Monday, May 4, 2009

DERAI-DERAI CINTA (21)

21. SEBUAH DISKUSI

Semua makan besar siang itu. Abang Lutfi makan bertambuh-tambuh sampai keluar keringat. Dia benar-benar pencinta gulai tunjang. Lala menyindir bahwa abang Lutfi sudah termimpi-mimpi makan gulai tunjang sejak hari Jumat malam. Teteh Yani memuji-muji gurihnya sayur rebung, teman gulai tunjang.

‘Benar, Ran. Kita seharusnya membuka restoran. Pasti akan laku keras,’ kata bang Lutfi.

‘Memangnya banyak orang seperti abang di Bandung ini?’ tanya Imran bercanda.

‘Pasti banyak. Masakan seperti ini, tidak usah diiklankan, orang akan kata mengatakan satu sama lain. Dalam tempo singkat masakan kau ini akan sangat dikenal orang. Bagaimana? Kau sanggup? Bak kata papa, lantas tidak angan kau?’

‘Abang serius nih?’ tanya Lala.

‘Kenapa tidak?’ jawab abang.

‘Si abang paling bisa. Ya, kenapa tidak. Itukan, kata abang. Si abang kan jadi manajernya saja. Enteng kerjanya,’ teteh Yani mengomentari.

‘Yaaa... enggaklah. Kita bekerja samalah. Gimana Ran?’

‘Maksudnya kita siapa nih? Abang berdua Imran atau kita yang lain juga dilibatkan?’ tanya uni Lani.

‘Siapa yang mau ikut. Ya, nggak Ran? Kalau perlu memasaknya gotong royong kayak tadi. Semua terlibat. Abang ikutlah, tukang cuci-cuci he..he..he...’.

‘Ndak dulu lah bang. Ndak jadi selesai sekolah awak nanti... he..he..he....’ jawab Imran.

‘Yaa..... Awak........ Awak nggak yakin sih. Tapi benar, Ran. Ini serius. Kamu benar-benar punya skill memasak. Kamu ahli. Dari mana kau belajar?’

‘Dari pengalaman saja, bang. Bertahun-tahun akrab dengan dapur, bertambah juga pengalaman.’

‘Di tempat kalian, selalu kamu yang masak?’

‘Dibantu Syahrul. Syahrul ahli membuat nasi goreng,’ jawab Imran.

‘Hebat kalian. Pasti senang istri kalian nanti, kalau kalian sudah punya istri...’

‘Emangnya......... ‘ kata Lala dan Yuni berbarengan.

‘Kalau sudah punya istri nanti, saya tidak mau lagi memasak, bang. Saya akan pensiun memasak,’ jawab Imran.

‘Kalau masakan istrimu nggak enak ? Hayo.... Pasti kau kembali lagi masuk dapur....’

‘Diajari dululah dia, bang. Diajar dulu, sampai dia pintar memasak. Baru saya pensiun.’

Omongan hilir mudik itu berlangsung lama. Disertai canda dan derai ketawa. Pertemuan yang menyenangkan. Sudah menjelang sore waktu Imran dan Syahrul berpamitan.


***

‘Cantik sekali Lala, sepupu kau itu. Dan Yuni temannya itupun manis sekali,’ kata Syahrul waktu mereka berbincang santai malam harinya.

‘Ya. Betul,’ jawab Imran pendek.

‘Tapi kau sepi-sepi saja kulihat terhadap mereka.’

‘Maksudmu?’

‘Kau seperti acuh tak acuh saja kepada mereka.’

‘Acuh tak acuh bagaimana? Adikku itu minta dibuatkan gulai, aku buatkan. Bagaimana bisa kau katakan aku acuh tak acuh?’

‘Bukan itu maksudku.’

‘Lalu apa?’

‘Aku lihat, kau tidak sedikitpun tertarik kepada mereka. Sebagai seorang laki-laki. Faham tidak kau?’

‘Ya ndaklah. Lala adik ku. Yuni, teman adikku. Mau tertarik kepada siapa? Dan tertarik bagaimana maksudnya?’

‘Lala, adik sepupumu. Baik. Yuni teman adik sepupumu. Sah-sah saja seandainya kau tertarik kepada Yuni, misalnya.’

‘Maksudnya tertarik itu apa?’ tanya Imran kembali.

‘Ah, masak kau nggak faham. Laki-laki tertarik kepada perempuan? Anak muda tertarik kepada anak gadis?’

‘Baik. Lalu setelah itu mau apa? Mau berpacaran?’

‘Ya. Katakan begitu. Wajar kan? Selama kita menjaga norma-norma pergaulan, tentu saja.’

‘Itulah yang aku tidak sependapat. Begini. Kau tertarik kepada seorang anak gadis. Kepada seorang cewek. Kau datangi dia. Kau sampaikan perasaan hatimu kepadanya. Diapun menanggapi. Diapun jatuh cinta kepadamu. Lalu apa? Kalian berpacaran. Berpacaran itu apa? Kalian menyerempet-nyerempet hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Mulai dari yang kecil-kecil. Yang kau anggap tidak apa-apa. Kau lupa. Ada setan yang selalu menggoda. Pasti kau masih ingat pak Rusyad, guru agama kita. Beliau menerangkan hadits nabi. Bila sepasang anak manusia yang bukan mahram berkhalwat, berdua-dua, maka yang ketiganya adalah setan. Kata setan, tidak apa-apa kalian sekedar berpandang-pandangan. Hari ini kalian sekedar berpandang-pandangan. Besok setan membisikkan lagi. Tidak apa-apa kalian sekedar berpegang-pegangan tangan. Kalian lakukan lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya kalian terjerumus. Setan bertepuk tangan.’

‘Wah...... Berat betul pengajianmu.’

‘Bukan pengajian. Aku mengatakan apa yang aku tanamkan di dalam diriku,’ jawab Imran.

‘Jadi.... Maksudmu? Kau tidak akan pernah berpacaran? Tidak akan pernah membuka hatimu untuk wanita? Untuk seorang anak gadis?’

‘Kau salah. Pada waktunya nanti, insya Allah aku juga akan menikah. Aku akan membuka hatiku untuk wanita. Yang sudah menjadi istriku, tentu saja. Tapi itu masih jauh. Biarlah kita tamatkan dulu sekolah ini. Baru nanti aku berpikir ke arah itu.’

‘Terus terang, bagaimana perasaanmu kalau berdekatan dengan anak perempuan? Dengan anak gadis? Katakan misalnya dengan si Ratih tetangga kita?’

‘Aku membunuh perasaan ke arah yang tidak-tidak. Aku beristighfar. Aku ingatkan diriku dalam hati, perlakukan orang ini baik-baik dan wajar-wajar.‘

‘Jadi artinya, sebenarnya di dalam bagian hatimu pasti ada juga katakanlah sebangsa keinginan. Ada hasrat untuk......’

‘Ada. Aku alhamdulillah laki-laki normal. Tapi aku berusaha keras untuk tidak salah langkah.’

Syahrul terdiam. Baru sekali ini mereka berdiskusi seperti ini.

‘Kau tahu tidak, Ratih sebenarnya menaruh hati kepadamu?’ tanya Syahrul kembali memecah kesunyian.

‘Entahlah. Aku tidak memperdulikannya, kalau iya sekalipun.’

‘Maksudmu tidak memperdulikan? Buktinya kau layani dia ketika dia minta tolong diajarkan matematika ?’

‘Itulah bedanya. Sebagai teman. Sebagai tetangga, atau sebagai orang yang saling kenal, aku harus berbuat baik secara wajar. Kalau orang minta tolong, dan kebetulan aku sanggup menolong, insya Allah aku tolong. Tapi kalau ada anak gadis misalnya mengarah kepada.... katakanlah tertarik kepadaku seperti yang kau katakan, aku tidak akan menanggapinya. Dan rasanya tidak mungkin wanita akan lebih dulu mengatakan bahwa dia jatuh hati kepada seorang laki-laki.’

‘Kau keliru. Sangat mungkin. Mungkin tidak secara nyata mengatakan demikian, tapi dengan tingkah laku, dengan perhatian khusus. Banyak saja sekarang anak gadis yang terang-terangan mencoba menarik perhatian laki-laki.’

‘Dalam hal itu aku tidak akan menanggapinya.’

‘Kau akan cuek saja?’

‘Ya. Aku tidak akan memberi harapan. Tidak akan menunjukkan bahwa aku merespon harapan seperti itu.’

‘Aku menduga Yunipun tertarik kepadamu.’

‘Kok bisa? Kok bisanya kau tahu, padahal baru tadi kau mengenalnya.’

‘Aku berkali-kali memergoki matanya mencuri pandang ke arahmu.’

‘Wah ! Apa itu cukup sebagai bukti?’

‘Bagiku itu sebuah indikasi sangat positif.’

‘Tapi maaf.... Berarti kau juga sering mencuri-curi pandang ke arahnya kalau begitu...’

‘Maksudmu ?’

‘Kau sendiri yang bilang. Kau sering memergoki matanya.’

‘Ya,’ jawab Syahrul sedikit jengah.

‘Kau tertarik kepada Yuni ?’

‘Dia itu cantik.’

‘Sepupuku kau bilang juga cantik.’

‘Sepupumu tidak levelku. Dia itu anak ‘orkay’.’

‘Lalu?’

‘Aku tidak berminat mendapatkannya.’

‘Dan berminat untuk mendapatkan Yuni?’

‘Ya... tapi menduga bahwa Yuni lebih tertarik kepadamu.’

‘Repotkan? Jadi sudahlah. Kalau kau sependapat denganku, tidak usah mengurusi hal-hal seperti itu sekarang. Kau akan jadi pengkhayal. Akan banyak berangan-angan. Semua itu hanya membuang-bunag energi dan waktu. Tunggu sajalah.’


*****

No comments: