Wednesday, April 30, 2008

PERTEMUAN

PERTEMUAN

Sekitar setahun yang lalu aku mendapatkan nomor telepon (hp) seorang keturunan Syekh Ahmad Khatib yang bermukim di Jeddah. Dari perkenalannya dengan angku Ridwan Sirin, dia menyatakan keinginannya untuk menelusuri jejak keturunannya di Tanah Minangkabau. Keinginannya itu disampaikan angku Ridwan ke ustad Zulharbi yang secara tidak disengaja sampai kepadaku, ketika kami sedang pergi mengantarkan sumbangan untuk korban gempa di Sumatera Barat.

Ringkas cerita, aku mencoba mengontaknya melalui pesan singkat sms, yang berlanjut dengan pembicaraan kami di telepon. Dari awal aku katakan bahwa aku bukanlah orang yang dicarinya, dan aku menjelaskan hubunganku dengan kakek buyutnya yang bersangkut paut secara kekerabatan Minangkabau sedangkan orang yang dicarinya adalah kakek buyut secara nasab.

‘Bagaimanapun juga, kita masih karib kerabat. Akan aku beritahukan kepada saudaraku yang biasa bepergian ke Jakarta, agar menghubungimu kalau kebetulan dia ke Jakarta,’ katanya.

‘Akupun insya Allah akan menelponmu seandainya aku berkunjung kesana,’ kataku waktu itu.

Sayangnya, sejak kontak telepon sekali itu tidak pernah lagi kami berbagi berita.

Waktu aku berkesempatan mengunjungi Tanah Suci beberapa hari yang lalu, aku kembali mengontaknya. Mula-mula aku kirim sms, dari nomor lokal yang aku beli disana. Nomor yang ternyata bermasalah di hari-hari pertama, karena tidak bisa menerima panggilan dan tidak bisa menerima sms. Akhirnya aku telepon dia. Kami berbicara lagi di telepon. Aku utarakan keinginanku untuk bertemu dengannya. Dia menolaknya karena dalam keadaan sakit yang cukup serius dan tidak diperkenalkan menerima tamu.

‘Aku akan memberi tahu kakakku agar menghubungimu. Kapan kau akan berada di Makkah?’ tanyanya.

Aku memberikan jadwal perjalananku dan juga waktu aku akan berada di Makkah.

Ketika kami sampai di Makkah, aku menerima telepon dari seorang wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai keturunan Al Khatib.

‘Aku adalah kakak dari A yang sebelumnya sudah berbicara denganmu. Aku ingin mengundangmu datang ke rumah kami,’ katanya. ‘Tapi sebaiknya kau lanjutkan pembicaraan dengan suamiku,’ tambahnya.

Kudengar suara laki-laki yang menyapaku dengan panggilan brother Muhammad. Diulanginya undangan yang sudah disampaikan istrinya.

‘Insya Allah,’ jawabku. ‘Dimana kalian tinggal dan bagaimana caranya aku datang ke tempatmu?’ tanyaku pula.

‘Aku akan mengirim orang menjemputmu. Jam berapa kau bisa datang?’ tanyanya.

‘Setiap saat sesudah shalat isya,’ jawabku.

‘Baiklah. Kau tunggu jam setengah sepuluh malam hari Senin, di hotelmu,’ ujarnya.

Jam setengah sepuluh malam memang agak sedikit kemalaman, tapi itulah waktu yang lebih mudah berkendaraan di jalan-jalan kota ini. Karena usai shalat isya adalah jam setengah sembilan malam dan saat itu jalanan tumpah ruah dengan manusia yang baru keluar dari mesjid.

Aku dan istriku menunggunya di lobby hotel. Seorang berpakaian maghribi ditemani petugas hotel mendekatiku dan bertanya sambil menyebut namaku. Laki-laki berpakaian maghribi itu mengatakan sesuatu, yang aku tangkap maksudnya bahwa dia utusan Dr. Obeid untuk menjemputku.

Kami segera berangkat menuju tempat kediamannya yang tidak terlalu jauh. Mobilnya disupiri orang Jawa Timur. Dia dan istrinya bekerja di rumah Dr. Obeid. Ditambahkannya lagi bahwa sopir ada dua orang dan keduanya bersama istri mereka bekerja di rumah itu. Laki-laki berpakaian maghribi itu adalah orang senegara Dr Obeid, orang Mesir dan juga bekerja di rumah yang sama sebagai penjaga merangkap orang kepercayaan.

Hampir tengah malam itu jalan masih agak macet. Sudah lebih jam sepuluh malam ketika kami sampai disana. Sebuah rumah yang cukup besar. Si laki-laki Mesir (namanya Ibrahim) mengantarkan kami ke sebuah ruangan tamu besar dan mempersilahkan kami duduk menunggu sebentar.

Beberapa saat kemudian datang F, wanita tuan rumah yang sebelumnya sudah berbicara denganku di telepon. Penampilannya agak sedikit formal mula-mula. Dia bersalaman dengan istriku dan mengangguk kepadaku. Aku balas mengangguk.

‘Anda kakaknya A?’ tanyaku agak sedikit asal-asalan.

‘Ya, kakaknya yang paling tua. A adalah adik bungsuku,’ jawabnya.

‘Berapa orang kalian bersaudara?’ tanyaku.

‘Delapan orang,’ jawabnya.

‘Dan salah satunya pilot Saudia Arabia?’ tanyaku pula.

‘Bukan. Tidak ada saudaraku yang pilot,’ jawabnya.

Mungkin aku salah dengar dari A.

‘Kenapa kau katakan A tidak bisa dikunjungi? Apakah dia dirawat di rumah sakit?’ tanyaku.

‘Dia di rumahnya di Jeddah. Atas saran dokter dia harus meminimalisir menerima tamu. Sebenarnya dia juga sangat ingin bertemu denganmu,’ jawabnya.

‘Apakah dia sudah bercerita tentang obrolan kami di telepon ?’ tanyaku lagi-lagi agak bodoh.

‘Ya. Dia sudah menceritakannya,’ jawabnya.

Kami melanjutkan obrolan basa basi. Dia menanyakan berapa lama aku akan berada di Makkah. Yang agak aku herankan, sudah lebih lima menit, dia masih tetap sendirian saja. Aku tidak tahan untuk tidak menanyakan dimana suaminya.

‘Dia masih ada pekerjaan sedikit. Sebentar lagi dia akan hadir disini,’ jawabnya.

Betul saja. Tidak berapa lama kemudian, suaminya, Dr. Obeid masuk ke ruangan tamu besar ini. Kami bersalaman dan dia memelukku. Usianya sudah sekitar 65 tahun, terlihat sehat. Ternyata dia lawan berbicara yang sangat baik. Orangnya ramah dan humoris.

Aku ulangi lagi pembicaraan mengenai bagaimana awalnya aku berkenalan dengan A, melalui teman-teman di internet, pembicaraan di telepon dengannya dan sebagainya. Dia menanyakan bagaimana hubungan kekeluargaanku dengan Syekh Ahmad Khatib. Aku beritahu dia bahwa aku membawa ‘pohon keluarga’ versi Minangkabau dan akan aku perlihatkan kalau dia berminat. Ternyata dia sangat berminat. Aku menjelaskan bahwa budaya Minangkabau membuat ranji ini melalui jalur ibu, dan setiap laki-laki hanya dicatat istri dan anak-anaknya saja.

‘Kalau begitu, tentu kau punya catatan tentang istri dan anak-anak Syekh Ahmad Khatib ?’ tanyanya.

‘Ya', jawabku. 'Beliau mula-mula kawin dengan X, punya anak dua orang laki-laki. Waktu X meninggal beliau menikahi adiknya Y dan darinya beliau punya anak satu laki-laki dan satu perempuan,’ aku menjelaskan sambil menunjukkan nama-nama itu di dalam ranji.

‘Sahih,’ katanya.

‘Siapa nama anak laki-laki beliau yang paling muda?’ tanyanya mengujiku.

‘Abdul Hamid. Menurut catatan beliau pernah datang dua kali ke Minangkabau. Yang pertama ketika beliau masih sangat muda. Menurut cerita yang aku dapat, beliau hampir menikah dengan wanita di kampungku waktu itu. Tapi tidak jadi dan aku tidak tahu kenapa. Yang kedua di tahun 50an. Aku dengar beliau jadi duta besar Arab Saudi ketika itu. Aku tidak tahu apakah beliau jadi duta besar di Indonesia atau di negara lain,’ jawabku.

‘Sahih,’ katanya. ‘Abdul Hamid adalah ayah dari Fouad. Dan Fouad adalah mertuaku, ayah dari F he..he..he..’ dia menjelaskan sambil tertawa.

‘Tahun 50an beliau jadi duta besar di Pakistan. Dan berkunjung ke Indonesia dalam kunjungan kerja,’ F menambahkan.

‘Apakah kamu punya catatan tentang nama ayah Syekh Ahmad Khatib?’

‘Ayah beliau bernama Abdul Latief Khatib bin Syekh Tuanku Imam Abdullah bin Abdul Aziz. Hanya sejauh itu yang ada catatannya padaku,’ jawabku.

‘Catatan kami memperkirakan kakek beliau berasal dari Makkah juga,’ F menambahkan.

‘Wallahu a’lam, aku tidak tahu,’ jawabku.

Meski dalam hati aku menyangkalnya. Kecuali jika yang dimaksud bahwa kakek beliau juga seorang haji.

Selanjutnya perbincangan kami berjalan akrab. Aku dan istriku diperlakukan sangat baik seperti saudara kandung rasanya. Kami dijamu makan malam. Menunya makanan ala Mesir dan ada juga makanan Indonesia yang sengaja disiapkan untuk kami.

‘Just in case you do not like this Egiptian cuisine,’ katanya.

‘Aku tidak ada masalah dengan makanan. Aku bisa makan apa saja, insya Allah,’ jawabku.

Dan kami makan sambil terus melanjutkan obrolan. Dia sudah beberapa kali datang ke Jakarta dan katanya dia sangat menyukai durian. Kami makan berlima, termasuk anak bungsunya yang sebaya dengan anak bungsuku, seorang dokter yang baru saja menamatkan pendidikannya.

Sesudah makan kami masih melanjutkan lagi perbincangan. Dr. Obeid seorang sarjana Ph.D. dari Virginia Univ. di Amerika. Terakhir dia menjabat sebagai dekan Fakultas Elektro di Universitas Raja Saud di Riadh.

Dia menyenangi politik dan sepertinya dia adalah seorang pengamat politik yang baik. Dia kenal dengan almarhum Muhammad Natsir personally, katanya.


Aku terpancing juga untuk sedikit berkomentar tentang politik dunia dengannya. Inilah kelemahan kita sebagai umat Islam. Kita dipecah belah oleh barat dan kita seperti tidak mau menyadarinya, katanya.

Panjang cerita kami sampai lebih jam satu malam. Istriku sudah sangat terkantuk-kantuk sebenarnya. Aku menceritakan bahwa kami sedang membangun sebuah lembaga pendidikan dengan melekatkan nama Syekh Ahmad Khatib di kampung, insya Allah tempat mendidik calon ulama, diawali dengan pendidikan penghafal al Quran. Dia sangat antusias pula menyambutnya.

F menanyakan apakah aku tidak tahu tentang pertemuan dengan gubernur Sumatera Barat yang juga akan dihadiri oleh saudaranya di Jeddah. Maksudnya, apakah ada kaitannya dengan lembaga pendidikan yang aku maksudkan. Aku jelaskan bahwa kedatangan gubernur Sumatera Barat sangat boleh jadi menyangkut rencana pembangunan sebuah mesjid di Padang yang juga akan mengabadikan nama beliau.

Sudah hampir jam setengah dua malam waktu kami diantarkan kembali ke hotel oleh supirnya ditemani Ibrahim yang menjemput kami tadi. Tapi kali ini dengan supirnya yang satu lagi.


*****

No comments: