Monday, January 21, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (24)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (24)

24. PENUTUP

‘Sekitar jam delapan aku terbangun. Ita masih tertidur di dadaku. Aku bangkit pelan-pelan sambil mengangkat kepalanya dan meletakkannya di atas bantal. Ita masih lelap dalam tidurnya. Aku kecup keningnya.

Aku duduk ke luar kamar. Bermenung. Merenung. Berliku-likunya jalan hidupku. Lama aku duduk diam disana. Aku bangkit dan pergi mandi. Sehabis mandi, aku perhatikan Ita masih tidur nyenyak. Aku tidak mau membangunkannya.

Aku berpikir sebaiknya aku pergi ke toko pagi hari Minggu ini. Karena kalau duduk di rumah aku khawatir pikiranku makin suntuk. Sebelum berangkat aku tulis pesan singkat di kertas dengan tulisan, ‘Ita, Ita masih tidur nyenyak, uda tinggal. Uda pergi ke toko. Nanti kita berdiskusi lagi. Uda. Jam 9.00.’

Tidak semudah yang kubayangkan untuk tidak suntuk berada di toko. Aku terpuruk di dalam kesunyianku sendiri di tengah pasar besar itu. Sesudah shalat zuhur aku sudah tidak betah. Segera kututup lagi toko dan aku langsung menuju pulang.

Sampai di rumah aku lihat tidak ada mobil. Rumah terkunci. Aku coba mengetuk-ngetuk dan memanggil-manggil, Ita tidak menyahut. Anak gadis orang punya rumah datang membawakan kunci.

‘Uni Ita tadi menitipkan kunci ini. Dia pergi,’ kata anak gadis itu.

Aku terima kunci itu dan segera masuk rumah. Aku masuk ke kamar. Ada sebuah amplop putih di atas meja. Amplop yang pasti ditinggalkan Ita. Dadaku bergemuruh lagi dan tanganku bergetar. Aku buka amplop itu dan kubaca isinya;

Uda Marwan yang sangat Ita sayangi,

Untuk kesekian ribu kalinya Ita meminta maaf kepada uda. Ita telah banyak sekali berbuat dosa kepada uda. Menyakitkan hati uda, menyusahkan uda. Ita memang tidak pantas menjadi istri uda. Uda seorang yang sabar, seorang yang saleh, seorang yang teguh imannya. Sementara Ita adalah wanita yang suka berkeluh kesah, yang tidak tahan menderita dan tidak sabar. Ita terlalu lemah, uda. Terlalu rapuh untuk melawan goncangan-goncangan dan cobaan-cobaan yang kita lalui selama ini. Sekali lagi maafkanlah Ita, uda.

Ita tahu, perpisahan ini pasti merobek-robek hati uda. Ita tahu betapa besarnya cinta uda kepada Ita. Itapun sangat mencintai uda. Ita sangat bangga jadi istri uda. Tapi kelemahan jiwa dan kerapuhan batin Ita telah merusak diri Ita dari dalam. Ita sangat menderita karenanya, uda.

Uda Marwan,

Ijinkanlah Ita mengulangi sekali lagi menyampaikannya, bahwa Ita tidak pernah mengkhianati pernikahan kita. Ita tidak pernah mengkhianati uda. Ita tetap mempertahankan kesucian pernikahan kita. Namun Ita sangat lemah uda. Setan selalu berbisik di telinga dan dada Ita. Dan Ita khawatir suatu saat nanti Ita tidak mampu lagi bertahan dari godaannya. Iman Ita tidak seteguh iman uda.

Uda yang Ita sayangi,

Sementara ini ijinkanlah Ita pergi dulu dari rumah. Ita pergi kerumah etek di Cempaka Putih. Perbuatan Ita ini pasti akan sangat menyusahkan uda. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya, maafkan Ita.

Wassalam dan maaf dari istri uda

Rosita

Ya Allah........ keluhku. Beri hamba kekuatan.....

Aku pergi berwudhu ke kamar mandi. Aku ambil al Quran. Aku mengaji dan aku baca surat Yasin. Aku ulang menamatkan bacaan surat itu sampai tiga kali. Sesudah itu aku tertidur terkapar di atas sajadah.

***

Aku terbangun ketika mendengar pintu diketok dari luar. Aku lihat jam, sudah jam setengah lima. Aku segera keluar membukakan pintu. Di luar berdiri etek dan pak etek Cempaka Putih. Aku persilahkan beliau masuk.

Etek langsung berbicara kepadaku.

‘Marwan. Sepertinya ada masalah dalam rumah tangga kalian. Etek dan pak etek tentu tidak boleh ikut campur dalam masalah ini. Ita sekarang ada di rumah. Menurut etek, biarkanlah dia disana dulu menenangkan hatinya semalam dua malam ini. Etek dan pak etek akan membantu menenangkan pikiran Ita. Kami bantu dengan doa, mudah-mudahan masalah kalian bisa cepat selesai dengan baik,’ kata beliau.

‘Baiklah tek,’ jawabku pendek.

‘Sabar, Marwan. Biasa. Rumah tangga tanpa riak dan gelombang hambar rasanya seperti sayur tanpa garam. Sabar. Banyak-banyak sabar,’ ujar pak etek menambahi.

‘Insya Allah pak etek,’ jawabku pendek.

‘Baiklah Marwan, etek tidak lama-lama. Kami hanya ingin menyampaikan itu saja. Marwan sabar, ya. Dan hati-hati. Nanti kalau Ita sudah tenang, insya Allah kami antarkan kembali kesini. Oh, ya. Ini etek bawakan nasi bungkus. Sudah ya Marwan, kami pamit dulu,’ kata etek.

‘Baik, tek. Terima kasih pak etek, terima kasih tek,’ jawabku.

Aku antarkan kedua orang tua yang baik itu ke mobil mereka. Dan aku tunggu sampai mobil itu menghilang dari pandangan. Aku ingat, aku belum shalat asar dan bergegas shalat. Sesudah shalat aku mengaji lagi. Dan terasa perutku lapar. Ya aku belum makan apa-apapun sejak pagi. Belum minum setegukpun.


***

Tiga hari berlalu. Air mataku sudah kering untuk menangis. Aku kusut masai selama tiga hari ini. Tidak pergi ke toko. Hatiku maju mundur antara keinginan pergi melihat Ita ke Cempaka Putih dengan membiarkannya saja.

Entah bisikan apa ini yang berdengung di otakku. ‘Sudahlah Marwan. Hidup ini memang kalah dan menang. Ketika kalah, sabar. Ketika menang, berlakulah wajar. Sekarang kau kalah, hendaklah kau sabar. Apa yang disampaikan Ita ada benarnya. Dia tidak tahan hidup menderita seperti yang kamu tanggungkan. Dia wanita dengan segala kelemahannya. Biarkanlah dia, demi cinta dan kasihmu kepadanya. Maafkanlah dia. Bersabarlah sekali lagi. Dibalik kesabaran itu ada keindahan.’

***

Jam setengah empat sore, ketika aku sedang shalat asar, aku dengar pintu diketok. Aku selesaikan shalatku. Diluar terdengar suara orang bercakap-cakap. Sesudah shalat aku segera bangkit dan membukakan pintu.

Di luar ada papa dan mama Ita, pak etek dan etek dan Ita. Berlima. Aku salami semua satu persatu. Ketika menyalami Ita aku peluk dia. Dan aku menangis lagi. Itapun menangis.

Kami segera terlibat dalam perbincangan. Papa Ita yang memulai pembicaraan.

‘Marwan. Pertama sekali, papa dan mama sangat prihatin dengan masalah rumah tangga kalian saat ini. Papa dan mama sangat tidak setuju dengan perlakuan Ita, meninggalkan rumah, meninggalkan kamu. Kami sudah menasihatinya sangat panjang. Papa dan mama sudah berbicara panjang di telepon dengannya. Pak etek dan etek sudah menasihatinya sangat panjang sampai kewalahan dan meminta papa dan mama datang.

Sekarang, papa memaksa Ita datang kesini. Usul papa, biarlah Ita menenangkan pikiran dulu agak beberapa waktu ini. Bagaimana pendapat Marwan?’

Aku terdiam mendengar uraian singkat itu. Ita rupanya benar-benar sudah berada di titik yang tidak mungkin kembali lagi.

‘Ita, katakanlah apa yang ingin Ita katakan. Sampaikanlah apa yang ingin Ita sampaikan, uda akan menjawabnya. Uda akan mengabulkan apapun permintaan Ita selama uda sanggup melakukannya,’ kataku.

Ita menangis. Menangis tersedu-sedu. Tidak satu patah katapun keluar dari mulutnya.

‘Katakanlah Ita ! Apa keinginan Ita ? Sampaikanlah !’ aku ulangi lagi.

Mama dan etek ikut menangis melihat pemandangan itu.

‘Ita berbicaralah ! Katakanlah apa saja !’ pintaku lagi.

Ita mendekat kepadaku dan memeluk tubuhku. Dia menangis tersedu-sedu di bahuku. Apakah dia mau kembali, tanyaku dalam hati.

‘Uda.........., Demi Allah uda........... Ceraikanlah Ita........’ katanya tambah tersedu-sedu.

Mama dan etek Ita menjerit histeris mendengar kata-kata itu. Papa dan pak etek memandang Ita dengan pandangan tidak percaya.

‘Baik........ Uda ceraikan Ita....... Saat ini jatuh talak uda satu kali kepada Ita....’ jawabku setenang mungkin.

Mama Ita menjerit mengatakan tidak dan memelukku.

‘Marwan.... Jangan........’ katanya terbata-bata.

Kami semua yang laki-laki diam. Ketiga wanita itu bertangis-tangisan sambil berpelukan.


***

Drama itupun selesailah. Lama kami duduk saling membisu sementara ketiga wanita itu larut dalam tangis. Tapi drama itu benar-benar sudah selesai. Talakku sudah jatuh. Itu memang lebih baik. Mereka baru pergi dari rumah itu sesudah maghrib. Masih kami coba berbincang-bincang sesudah itu, tapi tidak ada satu katapun yang lengket di telingaku.
Begitulah akhir cerita panjangku,’ kata Marwan.

Mata Desi merah karena tangis. Akupun menangis. Tragis sekali.

‘Dan kau tidak pernah lagi berjumpa dengan Ita sejak itu ?’ tanyaku.

‘Sering,’ jawab Marwan tersenyum.

‘Maksudmu?’

‘Ita menikah dengan teman simpatiknya itu. Rupanya ada benarnya ramalan mereka. Ita melahirkan dua orang anak dengannya. Suaminya itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas sepuluh tahun yang lalu.’

‘Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Terus?’

‘Ya, Ita menjanda sampai sekarang,’ jawab Marwan.

‘Dan kau sering berkunjung lagi ke tempatnya?’

‘Ya,’ jawab Marwan tersenyum.

‘Maksudmu?’

‘Ya, menyantuni anak yatim. Menjenguk dan melihatnya saja.’

‘Terus. Kau sendiri apa yang terjadi sesudah perceraian itu?’

‘Mula-mula sakit. Sakit lahir dan batin. Terkapar sendiri di rumah kontrakanku selama berhari-hari. Ditolong oleh pemilik rumah yang tetanggaku.’

‘Lama menduda?’

‘Lima tahun. Lebih sedikit lima tahun.’

‘Dimana bertemu dengan Kokom?’

‘Di rumah kontrakanku itu.’

‘Bagaimana caranya?’

‘Kokom adalah anak gadis kecil yang dulu suka menemani Ita kalau aku pergi ke Irian. Kokom yang sering disuruh ibunya mengantarkan makanan ketika aku sakit sesudah perceraian. Ketika itu dia baru saja mulai kuliah.’

‘Terus?’

‘Aku dilamar lagi oleh orang tua Kokom. Orang Minang kan laki-lakinya yang dilamar. Aku orang Minang dan aku dilamar untuk Kokom,’ Marwan tersenyum.

‘Hey. Bisa panjang lagi dong ceritanya,’ kataku.

‘Ah, nggak juga. Ayah Kokom menanyaiku apakah aku mau menikahi Kokom. Aku bilang, apa nggak salah. Aku duda berumur hampir 40 tahun. Kokom masih gadis 24 tahun. Apa Kokom mau, tanyaku kepadanya.’

‘Dan ternyata mau?’ tanya Desi.

‘Itu, buktinya sekarang,’ jawab Marwan.

‘Lalu bagaimana hubungan dengan Ita? Maksudku bagaimana tanggapan Ita dan bagaimana tanggapan Kokom terhadap Ita?’

‘Baik-baik saja. Orang mereka saling kenal sejak lama. Bahkan ada usulan Kokom yang sangat dahsyat,’ kata Marwan tersenyum lebar.

‘Apa itu?’ tanyaku.

‘Supaya aku menikahi Ita kembali...he...he...he...’ Marwan tertawa terkekeh.

‘Gila. Dan terus? Kau mau?’ tanyaku.

‘Nggak. Belum..he.he.he.. ‘

‘Kapan dia menyuruhmu menikahi Ita kembali?’

‘Wouf.... Pertanyaanmu kayak wartawan. Sejak 7 tahun yang lalu. Sesudah Ita 3 tahun jadi janda,’ jawab Marwan.

‘Kenapa tidak mau ?’ tanya Desi.

‘Saya bilang kan belum mau. Siapa tahu nanti kapan-kapan mau...he..he..he,’ Marwan kembali terkekeh-kekeh.


***

Kami makan malam dengan sate kambing yang dibelikan Faisal anakku. Sudah jam sembilan malam waktu Marwan meninggalkan rumah kami


Tamat

Jatibening, 22 Januari 2008

Cerita fiktif ini ditulis selama 22 hari.

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (23)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (23)

23. BONUS PUKULAN TERAKHIR

Desi sedang menata meja untuk makan malam waktu kami sampai kembali di rumah. Sepertinya dia juga sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Aku bertanya apakah dia tidak tertarik meneruskan mendengar cerita Marwan. Dia bilang kalau dia akan menggoreng telor untuk tambahan lauk dan setelah itu sebaiknya kami makan malam dulu. Marwan mengusulkan agar makannya nanti saja karena dia merasa masih kenyang. Aku mengusulkan menyuruh Faisal pergi membeli sate untuk makan malam. Usul yang akhirnya disetujui.

Marwan mulai lagi bercerita.

‘Ketika aku diberhentikan aku diberi uang pesangon sekedarnya. Enam bulan gaji. Tabunganku boleh dikatakan nol ketika itu karena disamping kami membeli mobil dan membayar cicilannya, kami juga baru saja membayar perpanjangan kontrak rumah untuk dua tahun ketiga. Tabungan Ita adalah sedikit. Aku mulai mencari tempat untuk memulai usaha membuka toko buku. Pilihanku adalah Pasar Senen, pasar yang lumayan besar. Aku cari toko kecil. Sewanya setahun segera menguras setara dengan empat bulan gaji yang aku terima.

Aku segera mulai. Membeli beberapa buah rak tempat memajang buku di toko itu. Akhirnya semua uang pesangon masuk kesana. Toko itu mulai berjalan tertatih-tatih. Pengalamanku membantu pak etek dulu di Surabaya sangat banyak membantu usaha ini.

Untuk biaya di rumah dan melanjutkan pembayaran cicilan mobil kami tergantung dari gaji Ita. Kami harus menjalani hidup sehemat mungkin. Ita bukan wanita boros, tapi untuk hidup prihatin seperti ketika itu sangat berat baginya. Kami jalani hidup seperti itu beberapa bulan sampai datangnya cobaan berikutnya.

Mungkin karena tekanan dan kesulitan hidup, hubungan kami, hubungan antara aku dan Ita, sedikit demi sedikit semakin renggang. Tidak ada lagi masa-masa indah seperti dulu ketika kami banyak canda dan ketawa. Ketika kami sangat bahagia dan selalu ceria. Rumah tangga kami sekarang seperti selalu ditutupi awan hitam. Kami tidak pernah bertengkar. Tapi kami lebih banyak saling diam. Sebenarnya kalau menurutku, musibah yang kami alami masih dapat ditahankan, masih banyak orang yang lebih tidak beruntung dari kami. Tapi tidak demikian halnya dengan Ita. Dia betul-betul tersiksa oleh kepedihan dan keberatan beban mental selama ini. Entah deraan apa pula yang diterimanya di kantornya, dari rekan-rekan sekerjanya yang pasti juga tahu apa yang sedang kami alami. Ita tidak pernah bercerita. Dan Ita tidak pernah tertarik mendengar ceritaku berjuang menjalankan usaha toko buku.

Akhirnya datanglah hari yang paling dahsyat dalam hidupku itu. Ita mengajakku berunding. Tentang sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.


***

Malam itu sesudah shalat isya, kami duduk di sajadah masing-masing, dalam zikir dan doa. Ita masih memakai mukena. Dia memulai pembicaraan.

‘Uda, Ita ingin berbicara serius dengan uda,’ katanya mengawali.

‘Tentang apa Ita?’ tanyaku.

‘Tentang rumah tangga kita, da. Tentang kita.......,’ katanya terbata-bata.

‘Apa yang ingin Ita sampaikan ?’ tanyaku, tanpa prasangka buruk sedikitpun.

‘Uda... Ita sangat sayang kepada uda. Dan Ita tahu, uda sangat sayang kepada Ita. Kita saling mengasihi, saling mencintai......’ Ita mulai menangis.

Mataku ikut berlinang-linang. Tapi apa yang akan disampaikannya ?

‘Da, mungkin Ita keliru. Untuk itu maafkan Ita. Ita melihat penderitaan uda. Ita sedih, karena Ita tidak sanggup membantu penderitaan uda. Uda sangat menderita selama ini...’ katanya terbata-bata dalam isak tangis.

‘Ita, bukankah ada Allah yang menolong kita. Berapapun beratnya penderitaan ini, uda akan tanggungkan. Uda percaya Allah akan menolong kita,’ jawabku.

‘Itapun percaya dengan itu, uda. Ita percaya dengan ketegaran dan kesabaran uda. Ita yakin Allah akan menolong kita,’ katanya.

‘Uda hanya meminta agar Ita, tetap bersabar. Sekali lagi permintaan uda tentang sabar ini mungkin sudah membosankan telinga Ita mendengarnya. Tapi percayalah, Allah mencintai orang-orang yang sabar.’

‘Betul uda. Tapi seperti yang sering juga uda katakan. Kita harus melihat perjalanan hidup ini secara nyata. Secara realistis. Ini yang sangat berat bagi Ita untuk menyampaikannya........... Maafkan Ita....’ katanya terisak-isak.

Hatiku mulai berdetak. Apa yang akan dikatakan Ita berikutnya? Aku terdiam mematung.

Itapun terdiam cukup lama.

‘Maafkan Ita, da. Maafkan kalau Ita lancang dengan yang akan Ita katakan ini........’

Ita menutup mukanya dengan mukena. Ita menangis sejadi-jadinya.

‘Apa yang akan Ita katakan? Katakanlah!’ kataku membujuknya sambil merangkulnya ke dalam pelukanku.

Tangisnya semakin menjadi-jadi.

‘Ita, katakanlah. Apa yang menyesakkan dada Ita ? Katakanlah! Uda akan mendengarkannya,’ kataku.

‘Maaf, da. Ita minta beribu-ribu maaf. Ita merasa kita tidak beruntung menjadi pasangan suami istri. Uda sudah banyak menderita karena Ita. Uda tidak bahagia dengan Ita. Ita mohon maaf sekali lagi....... Sejujur-jujurnya Ita minta...... Maafkan Ita....... Ceraikanlah Ita uda....’

Petir. Patuih tungga. Itu rasanya yang menghajar telingaku. Dadaku bergemuruh kencang. Sakit luar biasa. Yang dibicarakan Ita bukan hal main-main. Dia tidak menyampaikannya dalam suasana kami bertengkar. Dia menyampaikannya sesudah kami selesai shalat. Pasti ini sudah hasil telaahan panjang. Pantas dia sangat berubah sejak beberapa bulan terakhir. Terlebih-lebih sejak aku berhenti bekerja.

Aku peluk Ita. Aku menangis. Benar-benar menangis tersedu-sedu. Aku sangat menyayanginya. Mencintainya. Ya Allah... Ujian apa lagi ini ?

Ita juga menangis dalam pelukanku. Lama kami larut terbawa emosi masing-masing. Mencurahkan banyak air mata. Kami tidak mampu bersuara untuk waktu cukup lama. Akhirnya aku memecah kesunyian kami.

‘Kenapa Ita sampai pada kesimpulan seperti ini? Ini tidak boleh terjadi Ita......... Ita tahu uda sangat menyayangi Ita. Kita saling mengasihi........ Uda tidak akan menceraikan Ita.........,’ kataku terbata-bata.

Ita mengangkat kepalanya.

‘Uda. Ita sangat sadar tentang hal itu. Uda sangat sayang kepada Ita. Itapun demikian. Tapi Allah menunjukkan bahwa hidup kita tidak nyaman selama ini. Allah tidak memberi kita keturunan. Padahal uda sehat walafiat. Uda mampu. Ita pernah hamil. Tapi sesudah itu, jalan kita seperti sudah tertutup untuk punya anak. Sudah lama Ita merenungkan hal itu. Dan nasib tidak baik yang uda alami selama ini, boleh jadi karena ketidak sabaran Ita menerima ujian Allah. Allah menguji uda, menguji kita dengan ujian yang lebih berat lagi. Oleh karena itu biarlah kita terima takdir ini. Bahwa kita memang ditakdirkan Allah untuk tidak beruntung dalam berjodoh. Hidup kita dihadapkan kepada banyak tantangan. Ita bukannya ingin lari, uda. Bukan Ita ingin berkhianat kepada uda.....Maafkan Ita........... Ita meyakini, mudah-mudahan perpisahan kita akan memperbaiki jalan hidup kita masing-masing sesudah itu...’ katanya panjang lebar.

Hatiku berdetak. Aku pegang bahunya dan aku tatap matanya.

‘Apakah Ita sedang didekati laki-laki lain?’ tanyaku.

‘Demi Allah, da. Ita tidak berkhianat, da. Ita tidak pernah mengkhianati uda,’ jawabnya.

‘Jawab sejujurnya Ita! Ada laki-laki lain yang menyebabkan Ita sampai berpemikiran seperti ini?’ tanyaku dengan suara bergetar.

Ita, sujud mencium kakiku dalam tangis.

‘Demi Allah, da. Ita tidak mau melayaninya da......... Demi Allah....’ jawabnya tersedu-sedu.

Aku terpana. Aku paham sekarang. Jadi itu rupanya. Ada pemain baru yang mencoba mendekat. Lama aku terdiam. Dadaku bergemuruh kencang. Aku akan jadi pecundang lagi? Aku akan dikalahkan lagi? Istriku sekarang didekati orang dan Ita rupanya sudah hampir tidak bisa bertahan lagi. Di saat aku sedang terpuruk. Sudah jatuh, sekarang akan ditimpa tangga pula.

Dia tidak mau melayani orang itu, siapapun dia. Tapi Ita sudah sampai ke penghujung titik pertahanannya dan kelihatannya menunggu rubuh. Entah dengan cara bagaimana pendekatan itu dilakukan. Entah kapan dimulai. Dan entah siapa orangnya. Sakit, betul-betul sakit dadaku sampai ke hulu hati. Tapi salahkah Ita ? Mungkin dia memang tidak siap untuk dibawa hidup melarat. Dibawa hidup dalam keadaan tidak ada jaminan seperti keadaanku saat ini. Ita anak orang kaya. Hidupnya sudah biasa senang dan berkecukupan sejak dia kecil.

Ita masih berada dalam pelukanku, menelungkup terisak-isak di pahaku. Sarungku basah oleh air matanya. Dan air matakupun meleleh bercucuran.

‘Siapa dia, Ita ?’ tanyaku akhirnya memecah kesunyian.

Ita semakin meratap di pahaku.

‘Ita tidak pernah mengkhianati uda...... Demi Allah da, Ita tidak pernah mengkhianati uda....’

‘Apa saja yang dilakukannya kepada Ita ?’ tanyaku bodoh.

‘Demi Allah da..... Ita tidak pernah mengkhianati uda. Demi Allah....’

‘Uda mempercayai Ita. Uda percaya Ita tidak mengkhianati uda........’ kerongkonganku seperti tercekik.

‘Apa yang terjadi? Sejak kapan dia itu mendekati Ita... ?’ aku mencoba bersikap tenang.

Ita hanya bisa larut dalam tangis. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain isak tangis.

‘Ita, cobalah tenangkan hati Ita. Uda tidak akan memarahi Ita. Ceritakanlah! Apa yang terjadi?’ kata-kataku keluar lebih tenang tanpa getaran.

Tetap tidak ada suara.

‘Biarlah uda yang mencoba menerka. Ada seorang laki-laki di kantor Ita. Yang bersimpati dengan penderitaan Ita. Mencoba menghibur Ita. Mendekati Ita. Begitu kan ?’ kataku setenang mungkin.

Ita mengangkat kepalanya. Melihat kepadaku dengan mata basah oleh air mata.

‘Dia memberi tahu uda.....?’ tanyanya dalam sesenggukan.

‘Tidak ada yang menghubungi uda. Uda hanya menerka seperti itu jalan ceritanya. Tidak akan jauh dari itu. Benar kan?’

‘Ada orang kantor Ita yang menghubungi uda?’ tanyanya lagi dengan suara yang lebih teratur.

‘Tidak ada, Ita. Tidak ada siapapun yang menghubungi uda. Jadi betul begitu ceritanya? Ceritakanlah lebih jelas. Uda tidak marah, Ita. Ini pelajaran berharga untuk hidup uda. Ceritakanlah apa yang terjadi!’

Setelah perasaannya lebih tenang, Ita bercerita panjang. Tentang seorang laki-laki lajang yang sudah sejak lama bersimpati kepadanya di kantor. Katanya, pada awalnya laki-laki itu selalu sopan dan tidak pernah berlaku tidak pantas kepadanya. Hubungan mereka hanya sebatas teman sekantor. Sejak aku dapat masalah dan ada teman sekantornya yang tahu, (bukan dari Ita, tapi teman yang juga istri karyawan tempat aku bekerja) si laki-laki simpatiknya itu semakin memberikan perhatian. Memberi nasihat, memberi semangat, katanya. Hal itu dilakukannya setiap hari dengan cara yang Ita tidak bisa menolaknya. Tapi lama kelamaan, karena setiap hari memberi perhatian seperti itu, laki-laki itu semakin berani memberi saran-saran yang rupanya mulai menarik perhatian Ita.

Dia yang menyuruh pikirkan kemungkinan agar kami bercerai saja. Dengan semua alasan seperti yang sudah dijelaskan Ita kepadaku. Bahwa menurut dia, kami bukan pasangan yang cocok, karenanya tidak ada salahnya kehidupan rumah tangga kami untuk dievaluasi ulang.

Aku mendengarkan uraian Ita dengan dada bergemuruh.

Racun untukku, tapi simpatik dan masuk akal bagi Ita.

‘Ita, barangkali benar. Kita harus realistis. Apa lagi yang akan uda katakan? Ita sudah terbawa hanyut olehnya bukan? Dan uda saat ini adalah biduk tiris pendayung patah, buat Ita,’ kataku lirih.

‘Uda.... jangan begitu uda......’ katanya mulai menangis lagi.

‘Apanya yang jangan begitu ?’ kataku dengan suara serak.

‘Uda..... Bukan begitu uda.... Maafkan Ita.......’ katanya sambil merangkulku.

Tiba-tiba saja aku jadi muak. Setan masuk kedalam dadaku. Aku dorong tubuh Ita dengan kasar. Dia terjatuh. Dia merangkul kakiku dan menangis sejadi-jadinya. Setan masih bercokol didadaku. Aku dorong tubuh Ita dengan kakiku sehingga dia terjengkang. Aku keluar dari kamar.

Ita menjerit-jerit histeris di tengah malam itu. Aku biarkan dia. Aku sangat terluka untuk mendekati dan memperhatikannya.

Aku tidak bisa tidur semalaman. Dari dalam kamar aku dengar tangisan Ita juga hampir sepanjang malam. Sampai masuk waktu subuh. Aku tersentak. Dan bersitighfar. Ya Allah, ampuni hambamu ini. Aku masuk ke kamar. Ita masih menangis. Dia telah menangis sepanjang malam. Aku dekati dia dan aku rangkul tubuhnya.

‘Maafkan uda, Ita. Maafkan uda,’ kataku.

Ita makin keras lagi tangisnya.

‘Ita, maafkan uda. Sudah azan. Marilah kita shalat. Mari kita minta ampun kepada Allah,’ ajakku.

Ita bangkit. Aku bimbing dia ke kamar mandi. Kami berwuduk. Dan shalat subuh. Dan berdoa. Doa yang panjang sekali.

Sesudah shalat aku ulangi minta maaf kepada Ita. Dia rebah lagi di dadaku dalam tangisannya. Kami berbaring. Dan akhirnya tertidur keletihan di lantai beralaskan sajadah.’


*****

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (22)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (22)

22. TINGGAL PUING

Ujung kisah Marwan semakin mencekam dan mengharukan. Kami, aku dan istriku semakin jarang memotong dengan pertanyaan. Semua kisahnya sangat rinci dan jelas. Dan sangat mengharukan. Desi berkali-kali menyapu air matanya.

Marwan melanjutkannya lagi.

‘Aku bekerja sampai tanggal 30 September dan sesudah itu di grounded. Tidak boleh lagi masuk kantor. Gajiku masih dibayar. Aku isi waktuku dengan banyak-banyak merenung. Tidak, aku tidak berubah jadi muno meski kuakui aku jadi sangat pendiam ketika itu. Di rumah aku usahakan untuk bersikap sewajar mungkin, meski tentu saja tidak mudah. Setiap pagi aku antarkan Ita ke kantor dan sore-sore aku jemput dia.

Di rumah sendirian di siang hari aku isi waktuku dengan membaca dan merenung. Mungkin lebih banyak merenung, dan berpikir. Ya, aku merenung dan merenung, menerobos waktu ke masa-masa yang sudah kujalani. Sejak masa kanak-kanak. Masa sekolah sampai SMP di kampung. Masa SMA dan kuliah di Surabaya. Masa aku mulai bekerja dan menikah. Dan akhirnya sampai di muaranya seperti sekarang ini. Ini tentu tidak boleh jadi akhir segala-galanya. Dunia belum kiamat. Apa yang akan aku kerjakan besok? Dunia perminyakan di Indonesia otomatis sudah tertutup bagiku. Pindah ke negeri orang? Ke Singapura? Atau bahkan ke Amerika? Aku akan terasing disana. Tidak cukup keberanianku. Aku akan terlalu jauh dari ibuku nanti.

Aku teringat kepada ibu. Ibu yang sangat salihah itu. Yang sangat tabah dan santun. Wajah ibu muncul di pelupuk mataku. Beliau seorang wanita yang sangat aku sanjung karena kesalehan dan kesabarannya. Ingat beliau aku jadi ingat berzikir. Dan aku berzikir. Dan mengaji. Ya, aku rajin membaca al Quran. Dan berdoa panjang sesudah setiap shalat. Aku tidak berdoa agar aku jangan sampai dikeluarkan dari kantor, tapi aku meminta kepada Allah agar aku diberi ketabahan. Aku menerima segala keputusan Allah dan aku memohon agar aku diberi hikmah dari setiap ujian yang aku terima. Agar aku diberi segala sesuatu yang terbaik dari sisi Allah. Ternyata doa seperti itu membawa ketenangan kepada batinku.

Hubungan dengan istriku di rumah tidak bisa tidak ikut terguncang. Hari-hari pertama sejak aku tidak lagi bekerja, aku dan Ita tidak banyak berbicara. Kami sama-sama membatasi diri untuk tidak banyak omong. Itapun jadi sangat hemat bicara. Aku tidak tahu persis apa yang dipikirkan istriku itu dalam kesunyiannya. Aku berprasangka baik bahwa dia tidak ingin menambah beban pikiranku.

Aku terima sebuah surat kilat khusus dari kampung. Surat itu dari mamakku. Beliau memberi tahu bahwa ada petugas tentara dari kantor Kodim baru-baru ini datang ke kampung menemui kepala desa dan juga bertemu dengan empat orang saksi yang menulis surat kesaksian yang sudah kuserahkan ke kantor security Pertamina dulu itu. Kata mamakku, mudah-mudahan informasi itu bisa membantuku, karena keempat orang tersebut menjelaskan kesaksian mereka tanpa ragu-ragu kepada petugas yang datang itu.

Aku menerima informasi itu biasa-biasa saja. Tidak menambah harapan apapun. Apapun yang diberikan Allah kepadaku, aku akan menerimanya. Jadi aku tidak mau berkhayal dan berharap-harap. Lagi pula aku sadar, aku tidak akan mungkin pergi menanyakan hasil interview petugas Kodim dengan orang-orang kampungku itu ke kantor Pertamina.

Pertengahan bulan Oktober aku di panggil ke kantor untuk dibawa ke kantor security Pertamina lagi. Aku yakin kedatangan kesana hanya untuk menerima vonis. Dan benar sekali. Komandan security memberi tahuku tentang surat keputusan mereka yang sudah dikirim ke kantorku dengan rekomendasi agar aku diberhentikan dengan tidak hormat sejak 1 November. Aku dipecat.

Di saat menerima keputusan terakhir ini dadaku bergemuruh. Timbul juga emosiku tapi aku tetap berusaha menahannya. Aku hanya sekedar bertanya kepada komandan security itu kebenaran berita bahwa ada petugas tentara datang ke kampungku menemui orang-orang yang memberi kesaksian tentang ayahku. Komandan itu membenarkan. Hanya, kesaksian itu dinilai tidak punya kekuatan hukum. Kenyataannya, ayahku waktu itu menerima dipenjarakan, ketika terbukti nama beliau terdaftar sebagai anggota aktif PKI.

Masih aku komentari, ‘pada waktu itu siapa yang akan berani membantah, pak. Bahkan para saksi sekarang inipun seandainya diminta kesaksiannya ketika itu belum tentu mereka akan mau memberikan,’ kataku.

‘Itulah buktinya,’ katanya. ‘Bahwa ayah saudara sebenarnya pada tahun 1965 itu adalah secara sah terdaftar sebagai anggota PKI.’

Aku tidak merasa perlu membantah atau berkelit apa-apa lagi. Petugas ini sedang melakukan tugasnya. Dan adalah bagian dari tugasnya untuk menyingkirkan aku dari tempat kerjaku. Titik.

‘Maaf, ya dik. Ini resiko. Memang begitu ketentuan peraturan yang berlaku sah di negara kita ini. Saya pribadi bersimpati kepada adik. Adik hanyalah seorang anak manusia korban politik. Dan saya tahu bahwa adik adalah seorang yang tegar. Mudah-mudahan adik bisa menerima ketetapan ini dengan sabar.’

Subhanallah, pandai pula bapak petugas ini berpidato indah. Bagaimanapun, aku pantas berterima kasih dengan ucapannya sebentar ini. Yang tidak garang. Tidak arogan. Malahan banyak benarnya. Dia inikan hanya seorang pelaksana tugas.

Bapak komandan itu menyalamiku. Dan ada dua orang petugas lain dalam ruangan itu yang ikut bersalaman denganku. Lucu juga. Apakah ini salaman dalam rangka mereka mengucapkan selamat bahwa akhirnya tugas mereka selesai untukku?

Aku kembali mampir ke kantor. Menemui atasanku. Sekalian melaporkan bahwa vonis untukku sudah jatuh. Brian Skinner memandangku dengan wajah yang susah aku jelaskan. Lama dia memandangku tanpa berkata apa-apa. Orang ini memang sangat baik kepadaku. Di hadapannya ada beberapa buah amplop berwarna putih. Setelah lama tercenung keluar juga kata-katanya.

‘Marwan, aku tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aku tidak percaya dengan peraturan yang berlaku di negerimu ini,’ katanya.

Aku tidak berkomentar apa-apa.

‘Apa rencanamu sesudah ini?’ tanyanya.

‘Mungkin aku akan berdagang,’ jawabku.

‘Kau tidak berpikir untuk pindah ke Singapura atau ke Australia? Coba mencari kerja disana?’ tanyanya lagi.

‘Tidak. Tidak untuk sekarang,’ jawabku.

‘Aku tidak mengusulkan agar kau pindah jauh-jauh. Singapura atau Australia dekat saja dengan Indonesia. Aku yakin kau bisa mendapatkan kerja disana.’

‘Tidak. Biarlah aku disini saja,’ jawabku.

‘Marwan, aku bersimpati dengan penderitaanmu. Hanya itu. Aku tidak bisa menolongmu.’

‘Terima kasih Brian. Terima kasih dengan simpatimu,’ jawabku.

Brian menyerahkan amplop-amplop putih itu kepadaku. Salah satunya berisi surat pemberhentian. Pemberhentian tidak hormat. Dan surat rekomendasi dari manejemen yang meng acknowledge bahwa aku adalah seorang karyawan yang baik, yang harus pergi karena political reason.

Brian mengajakku untuk menemui GM lagi tapi aku menolaknya dengan sopan. Dia lalu menelpon dan GM itu datang ke kantor Brian. Dia menyalamiku dan memberikan kata-kata penyemangat. Kata-kata klise. Menanyakan pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan Brian. Dan aku jawab dengan jawaban yang sama pula.

Aku berpamitan dengan karyawan yang kantornya berdekatan dengan ex kantorku. Tapi kemudian ternyata karyawan-karyawan lain ikut berdatangan. Semua karyawan yang satu lantai dan beberapa orang dari lantai lain beramai-ramai datang menyalamiku dan menyampaikan rasa prihatin mereka. Semua bersimpati kepadaku. Sedih kami harus berpisah dengan cara yang tidak disangka-sangka seperti ini.

Begitulah perpisahan kami di kantor. Perpisahan spontan begitu saja. Tidak ada perpisahan resmi karena mungkin dilarang pula oleh peraturan.

Karir kecilku bekerja di perusahaan perminyakan yang baru berumur lima tahun sudah berakhir. Bukan hanya di perusahaan ini saja, tapi di perusahaan minyak yang manapun di negeri ini, aku tidak akan bisa diterima lagi. Padahal pekerjaan itu aku sukai.

Aku tinggalkan kantor dan menuju pulang. Dadaku kembali bergemuruh dalam perjalanan ke rumah. Aku merasa kesunyian luar biasa di tengah kota Jakarta yang sangat ramai ini. Rasanya dadaku seperti mau pecah. Aku yang sampai sejauh ini berhasil meyakinkan diriku untuk tetap tegar, disaat mendapatkan kenyataan yang sebenarnya dan dinyatakan kalah seperti ini, rupanya hatiku hancur juga. Tak terasa air mataku mengalir. Ya aku menangis dalam kesendirianku di dalam mobil.

Tepat saat dikumandangkan azan zuhur waktu aku sampai di rumah. Aku pergi shalat ke mesjid yang sebenarnya lumayan jauh dari rumah. Mesjid yang sejak aku tidak masuk kantor aku datangi untuk shalat Jumat. Sesudah shalat aku pulang dan aku mengaji di kamarku.

Sore itu aku jemput Ita seperti biasa. Sampai di rumah aku beritahu dia bahwa surat pemberhentianku sudah keluar. Aku sudah resmi dipecat. Ita menangis tersedu-sedu dan memelukku. Dalam kesunyian. Dia tidak mengatakan apa-apa.

Dia banyak menangis malam itu. Tapi kami tidak membicarakan apapun. Sudah terlalu banyak pembicaraan kami sebelum ini. Sudah terlalu kenyang Ita mendengar himbauanku untuk bersabar.

***

Setelah goncangan di dadaku mulai berkurang beberapa hari kemudian, aku ajak Ita berdiskusi. Aku sampaikan rencanaku untuk banting stir menjadi pedagang. Aku akan membuka toko buku seperti toko pak etek di Surabaya. Sambutan Ita tidak terlalu bersemangat. Dia tidak mengatakan setuju atau tidak setuju. Barangkali Ita masih belum siap diajak berdiskusi tentang hal itu.’

***

Kali ini Desi terisak-isak dalam tangis. Tanpa kusadari air matakupun menetes. Terdengar azan maghrib. Ternyata sudah masuk waktu maghrib. Kami beristirahat dulu untuk pergi shalat ke mesjid. Dan kami berjalan kaki menuju mesjid.

‘Sungguh tragis pengalaman hidupmu,’ kataku di jalan.

‘Sebentar lagi akan aku ceritakan puncak dari semua cerita itu,’ katanya.

‘Bagaimana kau bercerai denga Ita ?’ tanyaku.

Marwan mengangguk. Kami sudah sampai di mesjid.


*****

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (21)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (21)

21. MENJELANG TAMAT

Desi meneteskan airmata mendengar cerita Marwan. Sebegitu teganya orang itu, katanya. Akupun keluar keringat dingin mendengarnya. Aku tahu persis dengan screening dan peraturan pemerintah tentang bersih lingkungan. Aku juga kenal seorang teman di tempatku bekerja yang diberhentikan karena kakeknya PKI. Kalau dipikir secara logika sehat memang tidak masuk akal. Sedang Allah Sang Maha Pencipta saja sangat pengampun. Maha Pengampun. Tapi dalam hal ini orang yang tidak bersalah yang dihukum, sementara orang yang bersalahnya sendiri mungkin sudah insaf. Dan dalam kasus Marwan, ayahnya sudah pula dihukum. Seandainya ada orang berdosa, berbuat salah lalu minta ampun pasti diampuni Allah. Sedangkan nabi Ibrahim punya orang tua tidak seiman alias kafir sementara beliau sendiri seorang nabi. Tidak ada istilahnya dosa turunan, itu sangat tidak masuk di akal. Katakanlah, seorang ayah bisa saja mempengaruhi anak-anaknya untuk menjadi seorang yang sama dengan dia dalam hal ideologi, tapi bukankah hal seperti itu bisa diperiksa. Apa susahnya untuk memeriksa latar belakang orang seperti Marwan? Bagaimana sepak terjangnya selama hidupnya? Seandainya ada yang mencurigakan, bolehlah ditindak. Atau seorang cucu orang PKI seperti orang sekantorku dulu? Tahu apa sang cucu tentang dosa kakeknya?

Tapi itu fakta. Itu kenyataan yang dicatat sejarah di negeri ini. Suatu kesewenang-wenangan dengan dalih pencegahan.

‘Betul-betul tragis, Wan. Betul-betul tragis kisahmu. Dan sesudah itu kau benar-benar langsung berhenti dari pekerjaan?’ tanyaku.

‘Biar aku teruskan cerita sepulang dari kantor security Pertamina itu.

Aku kembali ke kantor. Di dalam mobil, sopir yang orang Jawa Timur, yang denganku selalu berbahasa Jawa Surabayaan itu bertanya dengan guyon, apakah urusanku beres. Aku jawab, beres. Jadi bisa to mas, aku nitip dibeliin kanguru, katanya. Kujawab, bisa, nanti aku belikan sekebun binatang.

Kami tertawa-tawa dalam mobil, bertiga dengan petugas security dari kantor yang ikut mengantar. Aku tertawa tanpa dibuat-buat. Plong saja dadaku, tidak ada beban sedikitpun.

Di kantor aku temui atasanku. Dia langsung menyapa dan bertanya apakah semuanya OK. Aku jawab dengan tenang semuanya tidak OK. Apa maksudmu, bukankah hari Sabtu ini kamu berangkat ke Perth, tanyanya lagi. Aku ceritakan apa yang baru saja aku alami. Brian Skinner menggebrak meja dan memaki. God damned it, katanya. Justru aku yang bertanya jadinya, kenapa dia sebegitu marah.

Rupanya dia benar-benar sudah berbicara dengan Dick Knox. Bahkan disampaikannya pula ke GM kami karena dia tahu ini masalah besar. Dia tahu bahwa masalah ini serius setelah dia mendapat informasi dari bagian legal di departemen administrasi. Dia bertanya apakah betul ada sangsi dikeluarkan bagi orang yang dinilai tidak bersih lingkungan, dan dia mendapat jawaban, betul. Kepadanya dijelaskan oleh karyawan dari bagian legal apa yang dimaksud bersih lingkungan. Dan GM, mau-maunya memerintahkan Dick Knox agar menasihati anak buahnya untuk tidak membuat kesulitan kepada karyawan lain di kantor ini.

Dan ternyata tidak ada gunanya. Brian, jadi gugup dan nervous. Dia memutar nomor GM yang rupanya tidak ada di tempat. Mungkin sedang meeting ke luar kantor. Dia putar nomor Dick Knox yang ternyata juga tidak ada di tempat. Orang itu bersama-sama Indra pagi hari ini berangkat ke Irian.

Brian menyuruhku tenang. Sebuah saran yang pasti basa basi saja, karena aku yakin tidak ada apapun lagi yang bisa diperbuat. Aku kembali ke ruanganku. Aku teruskan bekerja, meski otakku mulai dibisiki setan sedikit demi sedikit. Bukankah ini benar-benar kurang ajar? Benar-benar keterlaluan? Bahkan seandainya kau bunuhpun pantas rasanya si Indra itu, kata setan.

Untunglah kebiasaan berzikir cepat menyadarkanku. Tidak. Tidak perlu itu. Tenang. Tenang sajalah. Percayalah Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan hamba Nya yang berserah diri. Dikeluarkan dari perusahaan ini bukanlah berarti kiamat. Jangan panik, kata hati kecilku.

***

Di rumah aku beritahu Ita dengan sesabar mungkin tentang apa yang terjadi pada diriku pagi hari itu. Ita menagis histeris. Aku sabarkan dia, agar menerima musibah ini dengan penuh kesabaran. Ini namanya musibah, dan sebagai orang yang beriman kita harus bersabar. Dia mulai agak tenang. Malamnya kami berdiskusi tentang cara menghadapi hidup ke depan. Tapi pada saat berdiskusi itu reaksi Ita jadi kacau kembali. Dia mengumpat habis-habisan kepada Indra yang tidak dia kenal. Dengan mengatakan orang itu manusia iblis. Terkutuk. Aku cegah dia dari mengumbar marah seperti itu yang tidak akan ada gunanya. Dia berbalik marah kepadaku.

‘Uda jangan terlalu sok percaya diri. Harga diri uda dihinakan orang. Periuk nasi uda dipecahkan orang, uda hanya bisa bilang sabar, sabar. Sabar itu kan ada batasnya. Uda berurusan dengan manusia sakit berhati setan, uda masih bisa bilang sabar. Seharusnya uda melakukan sesuatu,’ katanya.

‘Apa yang harus uda lakukan? Melaporkannya ke polisi? Membunuhnya? Orang itu betul-betul sakit jiwa. Uda yakin dia sudah dinasihati atasannya, seperti yang diberitahu oleh atasan uda karena general manejer juga ikut campur. Tapi buktinya dia tetap melapor ke Pertamina. Bahkan diperkuat pula oleh kesaksian mamaknya. Ini semua perbuatan orang-orang sakit jiwa. Dan uda berada dalam posisi yang tidak bisa melawan. Bagaimana uda akan melawan? Dulu, Ita nasihati uda agar membicarakan hal ini dengan atasan uda di kantor, sudah uda lakukan. Bagus reaksi atasan uda itu. Bagus reaksi pihak GM. Tapi orang ini tidak perduli.

Ita sarankan agar uda minta tolong mamak di kampung menghubungi familinya di kampung. Sudah pula uda lakukan. Mak Sinaro sudah berbicara dengan nenek Rohana, adik Datuk Rajo Bamegomego. Dia sanggupi untuk menasihati saudaranya. Uda yakin dia melakukan itu karena uda kenal dari ibu bahwa nenek Rohana itu baik dan jernih pikirannya. Tapi apa yang terjadi? Pak Kahar Sutan Mudo, mamak si Indra itu malah membuat kesaksian di atas kertas bermeterai membuat laporan untuk Pertamina.

Ita, ini skenario Allah. Sesudah terjadi seperti ini, uda meyakininya sebagai takdir Allah. Allah sedang menguji uda. Sedang menguji kita. Bagaimana reaksi kita dihadapan Allah.’

‘Tapi ini terlalu konyol. Terlalu menyakitkan,’ jawab Ita terisak-isak.

***

Pagi besoknya aku dipanggil Brian dan diajak menghadap GM. Aku ditanyai apa yang terjadi di security Pertamina kemarin. Aku ulangi lagi cerita itu. Dia mengangguk-angguk mendengar ceritaku.

‘Apakah kamu yakin kamu pasti diberhentikan gara-gara itu ?’ tanyanya.

‘Seperti itu yang kemarin mereka katakan sebagai resiko paling ringan. Resiko paling berat saya akan diajukan ke pengadilan karena berbohong tentang informasi yang sangat penting.’

‘Ke pengadilan?’ tanyanya heran.

‘Begitu kata petugas yang kemarin berbicara dengan saya,’ jawabku.

‘Apakah mungkin ada orang yang akan mengaku bahwa ayahnya PKI, meski seandainya ayahnya memang PKI ketika melamar pekerjaan?’ tanya GM itu.

Sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Aku diam saja.

‘Apa rencanamu kalau keputusan itu jatuh?’ tanyanya lagi.

‘Belum tahu,’ jawabku singkat.

‘Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku sangat bersimpati degan masalahmu. Perusahaan akan melakukan yang terbaik yang bisa diperbuat untukmu. Hanya itu yang dapat saya katakan. Oh ya, saya akan konfrontir dengan Indra untuk mengkonfirmasi bahwa memang dia yang membuat laporan itu. Kau setuju?’

‘Pertama terima kasih atas simpati anda. Kedua saya tidak merasa perlu di konfrontir dengan orang itu. Tidak ada gunanya,’ jawabku.

***

Aku dipanggil dua kali lagi ke kantor security Pertamina. Hanya dalam waktu sepuluh hari. Untuk diinterogasi lagi. Untuk ditanya pertanyaan yang itu-itu lagi. Aku tidak pernah bergairah untuk menjawabnya.

Dari kampung aku terima sebuah surat dari mamakku. Surat pernyataan kesaksian dari empat orang yang menyaksikan bahwa ayahku, dulu di awal tahun 1965 menyatakan di depan umum bahwa beliau keluar dari partai komunis, sesudah perlakuan pemimpin PKI menghukum beliau secara fisik dengan mengurung beliau satu hari satu malam karena beliau kedapatan masih melakukan shalat ketika berlangsung rapat PKI di kota Padang. Akibat pernyataan beliau keluar dari partai itu, rumah istri beliau dibakar oleh orang PKI. Surat pernyataan itu ditanda tangani empat orang saksi, Rusyad gelar Katik Sati, Tamimi gelar Sutan Mantari Gobah, Khaidir gelar Malin Basa dan Mukhtar gelar Sutan Sampono. Surat itu disahkan oleh Kepala Desa / Wali Jorong, tertanda Marlis gelar Sutan Pamuncak Nan Basa.

Aku serahkan juga surat itu kepada petugas security. Surat itu akan dijadikan pertimbangan, kata kepala security waktu itu. Sementara ini terhitung tanggal 1 Oktober saudara diminta non aktif dari kantor, menunggu keputusan final dewan pimpinan security Pertamina, kata petugas itu.

Aku pulang dengan pikiran sangat mumet. Tidak semudah itu urusan ini bisa selesai rupanya. Maksudku selesai dengan langsung saja mengatakan bahwa aku diberhentikan. Apa lagi yang mereka cari? Bukankah mereka bertugas membersihkan lingkungan? Dan mereka sudah membuktikan bahwa aku berasal dari lingkungan yang tidak bersih, menurut kaca mata mereka? Lalu kenapa masih bertele-tele? Aku bukan sok jagoan. Bukan sok tidak sabaran. Aku hanya sudah terlalu letih. Terlalu capek.

***

Di kantor aku tetap bekerja. Semampuku. Menyelesaikan tugas dan pekerjaanku dengan sebaik yang aku bisa. Aku biasanya selalu sibuk dan banyak pekerjaan, dengan laporan-laporan pekerjaan dari lapangan.

Pada siang hari ketika aku kembali dari kantor security Pertamina yang ketiga kali, aku ditelpon Dick Knox. Dia menyuruhku datang ke ruangannya. Dan aku datang tanpa memikirkan apa yang akan dikatakannya. Di kantornya sedang ada Indra. Aku sapa kedua orang itu, dengan senyum. Dan aku tanya, ada perlu apa dia memanggilku.

‘Aku telah mendengar masalahmu,’ katanya membuka pembicaraan.

‘OK,’ jawabku singkat.

‘Aku sangat prihatin dan bersimpati kepadamu,’ katanya.

‘Baik, terima kasih,’ jawabku singkat.

‘Aku ingin bertanya kepadamu.......’ katanya ragu-ragu.

‘Silahkan,’ kataku singkat. Selalu aku jawab singkat-singkat saja.

Sementara itu terdengar bunyi tapak kaki orang datang. Dugaanku, orang itu Brian, atasanku. Aku kenal suara ketukan sepatunya. Apakah dia hanya kebetulan lewat atau menuju ke ruangan ini? Tapi aku tidak mau menoleh. Aku masih menunggu kata-kata Dick Knox yang masih ragu-ragu. Brian muncul di pintu, mengucapkan salam dan bertanya kalau dia boleh masuk. Dick mengijinkannya masuk. Aku perhatikan si Indra dengan tampang yang aneh sekarang. Bukan dengan tampang biasanya yang aku menyebut tampang orang sakit jiwa.

‘Apa yang kalian bicarakan?’ tanya Brian.

‘Aku bersimpati kepada Marwan,’ kata Dick Knox.

‘Tadi kau bilang kau ingin menanyakan sesuatu! Tanyakanlah!’ aku mengingatkannya.

‘Baik... Aku ingin menanyakan. Bagaimana pandanganmu tentang orang ini?’ tanyanya sambil memberi isyarat ke arah Indra.

Aku tidak segera menjawab. Pertanyaan itu terlalu mengambang. Pertanyaan macam apa ini? Memang apa yang akan dilakukannya terhadap Indra?

‘Pandangan apa maksudmu?’ tanyaku.

‘Pandanganmu. Atau perasaanmu atas apa yang dia lakukan yang menyebabkan kau mendapat masalah,’ katanya.

‘Perlukah aku jawab pertanyaan itu? Aku kira dia sudah mengerjakan sebuah tugas penting yang berat. Dan dia telah mengerjakannya dengan sangat baik.’

‘Bagaimana pendapatmu kalau dia aku pecat?’

‘Dick, maaf. Itu bukan urusanku.’

‘Aku tidak suka dengan manusia bajingan seperti dia ini,’ katanya lagi.

‘Dick! Itu urusanmu. Tidak usah melibatkan aku,’ jawabku tenang.

‘Maksudmu? Apakah kau memaafkannya?’

‘Itu juga bukan urusanmu,’ jawabku.

‘Kau takut kepadanya?’ tanyanya memancing.

‘Takut kenapa?’ aku agak terpancing.

‘Kalau kau mengatakan setuju dia aku pecat, apakah kau takut dia akan menyerangmu?’

‘Dia tidak akan sanggup menyerangku,’ jawabku.

‘Aku ingin kau tahu bahwa aku memecatnya,’ kata Dick Knox.

‘Sudahlah. Aku yakin itu bukan urusanku. Masih ada yang lain yang ingin kau katakan?’ tanyaku.

‘Tidak,’ jawabnya.

Brian Skinner mungkin masih penasaran. Dia mengajukan pertanyaan bodoh kepada Indra.

‘Kenapa kau lakukan hal itu?’ tanyanya.

Indra yang wajahnya sekarang pucat itu tidak berani menjawab. Sepertinya dia menangis.

Aku minta ijin untuk keluar dari ruangan itu. Brian Skinner mengikutiku. Kami tidak berkata-kata apapun. Aku kembali ke ruanganku. Beberapa orang rekan datang bertanya tentang perkembangan terakhir statusku. Aku jawab bahwa aku sudah menjelang tamat.’


*****

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (20)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (20)

20. PUTING BELIUNG

‘Aku berangkat ke kantor dalam keadaan lusuh pagi itu. Sesampai di kantor aku coba menelpon ke RSU Bukit Tinggi untuk menghubungi adikku. Aku beruntung karena dia dinas malam dan aku dapat langsung berbicara dengannya. Aku minta tolong agar meminta mamak kami, kakak ibuku, datang ke Bukit Tinggi untuk menelponku. Ada urusan sangat penting. Adikku tentu saja sangat heran, urusan penting apa yang ingin aku sampaikan. Aku suruh dia bersabar saja karena nanti pasti dia akan tahu juga. Jadi tolong jemput mamak dan bawa beliau ke kantor telepon di Bukit Tinggi, kataku.

Sesudah itu aku datang menghadap Brian Skinner, atasanku. Aku minta waktu untuk membicarakan masalah pribadi yang sangat rumit, kataku. Brian seorang atasan yang baik, sangat perduli dengan bawahan.

Aku menceritakan masalahku secara ringkas dan ancaman Indra kepadaku. Dia melongo mendengar ceritaku, tapi mungkin agak kurang mengerti.

‘Apa urusanmu dengan bapakmu yang PKI? Apalagi bapakmu sudah meninggal,’ katanya.

‘Urusan ini akan sangat fatal akibatnya kepadaku dari sisi pandangan pemerintah dan Pertamina, karena aku dicap tidak besih lingkungan,’ jawabku.

‘Itu impossible. Selama kamu tidak PKI kan tidak ada problem. What is the problem?’ tanyanya lagi.

Aku ulangi lagi menerangkan bahwa ini aturan pemerintah Republik Indonesia yang memerintahkan kepada badan-badan pemerintah untuk memberhentikan orang-orang yang ada keterkaitannya dengan PKI apakah itu istri, anak atau bahkan cucu. Memang impossible secara logika tetapi itu yang berlaku dan sudah banyak yang jadi korban.

‘Jadi bagaimana saya harus membantumu ?’ tanyanya.

‘Ini memang urusan dengan orang sakit jiwa. Orang yang mengancamku ini mengatakan bahwa kalau dia melihatku dia tergoda untuk melampiaskan kekesalannya dengan membocorkan masalahku ini. Aku berpikir apa tidak ada kemungkinan orang ini dikembalikan saja bekerja di lapangan seperti sebelumnya. Karena kalau dia di lapangan seperti setahun sejak dia mulai bekerja, dia tidak pernah mengancamku seperti ini,’ kataku menjelaskan.

‘Wah, ini usul yang sulit bagiku melakukannya. Bagaimana aku bisa menerangkan urusan seperti ini ke atasannya? Dan atasannya si Dick Knox itu juga sama psichopatnya,’ jawab Brian.

‘Aku tentu tidak bisa memaksakan. Tapi aku serius, bahwa itu salah satu langkah yang mungkin menolongku, dan aku ulangi, mungkin bisa menyelamatkanku,’ kataku.

‘Kamu tidak usah terlalu pusing. Pasti ada jalan lain. Aku akan coba membicarakannya dengan Dick Knox meski aku kurang yakin akan berhasil. Nanti aku pikirkan lagi cara lain,’ katanya.

‘Terima kasih, Brian.’


***

Aku tinggalkan Brian Skinner. Aku sejujurnya tidak terlalu yakin dia akan dapat berbuat sesuatu. Bagaimana mungkin usulku, agar orang dari departemen lain disuruh pindah, akan diterima oleh perusahaan. Siapa benar aku di perusahaan ini? Mungkin justru akan jadi bahan tertawaan.

Jam sepuluh aku dapat telepon dari mamakku dari Bukit Tinggi. Aku jelaskan serba singkat apa yang sedang menimpaku. Ancaman dari Indra anak tek Kawisah, kemenakan pak Kahar Sutan Mudo, cucu inyiak Datuk Rajo Bamegomego.

Mamakku berjanji akan mencoba berbicara dengan orang sepersukuannya. Mungkin dengan nenek Rohana adik inyik Datuk, orang tua yang cukup disegani di kalangan kaum itu, yang lebih jernih pemikirannya. Kalaulah nenek Rohana itu bisa mempengaruhi tek Kawisah, apakah tek Kawisah akan mampu mempengaruhi si Indra? Tidakkah pak Kahar akan justru membela si Indra?

Aku berzikir, berzikir, berzikir.

Ah, apa pula yang akan ditakutkan. Apa pula yang akan dipusingkan. Kalau benar-benar nanti yang paling buruk yang terjadi, karena aku tidak mau mengundurkan diri dari perusahaan ini, yang justru akan menimbulkan tanda tanya orang, kenapa aku keluar, biarlah kuhadapi saja. Bumi Allah seluas ini kenapa mesti takut. Bukan di perusahaan ini saja Allah menyediakan rezeki untukku.

Sudahlah. Biarkan sajalah. Apapun yang akan diperbuat oleh manusia jahil itu akan aku terima apa adanya. Karena aku memang diposisi yang tidak mungkin membela diri. Bukan aku putus asa. Bukannya aku sudah apatis. Aku mencoba realistis saja. Ayahku memang PKI, terdaftar sebagai anggota PKI, yang kenyataannya belum pernah keanggotaan beliau dibatalkan dari partai itu. Buktinya, beliau dipenjarakan oleh pemerintah. Jadi aku tidak akan menghindar dari tudingan itu kalau memang nanti aku dituding seperti itu, sebagai anak orang PKI, sebagai orang yang tidak bersih lingkungan istilahnya.

Subhanallah, aku tiba-tiba jadi tenang. Dengan pertolongan Allah. Aku kembali bisa bekerja. Aku lupakan urusan besar itu.

Berminggu-minggu berlalu. Tidak aku dengar entah apa hasil pembicaraan atasanku si Brian Skinner. Aku tidak tahu entah jadi dia berbicara dengan si Dick Knox atau dengan siapapun, entah tidak. Aku tidak pernah menanyakan kepadanya. Yang aku tahu si Indra masih berkantor disini. Aku bahkan tidak takut bertemu dengan si Indra. Kalau bertemu aku sapa dia seperti tidak terjadi apa-apa. Wajahnya masih tetap tidak berubah kalau melihatku. Wajah orang sakit jiwa. Tapi aku biarkan saja. Aku tidak perduli.

Dari mamakku dapat berita, beliau sudah berbicara dengan nenek Rohana. Nenek Rohana minta maaf kalau benar itu yang terjadi. Kalau benar si Indra mengancam akan menyulitkanku di kantor. Beliau benar-benar sangat menyesali perbuatan jahil seperti itu. Nenek Rohana akan berbicara dengan pak Kahar Sutan Mudo. Dan hasil pembicaraan itu nanti akan diberitahukan kepada mamakku. Tapi, sudah dua minggu sejak mamakku menelpon balik mengabarkan berita itu, belum ada berita tambahan. Dan aku tidak mau menanyakannya lagi.

Di rumah aku berusaha meyakinkan Ita. Seandainya aku keluarpun dari perusahaan ini nantinya, aku akan banting stir. Aku akan manggaleh, akan membuka toko buku seperti punya pak etek di Surabaya. Tapi Ita sangat terpukul, sangat takut dan khawatir kalau aku benar-benar sampai dikeluarkan. Dia khawatir dia akan kena imbas. Papanya akan kena imbas. Sebuah kekhawatiran yang berlebih-lebihan.

Sudah lebih dua bulan berlalu sejak hari ancaman Indra. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Sementara itu aku diminta untuk mengikuti seminar wellhead engineering di Perth, Australia selama seminggu nanti di bulan September. Dua minggu sebelum berangkat, aku sudah memegang tiket pesawat, sudah dapat visa Australia. Visa untukku dan Ita yang akan kubawa ikut kesana.

Aku diingatkan oleh kepala security kantor bahwa aku harus mengikuti screening karena akan pergi ke luar negeri. Hal yang dulu juga aku lalui tanpa masalah ketika aku akan pergi ke Dallas.

Pada satu hari Senin pagi aku diantarkan petugas security ke kantor security Pertamina seperti biasa. Aku bertemu dengan bapak petugas security yang dulu juga melakukan interview atau screening. Dan screening itupun berlangsung.

Dimulai dengan kata-kata maaf dari pak Sugito petugas security Pertamina itu.

‘Ini ada informasi baru tentang diri saudara yang kami sedang mencoba mempelajari kebenarannya,’ katanya.

Aku diam. Berusaha untuk tidak gugup. Dalam hatiku aku baca ayat kursiy. Dan diam.

‘Aneh juga bahwa informasi ini diberikan oleh rekan sekerja saudara yang rupanya berasal dari satu kampung dengan saudara,’ katanya lagi.

Aku tetap diam. Diam dalam zikir. Jangan panik, jangan memelas-melas, jangan berbohong, kata suara dalam hatiku.

‘Maaf, bagaimana komentar saudara tentang laporan ini?’ tanya petugas itu kembali.

‘Maaf pak, bapak belum menjelaskan apa informasi yang bapak dapat itu,’ kataku tenang.

‘Laporan yang mengatakan bahwa ayah saudara adalah anggota PKI aktif sampai tahun 1965 dan bahkan dipenjarakan karena itu,’ katanya pula.

‘Tidak saya bantah. Beliau memang pernah terdaftar jadi anggota PKI. Walaupun beliau kemudian menyatakan keluar dari partai itu. Benar pula bahwa beliau pernah dipenjarakan selama dua tahun, dan kemudian dilepaskan. Saya mengetahui beliau dilepas sesudah dua tahun itu karena pejabat pemerintah menilai beliau tidak lagi anggota PKI,’ jawabku.

‘Pertanyaan pertama, kenapa saudara berbohong selama ini dengan mengatakan bahwa ayah saudara tidak pernah menjadi anggota partai terlarang. Pertanyaan kedua apakah saudara punya bukti tertulis bahwa ayah saudara tersebut sudah keluar dari partai komunis ketika itu?’

‘Pertanyaan bapak yang pertama saya jawab sejujurnya saja, saya memang menyembunyikan fakta bahwa ayah saya pernah terlibat PKI. Karena, saya berkeyakinan bahwa apapun dosa dan kekeliruan ayah saya tentu tidak bisa dipikulkan kepada saya. Yang kedua bukti tertulis bahwa beliau sudah tidak lagi jadi anggota PKI memang tidak ada. Pasti beliau tidak akan minta surat pemecatan dari partai tersebut. Saya hanya bisa mengatakan bahwa ada saksi-saksi di kampung saya yang menyaksikan bahwa beliau pernah menyatakan tidak akan ikut-ikut lagi dengan kegiatan partai itu.’

‘Jawaban saudara yang pertama tidak bisa dipertanggung jawabkan. Pemerintah mengambil kebijaksanaan yang sangat berhati-hati dalam masalah kegiatan partai yang sangat berbahaya ini. Sejarah membuktikan bahwa orang-orang PKI yang membuat makar di tahun 1965 adalah anak-anak dari angkatan yang berbuat makar di tahun 1948. Jadi ada hubungan sangat jelas dalam hal ini dan sangat perlu adanya jaminan bahwa setiap individu itu bersih lingkungan. Bersih dari pengaruh ideologi yang mungkin didapat dari pengaruh ayah atau bahkan kakeknya sekalipun. Jawaban saudara yang kedua perlu pembuktian lebih lanjut. Bagaimana kesaksian orang-orang yang menyaksikan bahwa ayah saudara sudah menyatakan keluar dari PKI. Kapan dan dimana ucapan itu dikeluarkan. Dalam kesempatan apa. Karena mungkin saja itu juga merupakan suatu taktik. Apa lagi kalau pernyataan itu dikeluarkan sesudah tanggal 30 September tahun 1965.’

‘Komentar bapak untuk yang pertama, bisa saya fahami untuk kondisi secara khusus. Mungkin sekali orang menjadi anggota PKI karena faktor pengaruh orang tuanya. Saya hanya bisa mengatakan untuk diri saya, insya Allah saya tidak pernah terpengaruh sedikitpun dengan ideologi tersebut. Dan saya juga mengetahui latar belakang kenapa ayah saya ikut-ikutan jadi PKI, dan kemudian menyesal setelah itu.’

‘Maaf saudara, saya tidak dalam posisi mau menghakimi saudara. Saudara boleh saja memberikan segala macam alasan dan alibi. Tapi saya hanya meminta konfirmasi dan kejujuran saudara tentang informasi yang kami dapatkan ini. Jadi ringkasnya, saudara mengakui bahwa ayah saudara pernah jadi anggota partai terlarang, dalam hal ini PKI?’

‘Baik, pak. Saya akui.’

‘Baik kalau begitu. Saudara tahu apa sangsinya?’

‘Saya tahu. Saya akan diberhentikan dari tempat saya bekerja.’

‘Mungkin bisa lebih jauh dari itu. Mungkin saudara akan dituntut di pengadilan sebagai orang yang memberikan data palsu.’

‘Baik, pak. Saya tidak akan berkomentar apa-apa.’

‘Saya hanya memberi tahu saudara saja, bahwa bagaimanapun kasus ini masih akan diselidiki lebih lanjut walaupun saudara sudah mengakuinya. Bukan tidak mungkin kami akan memeriksa sampai ke kampung saudara kebenaran informasi yang saudara tambahkan seperti misalnya, ayah saudara sudah dalam proses mau keluar dari partai komunis waktu itu. Ada yang ingin saudara tanyakan yang lain?’

‘Tidak ada pak.’

‘Saudara tidak ingin menanyakan siapa yang memberi laporan ini?’

‘Kan sudah bapak katakan tadi bahwa dia rekan sekerja dan satu kampung dengan saya.’

‘Ya, dan bahkan dikukuhkan oleh orang lain dari kampung saudara. Saudara kenal dengan Kaharuddin Sutan Mudo?’

‘Kenal, betul beliau itu satu kampung dengan ayah saya. Dengan saya.’

‘Baik. Terima kasih atas kerja sama saudara. Saya harap saudara cukup jantan untuk menghadapi segala sesuatu yang mungkin menimpa saudara karena kasus ini. Sementara ini saudara tetap saja bekerja seperti biasa, sampai nanti ada keputusan yang lebih pasti dari fihak manajemen Pertamina.’

‘Baik, pak,’ jawabku pendek.

Aku keluar dari ruangan security itu dengan dada plong saja. Dengan perasaan tenang saja. Tidak ada marah. Tidak ada mangkel. Tidak ada sumpah serapah dalam hati. Aku hanya berzikir. Berzikir. Berzikir. Dan kembali ke kantor.’


*****

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (19)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (19)

19. BADAI MENERPA

‘Aku berusaha untuk selalu menghindar dari Indra. Orang ini kelihatannya benar-benar beritikad tidak baik kepadaku. Apapun alasannya, keinginannya memojokkanku dengan cerita lama itu sangat tidak dapat aku terima. Aku tidak ada urusan dengan semua masalah yang diceritakannya.

Beberapa bulan berlalu tanpa terjadi apa-apa. Resistensiku kepadanya sudah agak berkurang. Aku pikir dia sudah tidak mau lagi menggangguku. Ternyata duagaanku salah. Satu kali dia menelponku dari ruangannya, mengatakan ingin berbicara empat mata denganku. Aku tanyakan, untuk urusan apa. Nantilah dia jelaskan katanya. Aku dag dig dug menunggu waktu berakhirnya jam kantor yang kami sepakati untuk bertemu.

Dia datang ke kantorku dengan tampang yang kembali tidak bersahabat. Aku persilahkan dia duduk dan aku tanyakan apa yang ingin disampaikannya.

***

‘Begini da Marwan. Aku ingin berbicara tembak langsung saja. Sebaiknya da Marwan mengundurkan diri dari perusahaan ini,’ katanya begitu dia duduk.

Aku tidak langsung menjawab. Darahku mendidih mendengar apa yang baru saja dikatakannya. Aku berusaha bersabar, mengurut dada, sebelum bertanya.

‘Ada apa Indra? Ada apa denganmu yang dari dulu, dari pertama kali kita bertemu di Irian seperti memendam dendam kesumat kepadaku. Ada apa? Apa maksud dan tujuannya?’ tanyaku.

‘Da Marwan boleh mengatakan ini sebuah dendam kesumat. Pada kenyataannya kami memang dendam dengan pengalaman yang menimpa inyiak Datuk. Kami, sepersukuan, dendam karena inyiak Datuk jadi korban. Mati tidak tentu kuburnya, hilang tidak tentu rimbanya. Kami tidak bisa menerima ini...’

‘Apa urusan semua itu denganku? Kenapa kau mau membalas dendam kepadaku?’ kataku memotong pembicaraannya.

‘Kami, menginginkan orang-orang PKI yang lain di kampung itu harus mendapat hukuman yang sama dengan apa yang dialami inyiak Datuk.’

‘Hukuman yang sama bagaimana? Harus mati? Dan kepada orang-orang PKI yang lain? Apa yang kau lakukan kepada mereka? Kau bunuh mereka? Kan tidak ? Dan ayahku bukankah sudah meninggal. Lalu apa lagi maumu ?’

‘Tidak. Orang-orang PKI lain yang tinggal di kampung kita adalah orang-orang pandir yang sudah menderita sendiri dalam kehidupannya. Kami tidak lagi terlalu dendam kepada mereka.’

‘Lah, ayahku sendiri kan sudah meninggal, apa lagi yang didendamkan ?’

‘Tidak sama. Inyiak dan mak Syamsuddin adalah orang-orang penting PKI waktu itu di kampung kita. Hukuman yang diterima inyiak lebih berat.’

‘Ayahku bukan orang pentingnya PKI. Ayahku sebenarnya sudah keluar dari partai itu. Yang karena sebab itu rumah ibuku nyaris habis dibakar orang. Dan meski demikianpun ayahku sudah pula dihukum. Apa lagi?’

‘Hukuman yang diterima mak Syamsuddin tidak seimbang.’

‘Terus, sekali lagi apa hubungannya denganku? Ayahku juga sudah dihukum pemerintah. Dipenjarakan sampai sakit-sakitan. Dan sekarang sudah meninggal. Apa lagi masalahnya?’

‘Hukuman itu tidak setara. Tidak adil. Mak Syamsuddin mati secara terhormat di kampung. Inyiak kami hilang. Dibunuh orang. Kami sudah bersumpah, anak keturunan mak Syamsuddin Sutan Marajo harus ikut mendapat hukuman atas perkara ini.....’

‘Indra! Cobalah berpikir jernih. Pertama apa hubungannya urusan ayahku dengan pengalaman inyiak Datuk Rajo Bamegomego. Inyiak Datuk itu hilang di Medan, siapa yang membunuhnya? Apa urusan hilangnya beliau dengan ayahku? Ayahku, sebagai orang yang terlibat juga, sudah mendapat hukuman pemerintah, sudah dipenjarakan. Yang ketiga kau mengatakan, kami sudah bersumpah. Kami yang mana? Kalian sepersukuan bersumpah mau memusuhi aku bersudara? Dimana logikanya? Apa dosa kami, aku dan saudara-saudaraku kepada kalian? Jadi ada apa sebenarnya?’

‘Memang ini tidak masuk di akal da Marwan. Makanya aku menawarkan jalan kompromi kepada da Marwan. Da Marwan keluar saja dari perusahaan ini. Sebab setiap kali aku melihat da Marwan, dendam di hatiku selalu menggelegak. Aku dendam kepada mak Syamsuddin. Dan aku melihat sosok mak Syamsuddin dalam diri da Marwan..’

‘Kenapa kau dendam kepada ayahku? Apa salah ayahku kepada kalian? Kepada inyiak Datuk? Kan tidak ada? Aku tahu, ayahku dulu ikut-ikutan masuk PKI karena ajakan inyiak Datuk. Tapi aku tidak merasa dendam apa-apa kepada inyiak Datuk. Kenapa mesti dendam? Lalu dengan mendendam itu apa yang kalian harapkan?’

‘Tidak perlu logika dalam hal ini da Marwan. Ini seperti penyakit. Terus terang seperti penyakit kejiwaan kepada kami. Aku mengatakan kami, mungkin tidak semua kami sepersukuan merasakannya. Tapi paling tidak, mak dang Kahar dan aku merasakannya. Mak dang Kahar mengingatkanku tentang dendam ini. Aku harus melakukan sesuatu. Kalau da Marwan tidak keluar dari sini...’

‘Sebenarnya aku capek menghadapimu Indra. Sekarang begini saja. Aku sudah lima tahun bekerja disini. Sudah lebih dulu aku berada di perusahaan ini. Kalau aku tidak mau keluar, apa yang akan kau lakukan?’ aku benar-benar sudah kesal.

‘Aku akan melaporkan da Marwan. Kalau ada kesempatan screening berikutnya, aku akan melaporkan da Marwan. Aku akan mengatakan ayah da Marwan PKI.’

Aku terpana mendengar ucapan orang sakit jiwa ini.

‘Bukankah kau sendiri juga tidak bersih lingkungan? Bukankah inyiakmu juga seorang PKI? Apakah kau tidak takut kau akan kena imbas juga?’ tanyaku.

‘Aku tidak akan kena. Ayahku, ibuku tidak ada yang PKI. Inyiak Datuk tidak ada hubungan apa-apa dalam kekeluargaan yang ditanyakan pemerintah denganku.’

‘Sudah tahu kau. Kau tidak ada hubungan keturunan apa-apa dengan inyiak Datuk. Tapi kenapa kau pelihara dendam kesumat seperti itu?’

‘Lain lagi urusannya. Ini dendam pesukuan. Dendam adat,’ jawabnya.

‘Indra, maaf ya. Kita ini kan orang bersekolah tinggi. Orang berpendidikan. Masakan seperti itu cara berpikirmu. Terus terang, apa untungnya bagimu kalau aku celaka? Kalau aku dikeluarkan dari perusahaan ini?’

‘Keuntungan moril saja. Bahwa aku sudah memenuhi sumpah kami. Tidak membiarkan keturunanan mak Syamsuddin enak-enak saja dalam hidupnya di depan mataku.’

‘Maaf, ya. Aku yakin kau sakit jiwa. Aku rasa ada yang tidak beres dengan cara berpikirmu. Sudahlah. Aku benar-benar tidak ingin kau melakukan hal konyol itu. Tidak ada untungnya itu buat kau. Hanya dosa yang akan kau dapat. Aku mohon baik-baik, kau lupakan sajalah hal itu. Kalau memang kau tidak suka melihat tampangku, sudahlah, kita ‘kan tidak perlu berurusan di kantor ini. Urus pekerjaanmu dan tinggalkan aku dengan pekerjaanku pula.’

‘Sudah kucoba da Marwan. Aku tidak bisa. Setiap kali aku tahu da Marwan ada di kantor ini aku ingin berteriak. Mengatakan kepada semua orang, bahwa da Marwan anak orang PKI.’

‘Kau benar-benar sakit. Aku bukan menghinamu, tapi benar-benar ada yang tidak beres dengan pemikiranmu. Cobalah berobat. Coba berkonsultasi ke ahli jiwa.’

‘Aku tidak memerlukan nasihat da Marwan.’

‘Aku juga tidak memerlukan ancamanmu,’ jawabku pendek.

‘Aku bukan sekedar mengancam. Kalau da Marwan masih disini, tidak mesti menunggu screening berikutnya aku akan laporkan da Marwan ke Pertamina. Ke security Pertamina.’

‘Boleh. Baiklah. Kau lakukan apa yang menurutmu baik untuk kau lakukan. Aku tidak takut. Aku tidak akan mengundurkan diri dari perusahaan ini. Tidak ada alasanku untuk keluar dari sini.’

‘Baik pula. Kalau begitu jangan salahkan aku nanti,’ katanya.

‘Sudahlah. Ada lagi yang ingin kau katakan? Aku sudah mau pulang,’ kataku.

‘Tidak ada. Aku juga mau pulang,’ jawabnya.

***

Aku pulang dengan perasaan bercampur aduk. Marah, benci, prihatin, khawatir. Di rumah Ita menanyakan ada rapat apa sampai aku terlambat pulang. Aku bercerita tentang pembicaraan menyakitkan antara aku dengan Indra di kantor tadi. Dan Ita menanggapi dengan caranya sendiri yang penuh dengan kekhawatiran. Aku menjadi semakin tidak tenang.

***

‘Uda tidak bisa membiarkan saja ancaman seperti itu. Ancaman itu serius dan akibatnya bisa kemana-mana,’ kata Ita.

‘Apa yang harus uda lakukan ?’ tanyaku buntu.

‘Uda harus melapor bahwa uda diancam.’

‘Lapor ke siapa? Ke polisi? Melaporkan bahwa uda diancam seseorang yang akan melaporkan bahwa uda anak orang PKI? Kan sama saja tindakan bunuh diri namanya.’

‘Uda lapor ke atasan uda di kantor kek. Bilang bahwa orang itu mengancam dan menyuruh uda keluar dari perusahaan.’

‘Atasan uda tidak akan mengerti, dia orang asing. Pasti dia akan bertanya ke orang administrasi, ke orang personalia. Sama juga. Sama seperti uda membuka borok sendiri di hadapan orang yang pasti akan mempercepat proses uda dikeluarkan.’

‘Kalau begitu uda ikuti saja saran orang gila itu. Uda mengundurkan diri saja dari perusahaan ini. Cari perusahaan lain.’

Aku terdiam. Apa aku memang harus mengalah? Keluar agar aku tidak lagi bertemu dengan si Indra itu ? Siapa yang bisa menjamin bahwa dia akan tinggal diam karena dia memang memperlihatkan gejala sakit otak?

‘Begini Ita. Masalah ini memang tidak akan sederhana. Uda memang sedang berhadapan dengan seorang yang psichopat. Orang sakit jiwa. Seandainya uda pindah perusahaanpun, tidak ada jaminan dia akan tinggal diam. Uda akan usahakan seperti ini. Uda akan coba usulan Ita. Akan berbicara dengan hati-hati sekali dengan atasan uda si Brian Skinner itu. Akan uda jelaskan persoalannya sehati-hati mungkin. Walaupun tidak ada jaminan, siapa tahu si Brian bisa mempengaruhi boss si Indra untuk memindahkannya kembali ke lapangan. Kalaulah benar seperti yang dikatakannya, bahwa dia jadi sakit hati kalau melihat uda dalam sehari-hari, dengan dia dipindah ke lapangan mudah-mudahan selesai masalah ini. Harapannya? Biar kita serahkan kepada Allah. Kita berdoa, kita memohon kepada Allah. Mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik kepada uda dalam masalah ini.’

‘Ya, uda coba saja begitu. Karena ini masalah serius, da. Semua kita akan kena getahnya nanti. Semua, bahkan mungkin papa juga akan kena imbasnya.’

‘Tidak. Itu kekhawatiran yang berlebihan. Insya Allah papa tidak akan kena pengaruh apa-apa dari kasus uda ini. Jangan khawatir.’

‘Belum tentu. Pokoknya harus diusahakan jangan sampai jadi kenyataan ancaman si Indra itu.’

‘Ya, itu tadi yang dapat kita lakukan. Dan berdoa.’

‘Kapan uda akan berbicara dengan si Brian ?’

‘Besok pagi, insya Allah. Kita lihat bagaimana reaksinya.’

‘Kalau gagal?’

‘Sudahlah, Ita. Kita coba dulu yang ini. Kalau gagal kita pikirkan lagi langkah lain.’
‘Apa tidak mungkin dengan minta bantuan siapa-siapa di kampung misalnya untuk mempengaruhi si Indra ? Mungkin melalui mamaknya di kampung ?’

‘Mamak kandungnya di kampung itu adalah grand masternya urusan ini. Tapi baiklah. Uda akan mencoba menelpon mamak Sinaro besok. Siapa tahu beliau bisa berbuat sesuatu.’

Kami mengakhiri diskusi seperti itu. Ita tampak gelisah dan nervous . Aku apa lagi, meski aku berusaha menenangkan diri dengan banyak-banyak berzikir. Aku tidak bisa tidur semalaman memikirkan urusan yang tidak terduga-duga itu.’


*****

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (18)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (18)

18. GELOMBANG BESAR


‘Dan rupanya Indra ini yang kan jadi bintang berikutnya dalam ceritamu ?’ aku bertanya sebelum Marwan melanjutkan ceritanya.

‘Ya, begitulah,’ jawabnya.

‘Rupanya dia kemenakan Datuk Rajo Bamegomego kalau begitu ?’ tanyaku lagi.

‘Cucu sepersukuannya.’

‘Terus bagaimana kelanjutannya ?’

Marwan meraih cangkir dan meneguk teh. Dia tersenyum memandang ke arahku.

‘Baiklah, aku teruskan. Lama aku tidak berjumpa dengan si Indra sesudah pertemuan sekali itu. Aku kembali bekerja seperti biasa di Jakarta. Kalaupun aku pergi ke lapangan, hanya untuk maksimum seminggu seperti dulu-dulu lagi. Dan di lapangan aku tidak pernah bertemu dengannya karena dia sedang off.

Sampai di Jakarta, aku tanyakan kepada ibuku bagaimana hubungan silaturrahmi dengan keluarga Datuk Rajo Bamegomego di kampung. Karena secara kekerabatan persukuan, suku inyiak Datuk itu masih dekat dengan persukuan ayahku meski ayah bukan satu penghulu dengan beliau. Ibuku agak heran kenapa aku menanyakan hal itu.

Aku ceritakan pertemuanku dengan Indra di lapangan. Ibuku langsung mengerti dan mengatakan bahwa ibu si Indra dan mamak kandungnya adalah yang paling keras rasa permusuhannya dengan keluarga persukuan ayah. Ibuku bercerita ;

‘Sesudah dapur rumah kita terbakar, etek Sa’diyahmu, adik ayahmu bertanya ke engku Datuk Rajo Bamegomego, siapa agaknya yang membakar dapur itu. Engku Datuk balik bertanya, kenapa hal itu ditanyakan kepadanya. Kata etekmu pula, tentu engku Datuk tahu karena yang membakar itu pasti orang PKI. Engku Datuk marah besar kepada etek Sa’diyah, jangan sembarang menuduh, katanya. Etek Sa’diyah menggerutu dan mengatakan, engku Datuk ini, kemenakan dibeda-bedakan. Kemenakan engku disini tidak seorangpun yang dipaksa jadi PKI, aman-aman saja. Giliran tuan ambo, masih kemenakan engku juga, tidak mau lagi jadi PKI engku marahi.

Engku Datuk tambah marah. Etek Sa’diyahmu diam saja lagi. Tapi omongan itu terdengar pula oleh si Kawisah, ibunya si Indra. Didatanginya etek Sa’diyah dan mereka berkelahi. Bukan saja perang kata-kata tapi sampai baruli. Begitu bodoh-bodohnya orang-orang itu.’

Aku bertanya, berkelahi kenapa?

Kata ibuku pula ;

‘Mereka tersinggung, penghulu mereka didakwa seperti itu dengan cara yang tidak pantas sepanjang adat. Sebenarnya si Kawisah mungkin sudah ada permasalahan lain, yang wallahu a’lam, dengan etek Sa’diyah. Jadi kejadian itu hanya dijadikan pencetus perkelahian saja. Karena secara kekerabatan dalam persukuan, dalam ranji, Kawisah bukan kemenakan langsung engku Datuk. Ada kemenakannya langsung tapi tidak seagresif si Kawisah.’

Aku tanyakan pula, apakah perseteruan itu masih berlanjut sesudah itu?

‘Masih berlanjut. Waktu engku Datuk menghilang, etek Sa’diyah kelepasan kata-kata yang terdengar pula oleh si Kawisah. Kata-kata yang sebenarnya tidak perlu dan juga tidak dimaksudkan untuk memojokkan kaum engku Datuk. Dia mengatakan, itulah engku Datuk, kenapa mesti lari ke Medan. Kan jadi sulit saja ujung urusannya. Begitu katanya. Ternyata si Kawisah tersinggung lagi. Datang lagi dia menyerang. Ikut campur pula si Kahar saudara laki-lakinya membela. Waktu itu ayahmu sudah di penjara. Itupun dibahas pula dalam perseteruan yang tidak jelas itu. Pokoknya mereka menyumpahi semoga ayahmu juga mati dalam penjara.’

Aku tanya ibuku, apakah beliau juga terlibat dalam perseteruan itu.

Kata ibuku;

‘Tidak pernah. Ibu tidak pernah terlibat. Dan kalau orang berbicara apapun juga ibu tidak pernah mau menanggapi. Buat apa menambah-nambah dosa. Meskipun ibu juga merasakan bahwa si Kawisah kurang begitu elok perasaannya kepada ibu, tapi ibu diamkan saja.’

Dan aku tanyakan, lalu apa yang terjadi ketika ayah sudah bebas.

‘Waktu ayahmu bebas, keluarga ayahmu melakukan doa tanda bersyukur dengan cara di kampung. Dipotong kambing, dipanggil orang siak ke rumah dan diundang orang kampung. Maksudnya untuk memberi tahu jugalah bahwa ayahmu, yang sebenarnya tidak ikut-ikut lagi dengan partai jahat itu, tapi kena getahnya sampai dipenjara. Sekarang sudah bebas, maka dilakukan doa syukur dengan memotong kambing. Bertambah panas pula pasaran. Si Kawisah bertambah sakit hati. Herannya yang sakit hati hanya dia dan si Kahar saudara laki-lakinya itu saja. Kak Rohana, adik engku Datuk datang ke acara mendoa itu. Tidak ada masalah. Jadi urusan itu masih saja seperti api dalam sekam. Entah apa yang menjadi pokok pangkal masalah yang sebenarnya.’

Apakah permusuhan itu masih berlanjut sampai sekarang, tanyaku pula.

‘Saling diam mungkin masih berlanjut sampai sekarang. Ibu kurang begitu pasti. Tapi perkelahian sudah tidak pernah ada lagi. Waktu ayahmu meninggal, si Kawisah ada menjenguk ke rumah kita tapi kata kak Sa’diyah dia tidak datang menjenguk ke rumahnya. Umumnya orang kampung datang menjenguk ke kedua tempat. Ke rumah kita dan ke rumah bakomu itu. ’

Selama kami berdiskusi itu Ita hanya mendengarkan saja. Banyak hal-hal yang dia tidak pernah tahu karena aku tidak pernah memberi tahu. Di ujung diskusi malam itu dia bertanya, ada apa yang terjadi dengan almarhum ayahku.

Ibuku, yang menyangka Ita sudah tahu, terheran-heran pula bahwa menantunya tidak tahu apa-apa. Ibupun bercerita secara ringkas dan garis besar bahwa ayahku pernah jadi tahanan politik.

Malam itu Ita menanyakan dan menyoalku kenapa hal itu tidak pernah diceritakan kepadanya. Aku jawab sejujurnya bahwa aku malu dengan pengalaman ayahku, yang sebenarnya hanya jadi korban politik. Padahal beliau sebenarnya bukanlah benar-benar orang komunis yang biasanya identik dengan atheis. Ita tidak puas kelihatannya. Malam itu secara berbisik-bisik kami bertengkar, takut ketahuan ibuku. Ita menuduhku telah mengelabuinya. Dia mengatakan bahwa aku mau aktif di HMI rupanya hanya untuk menutup-nutupi aib itu.

Aku sebenarnya tersinggung dengan pernyataannya itu. Tapi aku usahakan sekuatku untuk tidak marah. Aku takut ibuku mendengar pertengkaran kami. Aku katakan sejujurnya pula, bahwa ayahku masuk penjara itu bagiku adalah suatu aib. Dan tidak ada gunanya aib itu dibeber-beberkan apa lagi beliau sudah meninggal. Ita tetap besikukuh bahwa dia itu kan istri. Kenapa tidak pernah cerita aib itu diberitahukan kepadanya. Pokoknya kalau istilah bahasa Jawanya sudah mbulet urusannya waktu itu.

Aku minta maaf. Itu satu-satunya jalan bagiku. Malam itu kami tidak meneruskan lagi bahasan itu. Paginya Ita masih cemberut kepadaku. Untungnya dia tetap biasa-biasa saja dengan ibuku. Di depan ibu kami baik-baik saja, tapi di kamar kami saling diam.

Beberapa hari kemudian ibuku kembali ke kampung. Sesudah ibu berangkat Ita mengungkit lagi masalah itu. Aku tanyakan baik-baik, sekarang apa masalahnya. Kenapa dia begitu tersinggung hanya karena tidak diberitahu perihal ayahku yang sekarang sudah almarhum. Aku ceritakan pelan-pelan perjalanan hidup ayah sejak pak tangah meninggal, sampai beliau ikut-ikutan jadi PKI, kemudian beliau dianiaya orang-orang PKI dalam sebuah rapat, kemudian ayahku menyatakan tidak mau ikut-ikut lagi dengan partai itu. Dan rumah ibuku dibakar. Dan Gestapu PKI meletus. Dan orang-orang PKI ditangkapi. Begitu ceritanya sampai terakhir ayahku dipenjarakan.

Kata Ita, dia sangat bisa mengerti semua itu. Dia percaya bahwa ayahku hanya jadi korban politik. Tapi, katanya, kenapa dia tidak diberitahu dulu-dulu. Aku bilang, sudahlah, aku minta maaf karena merahasiakan itu dengan maksud baik. Sekarang toh dia sudah tahu. Kan tidak perlu lagi dipermasalahkan.

Aku agak heran kenapa hal itu begitu penting bagi Ita. Aku menganggap pengalaman ayahku itu sebagai aib, makanya aku berusaha menutupnya rapat-rapat, kenapa dia tidak bisa memahamiku.

Sesudah hari itu memang hal itu tidak kami bahas lagi. Tapi sikap Ita semakin berubah. Aku masih menganggap bahwa hal itu sebagai akibat kelabilan dirinya karena kekecewaan belum punya anak. Ita jadi sangat sensitif.

Lalu timbul lagi percekcokan baru beberapa waktu sesudah itu.

Dari uang tabungan kami yang sudah terkumpul sedikit, Ita ingin kami membeli mobil. Membeli dengan sistim kredit. Tentu sah-sah saja keinginannya itu, meski aku lebih ingin membeli tanah untuk rumah. Aku tidak suka membeli dengan sistim kredit yang akan menyebabkan kita terikat hutang dalam jangka waktu panjang. Ita bersikeras untuk membeli mobil. Alasannya, papanya sudah menghadiahinya sebidang tanah di daerah Pondok Gede. Tapi aku tentu ingin mempunyai tanah dari hasil kami sendiri. Aku seperti biasa tidak mau ngotot dan kamipun membeli mobil.

Sesudah itu dia menginginkan agar aku yang membawa mobil itu tapi mengantarnya pagi-pagi dan menjemputnya waktu pulang kantor. Cara seperti ini tidak efektif. Perginya masih mungkinlah, dengan berangkat lebih awal. Tapi pulangnya, dengan kondisi jalan macet tentu sangat tidak efisien. Aku suruh dia saja membawa mobil itu ke kantor, aku biar tetap menggunakan bus kota. Aku memang tidak terlalu suka menyetir mobil. Tapi Ita merasa bahwa aku merajuk. Kami bertengkar lagi, aku berusaha meyakinkan dia bahwa aku bukannya merajuk. Dengan terpaksa akhirnya aku ikuti lagi kemauan Ita. Mengantarnya pagi-pagi dan menjemputnya sore-sore.

Ada teman sekantorku, sekretaris di kantor yang tinggal tidak jauh dari rumah kami. Ita kenal dengannya. Suatu pagi kami melihatnya menunggu kendaraan umum di pinggir jalan. Ita ingin mengajaknya ikut. Dia yang menyuruhku berhenti dan menawarkan wanita itu ikut. Aku berhenti dan kami menawarkan kalau dia mau ikut. Dan dia mau. Besoknya dia menunggu lagi dan kami ajak ikut lagi. Setelah itu dia sudah secara teratur ikut terus. Aku merasa tidak nyaman, khawatir suatu saat akan timbul salah pengertian. Masalahnya dari kantor Ita ke kantorku, aku berdua saja dengan wanita sekretaris itu. Pulang dari kantor, dengan alasan aku ada acara dengan Ita, aku tidak mau mengajaknya bersama-sama.

Betul saja, orang-orang di kantor mulai menggosipkan aku ada apa-apa dengan wanita itu karena setiap hari selalu datang berbarengan satu mobil. Dan wanita itu memang rada-rada ganjen pula. Gosip yang tidak jelas itu lama kelamaan sampai pula ke telinga Ita. Heboh lagi. Bahkan merembet kemana-mana. Sejak itu aku terpaksa memberi tahu wanita sekretaris itu untuk tidak ikut lagi dengan kami karena aku tidak mau jadi korban gosip yang sudah mulai melanda rumah tanggaku.

Selesai urusan itu aku mendapat lagi urusan baru. Kali ini di kantor.

Di kantor tiba-tiba aku melihat si Indra. Aku pikir dia datang berkunjung sebentar di kantor Jakarta. Mungkin dia sedang ikut seminar. Aku sapa sekedar berbasa basi. Aku sudah terlanjur tidak suka dengannya. Ternyata dia pindah ke kantor Jakarta. Sepertinya dia juga tidak suka kepadaku. Aku merasakan itu dari cara dia berbicara dengan orang lain kalau aku ada di dekatnya. Rada-rada memandang entenglah sepertinya. Bagiku tidak ada masalah. Aku menghindar saja dari dekatnya.

Beberapa minggu berlalu sejak dia pindah ke Jakarta. Pada suatu hari dia datang kepadaku dan mengajakku ngobrol. Tapi dari pembicaraan pertama aku sudah langsung tahu arahnya ingin mempermalukan aku. Dimulainya lagi dengan cerita malu kaumnya di kampung. Bahwa mereka tidak bisa menerima malu seperti itu. Aku langsung saja menyela. Lalu apa urusannya denganku?

Katanya, urusannya adalah bahwa da Marwan anak mak Syamsuddin yang juga anggota PKI. Aku mulai tidak sabar. Apa maksudmu, tanyaku kepadanya.

Dia bercerita bertele-tele. Tentang PKI, tentang bersih lingkungan, tentang screening. Dan akhirnya tentang aku sebenarnya tidak berhak bekerja di perusahaan ini karena aku tidak bersih lingkungan. Aku berusaha berbicara sesabar mungkin, meski sebenarnya darahku sudah mendidih. Apa urusannya bersih lingkunan itu dengan pekerjaanku. Ancaman apa yang aku berikan kepada perusahaan ini pada hal aku sudah bekerja disini hampir lima tahun.

Ujung-ujungnya, hari itu dia mengatakan bahwa kita harus jujur dan adil. Bahwa kita tidak boleh memanipulasi informasi. Dia mengatakan bahwa aku pasti sudah berbohong, karena pasti aku pernah ditanya tentang ayahku apakah ikut organisasi terlarang. Aku minta maaf kepadanya dan aku katakan aku tidak senang membicarakan hal itu yang adalah urusan pribadiku. Sore itu aku diselamatkan atasanku karena kami ada rapat. Aku tinggalkan dia. Aku punya firasat, urusan ini bakal jadi serius. Aku berpikir keras bagaimana cara mencegah orang ini mendiskreditkan aku.’


*****

Sunday, January 20, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (17)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (17)

17. RIAK- RIAK KECIL

Aku minta tolong Desi membuatkan teh. Dia segera pergi ke dapur. Aku duduk sendiri, sambil termangu membayangkan cerita Marwan. Menarik sekali pengalaman hidupnya, yang ternyata sangat berbeda dengan kehidupannya sekarang. Desi kembali membawa teko teh dan kue-kue. Marwan masih belum keluar dari kamar mandi.

‘Kemana da Marwan?’ tanya Desi.

‘Ngga tahu. Dia masih di kamar mandi.’

‘Capek dia barangkali bercerita, da. Panjang sekali ceritanya.’

‘Ya, sangat menarik pengalaman hidupnya.’

Marwan muncul dari kamar mandi, sambil menyeka mukanya dengan sapu tangan. Matanya agak merah.

‘Kenapa kau? Kenapa matamu merah?’ tanyaku.

‘Ah, nggak apa-apa.’

‘Kecapekan? Kau mau minum kopi?’

‘Nggak. Nggak usah. Aku nggak capek. Mungkin aku agak terbawa emosi.’

‘Wah! Kau terkenang Rosita? Kau masih belum bisa melupakannya?’

Marwan tersenyum. Senyum agak kecut. Aku yakin ceritanya ini mengungkit lagi semua kenangan indah cintanya dengan Rosita. Tapi aku juga yakin dia perlu melepaskan semua cerita panjang yang selama ini menyekat di dadanya.

‘Indah dan mengharukan sekali ceritamu tadi. Apakah waktu itu kalian tidak terpikir untuk mendapatkan bayi tabung?’ tanyaku.

‘Terpikir. Kami pernah berkonsultasi dengan dokter. Kami diberitahu bahwa bayi tabung di luar negeri ketika itu masih dalam fasa percobaan. Ada resiko cacad kepada bayi. Jadi, seandainya sudah adapun kami tidak berani mengambil resiko itu,’ jawab Marwan.

‘Maaf pertanyaan saya agak bodoh. Tidak pernah dicoba minta pertolongan ‘orang pintar’?’ tanya Desi.

‘Sejujurnya, kami sama-sama tidak percaya dengan orang pintar. Tapi pernah juga suatu kali kami hampir berurusan dengan seorang dukun atau orang pintar itu. Kami dikenalkan oleh famili suami eteknya Ita yang tinggal di Cempaka Putih. Famili itu sengaja membawa orang pintar, seorang ibu-ibu, ke rumah etek, ketika kami sedang berada disana. Kami dikenalkan kepada ibu itu. Dia bilang dia berpengalaman mengobati wanita yang sulit dapat anak. Ita bertanya bagaimana cara pengobatannya, karena tentu tidak enak kalau langsung mengatakan tidak berminat. Kata ibu itu dengan cara diurut. Bagian perut harus diurut. Tapi tidak boleh kalau sedang haid. Ita pura-pura saja mengatakan bahwa dia saat itu sedang tidak shalat, dan biar dipikir-pikir dulu. Kami tidak pernah menghubungi orang itu lagi.’

‘Kenapa da Marwan tidak percaya?’

‘Kenapa ya? Susah juga saya menjelaskannya. Tapi kenyataannya begitu. Ita tidak percaya, mungkin karena didikan ayahnya yang dokter. Dan saya juga tidak percaya dengan dukun. Memangnya kamu juga mengenal orang yang berhasil ditolong orang pintar untuk mendapat keturunan?’ Marwan balik bertanya.

‘Saya tidak mendengar dari yang bersangkutan langsung. Tapi saya pernah diceritakan ada orang yang berhasil dapat anak sesudah datang ke orang pintar. Ceritanya si Dewi temannya Ratna itu lho, da. Uda kenal Dewi ‘kan? Si Ratna yang bercerita. Katanya Dewi itu baru dapat anak sesudah 7 tahun menikah dan sesudah mendapat pertolongan orang pintar.’

‘Oh ya? Uda nggak pernah dengar cerita itu? Memangnya dengan cara apa orang pintar itu mengobati atau menolong si Dewi?’ giliranku bertanya.

‘Itu entahlah. Saya hanya mendengar cerita dari Ratna, bukan dari Dewi. Tapi kelihatan ‘kan? Dewi sudah berumur sementara anak-anaknya masih kecil-kecil,’ Desi menambah keterangan.

‘Nggak tahu juga itu. Entah bagaimana membuktikannya secara ilmiah,’ kataku.

‘Akupun ada mendengar cerita seperti itu. Termasuk cerita famili etek di Cempaka Putih itu. Tapi kami kok ya tidak yakin,’ Marwan menambahkan.

‘Tapi ngomong-ngomong, adakah pengaruhnya pada hubungan kalian karena belum kunjung punya anak itu? Maksudku, apakah misalnya, timbul kekhawatiran istrimu bahwa kau akan meninggalkannya?’

‘Aku yakin tidak ada kekhawatiran seperti itu. Paling tidak, dia tidak pernah mengungkapkannya. Meskipun ada perubahan-perubahan kecil dalam kehidupan kami. Kami yang sebelumnya hampir tidak pernah bertengkar, pada tahun ke empat pernikahan, mulai sering berdebat untuk hal-hal kecil dan kadang-kadang meningkat kepada pertengkaran. Pertengkaran yang biasanya berakhir dengan Ita menangis. Aku selalu berusaha mengalah kalau sudah terjadi yang seperti itu, aku minta maaf kepadanya. Dan kami berbaikan lagi. Jadi mesra lagi. Tapi beberapa hari kemudian kami terlibat dalam kejadian yang mirip seperti itu lagi. Ita jadi lebih sensitif. Aku bisa memahami keadaan jiwanya. Repotnya sesuatu yang tadinya diniatkan untuk kegembiraan, misalnya ketika kami berencana untuk pergi libur ke luar kota, muncul kejadian-kejadian yang menimbulkan emosi Ita, dan kami bertengkar lagi. Tapi selalu aku mengalah kalau sudah demikian.

Pada suatu waktu aku dikirim perusahaan untuk training ke Dallas selama 3 bulan. Sebelum itu aku pernah beberapa kali dikirim untuk seminar di Singapura selama seminggu. Ke Singapura aku selalu mengajak Ita. Waktu aku akan pergi ke Dallas tentu tidak mungkin dia ikut karena dia bekerja. Bagaimana mungkin mau mengambil cuti selama tiga bulan. Aku menyuruh dia menyusul kesana seminggu sebelum training itu selesai. Ita bersikukuh ingin ikut. Aku tanya bagaimana dengan pekerjaan? Dia bilang, masa bodoh dengan pekerjaan, pokoknya dia harus ikut. Dia tidak mau ditinggal selama itu.

Aku berusaha untuk meyakinkannya, bahwa sebaiknya dia menyusul saja nanti sebelum aku pulang. Akan sangat sayang kalau dia berhenti bekerja gara-gara itu. Dia marah besar. Belum pernah dia marah seperti itu. Kami bertengkar agak berat ketika itu. Meskipun sesudah pertengkaran itu aku berusaha minta maaf, masalah utamanya tetap belum terselesaikan. Dia kepingin ikut. Aku jadi sangat kebingungan. Sayang juga kalau aku menolak ikut training itu, meski kemungkinan itu sudah aku pikirkan.

Hubungan kami, seperti yang kau tanyakan, agak kaku untuk beberapa hari. Kami sama-sama hemat bicara. Padahal waktu untuk berangkat sudah semakin dekat. Dua minggu sebelum waktu berangkat aku mengajak Ita membicarakan hal itu lagi. Dia masih belum berubah. Kalau aku pergi dia harus ikut. Bahkan ditunjukkannya visa USA yang sudah diurusnya sendiri. Aku tanya, apakah dia sudah siap untuk berhenti bekerja? Dia bilang siap. Aku bilang, kalau kamu sudah yakin, baik kita berangkat bersama-sama. Aku hubungi biro perjalanan yang mengurus tiketku untuk memesan tempat untuknya.

Pada hari yang sama mamanya datang. Pertama karena ada urusan dengan etek yang di Cempaka Putih. Mereka akan pulang kampung berdua. Dan yang kedua, sekembalinya dari kampung mamanya akan menemani Ita di rumah selama kepergianku. Aku memang sudah memberi tahu rencana kepergian ke Dallas kepada mertuaku itu jauh hari sebelumnya.

Ita memberi tahu mamanya bahwa dia akan ikut denganku. Mamanya bingung, kok tiba-tiba yang akan pergi berdua? Bukankah Ita bekerja? Bagaimana dengan pekerjaan? Ita tiba-tiba saja menangis, mengadu bahwa dia tidak mau ditinggal sendiri selama itu. Aku tidak tahu bagaimana pembicaraan antara ibu dan anak itu, tapi tiba-tiba Ita berubah jadi lunak. Dia mengijinkan aku pergi sendiri dan dia akan menyusul nanti.’

‘Akhirnya kau pergi sendiri?’ tanyaku

‘Ya aku berangkat sendiri. Tidak ada masalah. Ita baik-baik saja dan membiarkan aku pergi. Ita, mamanya, etek dan pak eteknya mengantarku ke Halim waktu itu.

Seperti rencanaku sebelumnya, Ita menyusul kesana beberapa hari sebelum training selesai. Kami sama-sama rindu. Belum pernah kami berpisah selama itu. Sebelum pulang kami pergi berjalan-jalan di Amerika.

Sampai di Jakarta kami kembali lagi berada dalam rutinitas kerja. Belum sampai sebulan sejak aku pulang, aku berangkat lagi ke lapangan di Irian. Kali ini untuk jangka waktu sebulan. Untuk menemani Ita, aku minta ibuku datang dari kampung. Ita setuju-setuju saja.

Aku berangkat ke Irian. Bekerja dengan ilmu yang baru dapat selama training yang baru kujalani.

Waktu itu aku bertemu dengan orang sekampungku. Indra namanya. Dia karyawan lapangan. Seorang ahli perminyakan lulusan AKAMIGAS Cepu. Rupanya dia sudah bergabung dengan perusahaan ini sejak hampir setahun. Sebagai karyawan lapangan dia bekerja dua minggu dan istirahat seminggu. Itu sebabnya aku belum pernah bertemu dengannya disini. Indra ini adik kelas kita dulu di SMP.

Senang sekali berjumpa dengan orang sekampung di lokasi kerja seperti itu. Kami biasa berbincang-bincang setiap bertemu di ruang makan. Sesudah makan malam biasanya kami masih bertahan sampai agak larut malam di messhall, bercerita ke hilir ke mudik. Biasanya bergabung dengan teman-teman yang lain. Kami baru masuk kamar kalau benar-benar sudah mengantuk.

Suatu malam kami tinggal berdua saja. Dia bercerita tentang keadaan di kampung kami. Tentang keluarga dan sanak famili di kampung. Rupanya dia sering pulang dan selalu mengikuti perkembangan di kampung. Cerita seperti itu sangat menarik bagiku. Kami berbincang tentang sumbangan apa yang dapat kita lakukan untuk perbaikan kampung dan masyarakatnya.

Tapi lama kelamaan ceritanya mulai agak melantur. Aku pikir dia mungkin sudah kecapekan. Katanya, da Marwan tahu tidak, kami sepesukuan terus terang iri kepada ayah da Marwan. Waktu itu, ayah da Marwan hanya ditahan dua tahun dan sesudah itu dilepas, sementara inyiak kami, penghulu kami hilang dibunuh orang tidak tahu dimana rimbanya.

Wah, itukan sudah cerita lama. Cerita tentang orang-orang tua kita yang tidak perlu dibahas lagi, kataku. Aku memang sangat tidak suka mendengar pengalaman buruk ayahku gara-gara partai itu.

Katanya pula, betul cerita lama. Tapi bagi kami cerita itu belum selesai. Datuk kami, penghulu kami belum kami temukan. Kalau beliau sudah meninggal dimana kuburnya. Kalau beliau hilang dimana rimbanya.

Aku berusaha menghiburnya. Buat apa kita kenang lagi cerita itu yang tidak mungkin akan dapat kita perbaiki keadaannya. Yang meninggal tidak akan mungkin hidup lagi. Lebih baik kita bantu saja dengan doa, agar kekeliruan orang-orang tua kita itu diampuni Allah.

Katanya pula, kalau urusan doa ialah. Tapi urusan malu? Bagaimana kami menebus dan menutup malu?

Terus terang aku bingung juga menghadapi si Indra ini dengan ceritanya. Dan aku sedikitpun tidak tahu apa maunya.

Sebelum kami menutup cerita pada malam itu masih sempat dia bertanya setengah menyelidik yang aku tidak juga mengerti apa maksudnya. Katanya, kok da Marwan bisa ya bekerja di perusahaan ini ? Apa da Marwan tidak di screening Pertamina.

Memangnya kenapa, aku tanya. Da Marwan kan tidak bersih lingkungan. Apa da Marwan berbohong ketika di screening, dia bertanya lagi. Aku menatap matanya dalam-dalam. Apa maunya orang ini, tanyaku dalam hati. Akhirnya aku katakan, sudahlah Indra, cerita ini kurang menarik bagiku untuk diteruskan. Kita berhenti sampai disini saja. Aku meninggalkannya dan pergi tidur.

Besok-besoknya aku malas untuk duduk dekatnya. Aku malas dia akan mengungkit cerita yang bagiku sangat tidak perlu untuk dibahas itu. Masih sekitar seminggu lagi sebelum aku kembali ke Jakarta. Aku tetap tidak mau banyak bercerita dengan si Indra ini lagi. Dalam hatiku ada juga sedikit kekhawatiran, kalau-kalau dia sengaja bercerita tentang aku, tentang ayahku kepada orang-orang di lapangan. Seandainya dia lakukan mungkin akan menimbulkan masalah juga suatu saat kepadaku. Tapi sudahlah, apa pula gunanya hal itu aku pikirkan. Aku berusaha untuk melupakannya saja. Aku berprasangka baik saja bahwa Indra tidaklah akan sampai menyusahkanku.

Aku kembali ke Jakarta sesudah tugasku selesai.


*****

Saturday, January 19, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (16)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (16)

16. PERNIKAHAN

Kami semakin terbuai mendengar cerita Marwan yang runtut dan rinci. Pengalaman hidupnya ternyata penuh dengan bunga-bunga. Termasuk bunga-bunga cinta. Dari ceritanya aku bisa membayangkan betapa bahagianya pasangan anak muda itu waktu itu. Mereka berkenalan secara indah di lingkungan organisasi kemahasiswaan, HMI, saling menjaga kehormatan dalam masa-masa berpacaran tanpa mengumbar hawa nafsu, mendapat restu orang tua, dan segera akan berakhir ke pelaminan. Aku dapat membayangkan betapa besarnya cinta Marwan kepada Rosita. Dan aku tidak sabar menanti bahagian ceritanya ketika dia terpaksa berpisah dengan istri pertamanya itu. Apakah Rosita ternyata berubah sesudah mereka menikah ?

Marwan melanjutkan lagi ceritanya dan kami, aku dan Desi istriku kembali menyimak seperti orang menonton wayang.

‘Semua berjalan sesuai dengan yang kami rencanakan. Pertengahan bulan Januari 79 aku mengambil cuti tahunan. Aku juga mempunyai sekitar seminggu libur ekstra pengganti hari-hari aku bekerja di lapangan. Aku pulang ke kampung untuk menjemput ibu dan adik-adikku. Dan untuk minta izin kepada mamak-mamakku, karena aku akan pergi menikah. Sesuai dengan aturan adat di kampung. Dan sebelumnya, ke kampung kami telah datang pula utusan famili Rosita dari Maninjau menjemputku secara adat. Mengisi adat dengan membawa carano. Begitu kesepakatan yang dibuat di Surabaya dan Malang. Karena orang tua Rosita masih sangat teguh memegang adat. Menantunya harus orang yang dijemput secara adat Minang.

Kami segera berangkat ke Surabaya. Dengan seorang mamakku, ibuku dan kedua adikku. Kedua adikku itu bekerja sebagai perawat bidan di rumah sakit umum Bukit Tinggi dan mereka mengambil cuti pula.

Orang tua Rosita merencanakan pesta pernikahan dengan adat Minangkabau di Malang. Ada acara malam bainai, acara mengantar marapulai sebelum akad nikah, dan diakhiri dengan resepsi pernikahan. Pada acara mengantar marapulai itu harus ada acara pasambahan. Rombongan kami dari Surabaya harus membawa dua tiga orang yang pandai bapasambahan dan di Malang kami akan disambut oleh orang yang punya kemampuan serupa.

Semua permintaan untuk melaksanakan pesta dengan adat Minang itu, yang dibicarakan ketika rapat persiapan pesta, disanggupi oleh pak etek. Beliau juga sangat senang dengan acara pesta seperti itu dan bersedia mencarikan orang-orang yang akan mengantarkan aku pergi nikah, lengkap dengan ahli pasambahan.

Kami dinikahkan pada hari Jum’at tanggal 2 Februari 1979, sesudah shalat isya di rumah orang tua Rosita. Kami rombongan dari Surabaya datang dengan dua buah bus. Aku berpakaian marapulai Minang, berpakaian warna merah dan bersaluk, di temani oleh sepuluh orang yang juga berpakaian Minang warna hitam dan berdestar. Pak etek dan mamakku memakai jas dengan kain sarung bugis. Sesudah akad nikah, sebelum acara makan minum ada pasambahan yang persis seperti di kampung. Yang asli. Yang baunyai-unyai. Sehingga para tamu itu baru makan malam jam sebelas malam dan acaranya sendiri baru selesai lepas tengah malam. Ini atas pesanan dokter Sofyan, mertuaku. Seolah-olah alek itu sedang terjadi di Maninjau. Untungnya yang hadir malam itu hampir semua urang awak, kecuali beberapa temanku anggota HMI dan beberapa orang tetangga mertuaku.

Resepsi pernikahan dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 4 Februari. Pesta itu berjalan sangat meriah. Aku sendiri sebenarnya merasa risih. Aku, si Marwan, anak mak Syamsuddin Sutan Marajo, tukang pos, jadi marapulai dalam pesta semegah itu. Tapi itu adalah atas kemauan mertuaku. Maklum, Rosita adalah anak perempuan mereka satu-satunya.

Banyak tamu yang datang. Handai tolan dokter Sofyan maupun ibu mertuaku di kota Malang dan sekitarnya. Karena mereka suami istri, orang yang sangat luas pergaulannya disana. Ada juga tamu dari Surabaya. Teman dan relasi pak etek serta teman-temanku di HMI.

Usai baralek gadang. Seterusnya kami jalani masa-masa indah. Masa-masa bulan madu. Mertuaku sudah memesankan paket liburan di Bali selama 4 malam untuk kami. Untuk menyenangkan hati anak padusinya satu-satunya sehingga aku tidak bisa menolak. Jadi terpaksa aku nikmati saja.

Masa cutikupun habis. Aku harus kembali ke Jakarta untuk bekerja. Rosita langsung aku bawa. Atas permintaan etek Rosita, (adik ibunya), kami tinggal di rumah eteknya itu di Cempaka Putih selama beberapa hari pertama kami sampai di Jakarta. Aku sudah mengontrak sebuah rumah kecil di jalan H. Yahya di Kampung Melayu. Sebuah rumah sederhana dengan dua buah kamar. Sesudah seminggu di rumah eteknya kami mulai menempati rumah di Kampung Melayu itu.

Kami jalani hari-hari yang indah. Aku bekerja seperti biasa. Alhamdulillah sementara tidak dikirim ke Irian. Ita, (aku memanggil namanya seperti itu) sementara itu berusaha memasukkan lamaran mencari kerja. Kecuali mamakku yang segera buru-buru pulang, rombongan ibuku ditahan pak etek di Surabaya sampai hari kami memasuki rumah kontrakan kami. Pada hari beliau sampai di Jakarta, kami mulai menempati rumah kontrakan mungil itu. Kedua adikku tinggal seminggu di Jakarta dan setelah itu kembali ke Bukit Tinggi. Cuti mereka sudah habis. Ibuku aku tahan untuk tinggal sementara dengan kami.

Ibuku sangat menyayangi Ita. Begitu juga sebaliknya. Aku sangat bahagia melihatnya. Ibu mengajar Ita memasak gulai-gulai seperti di kampung. Dari bahan-bahan sederhana tapi dengan rasa prima. Ibuku memang tipe wanita Minang ideal, ahli dalam masak memasak. Ibu betah saja tinggal bersama kami sampai lebih dua bulan. Selama dua bulan itu aku bertugas ke lapangan dua kali, masing-masing seminggu. Tapi adik-adikku di kampung mulai tidak sabar ditinggal ibu. Mereka menulis surat kilat khusus bertubi-tubi, meminta agar ibu segera pulang. Mereka sangat canggung tanpa ibu di rumah. Menurut mereka mamak kami juga sudah tiap hari bertanya, kapan ibu pulang.

Setelah ibu pulang tinggallah kami berdua menghuni rumah mungil itu. Ita masih menunggu kepastian diterima bekerja di Bank Bumi Daya. Dia menata rumah dengan sebaik-baiknya, mengerjakan pekerjaan kecil di rumah, memasak untukku. Tidak canggung sedikitpun dia mengerjakan semua itu. Tidak lama kemudian, sekitar bulan Mai, dia akhirnya diterima di Bank Bumi Daya. Ita sangat gembira dan akupun sangat setuju dia bekerja. Karena kasihan dia tinggal sendirian sehari-hari di rumah.

Kami berangkat ke kantor pada jam yang sama meski dengan kendaraan yang berbeda. Sama-sama naik bus kota. Kantorku di daerah Pancoran Pasar Minggu, kantor Ita di Matraman. Karena istriku sudah tidak punya waktu lagi untuk memasak kecuali di hari libur, kamipun merantang. Atau kadang-kadang kami pergi makan malam ke luar. Atau kadang-kadang kami memasak berdua untuk makan malam.

Beberapa bulan sudah berlalu sejak hari pernikahan kami. Tidak ada tanda-tanda bahwa Ita mulai hamil. Kami bersabar saja menunggu. Mungkin memang belum waktunya.

Pekerjaanku tetap mengharuskan aku secara berkala pergi ke lapangan ke Irian. Kalau aku pergi ke lapangan, Ita mengajak anak pemilik rumah yang juga adalah tetangga kami untuk menemaninya. Seorang anak gadis murid SMP. Anak itu sangat baik dan Ita sangat sayang kepadanya. Daerah tempat tinggal kami aman. Aman dari kejahatan, aman dari kenakalan remaja. Aku tidak perlu khawatir kalau harus meninggalkan Ita untuk beberapa hari.

Setelah enam bulan Ita tidak kunjung hamil kami mulai bertanya-tanya. Akhirnya kami sepakat untuk berkonsultasi ke dokter. Ita yang lebih dahulu mengajak memeriksakan dirinya. Dokter yang memeriksa mengatakan Ita tidak punya masalah. Dokter itu hanya menganjurkan agar kami lebih banyak melakukan hubungan di masa-masa subur. Serta menasihatiku agar menjaga pola makan agar lebih berstamina. Rasanya aku tidak punya masalah tentang itu. Untuk lebih meyakinkan akupun juga memeriksakan diri ke dokter yang lain. Menurut dokter tidak ada masalah. Aku dinyatakan sangat sehat. Jadi mungkin masalah waktu saja. Kami bersabar lagi.

Meskipun belum kunjung dikaruniai momongan, kami menjalani hidup yang damai hari demi hari. Di saat liburan kami pergi melancong. Kalau ada liburan akhir minggu yang panjang kami pergi ke Malang. Ketika cuti pertama Ita, setahun kemudian aku ajak dia ke kampung. Ke kampung ibunya di Maninjau dan mengunjungi tempat-tempat lain di negeri kita. Ita sangat menikmati kunjungan itu. Dia belum pernah menginjak bumi Minangkabau sebelumnya.

Kami tidak henti-hentinya berikhtiar. Secara berkala kami tetap berkonsultasi dengan dokter. Minta saran dan obat yang mungkin bisa membantu memicu kehamilan.

Dua tahun berlalu. Kami semakin tidak sabar. Kenapa kami belum juga punya anak. Kami datangi lagi dokter spesialis yang lain, yang menurut rekomendasi teman-teman lebih ahli dan konon bertangan dingin. Ita menjalani pemeriksaan yang lebih teliti dan bahkan kami lakukan juga pemeriksaan oleh dokter lain. Untuk mendapatkan second opinion. Dari pemeriksaan dokter itu ada anjuran agar Ita menjalani terapi ‘ditiup’ dengan alat untuk melancarkan jalan sperma menuju indung telur. Terapi itu dilakukan dua tiga kali dan menurut Ita sangat sakit. Tapi dia rela menahan rasa sakit itu.

Ibuku menganjurkan agar kami lebih banyak shalat malam. Bertahajud dan memohon pertolongan Allah. Itupun kami lakukan. Kami bangun tengah malam untuk shalat. Untuk memohon kepada Allah. Ita sampai menangis-nangis dalam doa. Akupun ikut terharu dan berdoa bersungguh-sungguh. Kami memohon agar kami dikaruniai Allah dengan keturunan.

Tiba-tiba pada suatu saat Ita terlambat datang bulan. Seminggu dia belum dapat haid dari jadwal rutinnya dia masih diam-diam saja. Tapi di minggu kedua dia memberi tahuku. Meski belum ada kepastian dari dokter karena belum ada pemeriksaan apa-apa aku langsung sujud syukur. Aku begitu yakin doaku sudah dikabulkan Allah. Yakin bahwa istriku mulai hamil. Kami pergi ke dokter untuk melakukan pemeriksaan. Alhamdulillah, benar. Ita hamil. Aku sujud syukur sekali lagi di tempat praktek dokter itu.

Kami gembira sekali. Berita disebar kemana-mana. Ke papa dan mama Ita, ke ibuku, ke keluarga pak etek di Surabaya. Ita hamil. Kami segera akan punya anak. Ita mulai sering merasa tidak enak badan. Mual-mual dan muntah-muntah. Pusing dan sebagainya. Gejala umum orang hamil. Dia masih tetap bekerja meski sudah agak sering minta ijin karena sakit. Kalau agak sehat dia tetap masuk kantor. Aku menyuruhnya untuk menggunakan taksi pergi dan pulang ke kantor. Jangan lagi berdesak-desak di bus kota.

Untungnya gejala morning sicknessnya Ita segera berakhir. Menginjak bulan ketiga kehamilan dia sudah sehat walafiat. Tidak ada lagi mual dan muntah-muntah. Aku sangat gembira melihat dia seperti itu. Pada waktu itu papa dan mamanya datang mengunjungi kami. Mereka juga sangat berbahagia. Beliau tinggal di rumah kami di Jakarta selama dua minggu. Sebelum kembali ke Malang beliau mengajak kami berjalan-jalan ke Puncak. Ita sangat sehat dan tidak ada alasan sedikitpun untuk melarangnya ikut. Papa Ita yang dokter itu yakin bahwa istirahat di alam segar Puncak akan sangat baik bagi pertumbuhan janin.

Kami menyewa sebuah mobil untuk pergi kesana. Di Puncak kami menyewa sebuah bungalow. Kami tidak pergi kemana-mana selain berjalan kaki pagi di udara yang sangat bersih dan nyaman. Dua malam kami menginap disana. Hari Minggu siang kami kembali ke Jakarta dengan selamat.

Hari Seninnya kedua orang tua Ita kembali ke Malang. Ita minta izin tidak masuk kantor hari Senin itu sedangkan aku menggunakan hari libur pengganti masa kerja di lapangan. Kami mengantarkan papa dan mama Ita ke Kemayoran. Pulang dari bandara, sesampai di rumah, Ita merasa perutnya kejang-kejang. Tiba-tiba saja dia merasa sakit luar biasa. Keringatnya bercucuran dan dia merintih kesakitan. Aku segera keluar mencari taksi dan kami langsung pergi ke dokter ahli kandungan.

Ita mengalami pendarahan di tempat praktek dokter itu. Dokter menyuruh agar Ita segera dibawa ke rumah sakit. Dengan taksi kami berangkat menuju RSCM. Dokter itu ikut menyusul. Ternyata Ita keguguran. Dia harus dirawat di rumah sakit selama dua hari. Ita sangat sedih. Akupun sebenarnya sangat sedih. Tapi sudah seperti itu ketentuan Allah. Aku mengajaknya untuk bersabar. Paling tidak kami sudah tahu dan yakin bahwa Ita bisa hamil dan mudah-mudahan setelah kesehatannya pulih dia bisa hamil lagi.

Kami mulai lagi dari nol. Kami penuh harap bahwa Ita akan segera hamil lagi. Dan kami jalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Penuh dengan cinta dan kasih sayang. Kami rajin shalat tahajud, memohon agar kiranya Allah mengganti janin yang sudah terlanjur gugur itu.

Berbulan-bulan berlalu tanpa hasil. Bahkan setahun lagi sesudah itu, Ita tidak pernah hamil lagi. Kami kembali berikhtiar, mendatangi dokter. Ita memeriksakan diri lagi. Untuk kedua kalinya dia menjalani terapi ditiup saluran menuju indung telur. Dokter memperkirakan saluran itu kembali menyempit. Tapi tetap tidak ada kemajuan. Ita tidak juga kunjung hamil.

Setelah itu mertuaku menganjurkan agar Ita mencoba memeriksakan diri ke seorang dokter kenalannya di Malang. Dokter itu sudah membantu banyak orang yang sulit mendapat keturunan dan kemudian berhasil. Kami berangkat ke Malang untuk berobat ke dokter yang direkomendasi papa Ita tersebut. Ita tinggal sebulan disana, mengambil cuti tahunan. Mengikuti pola perawatan dokter itu yang termasuk mengatur diet.

Ternyata tetap tidak ada hasil. Lama-lama Ita mulai pasrah, walau juga agak frustrasi. Dia memikirkan untuk mengadopsi anak saja. Kami berdiskusi berkali-kali tentang ide mengangkat anak. Kami maju mundur untuk merealisasikan ide itu. Banyak pertimbangan yang harus kami pikirkan dan akhirnya kami putuskan belum akan mengangkat anak.’

Marwan menghentikan ceritanya untuk pergi ke kamar kecil sebentar.


*****