Saturday, November 15, 2008

SANG AMANAH (61)

(61)

Faisal mengambil buku itu dari tangan Amir. Matanya berbinar-binar. Berarti ayah akan membelikan gitar. Berarti ayah tidak keberatan kalau dia belajar main gitar. Biarlah dia bersabar. Dia akan menunggu. Nanti tentu ayah yang akan memberi tahu.

‘Memangnya berapa harganya sih, Mir? Gitar baru dan gitar bekas itu?’

‘Yang baru, merek Yamaha, harganya 450,000 rupiah. Yang bekas, merek itu juga, harganya 250,000 rupiah. Bedanya hampir nggak ada. Bedanya, kalau yang baru ada tas buat menyimpannya,’ jawab Amir.

‘Mahal juga ya!?’

‘Bagaimana kalau kita pakai uang tabungan kita, bang? Kayaknya cukup uang itu.’

‘Kata ayah uang tabungan itu hanya untuk hal-hal yang benar-benar perlu. Abang tadi juga sudah mikir dan menghitung-hitung. Kalau yang dua ratus lima puluh ribu itu, dengan tabungan kita berdua pasti dapat dan uang tabungan kita masih bersisa. Tapi, kan gitar tidak perlu-perlu amat. Jadi mungkin tidak akan diizinkan ayah uang tabungan kita itu dipakai buat beli gitar,’ kata Faisal.

‘Coba aja kita tanya nanti, apa kata ayah. Tapi aku rasa bener deh, ayah bakalan mau membelikan kita gitar,’ kata Amir.

‘Kamu juga mau belajar main gitar?’ tanya Faisal.

‘Aku sudah pernah diajarin mas Andri dikit-dikit.’

‘Kayak gimana, coba?’

Amir mengambil gitar dari tangan Faisal dan memegangnya. Dia menempatkan jari-jari tangan kirinya di ujung gitar dan tangan kanannya memetik senar-senar itu. Gitar itu berbunyi agak sember, karena ‘grip’ dengan tangan kiri Amir kurang kencang. Dan Amir sudah bisa memetik senar itu satu-satu mengikuti irama do re mi fa sol. Bahkan bisa mengarang petikan satu-satu itu menjadi irama lagu ‘Bintang Kecil’. Mendengar suara gitar ‘ala kadarnya’ itu ayah keluar dari kamar dan ikut duduk dengan mereka. Ayah memperhatikan Amir memainkan gitar kepunyaan mas Andri itu.

‘Pasti kalian berdua masih mengagumi Adrianto bermain gitar tadi,’ kata ayah.

‘Benar ayah,’ jawab Amir.

Faisal hanya tersenyum. Dia berdebar-debar. Apakah ayah akan mengatakan bahwa ayah tidak keberatan? Apakah ayah akan membelikan mereka sebuah gitar? Tapi Faisal tidak berani menanyakan hal itu.

‘Kalian kepingin belajar main gitar?’ tanya ayah.

‘Kepingin ayah,’ jawab Faisal.

Fauziah yang mendengar pertanyaan ayah dari kamar, langsung keluar. Dia ingin melihat hasil pembicaraan ini. Ayah menyetujui atau ayah memberi tahukan keburukan kalau mereka pandai main gitar. Ayah selalu begitu. Memberi tahu segala kemungkinan yang bisa terjadi dalam setiap mengambil keputusan. Ayah memang biasanya selalu hati-hati. Dan ibu serta mereka bertiga biasanya selalu menghormati jalan pemikiran ayah.

‘Ayah setuju, dan mau membelikan sebuah gitar dengan beberapa syarat. Syaratnya, pemakaian gitar itu nanti, baik selama masih latihan maupun setelah suatu saat kalian bisa menggunakannya, harus memperhatikan waktu seperti yang sudah berlaku. Jadi gitar itu tidak akan mengganggu jadwal belajar, tidak akan mengganggu jadwal shalat dan sebagainya. Syarat yang kedua tidak akan timbul ‘fitnah’ di antara kamu berdua. Tidak akan rebut-rebutan, harus ada jadwal siapa memakai pada waktu yang ditetapkan. Syarat yang ketiga, termasuk fitnah juga, jika seandainya kalian nanti pandai bermain gitar lalu digunakan untuk kegiatan yang melalaikan, jadi anggota grup musik, untuk pertunjukan-pertunjukan yang sifatnya berhura-hura. Jadi tiga itu saja syaratnya. Apakah kalian sanggup?’

‘Sanggup ayah,’ jawab Faisal dan Amir serentak.

‘Benar?’

‘Benar ayah,’ jawab mereka lagi.

‘Baik, kalau begitu nanti kita beli.’

‘Kita beli yang bekas saja , ayah,’ usul Amir.

‘Ya, kita beli yang bekas saja. Tadi ayah sama Amir sudah melihatnya. Tapi biar ayah minta tolong sama Andri melihatnya dan memeriksanya. Ayah akan mengajaknya pergi ke Sumber Arta nanti sore.’

Ketiga anak-anak itu sangat gembira sekali.

‘Harus sujud syukur,’ kata Fauziah mengingatkan.

Faisal dan Amir melakukan sujud syukur. Fauziah yang mengingatkan juga ikut. Ibu pura-pura protes.

‘Kok urusan gitar harus sujud syukur juga?! Dan lagi, kan gitarnya belum dapat?’

‘Sujud syukur karena Allah menggerakkan hati ayah untuk membahagiakan hati abang-abang ini,’ jawab Fauziah mantap.

Ayah tersenyum. Ibupun tersenyum mendengar jawaban yang tegas dan meyakinkan itu.


*****


Keluarga Suryanto menikmati kunjungan ke rumah keluarga Umar. Banyak hal yang mereka petik dari kunjungan itu. Kelihatannya ide papi untuk membina hubungan pribadi, atau yang menurut istilah pak Umar hubungan silaturrahmi memang merupakan cara yang sangat baik, selama hal itu dilakukan dengan niat yang tulus. Keluarga pak Umar terdiri dari manusia-manusia yang tulus. Mereka semua memiliki kepribadian yang menyenangkan. Semua percaya diri. Mereka tidak sedikitpun canggung menjamu keluarga Suryanto. Sambutan mereka sekeluarga sangat hangat dan tidak sedikitpun dibuat-buat. Anak-anak pak Umar cepat akrab dengan Anto. Anto sih memang pribadi yang menyenangkan dan pandai bergaul.

Dalam perjalanan pulang, papi, mami dan Anto terlibat dalam obrolan santai.

‘Bahagia betul keluarga pak Umar itu kelihatannya ya, pi?’ Anto mengawali obrolan ketika mereka dalam mobil menuju pulang.

‘Benar. Kelihatannya begitu. Mereka sederhana tapi suasana di rumah mereka itu hangat sekali,’ jawab papi.

‘Saya semakin kagum saja dengan pak Umar dan keluarganya yang begitu taat. Waktu tadi kita pergi ke mesjid untuk shalat bersama, saya lihat mereka sangat wajar, dan apa yang mereka lakukan tidak dibuat-buat. Berarti kegiatan seperti itu sudah sangat rutin di keluarga mereka,’ kata mami menganalisa.

‘Ya, benar. Pak Umar itu seorang pendidik sejati. Dia jadi panutan di rumah dan papi yakin dia akan berhasil merubah sekolah kamu SMU 369 itu menjadi sekolah yang murid-muridnya berhasil,’ kata papi pula.

‘Mendengar doanya minta petunjuk untuk mengambil keputusan itu, kelihatan sekali pak Umar sangat akrab dengan doa, dan kalau berdoa dia itu bersungguh-sungguh. Mami masih percaya bahwa kesembuhan mami ini termasuk karena doa pak Umar dikabulkan Tuhan,’ tambah mami lagi.

‘Ya. Tapi untuk membalas kebaikannya dengan sesuatu…dengan benda atau pemberian berupa barang, sementara biar kita lupakan saja dulu. Mungkin suatu saat nanti kita bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat baginya dan dapat diterimanya dengan ikhlas. Sementara ini tidak ada yang bisa kita perbuat. Karena sudah kita lihat bagaimana teguhnya pak Umar itu memegang prinsip.’

‘Benar, sih. Tadi ngomong-ngomong gimana sampai Anto main gitar di sana?’ tanya mami menukar pembicaraan.

‘Amir yang minta, mi. Dan mintanya sopan banget. Katanya abangnya Faisal kepingin mendengar Anto main gitar karena mendengar cerita pak Umar. Anto tanya, apa mereka juga pandai main gitar? Mereka jawab, nggak ada yang bisa. Dan untuk mendengarkan Anto main gitar itu, mereka pinjam gitar tetangga.’

‘Ya, pantesan tadi mami lihat anaknya yang nomor dua itu masuk ke kamar mengambil gitar.’

‘Terus?’ tanya papi.

‘Amir bilang kalau abangnya yang ingin dengar tapi dia sendiri yang lebih banyak omong. Faisal hanya merhatiin aja. Dia itu tidak banyak omong anaknya. Tapi ngelihatnya gitu banget. Kayaknya dia kepingin banget bisa main gitar.’

‘Anak perempuannya juga tertarik kayaknya tuh. Tadi papi dengar dia ngomong apa sih?’

‘Dia bilang kalau ayahnya nggak bohong. Kalau yang dikatakan ayahnya bener. Bahwa Anto bisa main gitar,’ jawab Anto.

‘Lucu ya?! Fauziah itu pakai jilbab begitu. Anaknya cantik lagi,’ kata mami.

‘Iya. Imut-imut gitu anaknya. Anto bilang sih memang cantik itu anak,’ kata Anto pula.

‘Kamu tertarik sama dia, he..he..he..’ papi menggoda Anto.

‘Ngomong apaan sih mas?’ mami setengah protes.

‘Eh, bisa aja, lho. Siapa tahu nanti kita besanan sama pak Umar? Yaa…. mungkin sepuluh tahun lagi,’ kata papi.

‘Papi serius nih mau ngejodoh-jodohin Anto?’ Anto mencoba melayani.

‘Bisa aja serius. Kalau kamu mau?! Untuk sepuluh tahun dari sekarang. Dia pasti sudah jadi wanita dewasa dan cantik. Secantik mami,’ kata papi.

‘Papi ngomong apa sih, nTo? Kok tumben-tumbenan ngomong aneh-aneh gitu?’

‘Nggak apa-apa mi. Papi kayaknya ngomong jujur deh. he..he..he,’ jawab Anto.

‘Tapi ngomong-ngomong, kamu sudah punya pacar, belum? Sudah suka ngelirik-lirik anak perempuan gitu nggak?’ tanya papi.

‘Anto sih, banyak fans pi. Banyak cewek yang mau ngedeketin Anto. Tapi ya..Anto cuekin aja. Anto belum ada tuh yang namanya tertarik sama cewek. Mungkin karena kebanyakan gitu yang nguber-nguber, Anto jadi malahan nggak tertarik.’

‘Dari yang sebanyak itu nggak ada yang kamu suka?’

‘Belum.’

‘Emang Anto kalau menilai anak perempuan itu apanya sih?’ tanya mami.

‘Ya nggak tau juga ya mi?! Teman-teman Anto banyak sih yang cantik-cantik. Anto bisa kok bedain mana yang cantik, mana yang manis, mana yang imut-imut. Tapi Anto melihatnya senang gitu-gitu aja. Nggak ada yang namanya tertarik amat, gitu. Apa lagi sampai naksir. Tapi kalau yang naksir ke Anto kayaknya banyak deh. he..he..he..’

‘GR amat sih kamu,’ kata papi.

‘Kalau teman-teman Anto sudah pada punya pacar nggak?’ tanya mami lagi.

‘Yang punya ada, yang nggak juga banyak,’ jawab Anto.

‘Kalau Iwan sama Herman sudah punya pacar belum?’ tanya mami lagi.

‘Siapa tuh Herman sama Iwan?’ tanya papi.

‘Iwan teman main gitar sama main basket. Herman teman main basket,’ mami yang menjelaskan.

‘Udah. Dua-duanya sudah punya pacar. Herman pacarnya anak SMU 362. Iwan pacaran sama salah satu fansnya. Anak kelas satu.’

‘Berarti kamu kalah dong sama mereka,’ papi terus menggoda.

‘Biarin ajalah pi. Anto biar nanti-nanti aja pacarannya. Kalau sudah mahasiswa gitu. Siapa tahu nanti Anto beneran pacaran sama Fauziah tadi itu. He..he..he..’

‘Oo, jadi beneran nih tertarik sama Fauziah?’ tanya papi lagi.

‘He..he..he.. Kalau untuk sepuluh tahun lagi, biar sembilan tahun lagi aja di konfirmasi pi,’ jawab Anto sekenanya.

Tidak terasa mereka sudah sampai di rumah.

Sore itu tidak ada acara kemana-mana. Mereka menikmati kebersamaan itu bertiga, sekeluarga, di rumah. Papi senang benar menggoda Anto. Mami kadang-kadang ikut bertanya. Tentang pelajaran, tentang teman-teman, tentang pertandingan basket. Sehari-hari mami memang banyak bertanya sama Anto. Dan Anto banyak bercerita sama mami.


*****

No comments: