memasak.

Mesjid dan gedung Taman Bacaan Al Quran atau yang biasa disingkat gedung TBA, sudah dihiasi sejak beberapa hari yang lalu. Pintu gapura mesjid dihiasi dengan gaba-gaba. Bendera adat yang mirip dengan bendera negeri Jerman itu, atau yang biasanya disebut marawa sudahpun terpasang di kiri-kanan jalan sejak seratus meter dari mesjid dan gedung TBA. Di belakang gedung TBA orangpun sibuk memasak. Seekor sapi dipotong untuk dibuat gulai kancah yang besok akan di santap orang se nagari.

Helat itu biasanya dilaksanakan hari Ahad. Sejak pagi-pagi buta semua yang berkepentingan ikut sibuk. Amai-amai yang tadi malam terpaksa tidur terlambatpun tidak terkecuali, harus cepat-cepat bangun. Dan anak-anak yang hari ini akan ‘diarak’ sudah bersolek menor-menor. Mereka akan berarak berkeliling kampung menempuh jarak antara lima sampai tujuh kilometer hari ini. Yang wanita berpakaian putih, berrenda-renda, dengan penutup kepala bersunting kecil berbunga-bunga. Ibu-ibu mereka yang centil tidak lupa melepongkan lepongsitip di bibir mereka agar bertambah menor. Yang pria memakai jubah berwarna merah dan bercelana panjang. Lebih sederhana hiasannya. Cukup dengan ‘sorban’ putih disongkok dengan egal kecil. Sesudah siap masing-masing berangkat menuju mesjid diikuti tukang tudung mereka masing. Tukang tudung yang akan memayungi mereka selama berarak nanti. Tukang tudung yang wanita adalah gadis kecil, biasanya kakak, atau sepupu, atau teman, harus berjilbab. Tukang tudung pria, sama saja, boleh kakak, boleh anak mamak, boleh kawan. Boleh pakai celana panjang, boleh pakai kain sarung tapi harus berkopiah.

Yang berkhatam tidak semua yang tinggal di kampung. Banyak juga yang meninggalkan anaknya dengan nenek mereka untuk mengaji di kampung. Belajar tulis baca al Quran itu berlangsung setahun. Mulai dari mengaji alif-ba-ta, sampai pandai merangkai huruf demi huruf , sampai akhirnya pandai mengaji. Dalam waktu setahun banyak yang sudah lancar mengaji tapi masih ada juga yang belum begitu lancar. Tapi semua dikhatam saja. Semua diikutsertakan.

Jam tujuh mulai diatur barisan di jalan di depan mesjid. Di depan sekali adalah dua anak muda berbaju putih dan berkopiah membawa spanduk dengan tulisan berisi nama taman bacaan al Quran. Ada tulisan nomor perayaan yang ke empat puluh lima di spanduk itu. Dia inilah kepala barisan. Lalu delapan orang anak gadis berpakaian adat dengan tutup kepala bertanduk, masing-masing membawa cerana bagaikan mau mengundang orang banyak untuk datang ke perhelatan ini nanti. Empat orang yang bertingkuluk tanduk itu masih memakai jilbab. Sudah ada juga kemajuan. Di belakangnya barisan pembawa bendera merah putih sebanyak dua puluh orang anak muda-muda berbaju putih, berselempang kain merah putih dan berpeci, berbaris empat-empat. Sesudah itu ada pula sebuah bendi yang sudah dihias, yang entah kenapa harus pula ikut, membawa seorang anak yang memangku al Quran. Beruntung betul anak kecil yang duduk di bendi itu. Lalu barisan anak-anak wanita membawa al Quran. Dua puluh orang banyaknya. Lalu barisan Drum Band. Inilah nanti yang akan membuat atraksi musik sepanjang jalan. Di belakangnya berbaris anak-anak perempuan yang di khatam berdua-berdua dengan tukang tudung. Dibelakang barisan anak perempuan ada barisan anak-laki-laki pula membawa al Quran. Dua puluh orang juga. Seterusnya anak-anak laki yang di khatam beserta tukang tudungnya masing-masing. Di belakang mereka ini kelompok tukang rebana, sembilan orang berumur antara tiga puluhan sampai yang paling tua mungkin sudah hampir enam puluh tahun, masing-masing membawa rebana. Di belakang tukang rebana bergerombol sanak saudara dari yang ikut di khatam. Ada mak etek, mak ciak, pak tangah, etek, semua lengkap ada disana. Belum selesai, dibelakang ini berbaris-baris oto urang rantau yang anaknya, atau kemenakannya ikut dikhatam sebagai cadangan kalau-kalau gerombolan yang di depan itu nanti tidak kuat lagi berjalan.

Hampir jam delapan barulah semuanya siap, mulailah arak-arakan itu bergerak. Heboh negeri. Terutama oleh rombongan drum band yang berketintam-ketintam. Rombongan itu bergerak perlahan-lahan. Menyusuri lebuh yang panjang. Selalu saja ada seksi repot. Yang sibuk ke muka ke belakang mengingatkan ini itu. Selalu saja ada tukang foto. Yang amatir, yang pro, yang partikelir. Dan bahkan yang berhandy cam, kenapa tidak. Ini biasanya orang rantau. Dan barisan yang ramai sekali setahun itu riuh rendah berarak-arak.

Ketintam-tam-tam-tam-tam, ketintam-tam-tam-tam-tam. Bunyi drum band bertalu-talu. Sang ‘komandan’, beratraksi mempertunjukkan kebolehannya memain-mainkan ‘tongkat komando’ yang kadang-kadang dihambungkannya tinggi-tinggi ke udara bila melintas di depan orang yang menonton di tepi lebuh. Waktu tongkat itu ditangkapnya kembali orang yang menonton bertepuk. Kembang kempis hidung ‘komandan’.

Di barisan belakang, meski suaranya nyaris hilang ditelan suara drum band, tukang rebana seolah tidak mau kalah untuk menunjukkan kebolehannya. Dung dung plak, dung plak, dung plak. Dung dung plak, dung plak dung plak. Dan mereka bernyanyi, tingkah bertingkah dengan suara rebana yang mereka pukul.

‘Junjungan kita nabi Muhammad, nabi terakhir pemimpin umat, turuti dia agar selamat, hidup di dunia sampai akhirat.’ Dung dung plak, dung plak, dung plak. Dung dung plak, dung plak dung plak.

Arak-arakan itu bergerak terus pelan-pelan ke jorong tetangga. Bahkan ke nagari tetangga. Yang di mudik dan di hilir. Yang diujung dan di puhun. Kira-kira jam sepuluh atau sesudah dua jam berarak-arak, baru setengah jalan yang ditempuh. Peluh sudah mulai bercucuran. Haji-haji kalakalun, haji sudah ke mekah alun itu, meski sudah bercucuran keringat tetap berusaha untuk terlihat bersemangat. Tidak jarang yang kakinya lecet oleh sepatu baru. Terpaksa ditukar dengan sendal japit yang untung saja sudah disiapkan.

Jam dua belas, menjelang azan zhuhur barisan itu sudah kembali ke pangkalan. Rombongan yang berkhatam beserta tukang tudung dibawa ke rumah tempat jamuan khusus bagi mereka. Yang mengiringi, siapa saja yang mau, menuju ke gedung TBA yang sudah disiapkan. Di lantai yang beralaskan tikar plastik, dibuatkan jamba di atas daun pisang. Nasi dengan gulai kancah, untuk disantap beramai-ramai. Makan berjamba, makan bersama, berempat berlima satu jamba menghadapi tumpukan nasi beralas daun pisang itu. Nikmat betul makan berserigir-serigir seperti itu. Karena tempat tidak mencukupi makan terpaksa berombongan. Berganti-ganti.

Hari itu belum akan dimulai perlombaan membaca al Quran. Karena anak-anak yang berkhatam itu masih keletihan sesudah berarak-arak.

Dan di rumah mereka masing-masing sanak saudara berdatangan pergi makan. Bako, saudara-saudara perempuan ayah, datang menjunjung talam dan mengempit ayam betina. Begitu pula adatnya. Sesudah makan minum, mereka yang datang bersalaman dengan yang berkhatam. Lima ribu, sepuluh ribu, dua puluh ribu, lima puluh ribu, seratus ribu. Kenapa tidak? Gedang kayu gedang bahan. Yang berkhatam tersenyum-senyum. Tiap sebentar dihitung juga uang yang sudah terkumpul. Mereka sudah punya rencana. Kalau uangnya cukup nanti mau membeli play station.

Hari kedua adalah hari perlombaan membaca al Quran. Guru mereka sudah menetapkan bacaan yang akan dibaca pada saat lomba. Lomba membaca ini diadakan di mesjid. Dibuatkan panggung khusus. Masing-masing diberi nomor undian untuk menentukan siapa yang akan dahulu membaca. Ada juri yang akan menilai. Mesjid biasanya dipenuhi kaum keluarga yang ingin mendengarkan seberapa baik bacaan anak kemenakan mereka.

Maka satu persatu naik ke mimbar khusus. Ada yang sudah berdaso, sudah rancak bacaannya. Ada yang masih berkalentoh pentoh, ada yang masih berbaur saja panjang dengan pendek. Ada yang demam panggung. Ada yang tersesak ke belakang tiap sebentar. Tapi semua harus maju. Semua harus membaca.

Tergantung jumlah yang berkhatam, biasanya menjelang zhuhur atau lebih sedikit waktu zhuhur semua sudah kebagian. Tim juri berunding sebentar untuk menetapkan siapa yang paling baik. Kalau dulu, juaranya mengirit (=menarik) kambing karena hadiah buat yang nomor satu adalah seekor kambing. Sekarang-sekarang ini sudah lebih bervariasi. Kadang-kadang cincin emas, bahkan kadang-kadang uang dalam bentuk tabungan di BRI.

Pengumuman pemenang akan dilakukan nanti malam sesudah shalat isya. Beramai-ramai pula kembali ke mesjid. Pada kesempatan malam ini digunakan juga untuk bertemu muka dengan perantau. Panitia akan meminta perantau yang boneh (=sukses) untuk berpidato. Bolehlah kalau ingin menyampaikan pesan dan kesan. Asal jangan lupa, kalaupun tidak sempat pulang tahun depan namun pekirim saja boleh jugalah. Karena orang rantau memang ikut membiayai helat itu.

Dan puncak acara bagi anak-anak yang dikhatam malam ini adalah pengumuman juara. Dimulai dengan juara harapan tiga, harapan dua, harapan satu. Lalu juara tiga, juara dua dan….juara satu. Masing-masing untuk putera dan puteri. Bermacam-macam hadiah yang dibagikan. Hadiah yang disponsori orang rantau. Kadang-kadang terjadi juga ironisnya hadiah. Hadiah nomor satunya sebuah TV berwarna 14 inci. Apa daya listrik di rumah yang jadi juara belum masuk.

Kamisah, kemenakan Sutan Rajo Endah, atau cucu mak Marah dapat juara dua. Hadiahnya radio tape merek ‘National’.

Selesai helat di mesjid. Helat di rumah bisa berhunyai-hunyai. Bukan apa-apa, siapa pula yang akan sanggup makan sampai sepuluh kali sehari? Karena setiap datang ke tempat yang berkhatam harus makan. Sebuah ‘harus’ yang memang harus di bold menulisnya. Kalau tidak makan, tidak baik namanya dalam adat.


*****

No comments: