Friday, May 8, 2009

DERAI-DERAI CINTA (25)

25. LUPUT SAJA

Syukurlah. Lala kelihatan senang dengan kado berupa tafsir kitab suci al Quran. Memang sebaiknya pemberian itu barang yang bermanfaat. Yang ada gunanya. Pemberian berupa boneka pasti hanya untuk main-main. Disenangi sebentar setelah itu dilupakan dan lama-lama dibuang. Tapi al Quran, apalagi tafsirnya, bisa dibaca-baca. Bahkan bisa dibaca sampai tua sekalipun. Imran ingat di kampung dia juga senang membaca tafsir Mahmud Yunus peninggalan ayah. Kulit sampulnya berwarna hijau. Dulu Imran sampai bercucuran air mata ketika membaca terjemahan surat Yusuf. Membaca kisah nabi Yusuf yang dijahili saudara-saudaranya, tapi kemudian Allah membalikkan keadaan. Penderitaan nabi Yusuf berubah menjadi kebahagiaan. Dan membaca kisah-kisah di dalam al Quran itu mampu menggetarkan kalbu. Menambah keimanan. Menambah takut akan azab Allah. Takut akan hukuman Allah. Allah Maha Kuasa memberikan tegoran, memberikan hukuman kepada hamba-hambanya yang ingkar.

Kebiasaan membaca tafsir al Quran berpengaruh cukup dalam pada keperibadian Imran. Dia takut untuk berbohong. Takut untuk menipu. Takut untuk bergaul sembarangan. Takut untuk menyakiti orang lain. Dan takut berpacaran. Imran ingat petaruh guru agamanya di SMA, pak Rusyad yang menerangkan bahwa berpacaran itu berarti mendekati zina. Beliau terangkan dengan sangat apik bahwa anak-anak muda yang beriman seharusnya menghindari berpacaran. Kalau sepasang anak muda berdua-dua, di tempat yang tersembunyi maka yang ketiganya adalah setan. Dan setan sudah sangat berpengalaman memperosokkan manusia ke jalan yang sesat. Maka kalian lihatlah, bagaimana buruknya pengaruh pergaulan bagi anak-anak muda yang suka berpacaran. Yang hamil ketika masih remaja, tidak jadi meneruskan sekolah. Yang terperosok ke jurang kehinaan. Begitu pesan pak Rusyad dulu di SMA. Meskipun pada waktu beliau menerangkan pelajaran agama itu banyak teman-teman yang mencemooh. Yang berteriak huuuuuu. Bagi Imran pesan itu berbekas sangat dalam. Dia takut. Bahkan sangat takut untuk berpacaran.

Sebenarnya dia sadar, sejak masih di SMP dulu, banyak teman-teman wanita yang senang berdekatan dengannya. Senang berbincang-bincang dengannya. Dan perasaan Imran menangkap ada di antara anak-anak perempuan itu yang bertingkah dibuat-buat kalau berdekatan dengannya. Ada yang mati kerancakan. Ada yang mengamek-ngamek mencuri perhatian. Imran berusaha santai-santai saja. Dia selalu berbisik dalam hatinya, jangan kau layani. Jangan kau ikut-ikutan mati kerancakan.

Tadi waktu menunggu Lala, dia berbincang-bincang dengan Yuni. Berbincang santai dan seperlunya saja. Kelihatannya ada benarnya yang dikatakan Syahrul tentang Yuni. Dia itu menaruh perhatian pada dirinya. Yuni yang berusaha menampilkan dirinya anggun dan sopan selama mereka ngobrol tadi, beberapa kali dipergokinya melihat ke arahnya dengan pandangan yang ganjil. Pandangan yang genit. Pandangan mata yang diredup-redupkan. Entahlah, begitu perasaan hatinya. Dan Yuni terlihat sekali sangat kecewa ketika tiba-tiba tante Ratna dan Lala pulang. Nyata sekali berubah sikap dan air mukanya sesudah itu.

Benarkah bahwa Yuni cantik seperti yang dikatakan Syahrul? Imran tidak menyangkalnya. Gadis itu cantik, diapun menilainya demikian. Justru dari sanalah titik keberhati-hatian dipasangnya. Menyadari bahwa anak gadis yang dilawannya berbicara punya daya tarik, Imran semakin rajin berzikir di dalam hatinya. Berusaha agar jangan sampai keluar dari mulutnya kalimat yang bernada sumbang. Yang bernada merayu-rayu. Atau bernada memancing-mancing.


***

Sudah jam setengah sembilan ketika dia meninggalkan Sekeloa. Masih panjang obrolan sesudah makan malam dengan bang Lutfi. Dengan uni Lani. Dengan semuanya, di meja makan. Obrolan ke hilir ke mudik seperti biasa. Obrolan yang disertai tawa canda. Disertai sentilan dan cemooh. Dan yang agak mengherankannya, tante Ratna sekarang sangat jauh berbeda dengan tante Ratna yang dikenalnya selama beberapa hari dulu di Rumbai. Dulu ada kesan angker. Kesan angkuh. Tapi sekarang jauh lebih santai. Beliau sepertinya bersungguh-sungguh agar dipanggil mak tuo saja. Bahkan mempelesetkan bahwa di kampung seharusnya istri mamak itu dipanggil mintuo. Sementara Imran sudah merasa terbiasa membahasakan beliau dengan panggilan tante.

Imran naik becak dari Dipati Ukur. Melingkari jalan Dipati Ukur sampai melintasi jalan Dago dan menyeberang terus ke arah Balubur. Bandung terasa dingin malam ini. Imran menutup dadanya dengan tas ransel dari terpaan angin. Abang becak melawannya berbicara sepanjang perjalanan. Dia yang mengawali pembicaraan, menggunakan beberapa patah kata bahasa Sunda yang dikuasainya. Sayang bahasa Sundanya masih terlalu payah untuk memahami jawaban si abang tukang becak itu.

Syahrul sedang ngobrol dengan temannya Rinto waktu Imran sampai di rumah.

‘Dari mana aja lu?’ Rinto yang menyapa duluan.

‘Dari tempat saudara,’ jawab Imran.

‘Disambung lagi acara tadi malam?’ tanya Syahrul.

‘Ah nggak...... Cuma tadi kami ngobrol-ngobrol dulu disana.’

‘Cewek lu bolak-balik nanyain lu dari tadi,’ kata Rinto lagi.

‘Cewek? Cewekku? Siapa?’ tanya Imran.

‘Ratih sampai tiga kali dari sore menanyakan kau,’ jawab Syahrul.

‘Oo.. Terus?’

‘Terus...... Ya dia kecewalah. Terakhir kira-kira setengah jam yang lalu dia mampir. Kayaknya dari depan, entah dari mana. Kak Imran masih belum pulang juga? Begitu, katanya.’

‘Samperin sana....’ kata Rinto.

‘Ah, nggak usah. Biar sajalah.’

‘Eeeee.... nggak baik gitu.. Kan cewek lu.....’

‘Bukan. Bukan cewekku kok.’

‘Gimana sih, Rul? Lu bilang itu ceweknya Imran.... Kok dia bilang bukan....?’

‘Aku nggak bilang itu ceweknya Imran. Aku bilang si Ratih itu senang sama dia. Tapi lu lihat sendiri kan? Imrannya biasa-biasa saja.’

‘Hebat lu... Lu yang dikejar-kejar cewek cakep.... Bisa cuek begitu..’

‘Nggak juga. Nggaklah dia ngejar-ngejar aku. Mungkin dia memang ada perlu barangkali.’

‘Emang lu udah punya pacar yang lain, ya?’

‘Nggak. Aku nggak punya pacar.’

‘Heran, gue. Emangnya berpacaran itu dosa ya?’

‘Itu tergantung pribadi masing-masing. Kebetulan aku memang tidak berminat untuk berpacaran.’

‘Payah..... Ya udah deh. Rul, gue mau balik dulu. Besok aja kita bahas lagi..’

‘Ya lah. Besok biar aku datang ke tempatmu deh,’ jawab Syahrul.

‘Lho. Kenapa? Kalau belum selesai tugas kalian kenapa nggak diteruskan?’ kata Imran.

‘Nggak ah. Udah capek, gue. Biar besok-besok aja. Ini bukan tugas kok. Santai aja.... Ya lah..... gue balik dulu ya..?

Rinto pergi meninggalkan mereka berdua. Suara motornya membuat heboh sebentar, kemudian menghilang di kejauhan.

‘Ada sate, Ran. Kami tadi beli sate ayam di Balubur. Ada sebungkus untuk kau.’

‘Wah... Aku udah makan....’

‘Kalau begitu biarin aja dulu disana.... Sebentar lagi pasti ada lagi tempatnya di perut....... Makan di restoran lagi kalian tadi ?’

‘Ndak, di rumah saja.’

‘Akhirnya......, hadiah apa yang kau belikan buat Lala?’

‘Tafsir al Quran. Tafsir Mahmud Yunus.’

‘Lala menyukainya?’

‘Aku rasa dia menyukainya. Dia bilang dia biasa membaca tafsir kepunyaan papanya di Rumbai. Dia senang sekarang memilikinya sendiri.’

‘Apa lagi cerita mak dang kau? Sampai lama begitu disana?’

‘Mak dang sudah pergi ke Jakarta tadi sore.‘

‘Ooo....., nggak jadi besok beliau berangkat ?’

‘Kata tante Ratna ada pekerjaan penting yang harus beliau selesaikan. Besok pagi beliau harus sudah ada di Rumbai.’

‘Beliau berangkat sendiri?’

‘Ya. Tante Ratna masih disini.’

‘Ya lah, ya. Kan katanya mau menemani Lala selama ospek.’

‘Alih-alih cerita, beneran si Ratih sampai tiga kali datang?’ Imran mengganti topik.

‘Benar.’

‘Ndak kau tanya ada keperluan apa?’

‘Aku tanya, memang ada apa nyariin Imran? Dia jawab, kangen aja. Katanya udah tiga hari balik dari Jawa kok nggak pernah kelihatan.’

‘Terus kau bilang apa?’

‘Aku bilang, ada pamannya disini. Dia diajak pamannya, gitu.’

‘Biarin sajalah.’

‘Kayaknya kau harus berjelas-jelas dengan dia. Aku khawatir dia sepertinya merasa kau ada perhatian pula kepadanya.’

‘Ya ndaklah. Ada perhatian bagaimana?’

‘Ya...... nggak tahu?’

‘Lagi pula apa yang harus diperjelas? Aku ndak merasa ada apa-apa kok.’

‘Kalau kau memang tidak ingin menanggapi dia, jangan seperti memberi harapan.’

‘He..he..he... Kapan aku memberi harapan? Harapan apa yang aku berikan?’

‘Kau kan selalu mau meladeni dia untuk ngobrol. Dari sana semakin timbul harapannya.’

‘Masak ngobrol tidak boleh aku layani. Dia datang kesini, bertanya ini – itu mengajak ngobrol, ya aku layani baik-baik.’

‘Nggak pernah dia bertanya memancing-mancing? Maksudku, misalnya menanyakan apakah kau sudah punya pacar apa belum?’

‘Pernah. Dan aku jawab belum.’

‘Yaaa.... Itu namanya kau memberi angin. Memberi dia kesan bahwa kau mungkin tertarik kepadanya.’

‘Kok bisa seperti itu kesimpulannya? Lagi pula, masak aku harus berbohong mengatakan aku sudah punya pacar?’

‘Sebenarnya memang agak terbalik. Biasanya yang suka bertanya seperti itu anak laki-laki kepada cewek. Itu namanya pertanyaan penjajakan. Ketika cewek menjawab dia belum punya pacar, anak laki-laki biasanya cepat menyambar, kalau begitu bisa dong... Dan seterusnya.’

‘Dan dalam kasus ini kan dia tidak bertanya demikian, he..he..he..’

‘Kalau dia bertanya begitu? Apa kau mau jawab, bisa. Aku mau jadi pacarmu, begitu ?’

‘Ya ndak. Aku akan jawab bahwa aku tidak mau berpacaran.’

‘Baik. Lebih baik kau cari kesempatan. Kau kondisikan agar kata-kata itu bisa kau ucapkan di hadapannya. Dengan demikian dia tahu, kau tidak ada hati kepadanya. Jadi dia tidak lagi berangan-angan.‘

‘Mungkin kau benar.’

‘Ya sudah...’

‘Jadi lapar lagi aku ngobrol denganmu.’

‘Ya sudah...., itu masih ada sate jatahmu.’


*****

No comments: