Saturday, August 30, 2008

BALIMAU

BALIMAU

‘Besok hari balimau. Mama jadi ingat nenek. Beliau biasanya punya kesibukan tambahan di hari balimau,’ celetuk istriku di meja makan ketika kami sedang makan malam.

‘Kesibukan tambahan? Kesibukan apa maksudnya?’ tanya puteriku.

‘Menyiapkan kebutuhan balimau untuk semua orang. Bunga rampai, jeruk nipis atau limau sungguhan untuk keperluan mandi balimau,’ jawab mamanya.

‘Balimau maksudnya mandi membasahi rambut alias berkeramas, kan? Waktu itu belum ada shampoo barangkali ya ma, ya?’

‘Mandi membasahi rambut dan membersihkan kulit kepala dengan irisan jeruk nipis. Kemudian meyiram badan dengan air yang ditaburi bunga rampai. Memang belum ada shampoo waktu itu. Paling tidak, belum populer.’

‘Pa, sebenarnya mandi balimau itu ada tuntunannya nggak, sih?’ puteriku kali ini mengarahkan pertanyaan kepadaku.

‘Maksudmu balimau menjelang puasa?’

‘Ya. Seperti yang diceritakan mama itu. Apa ada keharusan kita untuk mandi balimau sebelum masuk bulan puasa?’

‘Setahu papa tidak ada tuntunannya. Berbeda dengan mandi di hari Jumat bagi laki-laki sebelum berangkat pergi shalat Jumat. Itu ada haditsnya. Tapi mandi keramas, atau balimau sebelum masuk bulan puasa tidak ada haditsnya,’ jawabku.

‘Kalau begitu, perbuatan itu sesuatu yang dibuat-buat dong. Sama juga bid’ah dong,’ lanjutnya lagi.

‘Mudah-mudahan tidak sejauh itu. Mandi berbersih-bersih kapan saja adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Jadi balimau itu ya, mubah. Boleh-boleh saja, karena itu bukan merupakan ibadah khusus.’

‘Tapi? Ada hubungannya tidak dengan ibadah puasanya sendiri? Maksudnya apakah kalau tidak balimau puasa tidak afdal atau bagaimana?’

‘Jelas tidak ada hubungannya. Tanpa balimaupun, kita harus menjalankan puasa. Dan ketika kita melakukan ibadah puasa sesuai dengan rukun dan syaratnya, padahal kita tidak mandi balimau sebelum puasa, maka puasa kita itu insya Allah sah-sah saja.’

‘Tapi kenapa orang mesti balimau?’

‘Maksudnya sebagai penghormatan menyambut bulan suci Ramadhan. Orang ingin tampil bersih dan wangi ketika mengawali bulan suci itu. Balimau dilakukan pada sore hari menjelang maghrib. Malamnya orang shalat tarawih beramai-ramai di mesjid dalam keadaan yang masih segar dan wangi. Jadi ya, wajar-wajar saja kebiasaan itu.’

‘Tradisi balimau sepertinya hanya ada di Minangkabau. Benarkah demikian, pa ?’

‘Boleh jadi,’ jawabku pendek.

‘Tapi kenyataan di tengah masyarakat, seperti sering diberitakan koran-koran, tradisi ini kemudian menjurus kepada sesuatu yang kurang baik. Bagaimana komentar papa tentang itu ?’

‘Maksudmu ?’

‘Saya baca di koran yang terbit di Padang, bahwa orang pergi melakukan upacara balimau berbondong-bondong ke suatu tempat. Lebih tepat disebut pergi piknik. Di tempat mandi balimau itu becampur baur laki-laki dan perempuan. Ada juga yang sesudah itu asyik berpacaran. Bukankah itu keliru? Masih dapat jugakah yang demikian itu disebut sebagai tradisi balimau menjelang memasuki bulan puasa?’

‘Kamu benar sekali. Perbuatan seperti itu tidak sedikitpun menunjukkan penghormatan kepada kedatangan bulan suci Ramadhan. Mereka itu tidak mengerti arti kesucian bulan Ramadhan. Mereka mengotorinya dengan apa yang mereka lakukan.’

‘Kalau sudah begitu, apakah tidak sebaiknya acara balimau itu dilarang saja? Oleh pemerintah daerah atau oleh ulama di daerah?’

‘Yang keliru tentu harus diperbaiki. Yang salah jangan dibiarkan terus-terusan salah. Harus diperbaiki dan diarahkan dengan bijaksana. Ulama, ustad, dai, penceramah harus lebih bijak dalam meluruskan makna Ramadhan. Makna persiapan menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Seperti yang dikatakan mamamu tadi, nenekmu dulu menyiapkan segala sesuatu untuk balimau di rumah dan mandi balimaunya sendiri dikerjakan di kamar mandi di rumah. Dikerjakan sendiri-sendiri. Tidak ada hura-hura dalam pelaksanaannya. Tidak mesti pergi ke sebuah telaga atau danau dalam rombongan besar mengerjakannya.’

‘Tapi katanya pula, kegiatan seperti itu dijadikan tontonan wisata. Dikenalkan kepada para pendatang dari luar daerah, seolah-olah itu adalah sebuah adat. Sebuah tradisi dalam menyambut kedatangan bulan puasa. Nah, bagaimana itu pa?’

‘Itu yang salah. Para ulama harus tegas memberikan pencerahan kepada masyarakat luas. Adalah tugas para ulama untuk menjelaskan apakah suatu amalan itu benar atau salah, apalagi yang dikaitkan dengan ibadah. Berpuasa di bulan Ramadhan itu bukan sembarang ibadah. Puasa itu adalah rukun Islam, yang harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Dikerjakan dengan keimanan dan keikhlasan semata-mata karena Allah. Semua amalan, apalagi yang dilakukan di bulan puasa haruslah dengan niat untuk mencari ridha Allah. Sekarang coba kamu perhatikan perbuatan orang-orang yang pergi piknik, mandi di kolam atau di telaga, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan seperti yang kamu katakan. Mereka menyebutnya sebagai upacara mandi balimau menjelang puasa. Itu jelas keliru. Maka, ketika ada orang yang mencampur-adukkan yang salah seperti itu untuk dikaitkan dengan ibadah, ulama harus segera mengingatkan.’

‘Mungkin sudah diingatkan. Mungkin sudah ada ulama yang mengingatkan, tapi masyarakat saja yang tidak tanggap,’ istriku turut menyela.
‘Mungkin juga. Dan kalau demikian berarti ulama harus lebih giat lagi mengingatkan. Termasuk mengingatkan para penjabat di daerah agar mereka ikut serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat.’

‘Kalau penjabatnya justru melihat hal itu sebagai suatu atraksi untuk dikonsumsi turis, bagaimana, pa?’

‘He..he..he.. Ya nggak akan habis-habis. Tapi disitulah diuji ketekunan para ulama. Untuk menyeru kepada kebaikan. Untuk mengingatkan umat agar tidak mencampur-adukkan yang haq dengan yang bathil. Wa laa talbisul haqqa bil baathili wa taktumul haqqa wa antum ta’lamuun, firman Allah. Janganlah kamu campur-adukkan kebenaran dengan yang bathil. Dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran itu. Padahal kamu mengetahui.’ (Al Baqarah 42)

‘Begitu ya, pa.’

‘Ya, begitu.’

‘Lalu bagaimana dengan kebiasaan orang pergi berziarah kubur di hari menjelang puasa seperti yang kita lihat di Jakarta? Apakah itu ada tuntunannya pula?’

‘Menziarahi kubur ada tuntunannya. Ada hadits Nabi SAW tentang itu. Berziarah itu boleh dilakukan kapan saja. Yang paling utama dari berziarah kubur itu sebenarnya adalah mengingatkan kita, yang berziarah itu, kepada mati. Kepada kematian yang juga akan mendatangi kita. Bahwa kita suatu saat nanti juga akan jadi penghuni kubur. Doa yang diajarkan Nabi ketika kita berziarah adalah mengucapkan salam kepada ahli kubur yang Islam dan beriman lalu mengatakan bahwa kitapun, yang berdoa, suatu saat akan bergabung dengan mereka di alam kubur. Hanya itu yang kita lakukan. Ketika berziarah itu.’

‘Lalu bagaimana dengan orang yang datang berziarah ke kuburan, di hari-hari menjelang puasa, lalu menebarkan bunga, menyiramkan air dari kendi di kuburan itu, membaca surah Yasiin disana? Apakah itu amalan yang benar?’

‘Itu amalan yang tidak ada dalilnya. Amalan yang memperturutkan dugaan hati, seolah-olah dengan cara seperti itu si pelaku masih membina hubungan dengan orang yang ada di dalam kubur. Menebar bunga di atas kuburan. Apa maksudnya? Apakah supaya si mayat, yang sudah menjadi tulang belulang mencium harumnya bunga? Jelas tidak mungkin itu. Begitu juga dengan menyiramkan air dari kendi. Apakah maksudnya untuk mendinginkan udara dalam kuburan? Atau untuk minum mayat yang ada di dalamnya? Juga tidak mungkin yang demikian. Membaca surah Yasiin adalah suatu amalan, untuk yang membaca. Jadi tidak mesti dilakukan di atas kuburan.’

‘Pendapat orang yang membacakan itu agar pahalanya untuk si ahli kubur,’ istriku ikut menyela lagi.

‘Tidak ada hadits tentang membagi pahala dari sebuah amalan. Allah mengingatkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang diperbuatnya sendiri. Wa al laisa lil insaani ilaa maa sa’aa. (Dan bahwasanya manusia itu hanya memperoleh ganjaran dari perbuatan yang dilakukannya. (An Najm;39)).

‘Tapi kata mereka, kata teman-temanku, dengan cara seperti itu mereka menunjukkan rasa cinta mereka kepada keluarga yang sudah mati. Jadi cara itu tidak tepat ya, pa?’

‘Itu cinta bertepuk sebelah tangan namanya. Yang dicintai di dalam sana tidak akan merasakan kehangatan cinta dengan amalan seperti itu. Seandainya yang di dalam kubur itu orang tua, doakan saja mereka, mintakan ampunan atas dosa-dosa mereka, orang tua kita itu, tanpa harus datang ke kuburnya. Tapi kalau yang di dalam kubur itu hanya sebatas pacar, bukan keluarga kita, belum ada hubungan kekeluargaan dengan kita, bukan mahram kita, perbuatan ziarah kita dengan tabur bunga, dengan siraman air jelas tidak ada maknanya sama sekali buat si mayat dalam kubur.’

‘Tapi kenyatannya banyak sekali orang melakukan ziarah kubur khusus menjelang puasa sampai-sampai jalan dekat TPU macet total. Apakah seharusnya ulama juga memberikan pencerahan pula dalam hal ini menurut papa?’

‘Harusnya begitu. Kebanyakan masyarakat melakukan sesuatu tanpa ilmu, bahkan hanya karena ikut-ikutan. Padahal untuk beramal itu harus ada ilmunya.’

‘Di TPU banyak sekali ustad, atau orang yang pandai bedoa, yang mendapat permintaan dari penziarah untuk memanjatkan doa bahkan membacakan surah Yasiin. Bagaimana menurut papa?’

‘Ya itulah repotnya.’

‘Apa yang papa lakukan ketika menziarahi kuburan inyiak?’

‘Membaca doa seperti yang diajarkan Nabi SAW; Assalamu’alaikum ya ahliddiyaari, minal mukminiina wal muslimiina, wa innaa insya Allahu bikum la hiquun. Keselamatanlah bagi kalian wahai ahli kubur, orang-orang Mukmin dan orang-orang Muslim. Dan kami insya Allah juga akan menyusul di belakang.’

‘Papa tidak mendoakan inyiak?’

‘Papa mendoakan beliau lima kali sehari semalam. Sehabis shalat.’

‘Apakah dikuburan kita tidak boleh berdoa?’

‘Boleh saja. Tidak ada larangan.’

Kami mengakhiri diskusi di meja makan sampai disitu.



*****

Sunday, August 24, 2008

SILAT SELEPAS TARAWIH

SILAT SELEPAS TARAWIH

Kalau ada anak kecil tangka atau mada itu adalah hal biasa. Anak kecil yang kerjanya bergelut ketika orang sembahyang tarawih termasuk juga sesuatu yang biasa. Macam-macam ulah anak-anak kecil berumur kurang lebih sepuluh tahun, yang berada di shaf paling belakang. Berdorong-dorongan, tertawa cekikikan yang ditahan, membaca Amiin panjang-panjang dan keras sekali, sampai berperang-perangan kentut. Membuat heboh dan bergelut itu mereka lakukan pada saat sembahyang baru dimulai. Menjelang imam mengucapkan salam, mereka berubah seperti anak-anak manis. Tetapi ketika sembahyang tarawih dilanjutkan, mereka ulangi pula membuat heboh. Orang-orang tua bolehlah nyinyir menasihati, namun mereka tetap begitu juga.

Induk angkang tangka itu bernama Pudin, berumur tiga belas tahun. Sudah tidak anak-anak lagi dibandingkan dengan teman-temannya, namun perangainya benar-benar luar biasa. Kalau dilarang atau ditegor dia pasti melawan dengan bercarut. Siapapun yang memarahinya, pasti dipercarutinya. Dan orang-orang tua jadi malas menegornya. Sebenarnya lebih tepat dikatakan takut. Takut karena dia anak Gindo Baro, mantan sitokar oto, mantan pareman pasar, orang berbadan kekar yang cepat kaki ringan tangan alias pandeka.

Pada suatu malam, karena hebohnya sudah keterlaluan, Tuanku Mesjid mengusirnya keluar. Dia keluar dari mesjid setelah terlebih dahulu mempercaruti Tuanku Mesjid. Ketika orang melanjutkan sembahyang tarawih, si Pudin mengguguh tabuh sejadi-jadinya.

Siapa yang tidak akan menggeritih melihat tingkah anak kecil seperti itu?

Keesokan harinya, ketika orang baru saja mulai sembahyang tarawih, si Pudin kembali mengulangi perangainya memukul tabuh, berketintam-ketintam.

Malam itu Safril Sutan Mudo sudah habis kesabarannya. Anak kecil itu kalau dibiarkan akan semakin maingkek-ingkek perangainya. Safril Sutan Mudo yang baru akan takbir ketika mendengar bunyi tabuh berdentam-dentam, membatalkan niatnya untuk sembahyang. Dia keluar dari barisan dan bergegas ke belakang mesjid. Si Pudin kecil tidak takut sedikitpun. Semakin berjadi-jadi kulit sapi kering itu dihantamnya. Safril menangkap tangan kecil yang sedang mengguguh tabuh itu. Anak kecil itu bercarut kepadanya. Darah Safril mendidih. Kepala anak kecil itu ditekeknya. Dua kali.

Si Pudin lari sambil merarau-rarau. Sambil bercarut-carut bungkang. Dia pergi mengadu kepada ayahnya. Safril Sutan Mudo masuk kembali ke dalam mesjid meneruskan sembahyang tarawihnya.

Ketika orang baru selesai sembahyang witir, Gindo Baro sudah berdiri di pintu mesjid. Matanya merah membulancit. Dengan suara parau di panggilnya Safril.

‘Pirin! Keluar kau !’ katanya dengan suara menggelegar.

Jamaah mesjid sunyi senyap menahan nafas. Antara ragu dan takut. Tapi tidak demikian dengan Safril Sutan Mudo. Dia bangkit dari duduknya dan melangkah ke pintu mesjid.

Begitu sampai di pintu, tangan kekar Gindo Baro mencoba menangkap leher baju Safril Sutan Mudo. Dia berkelit dengan tenang dan terus melangkah ke luar.

‘Kau apakan anakku?’ sentak Gindo Baro, sekali lagi mencoba menangkap Safril.

‘Aku tekek. Aku tekek dua kali,’ jawab Safril sambil tetap berkelit.

‘Heh..heh.. kau pikir kau hebat ya. Pandai kau mengelak. Rasakan ini..’ kata Gindo Baro sambil menerjang ke depan.

Safril Sutan Mudo dengan mudah mengelak. Gindo Baro menerjang angin.

‘Anak tuan itu terlalu mada. Terlalu dimanja. Kerjanya mengacau saja. Makanya aku beri pelajaran agar mengerti sedikit tata tertib,’ Safril berkomentar begitu terhindar dari hantaman Gindo Baro.

‘Kencing, kau. Bedebah. Belum kau rasakan makan tanganku. Pandai-pandai kau memukul anakku,’ kali ini Gindo Baro berusaha menyepoh kaki Safril Sutan Mudo.

Safril melompat enteng. Dia hanya mengelak saja dari tadi. Gindo Baro kembali menyerang dengan hantaman. Lagi-lagi hanya menghantam angin.

‘Oooooh! Rupanya santiang silat kau. Baiklah. Kalau begitu biarlah dengan silat pula aku lawan bangkai busuk kau ini,’ Gindo Baro semakin mendidih.

‘Bukannya tuan sudah bersilat dari tadi? Sudah mengepoh-ngepoh bunyi angin karena sepak terjang tuan,’ Safril sedikit mencemeeh.

Diam-diam jemaah mesjid sudah berkerumun menonton pertandingan itu dari beranda mesjid.

Gindo Baro menarik nafas berkonsentrasi. Dipasangnya kuda-kuda silat, elang mencengkeram. Anak muda ini harus diberinya pelajaran. Harus dengan sebuah pelajaran yang telak sekali karena sudah berlapis-lapis dosanya.

Safril Sutan Mudo memandang penuh waspada. Dia juga memasang kuda-kuda. Matanya tidak berkedip dari kedua kaki Gindo Baro. Gindo Baro menarik langkah ke belakang dengan gerak tipu. Menghayunkan langkah ke depan. Masih dengan gerak tipu. Tangannya menari di udara. Memancing perhatian Safril Sutan Mudo. Lawannya ini tidak mau pula main-main. Sutan Mudo memperkuat posisi kuda-kudanya. Kedua kakinya terbuka lebar. Gindo Baro kali ini menerjang dengan gerak tipu ke arah kanan, tapi tiba-tiba kaki kirinya yang main. Safril Sutan Mudo sudah membaca gerakan itu. Sekali ini ingin dia sedikit memberi pelajaran. Kaki kiri yang menerjang itu disambutnya dan didorongnya kuat-kuat. Gindo Baro terkejut ketika menyadari bahwa gayungnya bersambut. Untunglah kuda-kudanya cukup kuat. Dia mundur tiga langkah dan berdiri kokoh. Sesudah itu dia kembali maju dengan loncatan tupai. Kakinya seolah-olah mempunyai per, dan tubuhnya berayun turun naik. Tangan Gindo Baro berputar di udara seperti tupai memutar buah pisang. Yang ditujunya kepala Sutan Mudo. Sutan Mudo menangkis tangan kanan Gindo Baro dan kakinya menyepoh kuda-kuda pendekar garang itu. Gindo Baro tidak pantas disebut pendekar kalau tidak bisa mengelak dari sepohan Sutan Mudo.

Persilatan itu berlangsung semakin seru. Safril Sutan Mudo lebih banyak mengelak saja dari tadi.

‘Kalau kita hentikan saja sampai disini bagaimana tuan ? Bukankah sudah cukup peluh alir keluar?’ tanya Safril dalam pertempuran yang tetap seru, sambil kembali mengelak dari jotosan tangan kanan Gindo Baro.

‘Anak kencing kau. Sebelum kutampar mukamu untuk membalas sakit anakku, aku belum akan berhenti,’ kali ini Gindo Baro mencoba menampar.

‘Saya takut, kita akan berhabis hari saja. Kalaulah perlu saya minta maaf karena sudah menekek si Pudin, biarlah saya minta maaf,’ jawab Sutan Mudo kembali berkelit. Dari tadi dia lebih banyak terlihat seperti menari-nari saja.

‘Tidak bisa begitu bedebah ! Kau harus kutampar. Baru langsai hutang,’ jawabnya, kali ini sambil bersalto dengan gerakan satu kaki dan dua tangannya menyerang di tiga titik, menuju pelipis, dada dan selangkangan Sutan Mudo.

Yang diserang merunduk dan meliuk. Lagi-lagi hanya angin yang jadi sasaran.

‘Tuan akan berhabis hari. Sudah sebanyak itu tuan menampar dari tadi, sudah berlapoh-lapoh bunyi angin. Hari sudah semakin larut juga, apakah tidak sebaiknya kita berhenti saja ?’

‘Tidak perlu kau banyak cingcong bedebah. Hutang harus berbayar, piutang berterima. Akan kupecahkan kepala bebalmu itu. Biar berkapas hidungmu,’ katanya semakin garang.

‘Tidak baik begitu tuan. Ini bulan suci. Berdosa besar kita,’ jawab Sutan Mudo sambil tetap seperti orang menari-nari.

‘Keluarkan semua silat kau Pirin. Jangan hanya mengelak-elak saja kepandaianmu.’ Gindo Baro berusaha memancing emosi Sutan Mudo.

‘Tidak baik menyakiti orang tuan. Ini bulan puasa. Tidak baik, berdosa kita.’

‘Bangkai mak kau. Anakku kau pukul, pandai pula kau berketubah. Kau rasakan ini,’ kata Gindo Baro kembali menerjang.

‘Anak tuan itu nakal. Kerjanya menggaduh orang sembahyang. Itu sebabnya aku tekek.’

‘Tidak ada hak kau memukul anakku, bedebah. Kau benar-benar harus mati ditanganku!’

‘Mengucaplah tuan. Baca istighfar. Tuan sesat namanya,’ Sutan Mudo meliukkan badannya.

‘Manusia pancirugahan kau. Hanya itu saja kepandaianmu? Hanya menari-nari itu saja kepandaianmu?’

‘Tidakkah tuan penat menerjang-nerjang angin sedari tadi? Lebih baik kita berhenti saja. Banyak lagi yang lebih elok dikerjakan.’

‘Boleh. Tapi kau rasakan dulu ini....’ Gindo Baro kembali menyerang dengan kaki dan tangannya ke arah dada Sutan Mudo.

‘Benar-benar berkandak tuan kelihatannya,’ Sutan Mudo mulai habis kesabarannya.

Pencirugahan kau bedebah. Bersilatlah seperti pendekar. Jangan hanya menari-nari saja. Biar kucoba menahan makan tangan burukmu itu,’ Gindo Baro memancing.

‘Kalau begitu baiklah. Saya mohon maaf sebelumnya, tuan,’ katanya sambil melangkah lincah.

Tubuh Safril Sutan Mudo berputar cepat. Berdesir keras bunyi angin. Tangannya yang menari-nari di udara juga menimbulkan desiran. Gindo Baro gugup melihatnya. Alangkah cepatnya gerakan anak muda itu. Entah dari mana dia akan menyerang. Gindo Baro berusaha mengimbangi gerakan berputar Sutan Mudo itu dengan menyerang pula berayun-ayun. Tapi tiba-tiba......., plak-plak. Dua tamparan mendarat di pipi kiri dan kanannya.

Gindo Baro terhuyung dan melompat mundur. Dari balik bajunya dikeluarkannya sebilah pisau siraut. Dia kembali menerjang dengan menggunakan pisau yang berkilat-kilat itu. Pisau itu seperti taji ayam saja di tangannya.

Orang yang menonton dari beranda mesjid terkesiap melihat kilatan pisau. Tapi tidak berani berbuat apa-apa. Apakah akan terjadi pertumpahan darah? Di pekarangan mesjid? Di bulan suci ini?

Kedua pendekar itu masih bersilat dengan seru. Berdesir-desir bunyi angin. Perkelahian itu sudah berlangsung lima belas menit. Yang sebelumnya terlihat seperti main-main karena Safril Sutan Mudo memang terlihat seperti menari-nari saja. Tapi kali ini lebih menegangkan. Silat Gindo Baro ternyata lebih bagus dengan menggunakan senjata pisau siraut.

Safril Sutan Mudo menyadari itu. Dia berusaha bersilat lebih hati-hati. Namun tetap dengan keinginan tidak untuk melukai lawannya. Sementara sang lawan sangat bernafsu untuk menghabisinya.

Setelah beberapa jurus, Sutan Mudo menangkap bahwa gerakan Gindo Baro dari kiri selalu lemah. Setiap kali dia berusaha menerjang dari arah itu dia selalu terhuyung. Sekarang Sutan Mudo menyerangnya dari arah itu. Benar saja, siku tangan kanan Gindo Baro yang memegang pisau siraut dapat ditangkapnya dan pisau itu berhasil direbutnya. Gindo Baro terkesiap. Dia melompat mundur.

‘Bagaimana tuan? Sudah cukup?’

‘Satu hari akan kubunuh kau. Percayalah!’ ujar Gindo Baro yang mulai merasa jeri.

‘Tidak baik, tuan. Membunuh itu dosa besar,’ jawab Sutan Mudo.

‘Kali ini aku mengaku kalah. Tapi hutang akan berbayar. Kau tunggu masanya,’ kata Gindo Baro, dia bersisurut sebelum melangkah pergi.


*****