Monday, March 3, 2008

KETUPAT LEBARAN (1427)

KETUPAT LEBARAN (1427)

Telah datang Ramadhan 1427 hijriyah. Tapi tidak lama, hanya sebulan diapun berlalu. Begitu cepatnya waktu berjalan. Berlari di antara waktu berbuka dan sahur. Di antara shalat subuh dan maghrib. Berulang-ulang untuk beberapa hari untuk kemudian usai dan selesai. Sementara sebagian umat begitu-begitu jua. Berselingkit pingkit mempertaruhkan segala-galanya di penghujung bulan, membela-belakan...... mudik. Yang tiba-tiba saja sudah menjadi wajib pula. Yang rela dicapai dengan pengorbanan tak berperi. Bahkan dengan mengorbankan nyawa dan kehancuran motor honda yang dibeli cicil sekalipun. Entah kenapa mesti mudik. Entah apa yang dituju sebenarnya di udik itu.

Padahal. ‘Seandainya umatku mengetahui keistimewaan bulan Ramadhan niscaya mereka akan menginginkan agar sepanjang tahun adalah Ramadhan,’ sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Ramadhan seutuhnya sangat istimewa. Bulan yang penuh rahmat. Jauh lebih banyak pemberian dan kasih sayang Allah di bulan itu. Allah Yang Maha Pemurah memberikan kebajikan sepuluh kali lipat dari setiap kebaikan yang dilakukan hamba-Nya yang beriman. ‘Man jaa a bil hasanati fa laHuu ‘asyru amtsaa liHaa’ firman Allah dalam surah Al An’am ayat 160. ‘Siapa yang berbuat kebajikan akan memperoleh sepuluh kali lipat kebaikan.’ Itu kondisi biasa. Kondisi sehari-hari.

Yang dibulan Ramadhan justru akan dilipatgandakan lebih banyak lagi oleh Allah subhanaHu wa ta’ala, yang hanya Allah ta’ala saja yang tahu berapa besar ganjarannya. Karena Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsiy, ‘Kulluu ‘aamalibnu Adamu laHuu, illashshiyam. FainnaHuu liy, wa Ana ajrubiHii.’ (Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.) Allah akan memberikan ganjaran khusus untuk amalan puasa setiap hambanya yang beriman yang dilakukan mereka dengan ‘iimanan wahtisaaban’. Yang dilakukan mereka dengan dasar iman dan patuh kepada Allah semata. Yang dilaksanakan dengan penuh keberhati-hatian agar terhindar dari hal-hal yang mungkin mengurangi nilai puasa itu atau bahkan membatalkannya.

Dan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan Allah. Siapakah di antara kita, manusia yang lemah ini yang tidak berdosa. Berdosa akibat mulut terdorong, akibat tangan terpanjangkan, akibat kaki salah langkah, akibat telinga salah dengar, akibat mata salah lihat, akibat segala kekeliruan yang kita lakukan. Dan Allah Yang Maha Pengampun memberikan kesempatan lebih khusus di bulan ini mengampuni hamba-hamba-Nya yang meminta ampun kepada-Nya. Allah mengampuni segala macam dosa selama hamba yang memohon ampun itu bersungguh-sungguh dalam permohonannya. Sebesar apapun dosa itu. Selama hamba yang berdosa itu bertaubat dengan taubatan nashusa.

Setiap pribadi yang beriman kepada Allah dan hari akhirat pastilah beriman dengan keberadaan neraka Allah yang bernyala-nyala yang disediakan Allah untuk mereka-mereka yang durhaka kepada Allah. Orang-orang durhaka itu akan dimasukkan ke dalam neraka itu sesuai dengan takaran kedurhakaannya. Ada yang hanya ’sebentar’ di dalamnya ada yang akan kekal berada disana. Dan di dalam neraka Allah itu ada derita tak berujung. Ada kepedihan tak berujung. Ada api yang membakar dengan pedih yang menusuk ke hulu hati. Sebentar? Se sebentar-sebentarnya waktu akhirat, seharinya setara dengan seribu tahun waktu kehidupan di dunia. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyadari itu. Namun orang-orang yang beriman meyakini pula janji Allah melalui lisan Rasulullah bahwa Allah menjamin pembebasan dari siksa neraka Allah yang bernyala-nyala itu, ketika mereka, orang-orang yang beriman, yang berpuasa ’iimanan wahtisaban’ di bulan Ramadhan, memohon di sepuluh hari terakhir Ramadhan agar mereka dihindarkan dari siksa tersebut.

Rahmat Allah yang berlebih dari biasanya. Ampunan Allah yang lebih dari biasanya. Jaminan Allah agar terhindar dari siksa neraka. Allah berikan hanya dibulan Ramadhan. Bagaimana mungkin umat Rasulullah yang memahaminya tidak akan berharap agar kiranya sepanjang tahun hanya Ramadhan belaka.

’Iimanan wahtiisaban.’ Atas dasar iman dan penuh keberhati-hatian. Atas dasar iman bahwa puasa ini adalah perintah Allah maka dia tunduk patuh melaksanakannya. Bukan karena yang lain-lain. Bukan karena merasa tertantang untuk beradu kuat menahan haus dan lapar sekitar tiga belas jam sehari untuk kemudian merasa gagah bahwa dia ternyata mampu. Karena sepertinya ada orang yang seperti itu. Rajin puasanya. Tapi anehnya dia tidak shalat. Masya Allah. Atau dia shalat juga sekadar ’calak-calak ganti asah’, sekedarnya saja. Karena pada dasarnya, sehari-hari dia tidak shalat.

Dan puasa yang dilakukan dengan penuh keberhati-hatian, agar jangan sampai ternodai oleh hal-hal yang pasti tidak diridhai Allah. Dia tahan segenap anggota tubuhnya untuk tidak melanggar hal-hal yang mungkin akan mengurangi atau merusak nilai puasanya. Dia tahan mulutnya agar tidak bergunjing atau mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Dia tahan matanya agar tidak jelalatan memandang hal-hal yang tidak halal untuk dilihat. Dia tahan telinganya dari mendengarkan omong kosong dan tipuan yang menggoda. Dan tangannya. Dan kakinya. Dia jaga dari melakukan hal-hal yang tidak boleh dan tidak pantas dikerjakan.

Karena Ramadhan sejatinya adalah bulan latihan. Latihan mengendalikan diri dan hawa nafsu. Ketika orang-orang yang beriman diperintahkan menahan diri bahkan dari sesuatu yang halal untuk mereka lakukan di hari-hari yang lain. Dalam jangka waktu sebulan penuh. Sepertinya memang tidak mudah. Paling tidak seperti terlihat dari menurunnya jumlah jamaah shalat tarawih. Yang membeludak di hari-hari pertama tapi dengan pasti melorot makin ke penghujung.

Dan Allah menjanjikan ganjaran yang berlipat ganda untuk usaha yang memang tidak mudah itu. Janji Allah pasti adanya. Maka, bagaimana mungkin seorang yang benar-benar beriman tidak akan berdesir darahnya, penuh harap dan penuh kebahagiaan tatkala usianya menjelang dan menghampiri sebuah Ramadhan. Penuh harap akan ikut mendapatkan rahmat Allah. Penuh harap akan mendapatkan ampunan Allah serta pemeliharaan Allah dari api neraka. Penuh harap dan cita-cita, kiranya dia akan termasuk salah satu pemenang di penghujungnya nanti, mendapatkan predikat ’muttaqiin’.

Demikian harapan hamba-hamba Allah yang jujur. Mereka yang dengan jujur mengakui bahwa dia adalah hamba yang dhaif. Yang lemah. Banyak sudah dosa yang dia lakukan. Banyak kekeliruan yang sudah dia perbuat. Entah tersengaja ataupun bukan. Dia menyadari semua itu. Seandainya Allah tidak mengampuni dosanya, betapa akan celakanya dia. Dia yakin dengan janji Allah. Dia yakin dengan ancaman Allah baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dan dia tidak sanggup membayangkan siksa yang akan diterimanya nanti di akhirat sana. Kepada siapa lagi dia akan minta pertolongan? Akan minta perlindungan? Kalau bukan kepada Allah?

Detak jantung penuh harap itu semakin berpacu menjelang usainya Ramadhan. Akankah? Akankah dia meraihnya? Akankah rahmat, maghfirah dan itkun minannaar itu diperoleh? Tahun ini? Karena tahun depan belum tentu dia masih akan hadir. Duduknya semakin khusyuk di mesjid. Dalam zikir dan doa.

Ramadhan itupun berakhir sudah. Terlepas dari perbedaan keyakinan yang menghitung dua puluh sembilan hari atau menggenapkan tiga puluh hari. Masing-masing tentu dengan keyakinan yang dilandasi oleh ilmu dari Allah. Tidaklah untuk dipertentang-tentangkan. ’Wa litukmilul’iddata wa litukabbirullaaHa ’alaa maa Hadaa kum wa la’allakaum tasykuruun.’ ’Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan bulan dan mengagungkan Allah, karena Dia telah menunjuki kamu. Dan mudah-mudahan kamu bersyukur.’

Dan kini, Ramadhan 1427 Hijriyah sudah usai. Sudah berlalu dan tidak akan kembali lagi. Sudah pergi membawa serta laporan amalan setiap shaimin-shaimat. Dengan segala pencapaiannya masing-masing. Dengan kualitas yang berbeda-beda. Yang kemarin itu tidak akan kembali lagi. Yang akan datang ? Wallahu a’lam.

Dan takbir menggema diseluruh pelosok mengagungkan asma Allah. AllaaHu Akbar – AllaaHu Akbar – AllaaHu Akbar. Laa ilaaHa illa ‘LlaaHu waLlaaHu Akbar. AllaaHu Akbar walilLaaHil hamd. Menggema mengagungkan asma Allah sekaligus dengan luapan kegembiraan. Karena telah berhasil menjalani bulan ujian itu. Telah berusaha maksimal selama Ramadhan. Dengan puasa yang didasari keimanan kepada Allah semata dan dilakukan dengan penuh hati-hati. Disertai amalan-amalan lain yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. Shalat malamnya. Tadarus al Qurannya. Zikirnya. Sadaqahnya. Infaqnya. Mudah-mudahan kita termasuk salah satu dari orang-orang yang beriman itu. Yang puasa Ramadhannya mendapat ganjaran maksimal dari Allah. Yang setiap ibadah selama Ramadhan lalu itu diridhai Allah. Wahai, betapa indahnya jika benar demikian.

Tantangan berikutnya adalah hari-hari esok. Seberapa kuat pengaruh latihan sebulan Ramadhan itu akan membekas kepada kita. Dalam mempertahankan keteguhan iman kita kepada-Nya. Pengendalian diri agar tidak menyimpang dari jalan-Nya yang lurus.
Jatibening, penghujung Ramadhan 1427H.


******

No comments: