Saturday, January 9, 2010

DERAI-DERAI CINTA (43)

43. SEBUAH EVALUASI

Hati Imran yang selama ini dilatih untuk tegar, ternyata bisa juga bergetar. Bergetar karena obrolannya dengan Ratih siang itu. Sejujur-jujurnya, Imran menyukai Ratih. Gadis itu sopan, dan cantik. Dia termasuk yang dinominasi Imran untuk dilamarnya. Tapi nanti. Nanti yang mungkin setahun dua tahun lagi. Setelah dia bekerja. Dan setelah Ratih menamatkan kuliahnya. Tapi ternyata Syahrul sudah lebih dahulu mengutarakan maksud hatinya kepada Ratih. Sesuatu yang sangat wajar. Ratih, di samping sopan dan cantik, yang pasti juga dinilai demikian oleh Syahrul, belum mempunyai hubungan cinta dengan siapapun. Jadi sangat wajar kalau Syahrul melakukan pendekatan.

Imran terbawa perasaan. Dia melamun. Terbayang bagaimana hubungan mereka selama ini. Hubungan persahabatan yang didasari saling hormat menghormati. Hubungan yang terpelihara kesopanannya. Dia ingat ketika Syahrul mengatakan bahwa Ratih sebenarnya ada perhatian khusus kepadanya. Bahkan dulu, entah berapa tahun yang lalu, Ratih mengirim kartu undangan ke acara ulang tahunnya. Selembar kartu undangan yang berbeda. Berbau wangi. Kata Syahrul itu adalah sebuah pertanda. Bahwa di hati Ratih dia itu istimewa. Tapi waktu itu kebetulan dia tidak bisa menghadiri undangan tersebut. Dan tidak pernah mereka membahas tentang undangan itu sesudahnya. Dan undangan seperti itu hanya sekali itu saja.

Sekarang Imran terpaksa harus mencoret nama Ratih dari hatinya. Mencoret nama yang selama ini disimpannya rapat-rapat. Tidak mungkin dia bersaing dengan Syahrul. Itu tidak akan pernah dilakukannya. Dia sangat menghormati dan menghargai Syahrul. Kalau seandainya Syahrul berjodoh dengan Ratih, dia akan mendukung sepenuhnya.


***

Ratih segera menemui uci. Ternyata uci hanya ingin tahu bagaimana jawaban Imran untuk undangan makan malam. Uci senang karena Imran menerimanya. Uci sangat menyukai anak muda itu. Lucu juga nenek ini. Padahal sangat jarang beliau bertemu dengan Imran. Pertemuan yang tidak mungkin dilupakan uci adalah waktu anak muda itu datang membantu mengeluarkan beliau dari kamar mandi yang kuncinya macet.

Tapi beliau sering mendengar cerita Ratih. Ya, Ratih memang banyak bercerita tentang Imran kepada uci. Uci maklum bahwa cucunya menaruh hati terhadap Imran. Dan uci setuju. Beliau sangat senang melihat hubungan anak-anak muda itu, yang sejauh ini hanya sebatas hubungan persahabatan saja. Imran dan Syahrul pernah datang berhari raya ke rumah utama. Menemui keluarga besar pak Bambang Sadarta, bukan semata-mata menemui Ratih. Mereka datang berdua dan tidak mau duduk berlama-lama. Kedua anak muda itu memang pemuda yang sopan.

Ratih menyesal. Menyesal kenapa dia memberi tahu Imran bahwa Syahrul mengungkapkan perasaannya mau melamar dirinya. Ratih melihat perubahan raut wajah Imran ketika mendengar informasi itu. Sepertinya Imran kaget mendengarnya. Tapi kenapa dia kaget? Ah, mungkin dia tidak menyangka saja. Mungkin Syahrul tidak pernah bercerita kepadanya. Bukankah cerita seperti itu tidak akan menarik bagi Imran?

Tapi setelah dipikir-pikir, ada baiknya dia memberi tahu Imran. Ada baiknya juga hasil pembicaraannya dengan Imran tadi itu. Imran mengakui bahwa dia pernah mendengar cerita tentang dirinya dijodohkan dengan Lala. Artinya Imran mengetahui adanya skenario itu. Meskipun mungkin Imran belum dilibatkan. Belum ada yang menanyakan langsung pendapatnya. Bagaimanapun, tentu pada waktunya nanti Imran akan dihadapkan pada kenyataan itu. Akan datang waktunya dia diminta menikahi Lala, sepupunya itu dan Imran tidak akan mungkin menolak. Ratih mengenal Lala. Lala cantik. Rasanya tidak ada alasan bagi Imran untuk menolak menikahinya. Setidak-tidaknya, dari pembicaraan tadi siang Imran tidak menyatakan keberatannya atas kemungkinan itu meski dia juga tidak akan langsung menerimanya.

Ratih menyadari bahwa kemungkinan baginya untuk berjodoh dengan Imran sangat kecil. Boleh dikatakan sudah tidak ada sama sekali. Tidak akan mungkin dia bersaing dengan Lala. Karena faktor keluarga tentu akan sangat berpengaruh.

Tapi Ratih merasa puas. Setidak-tidaknya dia sudah memberi tanda yang sangat jelas bahwa dia tertarik kepada Imran. Meskipun mungkin sekarang sudah tidak akan ada artinya. Imran tetap seorang sahabat yang sangat baik.

***

Sadar bahwa melamun hanya akan membuat setan senang dan tertawa, Imran segera bangkit. Dia akan pergi ke Sekeloa. Sekalian untuk berpamitan. Berpamitan dengan abang Lutfi, teteh Yani dan Lina, bayi mungil yang lincah itu. Berpamitan dengan Lala dan Yuni. Imran mengunci pintu rumah pondokan dan segera berangkat.

***

Waktu Imran baru turun dari becak dilihatnya di kejauhan Lala baru datang dengan motor bebeknya. Rupanya Lala juga melihat Imran.

‘Dari kuliah?’ tanya Imran menyapa begitu Lala sampai di depan rumah.

‘Dari praktikum bang, terus mampir sebentar ke tempat teman.’

‘Kok sepi?’

‘Memang begini, kan. Tapi di dalam mungkin sudah ada Yuni.’

‘Si kecil Lina ndak ada?’

‘Kan di tempat neneknya. Nanti dijemput kalau ayah bundanya selesai praktek.’

‘Kalau ada Lina, pasti rame.’

‘Ya… tiga hari yang lalu ulang tahun pertama… Heboh….he..he..he..’

‘Iya, ya…. Udah setahun umurnya….. Wah, abang harus ngasih hadiah… Hadiah apa, bagusnya ya?’

‘Kalau abang tanya ke ayahnya, pasti permintaannya itu lagi – itu lagi….he..he..’

‘Masak gulai tunjang?’

‘Sudah pasti.’

Mereka masuk ke rumah. Ternyata di rumah memang hanya ada si bibik sendirian. Yuni belum pulang.

‘Abang jadi berangkat ke Jakarta?’ tanya Lala setelah mereka duduk di ruang tamu.

‘Jadi….. Hari Minggu besok insya Allah.’

‘Wuih…. Selamat tinggal Bandung, dong….’

‘Ya…… Tentu ada juga saatnya harus kembali ke Bandung nanti….’

‘Sudah ketahuan abang mau bekerja dimana?’

‘Belum…. Baru juga mengirim lamaran….’

‘Ke perusahaan-perusahaan minyak?’

‘Ya…. Ke perusahaan-perusahaan minyak..’

‘Abang melamar juga ke Caltex?’

‘Ya….. Sudah dikirim.’

‘Mudah-mudahan aja keterima, ya bang…’

‘Amiin……..‘

‘Terus…… Bang Syahrul kapan berangkat?’

‘Rencananya bulan depan. Tadi dia ke Jakarta mengurus visa Australia.’

‘Mantap juga dia, ya…’

‘Ya… dia mantap sekali sebagai pengajar. Dia memang pintar mengajar. Bakat turunan.’

‘Oo… orang tuanya bang Syahrul itu dosen juga?’

‘Bukan…., guru. Ayahnya guru abang waktu di SMA di Bukit Tinggi. Guru fisika dan beliau pintar sekali mengajar.’

‘Ooo, jadi guru sambil jadi pedagang kain?’

‘Yang berdagang kain ibunya.’

‘Ntar kalau bang Imran sudah nggak di Bandung pengiriman kain ke Bukit Tinggi bakalan macet dong.’

‘Ibu itu sudah merintisnya kesini. Mudah-mudahan tidak akan macetlah.’

‘Tidak pernah ada masalah selama abang yang mengurus pengiriman kain?’

‘Alhamdulillah, hampir tidak pernah. Pernah sekali truk pengangkut kain itu kecelakaan. Waktu itu banyak kain kiriman yang rusak. Tapi setelah itu aman-aman saja.’

‘Hebat sekali abang…. Pedagang beras…. pedagang kain…. Nggak kepingin melanjutkan bakat dagangnya bang?’

‘Biar dicoba pula makan gaji sebagai pegawai dulu. Kalau nanti ternyata tidak terlalu cocok, kan mudah saja untuk banting stir… he..he..he..’

‘Benar juga ya….’

Bibik mengingatkan bahwa di meja makan ada ketan dan sarikaya. Bibik menanyakan apa mau diambilkan.

‘Kita pindah ke meja makan aja, yuk bang,’ ajak Lala.

Mereka pindah ke meja makan. Bibik membawakan dua cangkir teh untuk mereka.

‘Bibik ini pintar membuat ketan sarikaya,’ Imran memuji.

‘Kan bibik diajarin sama juragan Ratna,’ jawab bibik.

Mereka menikmati ketan dan sarikaya itu. Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor masuk. Ternyata Yuni yang datang.

‘Eh…, lagi berdua-dua,’ kata Yuni menggoda begitu dia masuk.

‘Bertiga kok, sama bibik. Sekarang jadi berempat,’ jawab Imran.

‘He…he..he… Benar juga….. Sudah lama, bang?’

‘Sudah setengah jam….. Bagaimana kabar, Yuni?’

‘Kabar kabur….. he..he..he..’ Yuni menarik sebuah kursi dan ikut duduk.

‘Ini orang cengengesan terus….. Dari mana kau?’ tanya Lala.

‘Daripada cemberut….Kan bagusan cengengesan….. he..he.. ya, nggak, bang?’

Imran tersenyum.

‘Tanyaku belum dijawab.’

‘Tanya kau? Kau nanya apa….?’

‘Kau dari mana? Bukannya hari Kamis siang kau nggak ada kuliah?’

‘Ooo….. Aku dari tempat Irma.’

Mereka berbincang-bincang santai sampai terdengar azan maghrib.

‘Kita shalat berjamaah yuk, bang?’ ajak Lala.

‘Ayok,’ jawab Imran.

Mereka shalat maghrib berjamaah berempat.

*****

No comments: