Friday, February 22, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.11)

11. Di Jalan Ke Pagar Ruyung

Sudah hampir jam dua siang waktu Pohan dan Aswin meninggalkan Harau. Rupanya makin sore makin banyak orang yang datang ke Lembah Harau. Mungkin karena di sore hari lebih menyenangkan memanjat tebing, sehingga lebih banyak yang melakukannya. Di perjalanan kembali ini kendaraan mereka berpapasan dengan banyak sekali rombongan yang baru datang. Memang atraksi yang paling menarik ditonton di sini adalah memanjat tebing itu. Pohan harus mengendarai mobil perlahan-lahan karena jalan relatif sempit tapi lumayan ramai, baik oleh kendaraan bermotor maupun sepeda.

Mereka lalui kembali simpang Sari Lamak, berbelok ke kanan menuju Paya Kumbuh. Di jalan raya ini kendaraan bisa lebih dipacu meski tetap harus berhati-hati karena di sini mulai banyak bendi. Bendi rupanya hanya boleh beroperasi sampai kampung Sari Lamak dan tidak boleh ke Harau. Tentunya peraturan ini dikarenakan jalan yang agak sempit tadi.

’Kamu sudah lapar Win?’ tanya Pohan.

’Belum. Kenapa rupanya? Apakah ada makanan yang menarik pula di Paya Kumbuh?’ Aswin balik bertanya.

’Tempat makan yang enak pasti ada dan banyak di sini. Sementara tempat yang tadi aku janjikan agak sedikit khas. Tempatnya di pinggir sawah. Hanya masih cukup jauh dari sini. Itu sebabnya aku bertanya kalau kamu sudah lapar sekarang,’ jawab Pohan pula.

’Berapa jam lagi kita sampai di sana?’

’Kalau kita jalan terus kurang dari satu jam. Tapi kita kan belum shalat,’ jawab Pohan.

’Kalau begitu nggak apa-apa, kita makan di pinggir sawah itu saja. Ternyata tidak keliru kita makan dua mangkok amping dadih di Bukit Tinggi tadi,’ kata Aswin.

’Baik, kita shalat di mesjid Raya Paya Kumbuh.’

Dalam beberapa menit mereka sampai di mesjid Raya, mesjid yang terletak di tengah kota. Mereka shalat zuhur dan asar dijamak disini. Aswin tertarik melihat banyak sekali anak-anak berbaju seragam kuning di pekarangan mesjid. Anak laki-laki berpeci yang juga berwarna kuning sementara anak perempuan memakai jilbab putih. Usia mereka mungkin sekitar enam tujuh tahun. Rupanya ada sekolah di samping mesjid. Tentu ini sekolah belajar membaca al Quran, begitu dalam fikiran Aswin.

’Mereka ini murid sekolah al Quran, bukan?’ tanya Aswin ketika mereka sedang memasang sepatu di tangga mesjid.

’Ya. Mereka murid Taman Pendidikan Al Quran disingkat TPA, ‘ jawab Pohan.

’Masih kecil-kecil,’ komentar Aswin pula.

’Memang, mungkin berumur sekitar tujuh tahun, bahkan ada yang lebih kecil lagi. Biasanya sudah murid kelas satu sekolah dasar. Dalam waktu setahun mereka sudah pandai membaca al Quran dan sudah tamat membaca al Quran secara bergiliran. Pada saat itu nanti mereka akan dipestakan dalam perayaan Khatam Al Quran. Pesta seperti ini dilakukan saat murid sekolah libur panjang di bulan Juli. Dan pada saat itu Sumatera Barat di ramaikan dengan pesta yang sama oleh setiap TPA,’ Pohan menjelaskan.

’Pesta yang ada arak-arakannya itu?’ tanya Aswin lagi.

’Betul. Mereka berarak-arak diiringi oleh tabuh-tabuhan dan rebana sepanjang jalan. Pesta Khatam Al Quran menambah ramai orang datang kesini untuk melihat perayaan yang unik itu,’ jawab Pohan.

’Ya, pasti menarik pula untuk ditonton. Apakah dalam perayaan itu mereka juga berlomba membaca al Quran?’

‘Benar. Dan dinilai. Yang terbaik mendapat hadiah dari masyarakat melalui panitia perayaan.’

‘Apakah mengikuti sekolah membaca al Quran itu diwajibkan?’

‘Ya, diwajibkan oleh pemerintah daerah. Anak orang Minang harus pandai mengaji.’

’Tapi kenapa sebagian anak-anak ini bermain diluar seperti itu?’

’Mungkin mereka bergiliran. Yang sedang bermain mungkin masih menunggu,’ jawab Pohan.

Tidak lupa Aswin memotret anak-anak yang sedang bermain-main itu sebelum mereka melanjutkan perjalanan.

Kendaraan mereka sekarang menuju ke Piladang di jalan arah ke Bukit Tinggi. Pohan menunjuk ke sebuah bukit kapur di sebelah kanan jalan.

’Di bukit ini ada gua kapur. Dalam bahasa Minang disebut ngalau. Ngalau yang ini kurang begitu indah, tapi terletak di pinggir jalan. Banyak juga orang berkunjung ke sini. Gua atau ngalau yang lebih indah terdapat di Kamang, sebuah kampung di sebelah utara Bukit Tinggi.’

’Tentu dengan stalagtit dan stalagmit di dalamnya. Dan mungkin juga ada sungai di dasar gua,’ Aswin menambahkan.

’Benar. Rupanya kamu sudah pernah melihat yang seperti itu,’ Pohan menebak.

’Pernah, di Mexico,’ jawab Aswin.

’Kalau begitu ngalau Kamang tidak perlu kita kunjungi,’ komentar Pohan pula.

’Kalau nanti ada waktu kenapa tidak. Seberapa jauh dari Bukit Tinggi?’ tanya Aswin pula.

’Hanya sekitar sepuluh kilometer.’

Mereka sampai di Piladang dan berbelok ke kiri. Di Piladang terlihat banyak sekali kerupuk merah mentah sedang dijemur di tatakan bambu.

’Apa yang berwarna merah sedang dijemur itu?’

’Kerupuk merah. Kalau sudah digoreng dimasukkan ke dalam soto atau gado-gado. Soto Padang dan gado-gado Padang pasti pakai kerupuk merah,’ jawab Pohan.

‘Pakai pewarna apa membuatnya jadi merah begitu?’

‘Aku kurang tahu.’

‘Pernah aku baca ada pedagang makanan di Jakarta memasukkan zat pewarna yang tidak semestinya untuk mewarnai makanan. Kalau bahan itu berbahaya untuk kesehatan tentu perbuatan kriminal namanya,’ kata Aswin.

‘Ya aku juga pernah membacanya. Tapi yang untuk kerupuk merah mudah-mudahan bukan dari bahan yang berbahaya. Seandainya mereka menggunakan bahan sembarangan dan berbahaya pasti sudah bangkrut. Masyarakat disini kritis. Karena usaha pembuatan kerupuk merah ini masih tetap exist sejak berpuluh tahun, harusnya tidak ada apa yang berbahaya di dalamnya,’ jawab Pohan.

Sambil ngobrol tak terasa mereka telah melalui Kampung Tabek Patah. Pohan menjelaskan bahwa ada tempat melihat pemandangan ke arah dataran rendah dari sebuah bukit yang dikenal dengan nama Panorama Tabek Patah disitu. Kata Pohan pula, tidak usah berhenti di tempat ini sekarang tapi segera pergi makan siang dulu saja. Aswin setuju. Beberapa menit kemudian mereka sampai di Sungai Tarok, sebuah kampung yang hanya beberapa kilometer sebelum Batu Sangkar. Sedikit di luar kampung Sungai Tarok, di pinggir sawah di sebelah kiri jalan terdapat sebuah tempat makan. Nama kedai makan ini Pondok Flora, sebuah nama yang bukan berbau Minang, tapi cukup terkenal. Banyak pelancong mampir untuk makan siang disini, biasanya dalam perjalanan menuju Batu Sangkar dan Pagar Ruyung. Di tempat ini orang bisa makan sambil duduk bersila di atas palanta yang disediakan. Kalau duduk agak di sebelah pinggir bisa sambil melihat ke arah sawah. Lebih menarik lagi, rumah makan ini juga menyediakan piring besar untuk makan bersama. Perantau-perantau Minang yang sudah berumur rupanya banyak yang bernostalgia dengan makan berjamba atau makan bersama itu. Biasanya bila mereka datang dalam rombongan keluarga. Mereka duduk bersila melingkar, mengelilingi piring besar dan makan dari piring ini bersama-sama empat sampai lima orang.

Tidak terlalu banyak pengunjung ketika mereka masuk ke rumah makan itu. Mungkin karena sudah terlampaui jam makan siang. Sudah hampir jam setengah empat sore. Tapi bagi Aswin dan Pohan ini adalah jam kelaparan.

Aswin segera menangkap pemandangan makan berjamba begitu masuk ke ruangan dalam rumah makan itu. Dia hanya tersenyum sambil manggut-manggut.

’Kenapa tersenyum?’ tanya Pohan, yang ikut-ikutan tersenyum.

’Itu makan berjamba namanya, bukan? Tapi bukankah biasanya orang makan seperti itu ketika berhelat adat?’ tanya Aswin.

’Ya, itulah kekhasan lain di tempat ini. Pemilik rumah makan ini membuat terobosan dengan memperkenalkannya untuk umum. Dan ternyata disenangi cukup banyak orang. Tamu-tamu dari Malaysia juga senang makan bersama seperti itu di sini,’ Pohan menjelaskan.

’Sebuah ide original yang cemerlang untuk menyenangkan tamu. Tapi kita tidak mungkin makan berjamba berdua.. he..he..’

Mereka memilih tempat di sebelah pinggir dengan pemandangan lepas ke arah sawah. Makan sambil berbincang-bincang santai. Cukup enak makan di sini. Lauknya persis seperti di restoran umumnya, tapi suasananya sangat berbeda..

’Masih jauhkah Pagar Ruyung dari sini?’ tanya Aswin.

’Tidak jauh. Batu sangkar sekitar lima kilometer dari sini dan Pagar Ruyung mungkin sekitar sepuluh kilo.’

’Jadi melalui Batu Sangkar?’

’Ya.’

’Dan kita langsung ke sana sesudah ini?’

’Ya. Dan kita usahakan berada di Tabek Patah sebelum matahari terbenam,’ jawab Pohan.

’Tidak ada yang akan kita tonton di Batu Sangkar atau di Pagar Ruyung malam ini?’

’Lebih baik kita melihat tari-tarian Minang di gedung kesenian di Bukit Tinggi nanti malam,’ usul Pohan.

’Baik kalau begitu. Kita berangkat sekarang ke Pagar Ruyung?’

Dan mereka berangkat lagi.


*****

No comments: