Wednesday, December 31, 2008

ACARA MALAM TAHUN BARU

ACARA MALAM TAHUN BARU

Hamid, seorang teman lama menelponku.

‘Kami akan mengadakan zikir dan shalat lail berjamaah di malam tahun baru. Mau ikut?’ tanyanya.

‘Tidak,’ jawabku mantap.

‘Wuih, mantap betul jawaban tidak kau. Tanpa dipikir sedikitpun. Benar nih, nggak mau ikut?’ tanyanya lagi.

‘Benar,’ jawabku bersungguh-sungguh.

‘Ada apa dengan kau? Ada acara tahun baruan yang lain?’ tanyanya lagi penuh selidik.

‘Tidak ada. Aku seperti biasa akan di rumah saja. Tidur pada waktunya. Tidak ada acara apa-apa,’ aku mencoba menjawab sedikit panjang lebar.

‘Aneh, kau. Diajak pergi beribadah kau tolak. Biasanya kau tidak seperti itu yang aku tahu,’ dia mulai bergerilya.

‘Tidak ada yang aneh. Aku biasa-biasa saja,’ jawabku.

‘Boleh aku datang ke rumahmu? Kita ngobrol-ngobrol?’ tanyanya lagi.

‘Silahkan. Silahkan kapan saja kau mau mampir,’ jawabku sungguh-sungguh.

Hamid datang beberapa hari kemudian. Kami terlibat dalam obrolan basa-basi sebentar sebelum dia mengulangi lagi ajakannya.

‘Aku bersungguh-sungguh mengajakmu menghadiri acara shalat malam berjamaah di malam tahun baru,’ katanya.

‘Aku juga bersungguh-sungguh mengatakan bahwa aku tidak akan ikut,’ jawabku.

‘Kenapa?’ tanyanya penasaran.

‘Karena tidak mau saja,’ jawabku singkat.

‘Bagaimana kalau kita lakukan shalat malam berjamaah di kedua malam tahun baru? Maksudku, di malam tahun baru Hijriyah dan tahun baru Masehi?’ tanyanya pula.

‘Jadi maksudmu, yang tadi itu memang di malam tahun baru Masehi ?’ aku balik bertanya.

‘Ya. Kenapa? Kau mau ikut?’

‘Jelas tidak,’ jawabku.

‘Seandainya hanya di tahun baru Hijriyah? Kau mau?’

‘Jelas tidak,’ jawabku, berusaha tersenyum.

Hamid makin penasaran. Dia memandangku dengan pandangan aneh.

‘Aku tahu. Karena menurut kau amalan seperti itu hanya dibuat-buat. Jadi bid’ah. Rupanya begitu?’ katanya di ujung kepenasarannya.

Aku hanya tersenyum.

‘Jadi memang demikian rupanya. Kau menganggap shalat berjamaah di malam tahun baru itu mengada-ada. Begitu bukan? Mengerjakan shalat kau anggap mengada-ada?’ dia tetap penasaran.

‘Begini. Untuk diriku, aku tidak mau mengerjakannya. Untuk orang lain aku tidak mau mengomentari,’ kataku.

‘Aku tidak bisa memahami bahwa mengerjakan shalat malam kau anggap perbuatan mengada-ada. Apakah kau tidak mengerjakan shalat malam ?’

‘Insya Allah aku juga mengerjakan shalat malam. Tapi aku tidak mau mengerjakan dengan ritual khusus. Pada acara yang dibuat khusus. Pada kesempatan khusus dan dengan aturan khusus. Dan ini, sekali lagi hanya untukku. Aku tidak akan mencela dan melarang orang yang melakukannya,’ aku mencoba menjelaskan.

‘Memangnya salah, ya ?’ tanya lagi.

‘Hei, hei, hei. Aku tidak mau menyalah-nyalahkan siapa-siapa. Tapi aku juga tidak mau mengerjakan sesuatu yang tidak ada keyakinanku di dalamnya. Yang aku tidak yakin ada contohnya dari Nabi SAW.’

‘Ooo, jadi begitu.’

‘Ya, begitu.’

‘Apa saja acara kau biasanya di malam tahun baru?’

‘Seperti acara di malam-malam yang lain. Aku tidur pada waktunya. Bangun pada waktunya. Shalat seperti biasa,’ jawabku.

‘Termasuk shalat malam?’

‘Insya Allah.’

‘Kalau untuk dirimu sendiri, disamping karena tidak ada contoh, seperti kau katakan, apakah malam tahun baru itu tidak perlu ditandai secara khusus?’

‘Tidak perlu. Dan lagi pula untuk apa?’

‘Untuk mengenalinya sebagai tanda waktu. Supaya kita tahu sudah sampai dimana keberadaan kita, misalnya. Apakah itu salah?’

‘Untuk mengenalinya cukuplah ada kalender. Kau mengenali bahwa hari ini tanggal sekian. Dan hari ini hari pertama dalam satu minggu, dalam satu bulan, dalam satu tahun. Silahkan saja kau kenali tanda-tanda itu. Tapi kan tidak perlu adanya perlakuan khusus. Tidak perlu ada acara khusus. Acara yang dikemas khusus.’

Hamid menarik nafas dalam-dalam.

‘Sebenarnya, acara shalat malam di malam tahun baru itu adalah untuk mengajak orang-orang menghindari acara hura-hura,’ katanya mencoba mengalihkan pembicaraan.

‘Bagus itu,’ kataku.

Kali ini dia menatapku tajam.

‘Tapi kenapa kau tidak mau ikut?’

‘Bukankah sudah ada kau yang mengajak. Kenapa pula aku mesti ikut-ikutan lagi? He..he..he..’

‘Kenapa kau tertawa? Maksudnya jelas untuk syiar.’

‘Nah, itu dia. Apa ada syiar malam tahun baru? Malam tahun baru Masehi?’

‘Syiar agama itu kan boleh dilakukan kapan saja. Apa bukan begitu?’

Hamid penasaran.

‘Kau justru jadi terbalik-balik. Mengajak orang kepada kebaikan untuk syiar agama itu boleh dilakukan kapan saja. Benar demikian. Jadi tidak perlu membuat acara pada hari-hari khusus.’

‘Bagaimana dengan pengajian atau ceramah agama pada hari-hari khusus? Apakah itu juga sesuatu yang dibuat-buat?’

‘Meskipun yang seperti itu juga tidak ada contohnya, tapi masih mungkin bisa dipahami selama dalam pengajian itu dibahas tentang makna dari hari-hari khusus itu. Misalnya pembahasan tentang peristiwa isra’ dan mi’rajnya Rasulullah, makna dari pertukaran tahun di awal tahun hijriyah dan sebagainya.’

‘Apa bedanya kalau begitu dengan melakukan shalat malam di malam tahun baru?’

‘Ya jelas beda. Melakukan shalat malam yang dikhususkan di malam tahun baru itu sama seperti kau merayakan, membesar-besarkan, mengkhususkan malam itu. Yang padahal tidak ada bedanya dengan malam-malam yang lain. Orang yang tidak faham nanti akan menganggap bahwa shalat malam di malam tahun baru itu sebuah aturan dalam agama Islam. Padahal bukan demikian. Shalat malam boleh dilakukan di malam apa saja.’

‘Tapi shalatnya sendiri tidak masalah kan?’

‘Shalatnya sendiri, shalat malamnya sendiri tidak ada masalah. Silahkan lakukan shalat malam kapan saja di waktu malam. Tapi tidak mesti dikhususkan. Begitu pemahamanku. Dan untuk diriku sendiri, tentu saja.’

‘Bagaimana seandainya pada malam tahun baru kau diundang ke pengajian agama tapi pada malam itu juga diadakan shalat malam berjamaah?’

‘Maksudmu? Ceramah agamanya dilakukan tengah malam?’

‘Katakan misalnya, ceramahnya dilakukan sesudah waktu isya, berakhir sampai jam satu malam, lalu diakhiri dengan shalat malam.’

‘He..he..he.. Boleh juga kegigihanmu. Apa ada ceramah agama dilakukan selama itu? Tapi baiklah. Akan aku lihat dulu kondisi kesehatanku. Dalam keadaan seperti itu, seandainya memang ada, mungkin aku akan datang untuk mendengarkan ceramahnya dan setelah itu pulang. Shalatnya akan kulakukan sendiri di rumah.’

‘Jadi maksudnya, kau tidak suka atau tidak mau shalat malam berjamaah?’

‘Bukan juga begitu. Aku biasa hadir pada saat shalat tarawih berjamaah.’

Hamid seperti kehabisan bahan. Lama dia terdiam. Aku tersenyum memandangnya.

‘Jadi kesimpulannya, pada dasarnya kau tidak suka merayakan atau mengenang hari pergantian tahun.’

‘Aku hanya mencatatnya saja. Tidak merayakan dan tidak pula mengenang.’

‘Bagaimana dengan hari kelahiranmu? Hari ulang-tahunmu? Kau tidak mengenangnya juga?’

‘Tidak,’ jawabku.

‘Kau tidak merayakannya? Tidak adakah orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu?’

‘Anak-anak dan istriku kadang-kadang ikut latah mengucapkan selamat ulang tahun. Dan aku selalu mengingatkan kepada mereka bahwa ulang tahun itu bukan untuk diselamat-selamati. Apalagi untuk dirayakan dengan melagukan panjang umur. Untuk setiap hari yang kita jalani, untuk setiap bulan, bahkan setiap tahun, artinya semakin dekat kita kepada akhir jatah hidup kita. Aku tidak berani merayakannya karena aku belum yakin bahwa aku sudah benar-benar selamat. Bahwa aku sudah benar-benar siap menghadapi hari yang terakhir itu.’

‘Kau yakin kau tidak sedang berlebih-lebihan?’

‘Kau menganggapku berlebih-lebihan?’ aku balik bertanya.

Dia memandangku, kembali dengan pandangan agak aneh.

‘Dan kau tidak pernah mengucapkan ucapan selamat ulang tahun kepada istri dan anak-anakmu?’

‘Aku mengingatkan mereka pada hari ulang tahun mereka. Tapi ya itu lagi. Sambil menyadarkan mereka bahwa bertambahnya umur berarti berkurangnya jatah hidup.’

‘Bagaimana dengan teman-temanmu? Maksudku, kau tidak pernah mengucapkan selamat ulang tahun kepada mereka atau sebaliknya kau mengingatkan mereka tentang jatah hidup mereka yang semakin berkurang?’

‘Tergantung situasinya. Kalau teman itu cukup akrab dan dekat denganku aku cenderung mengingatkannya juga.’

Hamid kembali terdiam. Kali ini dia tersenyum. Tersenyum agak kecut.

‘Baiklah. Aku menghormati pendapatmu,’ kata Hamid pada akhir perbincangan kami.

‘Aku juga menghormati pendapatmu untuk beramal,’ aku menimpali.


*****

Friday, December 26, 2008

SANG AMANAH (108)

(108) (Tamat)

Keempat orang guru itu masih tinggal di ruangan itu melanjutkan diskusi ngalor ngidul mereka. Mereka baru akan mengajar pada jam pelajaran berikutnya. Sementara itu pak Umar pergi berwudhuk ke kamar kecil di samping kantor guru-guru dan kembali ke kantornya untuk shalat.

Kira-kira sepuluh menit kemudian, dari kantor pak Umar terdengar suara pak Umar mengucapkan Allahu Akbar agak keras diiringi suara benda jatuh. Keempat orang guru itu kaget mendengar suara itu. Pak Mursyid langsung berdiri dan melangkah ke arah ruangan pak Umar. Baru saja sampai di pintu ruangan itu, dia menjerit kaget.

‘Ya Allaah. Pak Umar kenapa…………?’ katanya sambil berlari menghampiri pak Umar.

Ketiga guru yang lain berhamburan menyusul pak Mursyid. Pak Umar terbaring miring di sajadahnya. Pak Mursyid meluruskan tubuh pak Umar. Nafas pak Umar tersengal-sengal. Pak Hardjono mengajak guru-guru itu mengangkat pak Umar ke mobil untuk segera dibawa ke rumah sakit. Mereka berempat berusaha mengangkat pak Umar. Pak Mursyid tidak lepas-lepasnya memperhatikan wajah pak Umar. Mata pak Umar terbuka tapi pandangannya menerawang. Nafasnya mulai pelan. Mulut pak Umar bergumam.

‘Laa ilaha illallaah………,’ pak Umar tersenyum dan semuanya berhenti.

Saat itu jam menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh tujuh menit. Guru-guru itu panik. Pemandangan apa ini? Mereka berempat sedang berusaha mau menggotong pak Umar. Tapi tiba-tiba wajah itu……… sudah tidak bereaksi apa-apa lagi. Pak Mursyid mengisyaratkan agar tubuh pak Umar diturunkan kembali. Tubuh itu mereka turunkan ke lantai, dengan bagian kepalanya masih di pangkuan pak Mursyid. Pak Mursyid meraba nadi di tangan pak Umar. Sudah tidak ada.

‘Innaa lillahi wainna ilaihi raaji’uun…….., pak Umar sudah tidak ada,’ ujar pak Mursyid sendu.

Pak Hardjono kelihatan panik sekali. Dia mundar mandir dalam ruangan kantor pak Umar sambil tangan kanannya meninju-ninju telapak tangan kirinya. Pas Kus terduduk bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat. Pak Wayan gemetaran sambil memijit-mijit kaki pak Umar. Kejadian yang berlangsung dalam beberapa puluh detik itu sungguh sangat sulit untuk dimengerti. Beberapa menit yang lalu mereka masih berdiskusi dengan pak Umar. Tidak terlihat tanda-tanda apapun. Bahkan waktu pak Umar menyalami mereka satu persatu barusan. Tidak ada prasangka. Tidak ada sedikitpun hal yang mencurigakan. Pak Umar tampak sangat biasa-biasa saja. Tidak terlihat seperti orang sakit. Dan memang dia tidak sakit.

Pak Mursyid yang masih sibuk memegang pergelangan pak Umar, mencari-cari denyut nadinya, akhirnya berkata lirih:

‘Maaf bapak-bapak. Pak Umar benar-benar sudah pergi. Maaf kalau saya terkesan mengatur. Pak Kus, tolong pak Kus ambil beberapa lembar sajadah di mesjid. Biar kita baringkan pak Umar di ruangan ini. Kalau pak Kus melihat guru-guru lain langsung diajak ke sini saja. Pak Hardjono, tolong pak Hardjono panggilkan Faisal anak pak Umar di kelas satu A. Pak Wayan, tolong pak Wayan ke rumah sakit Harmoni, bawa seorang dokter untuk memastikan keadaan pak Umar ini. Saya akan memeluk pak Umar sampai beliau kita baringkan di tikar,’ ujar pak Mursyid.

Ketiga orang guru itu langsung keluar untuk menjalankan yang dimintakan pak Mursyid. Pak Kus berlari-lari kecil mengambil sajadah ke mesjid sekolah. Pak Hardjono masuk ke kelas satu A. Dia tidak bisa menahan air matanya yang jatuh bercucuran. Pak Muslih yang sedang mengajar di kelas itu terheran-heran. Pak Hardjono membisikkan sesuatu di telinga pak Muslih. Pak Muslih seperti mendengar petir, dia menutup mukanya dengan kedua tangannya. Pak Hardjono menghampiri Faisal.

‘Faisal, kamu ikut bapak. Tapi kamu harus sabar. Kamu harus sabar….. Kamu dengar…..? Mari ikut bapak,’ujar pak Hardjono setengah berbisik.

Faisal langsung berdiri mengikuti pak Hardjono. Anak itu terlihat bingung. Pak Muslih ikut mengiring di belakang. Kelas itu tiba-tiba gaduh. Murid-murid kelas satu A ikut ramai-ramai keluar. Mereka semua ingin tahu apa yang terjadi. Sampai di kantor guru, murid-murid yang banyak itu ragu-ragu mau ikut masuk karena di kantor itu tidak ada siapa-siapa.

Tiba-tiba dari ruangan pak Umar terdengar jeritan tertahan Faisal.

‘Ayaaaaaah……….. Ya Allaaaaah……….. Ayaaah…… ayaaah…kenapa ayaaaah???’

Faisal memeluk dan menciumi ayahnya yang sudah terbaring tak berdaya di lantai beralaskan sajadah. Diguncang-guncangnya tubuh ayahnya itu dengan perasaan yang tidak menentu sambil menangis terisak-isak. Pak Hardjono dan pak Mursyid memegangi dan mengurut-urut punggung Faisal. Pak Hardjono tidak dapat menahan tangisnya. Mendengar suara itu murid-murid kelas satu A berebut masuk ke ruangan pak Umar sehingga berdesak-desak. Anak-anak perempuan mulai menangis menjerit-jerit begitu melihat pak Umar tergeletak di lantai.

Pak Wayan datang dengan seorang dokter dari rumah sakit Harmoni. Beberapa orang guru yang lain ikut berdatangan ke kantor pak Umar. Ibu Sofni, ibu Lastri, ibu Purwati, ibu Sarah, ibu Rita, semua menangis terisak-isak. Ruangan kantor guru dan kantor pak Umar penuh sesak. Dokter itu mencoba mendengarkan detak jantung pak Umar dengan menggunakan stetoskopnya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih dicobanya menekan perut dan dada pak Umar. Tidak ada reaksi apa-apa. Pak Umar tetap diam, kaku.

‘Bapak ini kena serangan jantung. Dia sudah tidak ada,’ ujar dokter itu.

‘Apa yang seharusnya kita lakukan?’ tanya pak Mursyid.

‘Tidak ada lagi tindakan yang bisa dilakukan. Bapak ini sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang mungkin diupayakan. Kecuali kalau beliau mau di visum,’ dokter itu menambahkan.

Pak Mursyid menoleh kepada Faisal. Anak itu masih menangis terisak-isak sambil memandang wajah ayahnya. Diciuminya wajah itu berulang-ulang. Pak Mursyid membujuknya agar bersabar.

‘Kamu harus tabah, Faisal. Ayahmu orang yang sangat baik. Kamu harus tabah dan sabar,’ ujar pak Mursyid.

Pak Hardjono mengingatkan Faisal.

‘Saya akan pergi menjemput ibumu. Biar kita bawa dulu ibumu ke sini sebelum kita bawa ayahmu pulang. Apakah kamu mau ikut menjemput ibumu?’ tanya pak Hardjono.

Faisal hanya sanggup mengangguk.

‘Kalau begitu pak Hardjono jemput juga adik-adik Faisal di sekolah mereka. Kamu jemput adik-adikmu dan kamu harus berusaha menenangkan mereka, kamu sanggup Faisal?’ pak Mursyid mengingatkan Faisal.

Faisal kembali mengangguk lemah, masih terisak-isak. Sebelum berangkat diciuminya wajah ayahnya kembali.

Pak Hardjono dan Faisalpun berangkat. Pak Mursyid minta bantuan untuk meminjam mobil ambulan kepada dokter yang sudah mau kembali ke rumah sakit. Dokter itu menyanggupi untuk mengurusnya dan mengajak pak Wayan ikut bersama-sama kembali ke rumah sakit. Atas saran pak Darmawan, tubuh pak Umar dipindahkan ke ruangan guru-guru yang lebih lega. Beberapa buah meja di ruangan itu dikeluarkan. Ruangan itu memang lebih luas. Tapi ruangan itu tetap penuh sesak. Di luar ruangan murid-murid yang lain berdesakan ingin masuk melihat keadaan pak Umar. Akhirnya pak Mursyid meminta murid-murid itu bergantian masuk secara tertib dan tidak berlama-lama di dalam ruangan guru. Beberapa orang murid-murid, di antaranya Arif, membaca al Quran dengan suara lirih di samping jasad pak Umar. Arif bahkan mengaji sambil menangis terisak-isak.

Jam dua belas kurang seperempat ibu Fatimah dan anak-anaknya datang. Ibu Fatimah sangat tegar. Matanya merah akibat menangis tapi tidak sedikitpun keluar keluh kesah dari mulutnya. Fauziah menangis terisak-isak begitu pula dengan Amir. Tubuh pak Umar sudah ditutupi dengan kain. Ibu Fat membuka tutup itu dan memandangi wajah suaminya. Air matanya semakin deras mengalir. Fauziah menjerit menyebut ‘Ya Allah….. ya Allah….ayah……. ayah……,’ sambil menciumi pak Umar. Amir dan Faisal juga menangis terisak-isak. Amir menciumi kaki ayahnya. Guru-guru, terutama guru wanita tidak kuasa menahan tangis mereka melihat pemandangan yang mengharukan itu.

Beberapa menit kemudian, pak Mursyid mengingatkan semua yang hadir di ruangan itu untuk membawa dan memindahkan jenazah pak Umar ke rumah. Sebelumnya pak Mursyid menanyakan kepada ibu Fatimah, apakah jenazah itu akan dimakamkan hari itu juga. Ibu Fatimah menjawab iya, bahkan segera akan dimakamkan. Pak Mursyid mengumumkan melalui pengeras suara, bahwa jenazah pak Umar akan segera dibawa pulang ke rumahnya untuk di selenggarakan dan akan dimakamkan segera sesudah itu.

Dengan ambulan jenazah pak Umar dibawa ke rumah kediamannya di kompleks perumnas Jatiwangi Pondok Gede. Semua guru-guru, pegawai Tata Usaha dan hampir semua murid-murid ikut mengantarkannya. Di rumah duka sudah banyak warga yang berkumpul menunggu kedatangan jenazah. Termasuk paman Haris dan paman Usman dua orang adik pak Umar yang tinggal tidak jauh dari sana. Hampir semua warga yang mendengar berita mengagetkan itu pulang dari tempat mereka bekerja. Semua kaget. Hampir semua jamaah shalat subuh tadi pagi tersentak sadar, bahwa shalat subuh tadi pagi ternyata shalat perpisahannya pak Umar. Pantasan tadi subuh pak Umar meminta maaf kepada jamaah. Rupanya alam bawah sadar pak Umar sudah mengetahui bahwa mereka akan berpisah.

Pengunjung yang terdiri dari murid-murid pak Umar yang sebanyak itu jelas tidak mungkin tertampung di rumah duka. Petugas mesjid mengumumkan melalui pengeras suara, bahwa jenazah pak Umar akan segera dimandikan dan dikafani dan segera dibawa ke mesjid untuk dishalatkan. Para pelayat boleh menunggu di mesjid Al Muhajirin. Para pelayat yang lain masih berdatangan. Berita meninggalnya pak Umar menyebar dengan cepatnya.

Penyelenggaraan jenazah itu dilaksanakan dengan sangat cepat. Tidak sampai sepuluh menit sesudah berada di rumah, jenazah pak Umar sudah siap untuk dimandikan. Ibu Fatimah dan anak-anaknya yang memandikan, dibantu dua orang adik kandung pak Umar serta beberapa orang jamaah mesjid. Ibu dan anak-anak itu sudah berhasil menguasai rasa sedih di hati mereka. Mereka segera sadar bahwa yang sudah berlaku ini adalah takdir Allah dan tidak ada suatu apapun yang akan dapat merubahnya kembali. Mereka semua sudah terlatih untuk beriman dengan takdir yang berlaku. Tidak ada yang cengeng. Tidak ada yang perlu diratapi. Mereka kembalikan semua rasa duka yang dalam ini ke bawah naungan ridha Allah.

Dengan penuh kasih sayang mereka mandikan jasad yang sudah tidak berdaya itu. Jasad orang yang sangat mereka cintai sepenuh hati. Dan yang sangat mencintai mereka sepenuh hati. Tubuh pak Umar masih lembut. Wajahnya masih tetap membawa seuntai senyumnya yang terakhir. Beliau terlihat seperti orang sedang bermimpi indah dalam tidurnya.

Jam dua kurang sepuluh menit jenazah pak Umar sudah selesai dikafani dan segera diusung ke mesjid Al Muhajirin. Warga berebutan ingin ikut serta mengusung jenazah itu. Para pelayat masih banyak yang belum melakukan shalat zuhur. Pak Abdus Salam mengumumkan agar para pelayat yang belum shalat zuhur melaksanakan shalat zuhur terlebih dahulu dan sesudah itu mereka akan menyalatkan jenazah pak Umar.

Mesjid itu tidak muat menampung semua pelayat yang ingin ikut menyalatkan jenazah pak Umar. Mereka bukan saja warga kompleks perumahan dan murid-murid SMU 369 tapi juga dari sekolah Amir, guru-guru Fauziah serta guru-guru dan murid SMU 267 tempat pak Umar dulu mengajar. Banyak juga orang tua murid yang hadir. Pak Suryanto dan ibu Ningsih yang bukan main kaget mendengar berita kematian pak Umar. Ibu Ningsih sampai sembab matanya karena menangis. Dia sangat berhutang budi kepada pak Umar.

Oleh pak Abdus Salam akhirnya diumumkan bahwa shalat jenazah akan dilaksanakan dua kali. Shalat yang pertama dipimpin oleh Faisal putera tertua pak Umar. Shalat yang kedua kalinya dipimpin oleh pak Abdus Salam. Ternyata masih banyak jamaah yang tidak mendapat tempat pada shalat yang kedua kali itu. Satu rombongan lagi melakukan shalat jenazah sesudah itu dipimpin oleh pak Sofyan yang datang agak terlambat.

Sebelum berangkat ke pemakaman ada acara pelepasan jenazah. Pak Ketua RW Kompleks Jatiwangi, pak Abdus Salam mewakili pengurus mesjid, pak Sofyan mewakili guru-guru SMU 369, bapak Ir. Danutirta Ketua POMG SMU 369, ketua OSIS, bergantian memberikan sambutan dan ucapan selamat jalan kepada pak Umar. Pak Sofyan dan ketua OSIS meyampaikan sambutan mereka sambil terisak-isak. Suasana haru tidak dapat dibendung setiap kali sambutan demi sambutan itu disampaikan. Semua menyatakan keterkejutan mereka dengan kepergian pak Umar yang begitu mendadak. Semua memuji pak Umar atas pergaulannya yang sangat baik dengan siapa saja selama hidupnya. Pak Umar adalah seorang sosok yang sangat istimewa di mata siapa saja yang pernah bergaul dekat dengannya. Seorang yang rendah hati. Seorang yang sangat penyantun. Kepergian pak Umar secara sangat tiba-tiba seperti itu sungguh sangat mengejutkan setiap orang yang mendengarkan berita itu. Tetapi memang begitulah kalau Allah Subhanahu wa ta’alaa berkehendak.

Menjelang jam tiga jenazah diantarkan ke taman pemakaman umum Pondok Kelapa. Luar biasa banyaknya yang ikut mengantar. Suasana haru kembali terlihat ketika jenazah pak Umar dimasukkan ke liang lahat. Paman Usman, dibantu Faisal dan Amir yang menerima dan memasukkan jasad ayah mereka ke liang lahat itu. Dengan tegar. Harus dengan tegar.

Selesailah acara pemakaman itu. Rombongan besar pelayat itu kembali pulang ke rumah mereka masing-masing. Dengan rasa duka yang tertoreh sangat dalam. Semua merasa kehilangan atas kepergian pak Umar. Seorang ayah, seorang suami, seorang kakak, seorang imam, seorang atasan, seorang guru, seorang kawan. Yang sangat penyantun. Yang selalu mau mendengarkan. Yang selalu siap menolong. Yang tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada yang tidak terkejut mendengar kematian pak Umar. Hampir semua orang yang mengenal pak Umar mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang sangat baik luar biasa. Allah menginginkan agar orang sebaik pak Umar segera kembali kepadaNya. Meskipun usianya masih sangat muda. Baru empat puluh lima tahun.

Tinggallah pusara dengan onggokan tanah merah itu kini. Dengan hanya sebuah batu kali sebagai nisan. Dan akan seperti itulah makam itu adanya. Sesuai dengan sunnah Rasulullah seperti yang selalu diingatkan pak Umar kepada keluarganya, agar kuburan jangan ditembok dan dihiasi.


T a m a t

SANG AMANAH (107)

(107)


Entah kenapa mesjid Al Muhajirin agak berbeda subuh ini. Jamaahnya banyak sekali. Kalau biasanya bapak-bapaknya hanya dua shaf kurang yang shalat subuh, hari ini mencapai tiga shaf penuh. Ditambah shaf ibu-ibu. Keseluruhan jamaah itu ada sekitar delapan puluh orang. Jumlah jamaah mesjid ini selalu bertambah dari hari ke hari meskipun secara pelan-pelan sejak awal keberadaannya. Pak Umar masih ingat waktu awal-awal mesjid ini dibangun kira-kira sepuluh tahun lebih yang lalu, hanya beberapa gelintir saja yang rajin datang untuk ikut berjamaah.

Pagi ini harusnya yang jadi imam pak Abdus Salam. Biasanya dia selalu bergantian dengan pak Umar. Kemarin pak Umar mengimami shalat subuh, shalat maghrib dan isya. Maka hari ini giliran pak Abdus Salam. Selalu begitu. Tapi pagi ini pak Abdus Salam minta pak Umar jadi imam. Katanya tenggorokannya sakit. Walaupun merasa agak aneh karena belum pernah hal seperti itu terjadi, pak Umar menerima. Ia maju jadi imam untuk memimpin shalat. Pak Umar membaca surah Ar Rahman. Entah karena terlalu khusyuk atau entah kenapa, pak Umar menangis dalam shalat itu. Terisak-isak. Begitu pula pada rakaat kedua, waktu dia melanjutkan surah yang sama. Kembali dia terisak-isak. Pernah juga pak Umar sampai sesenggukan waktu membaca ayat al Quran dalam shalat, tapi sampai terisak-isak baru sekali ini. Beberapa orang jamaah, yang mungkin sedikit-sedikit paham apa yang dibaca imam, ikut tersengguk-sengguk.

Sesudah shalat semua jamaah biasanya larut dalam zikir masing-masing di dalam hati. Sebelum zikir, berbeda dengan biasanya, kali ini pak Umar menyampaikan sesuatu. Intinya dia minta maaf kalau kekhusyukan para jemaah terganggu disebabkan dia menangis dalam shalat tadi.

‘Sekali lagi saya mohon maaf. Entah kenapa hati saya luluh benar ketika membaca ayat-ayat Allah itu tadi. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni kita, karena kekeliruan yang kita buat, karena kesalahan-kesalahan kita. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada bapak-bapak dan ibu-ibu para jamaah shalat subuh yang dirahmati Allah. Maukah bapak-bapak dan ibu-ibu memaafkan saya?’ tanya pak Umar.

‘Mauuuuu,’ jawab jamaah itu serentak. Dalam hati mereka bertanya-tanya. Kenapa pak Umar sampai berkata begitu.

Setelah selesai dengan zikir, seperti biasa jamaah itu bubar satu persatu. Pak Umar bergegas pulang karena harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Mereka sarapan seperti biasa. Sesudah itu masing-masing berangkat ke sekolah. Yang berbeda sekarang, Fauziah tidak lagi diantar ayah naik Vespa. Dia berangkat bersama Amir. Faisal yang sekarang ikut ayah karena mereka satu tujuan.

Amir dan Fauziah lebih dulu berangkat karena mereka akan naik kendaraan umum. Sesudah berpamitan kepada ayah dan ibu, mereka berangkat. Waktu berpamitan ayah mencium mereka keduanya. Kadang-kadang ayah memang suka mencium anak-anaknya itu. Ayah sangat menyayangi mereka. Semuanya tanpa kecuali. Ayah tidak mengenal anak kesayangan atau yang tersayang. Semua disayangi dengan wajar.

Sebelum berangkat pak Umar minta maaf kepada ibu.

‘Uang dari undian berhadiah itu sudah masuk ke tabungan kepala sekolah di Bank Muamalat, Fat. Pagi ini abang akan pergi ke Bank itu. Pembagiannya seperti yang kita sepakati beberapa malam yang lalu itu. Untuk melunasi biaya rumah sakit si Suwagito. Jumlah keseluruhan biaya itu tiga belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Abang akan lunasi hari ini. Uang yang diambil dari tabungan kita akan abang masukkan kembali. Untuk si Arif Rahman itu akan abang masukkan uang dua puluh lima juta rupiah ke tabungannya. Abang minta maaf, karena untuk kita tidak ada abang ambil dari uang hadiah undian itu. Kamu tidak apa-apa kan Fat?’ tanya pak Umar.

‘Ya nggak apa-apa bang. Saya setuju sepenuhnya dengan yang abang lakukan. Abang tidak usah khawatir,’ jawab ibu Fat.

‘Ya, bagaimanapun abang tetap minta maaf. Uang itu lewat di depan hidung kita, tapi abang tidak menginginkan kita ikut mengambilnya. Biarlah yang benar-benar memerlukannya saja yang menggunakannya,’ tambah pak Umar.

Ibu Fat tersenyum. Meskipun sedikit sekali, terbetik juga di hatinya rasa heran, kenapa suaminya ini dari tadi minta maaf melulu. Tadi di mesjid minta maaf. Sekarang minta maaf. Tapi….. ah, pak Umar memang seringkali minta maaf kalau dia merasa telah menyulitkan orang lain.

Sebelum pak Umar berangkat, ibu Fat ingat juga untuk berwanti-wanti dan menanyakan.

‘Bang, Vespa itu ada abang periksa keadaannya? Apakah semuanya baik-baik saja?’ tanya ibu Fat.

‘Insya Allah baik-baik saja. Businya baru abang ganti. Remnya baru tiga bulan yang lalu diperbaiki. Kendaraan tua itu baik-baik saja. Kenapa Fat? Apa kamu ingin abang menukar Vespa itu dengan yang baru?’ tanya pak Umar tersenyum.

‘Tidak bang. Abang hati-hatilah di jalan. Ngeri sekali melihat kecelakaan-kecelakaan yang terjadi di jalan raya setiap saat,’ ibu Fat mengingatkan.

‘Ya, insya Allah abang berhati-hati. Baiklah kami pergi dulu ya,’ ujar pak Umar pamit.

‘Ya, bang. Assalamu’alaikum,’

‘Wa’alaikumsalam,’ jawab ayah dan anak itu serentak.


*****

Sekitar jam sembilan pak Umar pergi ke Bank Muamalat di Jaka Sampurna Bekasi. Dia transfer kekurangan biaya rumah sakit Suwagito sebanyak sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah ke rekening rumah sakit Keluarga Sejahtera di BCA. Ditambah biaya transfer sepuluh ribu rupiah. Dibuatkannya sebuah tabungan mudharabah atas nama Arif Rahman, siswa kelas tiga IPA 2 dan diisinya tabungan itu sebanyak dua puluh lima juta rupiah. Buku tabungan itu akan disuruh tandatanganinya nanti kepada Arif sebagai orang yang berhak mengambilnya. Diambilnya empat juta rupiah dan dimasukkannya kembali ke buku tabungan atas nama masing-masing anggota keluarganya sebanyak yang diambilnya minggu lalu. Akhirnya yang tinggal di buku tabungan atas nama kepala sekolah SMU 369 adalah sebanyak delapan puluh satu juta sembilan ratus empat puluh ribu rupiah, karena sebelum itu masih ada sisa dalam buku tabungan itu sebanyak tujuh ratus ribu rupiah. Uang itu hanya dapat diambil kepala sekolah SMU 369.

Setelah semua urusan itu selesai pak Umar kembali ke sekolah. Bahagia benar rasanya sesudah semua itu beres. Jalan Kali Malang agak sepi jam sepuluh begini. Saat umumnya orang sudah berada di tempat kerjanya masing-masing. Pak Umar hanya memerlukan waktu dua belas menit untuk sampai kembali di sekolah. Setelah memarkirkan Vespanya di tempat biasa pak Umar bergegas menuju kantornya. Dia akan mengerjakan shalat dhuha.

Di ruangan guru didapatinya pak Hardjono, pak Mursyid, pak Wayan dan pak Kus sedang asyik berdiskusi. Entah apa yang sedang mereka bahas. Pak Umar mengucapkan salam. Guru-guru itu membalasnya. Pak Umar tidak jadi segera ke kantornya tapi ikut dulu duduk dengan guru-guru itu. Pak Mursyid memberitahu bahwa tadi ada orang mencari pak Umar.

‘Tadi pak Slamet, orang tuanya Suwagito datang mau bertemu bapak. Dia sempat menunggu kira-kira setengah jam. Baru saja dia berangkat kira-kira sepuluh menit yang lalu,’ ujarnya.

‘Wah, sayang sekali. Saya baru dari Bank Muamalat. Dia tidak berpesan apa-apa?’ tanya pak Umar.

‘Tidak pak. Katanya dia mau kembali lagi nanti siang. Tadi kami bilang agar dia kembali sebelum shalat zuhur. Begitu, pak,’ ujar pak Mursyid.

‘Lama juga dia menunggu. Ada apa kira-kira ya?’ pak Umar bertanya.

‘Kurang tahu juga pak. Dia hanya bilang ingin bertemu bapak. Tapi dia bercerita bahwa rumahnya ada yang menawar. Lima puluh juta. Dan dia bilang akan segera menjual rumah itu untuk membayar biaya perawatan anaknya kemarin,’ kali ini pak Hardjono yang bicara.

‘Kalau dia nanti ke sini lagi, tolong pak Hardjono sampaikan tidak usah dia jual rumahnya. Biaya rumah sakit sudah dibayar lunas. Oh, ya. Ini bukti transfer uangnya,’ ujar pak Umar menunjukkan tanda bukti transfer uang itu.

‘Memangnya bapak mau pergi lagi?’ tanya pak Hardjono.

‘Ya, ndak juga. Siapa tahu nanti dia tidak bertemu dengan saya. Ini juga ada buku tabungan atas nama Arif Rahman. Dia harus menanda tangani buku ini di sini. Dan ini buku tabungan atas nama kepala sekolah SMU 369,’ pak Umar menambahkan sambil menunjukkan buku buku tabungan Bank Muamalat itu dan meletakkannya di meja di depannya. Ada tujuh buah buku tabungan.

‘Kalau yang ini buku tabungan kami sekeluarga. Tadi saya kembalikan uang empat juta yang digunakan minggu kemarin ke tabungan kami ini,’ tambah pak Umar.

‘Jadi waktu membayar uang jaminan hari itu diambil dari tabungan bapak sekeluarga?’ tanya pak Mursyid.

‘Ya. Kan perlu buru-buru. Jadi yang paling cepat mengambilnya, ya dari tabungan-tabungan kami ini,’ jawab pak Umar.

‘Seandainya tidak ada uang dari undian berhadiah itu bagaimana dong pak?’ tanya pak Kus.

‘Ya itulah. Rencananya, pak Slamet itu mau menjual rumahnya. Untuk biaya perawatan Suwagito itu. Tapi karena sudah ada uang hadiah itu tidak perlu lagi dia menjual rumahnya. Kasihan juga kalau dia harus menjual rumah. Untuk membelinya lagi nanti pasti susah,’ jawab pak Umar.

Setelah ikut berbincang-bincang sebentar, pak Umar minta izin mau pergi shalat dhuha. Entah kenapa, pak Umar menyalami keempat bapak-bapak itu dan minta maaf sebelum pergi ke ruangan kantornya. Pak Kus merasa, wah pak Umar mungkin minta diucapin selamat, makanya mengajak bersalam-salaman.

Thursday, December 25, 2008

SANG AMANAH (106)

(106)


Malam ini keluarga pak Umar menunggu cerita. Mereka semua tahu, pasti pak Umar akan menceritakan keadaan terakhir Suwagito. Kemarin mereka telah mendengar semua kejadian itu, mengenai kecelakaan yang menimpa Suwagito. Sampai dia dibawa ke rumah sakit Harmoni lalu ke rumah sakit Keluarga Sejahtera Jatinegara, yang minta uang jaminan empat juta rupiah, yang oleh ayah diminta tangguhkan sampai pagi ini. Mereka semua ikhlas uang tabungan mereka digunakan untuk membayar uang jaminan itu. Dan tadi pagi masalah uang jaminan itu harusnya sudah teratasi.

Malam ini sesudah makan malam, sekitar jam delapan malam, pak Umar menceritakan apa saja kejadian hari itu. Mula-mula semua kejadiaan yang menyangkut keadaan Suwagito. Sampai sore hari ini anak itu sudah kembali sadar sesudah siang tadi dia menjalani operasi di kepalanya.

Lalu pak Umar menceritakan dengan rinci tentang hadiah undian film foto berwarna, yang tadi pagi diceritakan pak Hardjono.

‘Sekarang ayah bertanya, bagaimana menurut pendapat ibu, menurut pendapat kalian tentang hadiah itu?’ tanya pak Umar.

‘Saya mau menjawab duluan,’ ujar Fauziah.

‘Bagaimana menurut kamu Puteri Kecil?’ tanya pak Umar.

‘Menurut saya ini merupakan sebuah ujian yang jawabannya sebenarnya sangat mudah. Hadiah itu bukan milik ayah, tapi karena tertulis atas nama ayah, maka ayahlah yang paling berhak menentukan untuk apa mobil itu atau uangnya akan digunakan jika mobil itu dijual.’

‘Atau apakah hadiah itu seharusnya menjadi milik Arif Budiman?’

‘Kalau dia mau memang dia yang lebih berhak, karena dia yang mengisi kupon undian itu meskipun dia menuliskan nama ayah,’ jawab Faisal.

‘Tapi menurut pak Hardjono dia tidak mau,’ ujar pak Umar pula.

‘Kalau menurut pendapat saya, ayah perlu menanyakan kepadanya langsung. Kalau dia ingin memilikinya, maka memang dia lebih berhak. Kalau dia bilang ayah yang lebih berhak memilikinya, saya setuju dengan adikku yang cantik ini, ayah gunakan untuk apa saja yang bermanfaat. Biaya perawatan mas Suwagito bisa diambil dari sana. Dan ayah serahkan sebahagian kepada mas Arif itu, sejumlah yang kira-kira patut,’ kali ini giliran Amir menyampaikan pendapatnya.

‘Bagaimana dengan sisanya? Karena pasti masih ada sisanya,’ kata pak Umar pula.

‘Ayah serahkan ke mesjid. Atau buat anak yatim,’ usul Faisal.

‘Kalau saya berpendapat ayah serahkan saja untuk sekolah,’ usul Amir.

‘Kenapa?’ tanya Faisal.

‘Karena uang itu berupa hadiah undian. Asal mulanya dari pembayaran foto-foto sekolah. Jadi yang lebih berhak menggunakannya adalah sekolah SMU 369,’ jawab Amir.

‘Benar ayah. Bang Amir benar. Saya sependapat dengan bang Amir,’ ujar Fauziah.

‘Bagaimana menurut kamu Sal?’ tanya ayah kembali.

‘Ya, benar. Saya setuju itu cara yang terbaik,’ jawab Faisal.

‘Tapi ibu kalian tidak memberikan pendapatnya,’ ujar pak Umar.

‘Ibu masih belum terlalu yakin dengan hadiah itu. Apakah hal itu sungguh-sungguh atau jangan-jangan hanya akal-akalan pengusaha. Kalau betulan, ayah harus menebusnya 20% dari harga mobil Kijang itu. Dari mana uangnya? Atau, apa mungkin diambil uangnya saja?’ tanya ibu.

‘Benar juga yang dikatakan ibu. Ayah akan memastikan benar-benar terlebih dahulu hadiah itu. Tadi pak Hardjono berjanji akan menemani ayah untuk melihatnya langsung besok siang. Kalau hadiah itu benar-benar ada, baru kita cari pembelinya,’ jawab ayah.

‘Jadi kesimpulannya, ayah akan memastikan dulu keberadaan hadiah itu, iya kan? Dan kalau memang ada hadiah itu akan dijual. Uangnya seperti yang diusulkan Amir sebagian untuk biaya rumah sakit mas Suwagito, sebagian untuk mas Arif dan sisanya untuk kas sekolah SMU 369. Begitu ayah?’ Faisal mencoba menyimpulkan.

‘Ya, ayah rasa begitu,’ jawab ayah mengakhiri ‘rapat keluarga’ malam itu.


*****

Ternyata hadiah itu benar-benar ada. Hari Jumat siang pak Umar dan pak Hardjono mendatangi kantor produser film foto berwarna penyelenggara undian berhadiah itu. Dua buah mobil Toyota Kijang terpajang di kantor itu. Yang satu akan segera diambil pemenangnya. Orangnya sedang mengurus pembayaran pajak undian sebesar 20% dari harga mobil. 20% itu adalah tiga puluh juta rupiah. Harga mobil itu seratus lima puluh juta rupiah, sesuai dengan daftar harga mobil. Pegawai kantor perusahaan itu menawarkan seandainya pak Umar mau menjual mobil hadiah itu, dia bisa menerima langsung seratus dua puluh juta rupiah dikurangi komisi dua persen. Tapi pak Hardjono menganjurkan untuk berfikir dulu sambil mencari calon pembeli yang lain. Pak Umar setuju dengan usulan pak Hardjono itu. Akhirnya mereka meninggalkan kantor itu dan berjanji akan kembali lagi.

Keesokan harinya, pak Umar memanggil Arif Rahman murid kelas tiga IPA dua ke kantornya, pada saat istirahat pertama. Pak Umar menjelaskan tentang hadiah dari undian itu dan menanyakan pendapat Arif. Anak itu tidak sedikitpun ragu mengatakan bahwa hadiah itu adalah milik pak Umar dan bukan miliknya.

‘Bukankah kamu yang mengisi kupon undian itu?’ tanya pak Umar.

‘Waktu itu saya tidak berfikir macam-macam pak. Saya mengisi kupon itu sambil bercanda. Saya tidak yakin kupon berhadiah itu sungguhan,’ jawab Arif polos.

‘Justru itu, ternyata sekarang hadiah itu sungguhan. Dan hadiah itu mestinya milik kamu,’ lanjut pak Umar.

‘Tidak pak. Hadiah itu milik bapak. Tangan saya digerakkan Allah menulis nama bapak. Dan Allah juga yang membiarkan nama bapak terpilih sebagai pemenang,’ jawab Arif.

‘Bagaimana pendapatmu kalau hadiah itu kita bagi dua?’ tanya pak Umar seterusnya.

‘Tidak pak. Itu bukan hak saya,’ jawab Arif mantap.

‘Kamu tahu jumlahnya? Seratus dua puluh juta rupiah. Dan uang itu kamu ambil separuhnya,’ tambah pak Umar.

‘Tidak pak. Uang sebanyak itu bukan hak saya. Uang itu milik bapak. Seutuhnya.’

‘Kamu yakin?’ tanya pak Umar.

‘Sangat yakin pak,’ jawab Arif.

‘Kalau kamu benar-benar yakin, dengarkan apa yang akan saya lakukan dengan uang itu. Yang pertama, saya akan gunakan untuk biaya perawatan Suwagito. Jumlahnya sekitar lima belas juta rupiah. Dua puluh lima juta rupiah akan saya masukkan ke tabungan Bank Muamalat atas nama kamu. Mudah-mudahan uang itu dapat kamu gunakan untuk masuk perguruan tinggi tahun depan. Sisanya akan saya masukkan ke tabungan atas nama SMU 369 yang akan digunakan untuk keperluan apa saja oleh sekolah ini nantinya. Nah, bagaimana pendapat kamu?’ tanya pak Umar.

‘Bapak tidak akan mengambilnya sedikitpun untuk bapak?’ tanya Arif heran.

‘Saya akan mengambilnya sesudah mobil hadiah itu terjual lalu membagi-bagikannya seperti yang saya katakan,’ jawab pak Umar.

‘Tapi bapak tidak mengambil sedikitpun untuk bapak sendiri?,’ Arif mengulangi kata-katanya dengan suara pelan.

‘Dengar Arif. Bapak tidak memerlukan uang hadiah itu. Ada yang lebih memerlukannya. Seperti Suwagito, seperti kamu jika kamu mau masuk perguruan tinggi tahun depan. Dan sisanya, masih akan ada sisanya, akan saya gunakan untuk keperluan lain di sekolah ini,’ jawab pak Umar.

‘Kalau begitu, saya rasa, yang bapak katakan untuk saya, tidak usah jugalah pak. Biarlah nanti saja dipikirkan bagaimana caranya saya melanjutkan sekolah,’ ujar Arif.

‘Dengarkan Arif. Saya tetap akan membuat tabungan atas nama kamu, tapi biarlah saya simpan saja di sekolah. Seandainya kamu nanti memerlukannya, boleh kamu gunakan. Kalau kamu tetap merasa tidak mau menggunakan untuk keperluan pribadi kamu, terserah mau kamu apakan. Jadi sementara ini untuk kamu ketahui saja bahwa ada tabungan atas nama kamu saya simpan. Siapa tahu, nyawa manusia di tangan Allah, seandainya saya sudah tidak ada, kamu tahu bahwa uang itu disimpan sebagian atas nama kamu. Di kantor kepala sekolah,’ ujar pak Umar.

Arif terdiam. Dalam hatinya dia bertanya-tanya. Kok pak Umar berbicara seperti itu? Apa maksud pak Umar mengatakan kalau dia sudah tidak ada? Kenapa pak Umar memaksakan sekali untuk membuat tabungan atas namanya? Tapi dia tidak mau lagi berkomentar lebih jauh. Biarlah terserah pak Umar saja. Arif diam saja membisu. Sampai pak Umar mengagetkannya.

‘Sudah, ya Arif? Jadi saya akan lakukan seperti itu saja. Kalau kamu tidak ada lagi pertanyaan, kamu boleh keluar sekarang. Tapi…….Oh, ya. Apakah kamu sudah pernah melihat Suwagito sejak dia selesai dioperasi?’ tanya pak Umar pula.

‘Sudah pak. Saya pergi melihatnya kemarin sore dengan Hardi,’ jawab Arif.

‘Dia menanyakan buku-bukunya kepada kamu?’

‘Betul pak. Dan buku-bukunya memang saya simpan,’ jawab Arif lagi.

‘Baiklah kalau begitu,’ ujar pak Umar.

‘Saya permisi pak,’ Arif minta izin untuk keluar.

‘Baik Arif ,’ kata pak Umar.


*****

Mobil hadiah itu akhirnya dibeli oleh saudara sepupu pak Hardjono. Uang harga mobil itu dikirimkan ke tabungan atas nama kepala sekolah SMU 369 di Bank Muamalat, sesuai permintaan pak Umar. Seratus dua puluh juta rupiah. Pembayaran dilakukan dengan cara transfer uang dan dilaksanakan hari Senin. Uang itu baru akan masuk di buku tabungan kepala sekolah itu hari Selasa berikutnya.

Hari Selasa itu Suwagito diizinkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah hampir pulih. Sudah tidak ada terasa pusing-pusing lagi. Biaya perawatan berikut operasi di rumah sakit itu berjumlah tiga belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Berarti masih kekurangan sembilan juta lebih lagi. Seperti ketika kemarin dia menerima kiriman uang melalui transfer, langsung masuk ke buku tabungan, pak Umar minta izin kepada bagian pembayaran rumah sakit untuk melunasi biaya perawatan Suwagito dengan cara transfer itu pula. Pihak rumah sakit menyetujuinya.

Direktur rumah sakit itu heran waktu pak Umar mengatakan bahwa dia akan segera melunasi biaya perawatan Suwagito. Dapat uang dari mana begitu cepatnya? Pak Umar menceritakan secara sepintas dari mana dia mendapat uang. Direktur rumah sakit itu bertambah heran mendengar cerita itu.

‘Jadi semua biaya ini bapak yang akan membayar?’ tanya pak direktur itu.

‘Ya. Saya yang membayar. Dengan uang hadiah undian itu,’ jawab pak Umar.

Setelah itu pak Umar memberi tahu pak Slamet bahwa biaya rumah sakit Suwagito tidak perlu dipikirkan. Jadi pak Slamet tidak perlu sampai menjual rumah. Giliran pak Slamet yang lebih bingung lagi waktu mendengar bahwa biaya perawatan itu ada yang membayarkan. Siapa agaknya? Terus bagaimana dia harus membayar orang itu kembali? Tapi pak Umar mengatakan bahwa biaya itu sudah dilunasi bukan untuk dibayar kembali. Pak Slamet tidak perlu menjual rumahnya. Lha, kok ya bisa? Bisa ada orang yang mau membayarkan begitu saja. Biaya sebesar itu. Siapa orangnya?

Tapi pak Umar menasihati agar hal itu tidak usah dipikirkan. Bersyukur kepada Allah, itu yang lebih utama. Pak Slamet mengangguk sendu. Dalam rasa syukur yang dalam. Dalam tanda tanya besar. Siapa agaknya yang sudah bermurah hati?

*****

Wednesday, December 24, 2008

SANG AMANAH (105)

(105)


24. Musibah Lagi (2) (tamat)

Hari baru jam setengah tiga sore. Langit mendung. Awan hitam menutupi cakrawala. Cuaca gelap seolah-olah saat itu sudah menjelang waktu maghrib. Sore ini hujan turun lagi. Tidak lebat-lebat amat. Tapi kadang-kadang terdengar guntur. Jalanan basah lagi. Air tergenang dimana-mana lagi. Jalan Kali Malang macet lagi, bahkan di kedua arah. Kendaraan yang memadati jalan itu bergerak beringsut-ingsut. Pak Umar bersama pak Hardjono menuju rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara dengan mobil pak Hardjono. Ingin benar dia tahu bagaimana hasil operasi tadi siang dan pengaruhnya bagi kesadaran Suwagito. Pak Umar berdoa dengan sungguh-sungguh memohon kesembuhan anak itu. Selama dalam perjalanan itu, mereka berbincang-bincang. Sementara kendaraan itu sebentar bergerak sebentar berhenti.

‘Gelap betul udaranya, pak. Sepertinya mau hujan lebat lagi,’ ujar pak Hardjono.

‘Ya, cuacanya gelap sekali. Sudah seperti waktu maghrib,’ jawab pak Umar.

‘Kalau sudah hujan lebat biasanya banjir lagi dimana-mana. Di tempat pak Umar kena pengaruh banjir juga?’ tanya pak Hardjono.

‘Kalau hujan lebat betul dan lama, air biasa tertahan sebentar. Kalau sudah begitu ada beberapa rumah yang sempat dimasuki air. Tapi rumah saya alhamdulillah agak ketinggian dan tidak kena banjir,’ jawab pak Umar.

‘Kasihan mereka yang biasa terkena banjir. Entah kapan Jakarta ini bisa bebas dari banjir,’ celetuk pak Hardjono.

‘Ya, saya rasa masalahnya kompleks juga sih, pak Hardjono. Penduduk Jakarta sudah terlalu banyak. Lahan yang tersedia terbatas. Akibatnya masyarakat tinggal berjubelan. Sistim aliran limbah banyak yang tidak terurus. Kesadaran masyarakat untuk menjaga saluran-saluran air itu rendah. Buktinya banyak sekali mereka yang membuat bangunan semi permanen di atas saluran. Belum lagi yang membuang sampah sembarangan ke saluran-saluran air atau got. Akibatnya mampet. Kemampuan bumi Jakarta meresap air berkurang dengan semakin banyaknya permukaan tanah yang ditutupi untuk bangunan, untuk jalan, untuk lapangan parkir. Lebih parah lagi karena di daerah hulu seperti Bogor dan Puncak kondisinya tidak pula mendukung. Menurut analisa saya kumpulan dari segalanya itu yang menyebabkan banjir makin sulit di atasi,’ pak Umar membahas panjang lebar.

‘Benar pak. Cukup kompleks masalahnya seperti yang bapak bilang,’ pak Hardjono membenarkan uraian pak Umar.

Setelah melewati perempatan ke arah Pondok Gede dan Pondok Bambu, kendaraan bergerak sedikit lebih cepat. Sementara hujan bertambah lebat. Lampu-lampu mobil pada dinyalakan karena hari seperti sudah mulai malam saja. Mobil pak Hardjono menyusuri jalan Kali Malang itu ke arah Cawang. Makin mendekati Cawang jumlah kendaraan yang searah dengan mereka makin berkurang. Tapi sebaliknya yang ke arah Bekasi makin banyak. Kelihatannya orang ingin cepat sampai di rumah ketika cuaca seperti ini. Pak Hardjono dan pak Umar masih terlibat dalam perbincangan ngalor-ngidul.

Jam setengah empat mereka sampai di rumah sakit Keluarga Sejahtera. Mereka segera mendapatkan tempat parkir karena jam mengunjungi orang sakit belum mulai. Sesudah memarkir mobil di tempat yang teduh, mereka bergegas menuju bangsal tempat pasien kelas tiga di rawat. Suwagito sudah dibawa kembali ke ruangan itu. Dia masih ditunggui ibu dan ayahnya. Pak Slamet menyongsong kedatangan pak Umar dan pak Hardjono. Wajah pak Slamet terlihat agak pucat. Pasti dia penuh harap Suwagito akan sadar dari pingsan yang sudah berlangsung lebih sehari semalam.

Suwagito terlihat seperti sedang tidur nyenyak dengan tarikan nafas teratur. Bekas operasi di kepalanya ditutupi perban putih. Pak Umar ingat tadi dokter mengatakan pengaruh obat bius akan hilang sekitar jam empat. Jadi masih sekitar setengah jam lagi. Pak Umar mengajak pak Hardjono untuk pergi shalat asar dulu ke mushala. Pak Slametpun ikut dengan mereka pergi shalat.

Pak Umar berdoa dengan khusyuk sekali sesudah selesai shalat. Dia kembali memohon kesembuhan Gito kepada Allah SWT. Dengan doa yang tulus. Dengan doa sepenuh hati. Pak Slametpun komat-kamit dalam doa. Disertai cucuran air mata. Begitu pula dengan pak Hardjono, ikut berdoa. Masing-masing berdoa dalam hati mereka masing-masing. Dengan sungguh-sungguh.

Setelah itu mereka kembali ke bangsal. Sudah jam empat kurang lima menit. Gito masih seperti orang tidur nyenyak. Akankah terjadi pertolongan Allah yang mereka tunggu-tunggu itu? Belum tampak tanda-tandanya. Mereka bersabar menunggu. Setiap pasang mata memperhatikan Gito.

Lima menit berlalu. Gito tetap seperti orang tidur. Sepuluh menit. Lima belas menit. Menit demi menit yang terasa panjang. Sudah jam empat lebih lima belas menit. Pak Umar kembali mengangkat tangan. Dia kembali berdoa. Dengan khusyuk.

Jam empat lebih sembilan belas menit. Gito membuka matanya pelan-pelan. Mata sendu itu mula-mula sekali menangkap sosok wajah ibunya.

‘Ibuuuu…… saya kenapa………,’ ujarnya lirih.

Semua yang hadir tersentak. Ibu Slamet, ibu dari Suwagito tersenyum dalam uraian air mata.

‘Alhamdulillah Gustiii………… Alhamdulillaaaah…….,’ ucapnya lirih.

Pak Umar, tersentak dari doanya yang mungkin belum selesai. Begitu pula pak Slamet dan pak Hardjono. Bahkan pasien di sebelah kanan dan kiri Suwagito ikut menoleh setelah mendengar suara barusan itu.

‘Kamu di rumah sakit, nak. Bagaimana terasa badanmu?’ ibu Slamet menanyai Gito.

‘Saya haus……. Haus ibu……. Kenapa…… saya di sini?’ tanya Gito.

Ibunya mengambilkan air dan menyendokkan ke mulut Gito. Kelihatannya dia haus sekali. Sesudah minum beberapa sendok, Gito mengamati sekelilingnya. Dia melihat ayahnya, pak Umar dan pak Hardjono.

‘Kenapa…… saya di sini……. bapak?’ tanyanya dengan suara pelan.

‘Kamu sakit nak. Kamu dirawat di sini. Di rumah sakit. Kamu lihat di sini ada pak kepala sekolah dan pak guru satunya,’ pak Slamet yang menjawab.

Dokter Gunardi datang. Dia sangat gembira waktu dilihatnya Gito sudah sadar. Dokter itu memeriksa denyut nadi Gito.

‘Bagaimana terasa badannya?’ tanya dokter itu ramah.

‘Pusing pak dokter. Saya pusing. Dan saya haus……,’ ucap Gito mulai lebih lancar bicaranya.

‘Nggak apa-apa. Pusingnya nanti hilang. Dan dikasih minum saja, bu. Pakai pipet saja. Biar minumnya lebih puas. Kalau nanti terasa lapar boleh makan. Ya?! Kamu baik-baik saja, kan?’ ujar dokter Gunardi.

Ibu Slamet segera memberikan minum. Gito minum cukup banyak melalui pipet itu. Sepertinya dia haus sekali.

‘Kenapa saya di sini pak dokter? Saya sakit apa?’ tanyanya lagi sesudah minum.

‘Sakit kepala sedikit. Tapi mudah-mudahan nanti sembuh. Ndak usah khawatir. Istirahat saja tenang-tenang. OK?’

‘Saya kan barusan mau melintasi jalan…… saya mau pulang…..kok jadi sampai ke sini?’

‘Begini. Kamu mengalami kecelakaan. Lalu dibawa ke rumah sakit. Ada luka di kepalamu. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa. Tinggal menunggu sembuh. Kamu istirahat saja di sini, ya?’

‘Buku-buku saya…… siapa yang menyimpan buku-buku saya?’

‘Pasti ada yang menyimpannya. Teman-teman kamu. Nanti kita tanya.’

‘Siapa yang mengantar saya ke sini? Kok bapak sama ibu sudah ada di sini. Kok pak Umar dan pak Hardjono ada di sini?’

‘Kami menunggui kamu. Menunggu kesembuhan kamu. Mudah-mudahan setelah ini kamu segera sembuh dan pulih kembali,’ kali ini pak Umar yang menjawab.

‘Saya kan tadi baik-baik saja, pak. Saya mau cepat-cepat pulang karena pas hujan sedang berhenti.’

‘Kamu tidak sadar sejak kemarin siang, nak. Kami semua cemas. Tapi sekarang kamu sudah kembali sadar. Kami semua sangat senang,’ ibu Slamet memberi tahu anaknya.

‘Sekarang bukannya hari Rabu, ibu?’

‘Bukan, sekarang hari Kamis. Sudah hampir jam lima sore,’ jawab ibunya.

Tak sengaja Gito meraba kepalanya yang ditutupi perban. Mungkin dia baru sadar bahwa kepalanya luka. Gito memandang orang-orang di sekelilingnya itu satu persatu.

‘Baik, saya ingatkan lagi. Kamu istirahat saja ya? Kalau keadaanmu semakin baik, mungkin dalam sehari dua ini kamu sudah boleh pulang. Apa kamu tidak lapar?’ tanya dokter Gunardi.

‘Ya. Saya lapar pak dokter,’ jawab Gito.

‘Saya akan mintakan makanannya. Tolong disuapi saja ya bu. Dan sesudah makan nanti obat-obatnya segera diminum, ya! Baik saya tinggal dulu ya!’ ujar dokter yang ramah itu sebelum pergi.

Beberapa menit kemudian petugas rumah sakit datang membawakan makanan. Nasi bubur. Ibu Slamet menyuapi Gito hati-hati. Waktu Gito mencoba mengunyah makanan itu dia merintih menahan sakit. Pak Umar menganjurkan agar makanan itu tidak usah dikunyah. Bubur itu bisa langsung ditelan saja. Dan Gito melakukannya.

Sesudah melihat keadaan Suwagito yang cukup menggembirakan itu, pak Umar dan pak Hardjono berpamitan untuk pulang. Seperti kemarin, pak Slamet berulang-ulang mengucapkan terima kasih. Sebelum pulang pak Umar mengajak pak Slamet ikut keluar sebentar. Pak Umar mengingatkan pak Slamet untuk sementara tidak usah dulu mencari pembeli rumahnya, karena kemungkinan ada yang berminat membeli. Pak Slamet mengatakan bahwa dia senang sekali kalau pak Umar punya kenalan yang mau membeli rumah itu.

Di luar ternyata hujan sudah berhenti. Cuaca lumayan cerah. Hari sudah jam lima sore. Pak Hardjono mengantarkan pak Umar kembali ke sekolah karena Vespa pak Umar masih tertinggal di sana.

‘Syukurlah Suwagito ada kemajuan seperti itu,’ pak Umar bergumam.

‘Betul pak. Allah mengabulkan doa bapak. Doa kita bersama,’ pak Hardjono menambahkan, sambil melirik ke arah pak Umar.

Pak Umar terlihat letih. Pasti dia sangat kelelahan. Tapi semangatnya tetap saja tinggi.

‘Saya perhatikan bapak terlihat sangat lelah. Apa saya antarkan langsung ke rumah saja?’ tanya pak Hardjono.

‘Tidak usah pak Hardjono. Saya tidak apa-apa. Biar saya turun di sekolah saja. Vespa saya masih di sana. Kalau tidak saya ambil, besok pagi saya repot pula mau ke sekolah,’ jawab pak Umar.

‘Mudah-mudahan dengan doa dan pengorbanan bapak, Suwagito cepat sembuh,’ ujar pak Hardjono.

‘Ya. Mudah-mudahan anak itu segera sembuh kembali,’ ujar pak Umar pula.

Jalanan lebih lancar sore ini. Jam lima lebih dua puluh menit mereka sudah sampai di sekolah. Pak Hardjono berpamitan setelah pak Umar turun dari mobil. Pak Umar langsung mengambil Vespanya dan segera menuju pulang.


*****

Tuesday, December 23, 2008

SANG AMANAH (104)

(104)


Guru-guru itu semua diam. Tidak ada yang berkomentar. Akhirnya pak Mursyid membuka suara.

‘Maksud bapak, mobil hadiah itu mau bapak jual? Kenapa tidak dipakai saja pak?’ tanyanya.

‘Walaupun saya masih seperti setengah bermimpi, saya berharap bahwa ini bukan mimpi. Betul sekali, kalau hadiah itu benar-benar seratus persen nyata seperti yang tertulis di koran itu, maka saya akan menjualnya. Kenapa? Pertama saya tidak punya uang untuk membayar pajak undian yang duapuluh persen. Saya juga tidak punya uang untuk membayar biaya balik nama. Saya lebih tidak punya uang untuk membiayai sebuah mobil. Dan rasa-rasanya, mobil itu buka milik saya. Maka apa yang terfikir oleh saya saat ini, sekali lagi mudah-mudahan hadiah itu sungguh-sungguh, uang hasil penjualannya itu kita gunakan pertama sekali untuk biaya perawatan Suwagito. Seandainya uang itu berlebih, rasa-rasanya tentu berlebih, uang itu akan saya tempatkan dalam tabungan kepala sekolah di Bank Muamalat. Uang itu akan digunakan untuk kemashlahatan atau keperluan yang bersangkut-paut dengan sekolah. Seperti misalnya membantu Suwagito sekarang ini. Seandainya, Allah SWT berkehendak, umur saya singkat, maka uang itu hanya dapat diambil oleh kepala sekolah berikutnya. Tentu saja bapak-bapak dan ibu-ibu semua dapat mengontrol penggunaannya,’ pak Umar menjelaskan.

Sekarang semua guru-guru itu malahan bingung dengan apa yang baru saja mereka dengarkan. Jadi pak Umar tidak akan menggunakan hadiah itu untuk dirinya sendiri? Wah! Benar-benar.

‘Maaf pak, apa saya boleh mengusul,’ ujar pak Muslih.

‘Silahkan pak Muslih!’

‘Saya ingin usul, silahkan saja pak Umar menjual mobil hadiah itu karena memang terbentur dengan biaya pajak, balik nama dan sebagainya. Tapi menurut pendapat saya, sisa uangnya tetap milik bapak. Kalaupun bapak mau membantu biaya pengobatan Suwagito, bagus-bagus saja. Tapi biar orang tuanya juga ada pengorbanannya. Apalagi kalau dia sudah bersedia mau menjual rumahnya. Itu memang sudah merupakan resiko orang tua. Dan saya rasa, jangan terus semua biaya diambil alih oleh pak Umar, biarpun ternyata sekarang ada hadiah ini. Itu saja usul saya, pak.’

‘Maaf, sebelum pak Umar menanggapi pak Muslih, boleh saya menambahkan pak?’ tanya pak Hardjono.

‘Silahkan pak Hardjono!’

‘Pertama saya sependapat dengan pak Muslih. Yang kedua, mungkin perlu juga dipertimbangkan untuk memberi bahagian kepada Arif, pak. Karena dia yang telah mengisi kupon undian itu untuk bapak. Itu saja pak,’ ujar pak Hardjono.

‘Masih ada yang ingin menambahkan?’ tanya pak Umar.

Guru-guru itu diam semua.

‘Baiklah. Pertama saya ulangi kembali, saya tetap tidak merasa memiliki hadiah itu. Biarpun nama saya tercantum di sana, tapi saya tidak merasa telah berbuat apa-apa untuk memperolehnya. Katakanlah itu memang rezki saya dari Allah, biarpun saya tidak berusaha apa-apa tapi Allah berkehendak memberikannya kepada saya. Seandainya ini benarpun, saya merasa bahwa ini merupakan ujian Allah bagi saya. Bagaimana saya harus menyikapinya. Sementara itu, ada seseorang, yang kehidupannya tidak terlalu mudah. Seorang sopir taksi yang setiap hari harus mengejar setoran, tiba-tiba mendapat musibah. Kebetulan orang itu adalah orang tua dari murid kita. Kebetulan musibah itu terjadi di depan hidung kita. Ketika dia mau pulang dari sekolah, dia mengalami kecelakaan. Tiba-tiba begitu saja. Perlu biaya besar untuk menyelamatkannya. Allah menitipkan kepada saya sejumlah uang, yang bukan hasil cucur keringat saya, tapi tertulis atas nama saya. Maka saya tidak akan sanggup mengambil uang itu. Yang terakhir, yang lebih penting lagi, kalau kita hubung-hubungkan sedikit apa penyebab awal dari datangnya hadiah itu. Kupon itu diisi oleh Arif Rahman yang menemani Hardi mengambil foto hasil pertandingan bola basket. Foto-foto itu dibiayai dengan uang kas sekolah. Memang saya yang memberikan uang itu kepada pak Hardjono dan pak Hardjono memberikan kepada Hardi, tapi uang itu uang kas sekolah. Bukan uang saya. Jadi yang berhak dengan hadiah itu adalah sekolah.’

Kembali diam. Tapi ada bisik-bisik. Pak Wayan berbisik-bisik dengan pak Tisna yang duduk di sebelahnya. Ibu Purwati berbisik-bisik pula dengan pak Situmorang. Lalu ibu Purwati mengangkat tangan.

‘Boleh saya ikut menambahkan lagi pak?’ tanya ibu Purwati.

‘Silahkan bu!’

‘Bagaimana kalau begini saja pak. Saya coba menghitung-hitung. Kalau saya tidak salah hadiahnya sebuah Toyota Kijang. Kita tidak tahu jenis yang mana. Kita anggap yang model sederhana, bukan Kijang Super. Harganya, kosong sekitar seratus dua puluh juta. Pajak undian dua puluh lima persen, tiga puluh juta. Tinggal sembilan puluh juta. Pak Umar sumbangkan sepuluh juta untuk biaya pengobatan Suwagito, biar ayahnya mencari sisanya. Agar seperti kata pak Muslih orang tuanya merasa bertanggung jawab juga. Lalu sisa uangnya masih delapan puluh juta. Katakanlah pak Umar bagi juga berapa misalnya dengan Arif. Jumlah yang tersisa masih cukup besar. Bagaimana kalau sisanya itu dibelikan mobil bekas, karena hadiah awalnya adalah mobil, dan mobil itu digunakan sebagai kendaraan dinasnya pak Umar. Katakan juga kalau memang pak Umar nanti pindah entah kapan-kapan dari sekolah ini, mobil itu biar tetap ada di sini, sebagai mobil dinas sekolah.’

Guru-guru itu manggut-manggut. Sepertinya usulan ibu Purwati sangat masuk akal dan tidak mengada-ada.

‘Maaf, ibu Purwati. Saya tidak sanggup membiayai mobil dinas sekalipun. Benar-benar tidak sanggup. Tentu nanti mobil itu perlu biaya pemeliharaan. Perlu biaya ini-itu. Biaya bensinnya sehari-hari. Saya tidak sanggup. Dan saya tidak pula memerlukan mobil. Kembali kepada orang tua Suwagito. Saya setuju agar dia juga ikut memikirkan biaya pengobatan anaknya. Tapi dia jelas tidak sanggup. Saya tidak sampai hati membiarkannya tidak punya tempat tinggal. Tempat tinggal yang dipunyainya sekarang mungkin hasil dia menabung bertahun-tahun.

Gabungan dari kedua alasan itu tadi, saya tidak butuh mobil, uang ada, pak Slamet terancam harus menjual rumah, bagi saya hanya ada satu kesimpulan. Biarlah biaya perawatan Suwagito itu menggunakan uang itu saja. Sisanya kita simpan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat nanti.’

‘Saya usul pak,’ giliran pak Sofyan.

‘Baik pak Sofyan.’

‘Karena dalam hal ini pak Umar sangat tegas dalam memegang prinsip, saya rasa tidak perlu dipanjangi lagi pak. Kalau menurut pak Umar, memang itu yang terbaik, saya rasa, atau saya ingin usul, agar kita serahkan saja kepada kebijakan pak Umar sendiri. Apa yang disampaikan sebagian dari guru-guru, yang menurut kami-kami adalah baik, tapi menurut pak Umar ada yang lebih baik lagi, maka akhirnya lebih baik kita serahkan saja kepada pak Umar. Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain?’

‘Setuju!!!’ ujar beberapa orang guru.

‘Apa perlu voting?’ tanya pak Mursyid sambil tersenyum.

‘Nggak usah, pak. Saya setuju. Atau……. Siapa… bapak ibu yang setuju usul pak Sofyan? Coba angkat tangan!’ ujar pak Muslih.

Gerrrrr. Guru-guru itu tertawa. Waktu pak Muslih mengangkat tangan, yang lain ikut-ikutan mengangkat tangan. Akhirnya semuanya mengangkat tangan.

‘Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu. Kalau begitu kita akhiri saja rapat kita siang ini. Maaf ini, saya ingin melihat anak itu lagi ke rumah sakit. Dengan demikian rapat ini saya tutup dengan resmi.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.’

(Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu).

Rapat itu selesai. Sebelum bubaran, pak Hardjono menghampiri pak Umar.

‘Bapak mau ke rumah sakit lagi?’

‘Benar pak Hardjono,’ jawab pak Umar.

‘Bagaimana kalau saya ikut? Maksud saya kalau bapak ikut mobil saya. Nanti bapak saya antar kembali ke sini.’

‘Tawaran yang sangat bagus. Terima kasih. Saya setuju.’


*****

SANG AMANAH (103)

(103)

Sesudah pelajaran di kelas dua D selesai, pak Hardjono bergegas ke kantor guru. Dia ingin bertemu pak Umar. Di ruangan guru ada pak Muslih sedang ngobrol dengan pak Sofyan dan pak Situmorang. Ketiga orang guru itu juga baru selesai mengajar. Pak Hardjono langsung menuju kantor pak Umar yang pintunya terbuka dan memberi salam.

‘Assalamu’alaikum,’

‘Wa’alaikumussalam. Apa kabar pak Hardjono?’ jawab pak Umar.

‘Baik-baik saja pak. Bagaimana keadaan Suwagito pak?’ pak Hardjono balik bertanya.

Pak Umar menjelaskan keadaan Gito secara ringkas.

‘Harusnya saat ini sedang bersiap-siap untuk dioperasi. Sepertinya itu satu-satunya harapan. Sejak kejadian kemarin sampai tadi saya tinggalkan dia tetap tidak sadarkan diri,’ ujar pak Umar mengakhiri ceritanya.

‘Kita tolong dengan doa pak,’ ujar pak Hardjono.

‘Benar, kita tolong dengan doa. Mudah-mudahan Allah menyembuhkan anak itu,’ pak Umar menimpali.

‘Tapi saya ada berita lain, pak. Yang ingin saya sampaikan,’ ujar pak Hardjono pula.

‘Berita apa pak Hardjono?’ tanya pak Umar.

Pak Hardjono menunjukkan koran yang ditinggalkan pak Darmaji tadi pagi dan menceritakan apa yang terjadi dari awal sampai akhir. Pak Umar mendengarkan cerita pak Hardjono itu tanpa berkedip.

‘Begitu ceritanya, pak. Dan ini potongan kupon undian berhadiah itu, dengan nama bapak tertulis di sini,’ ujar pak Hardjono mengakhiri ceritanya sambil menyerahkan kertas potongan undian itu ke pak Umar.

Pak Umar memperhatikan potongan kupon itu sambil mengangguk-angguk. Beberapa saat kedua orang itu terdiam. Sampai akhirnya pak Umar kembali bersuara.

‘Semua ini berada di bawah pengaturan Allah. Mudah-mudahan hadiah undian ini tidak guyon. Kalau benar, betapa akan bahagianya. Betapa akan bahagianya,’ ujar pak Umar mengulang kata-katanya.

Pak Hardjono sangat senang. Syukurlah kalau pak Umar mau menerima hadiah ini. Orang sebaik pak Umar sangat wajar mendapatkan hadiah seperti itu. Begitu yang terpikirkan oleh pak Hardjono.

‘Apakah pak Hardjono sudah menanyakan ke produser film foto berwarna itu kalau berita itu benar?’ tanya pak Umar.

‘Belum, pak,’ jawab pak Hardjono.

‘Kalau begitu, bagaimana kalau kita tanyakan sekarang? Adakah nomor telpon yang bisa dihubungi tertulis di pengumuman itu?’ tanya pak Umar.

‘Di sini ada nomor telpon perusahaan itu. Mungkin bisa kita hubungi,’ jawab pak Hardjono, sambil memberikan nomor telepon itu.

Pak Umar memutar nomor tersebut. Setelah tersambung, dia menanyakan masalah hadiah undian seperti yang terbaca dikoran. Petugas operator di seberang sana menyambungkannya ke bahagian yang mengurusi hadiah-hadiah itu.

‘Begini, pak. Saya ingin menanyakan tentang hadiah undian yang diumumkan di koran hari ini. Pertanyaan pertama, apakah pengumuman itu sungguhan?’
-

‘Saya Umar Hamzah. Saya kepala sekolah SMU 369,’ jawab pak Umar setelah dari seberang sana menanyakan identitas pak Umar.

Beberapa saat kemudian.

‘Oh jadi benaran. Bagaimana caranya saya mengambil hadiahnya itu?’ tanya pak Umar.
-

‘Baik. Baiklah. Jadi saya ulangi, saya harus membawa potongan kupon, kartu identitas atau KTP dan keterangan bahwa saya adalah kepala sekolah SMU 369. Apakah kartu pegawai saya memadai?’
-

‘Ya, baik. Baiklah. Baik. Dan pajak kemenangan sebesar dua puluh persen harga mobil, serta biaya balik nama jadi tanggungan saya.’
-

‘Baik, cukup jelas. Ya..ya.. saya faham. Dan hadiahnya bisa saya ambil setiap saat mulai sekarang? Ya..ya.. baik. Baik dan terima kasih.’

Pak Umar bangkit dari kursinya lalu sujud di lantai. Dia sujud syukur.

‘Pak Hardjono, bisakah kita adakan rapat mendadak siang ini?’ tanya pak Umar sesudah itu.

Pak Hardjono agak heran sebelum menjawab.

‘Saya rasa bisa, pak,’ jawabnya

‘Baik, kalau begitu. Tolong pak Hardjono umumkan kita akan mengadakan rapat sesudah jam pelajaran terakhir ,’ ujar pak Umar.

‘Untuk masalah apa pak? Undangan rapatnya untuk membahas masalah apa?’ tanya pak Hardjono.

‘Masalah musibah yang menimpa Suwagito kemarin,’ jawab pak Umar.

‘Baik kalau begitu pak. Segera saya siapkan. Saya permisi dulu kalau begitu,’ ujar pak Hardjono.

‘Baik , sampai nanti pak Hardjono.’

‘Assalamu’alaikum.’

‘Wa’alaikumsalam.’

Pak Hardjono segera keluar. Aneh juga pak Umar. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi tentang hadiah tadi itu. Atau barangkali dia akan mengumumkannya nanti pada waktu rapat? Tapi tadi kelihatan bahwa pak Umar senang dengan hadiah itu. Tidak akan ada yang tidak akan ikut senang kalau pak Umar bisa menerima hadiah itu dan berbahagia dengan hadiah itu. Pak Hardjono yakin benar tentang hal itu. Dia sendiri, yang hanya tahu secara kebetulan pagi tadi, sangat antusias pak Umar akan menerimanya dengan gembira.


*****


Jam dua rapat itu dimulai. Persis sebelum rapat dibuka, pak Umar mendapat telpon dari rumah sakit Keluarga Sejahtera, memberitahukan bahwa operasi sudah berhasil dengan baik. Dr. Gunardi yang memimpin operasi itu yang menelpon. Gumpalan darah yang sudah membeku sebanyak lima cc berhasil dikeluarkan. Sekarang tinggal menunggu reaksi setelah pengaruh obat bius hilang. Apakah Gito akan sadar atau tidak. Diperkirakan reaksi itu akan berakhir sekitar jam empat sore nanti. Pak Umar mencatat semua informasi itu dengan jelas.

Setelah itu mereka memulai rapat.

‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,’

(Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh).

‘Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati,

Pertama-tama saya laporkan keadaan Suwagito, yang mengalami musibah kecelakaan lalu-lintas kemarin siang. Anak itu mula-mula kemarin dibawa ke rumah sakit Harmoni. Dokter di rumah sakit itu merujuk ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara, karena anak itu harus dioperasi, karena dia mengalami pendarahan dalam kepala akibat benturan. Sebelum anak itu dipindahkan, saya berdiskusi dulu dengan orang tuanya, yang kemarin siang dijemput oleh Arif Rahman. Orang tua Suwagito itu, seorang sopir taksi, setuju anaknya dipindahkan. Ringkasnya kemarin sore, Suwagito dibawa ke Keluarga Sejahtera Jatinegara. Timbul masalah pertama, rupanya harus ada uang jaminan empat juta rupiah. Pak Slamet, orang tua anak itu tidak sanggup membayar uang jaminan itu. Sebelumnya dia bilang dia akan menjual rumah tempat tinggalnya untuk biaya perawatan anaknya itu. Tapi mana mungkin menjual rumah secara instan. Saya mengambil inisiatif, berunding dengan direktur rumah sakit. Saya minta tangguh membayar uang jaminan itu sampai hari ini. Alhamdulillah, setelah diskusi cukup panjang dia mau menerima janji saya untuk menunda pembayaran uang jaminan itu. Dan alhamdulillah, tadi pagi uang itu sudah dilunasi.

Timbul tantangan kedua. Anak itu harus dioperasi. Karena menurut dokter, gumpalan darah beku di kepalanya itu menghalangi peredaran darah ke otak. Sementara mengharapkan aliran darah untuk menghanyutkan gumpalan darah itu terlalu beresiko, paling tidak terlalu lama, sehingga dikhawatirkan gangguan aliran darah ke otak itu bisa berubah jadi lebih serius. Itu yang diceritakan dokter itu kepada saya, wallahu a’lam. Tapi saya cenderung percaya. Untuk bapak-bapak dan ibu-ibu ketahui, sampai tadi pagi saya di rumah sakit itu, Suwagito belum sadar-sadar.

Tadi pagi saya bertemu kembali dengan direktur rumah sakit itu Dia memberi tahu saya biaya operasi, berikut obat dan perawatan. Biaya normal sekitar dua puluh juta. Tapi oleh direktur itu diberi keringanan, biaya rumah sakit akan diberikan cuma-cuma. Tapi tetap saja biaya itu nanti akan berkisar sekitar dua belas sampai lima belas juta rupiah atau mungkin lebih.

Hal ini saya sampaikan kepada pak Slamet, ayah Suwagito. Diapun ingin anaknya dioperasi. Sekali lagi diulanginya bahwa dia akan menjual rumahnya untuk biaya operasi itu. Dengan demikian kami, saya dan pak Slamet, memberi tahukan persetujuan untuk dilaksanakannya operasi. Masih ada tambahan kebaikan dari direktur rumah sakit itu. Dia tidak meminta uang jaminan, bahkan biaya itu boleh dibayar sampai sebulan kemudian, paling lama. Pak Slamet menyanggupi. Dan Suwagitopun di operasi. Persis sebelum kita mulai rapat, saya ditelpon oleh dokter yang mengoperasinya, mengatakan bahwa operasi itu berjalan lancar. Mereka mengeluarkan lima cc darah beku yang menyumbat di kepala anak itu. Tinggal sekarang menunggu hilangnya reaksi obat bius. Diharapkan jam empat sore ini sudah akan ada hasilnya.

Jadi demikian laporan mengenai kondisi keadaan murid kita Suwagito.

Yang kedua, saya tadi dikejutkan oleh pak Hardjono. Kejutan yang mengatakan bahwa saya tercantum sebagai pemenang hadiah kupon undian dari sebuah produser film foto berwarna. Pengumuman itu ada di koran yang terbit hari ini. Pak Hardjono menceritakan bahwa, murid kita Arif Rahman, rupanya secara iseng barangkali, mengisi kupon undian itu ketika dia bersama rekannya Hardi mencetak foto-foto waktu kompetisi pertandingan basket beberapa bulan yang lalu. Dia menuliskan nama saya pada kupon yang akan diundi waktu itu. Ternyata terpilih. Ternyata nama saya muncul sebagai salah satu yang beruntung. Dan saya, di depan pak Hardjono tadi menelpon kantor penyelenggara undian berhadiah itu untuk menanyakan kepastian berita di koran itu. Ternyata betul. Ternyata betul-betul saya adalah salah satu pemenang. Alhamdulillah, ini betul-betul kekuasaan Allah. Betul-betul Allah memudahkan segala-galanya dengan cara yang tidak di duga-duga. Tidak pernah saya termimpi-mimpi mau memenangkan sebuah undian berhadiah mobil. Tapi tiba-tiba saja nama saya muncul sebagai pemenang.

Menurut informasi yang saya dapat dari penyelenggara tadi itu, hadiah itu bisa diambil setiap saat. Cukup dengan membawa sobekan kupon, seperti ini (pak Umar menunjukkan sobekan itu), surat keterangan sebagai bukti bahwa saya benar kepala sekolah di sini. Dan yang diluar itu, saya harus membayar pajak undian sebesar 20% dari harga mobil hadiah. Ditambah lagi dengan biaya balik nama di kantor polisi.

Saya benar-benar bersyukur dengan limpahan kurnia Allah ini. Saya tadi langsung sujud syukur. Kenapa saya sampaikan pula hal ini? Karena saya ingin menanyakan, siapa tahu, ada di antara bapak-bapak dan ibu-ibu berminat untuk mengambil mobil itu. Maksud saya untuk membelinya. Siapa tahu barangkali kenal seseorang yang mau membeli mobil hadiah itu. Itulah yang perlu saya sampaikan. Mohon maaf kalau untuk itu, saya menahan bapak-bapak dan ibu-ibu untuk tinggal di sekolah,’ pak Umar mengakhiri uraiannya yang panjang lebar itu.

Monday, December 22, 2008

SANG AMANAH (102)

(102)

Darmaji dan Rita sampai di sekolah sebelum jam istirahat pertama. Di ruang guru ada pak Hardjono, pak Wayan, ibu Sofni dan ibu Sarah. Mereka langsung saja mengolok-olok pengantin baru itu.

‘Waduh…..nih pengantin baru. Ceria banget. Kangen, ya sama sekolah? Kapan dari bulan madunya sih?’ tanya ibu Sofni. Guru-guru lain pada tersenyum melihat pasangan bahagia itu.

‘Jelas kangen dong. Udah seminggu nggak dikunjungi,’ jawab ibu Rita.

‘Kemana bulan madunya?’ tanya ibu Sarah.

‘Nggak kemana-mana kok buk. Kita dirumah saja. Mau bulan madu kemana? Lagian repot bawa-bawa madu ke bulan,’ jawab pak Darmaji.

Guru-guru itu tertawa mendengar banyolan segar pak Darmaji itu.

‘Jadi barusan dari rumah aja?’ tanya ibu Sofni.

‘Ya, buk. Kami habis membaca koran tentang kecelakaan di Situbondo. Ngeri ya?’ ujar ibu Rita.

‘Ih, ngeri sekali. Saya sampai gemetaran lho melihat di TV tadi pagi,’ jawab ibu Sarah.

‘Ya itulah, yang namanya musibah. Kita kemarin kan kena musibah juga? Murid kita Suwagito kecelakaan di depan sana. Pak Darmaji sama ibu Rita sudah dengar?’ tanya pak Hardjono.

‘Musibah gimana pak?’ tanya ibu Rita.

‘Ditabrak angkot. Pas pulang sekolah kemarin,’ jawab pak Hardjono.

‘Suwagito kelas tiga?’ tanya pak Darmaji.

‘Iya. Anak kelas tiga IPS satu,’ jawab pak Hardjono.

‘Terus sekarang bagaimana kondisinya pak?’ tanya ibu Rita.

‘Kemarin itu pingsan. Mula-mula dibawa ke rumah sakit Harmoni. Katanya perlu dioperasi dan nggak bisa di Harmoni. Jadi disuruh bawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera. Tapi kelihatannya ada kendala biaya. Itu yang saya dengar,’ jawab pak Hardjono pula.

‘Pak Hardjono dengar dari siapa?’ tanya pak Darmaji.

‘Dari pak Umar. Pak Umar dari kemarin sibuk ngurusin. Kemarin itu Keluarga Sejahtera mula-mula nggak mau nerima karena harus meninggalkan uang jaminan empat juta. Orang tuanya Gito itu sudah menyerah. Orang dia sopir taksi. Tapi pak Umar mendesak dan bicara dengan direktur rumah sakit itu. Akhirnya bisa, tapi pagi ini pak Umar harus menyerahkan uang jaminan itu. Sedangkan untuk biaya operasi mungkin lebih mahal lagi. Nggak tahu bagaimana kelanjutannya,’ ujar pak Hardjono.

‘Ada-ada saja, ya!? Kasihan benar anak itu,’ ujar ibu Rita.

‘Tapi ngomong-ngomong, bapak dan ibu sudah baca berita ini belum? Saya penasaran, apa ini bukan pak Umar kita?’ pak Darmaji menunjukkan koran dengan pengumuman pemenang hadiah dari film foto berwarna.

Pak Hardjono mengamat-amati tulisan itu. Sebuah pengumuman di koran resmi ibu kota, rasanya tidak mungkin bohong. Dan rasa-rasanya, ini pasti pak Umar kepala sekolah ini. Tapi apa benar pak Umar ikutan undian yang dilakukan produser film foto berwarna? Pak Hardjono, pak Wayan, ibu Sofni dan ibu Sarah tidak habis pikir. Tentang pengumuman pemenang ini rasanya sih iya. Dan kalau iya, wah lumayan juga kalau kepala sekolah kita ini sekarang bermobil ke sekolah. Ibu Sofni mengamat-amati pengumuman itu lebih seksama.

‘Rasanya ada yang aneh. Pemenang yang lain berikut nomor KTPnya, tapi pak Umar Hamzah……., Drs. Umar Hamzah MPd hanya dengan catatan kepala sekolah SMU Jakarta Timur. Agak aneh deh. Apa pak Umar tidak punya KTP ketika beliau mengirimkan kartu undian berhadiah?’

‘Saya rasa, saya tahu jawabnya kira-kira. Ini mungkin perbuatan murid-murid kita. Sehabis kompetisi basket tempohari Hardi mencetak dua album foto. Mungkin dia yang memasukkan nama pak Umar ke undian berhadiah ini.’

Guru-guru itu berpandang-pandangan. Sepertinya itu lebih mungkin. Sepertinya bukan pak Umar sendiri yang mengirimkan kupon undian berhadiah dari produser film foto berwarna. Tiba-tiba muncul pak Mursyid. Dia baru habis mengajar. Sudah masuk jam istirahat pertama. Lonceng tanda istirahat terdengar berbunyi. Satu per satu guru-guru kembali dari kelas masing-masing. Guru-guru itu langsung mengolok-olok pengantin baru, pak Darmaji dan ibu Rita. Ada pak Situmorang juga. Ikut juga mencandai pengantin baru. Tapi kemudian hampir semua membahas soal hadiah undian yang ada di koran itu. Pak Hardjono pergi keluar, mencari Hardi. Hardi sudah hampir lupa tentang kupon berhadiah itu. Tapi akhirnya dia ingat, Arif yang dulu mengisinya. Pak Hardjono menyuruh Hardi mencari Arif dan membawanya ke kantor guru.

Di kantor guru ramai sekali. Ada yang masih mengolok ibu Rita dan pak Darmaji. Ada yang sedang membahas kondisi Suwagito yang masih terbaring di rumah sakit. Ada yang membahas hadiah kupon undian pak Umar. Pokoknya ramai. Memang biasanya begitu. Tiba-tiba muncul Hardi bersama Arif, murid kelas tiga IPA, yang langsung dipanggil pak Hardjono.

‘Rif, apa kamu pernah mengisi kupon undian berhadiah film foto berwarna beberapa bulan yang lalu?’ tanya pak Hardjono.

‘Pernah pak. Waktu itu saya menemani Hardi mengambil hasil foto sesudah kompetisi basket. Memang ada kuponnya waktu itu. Saya isi. Atas nama pak Umar,’ jawab Arif.

Guru-guru yang berada dekat pak Hardjono terdiam. Pelan-pelan semua guru di ruangan itu terdiam.

‘Coba teruskan Rif. Bagaimana kamu tulis nama pak Umar waktu itu?’ tanya pak Hardjono lagi.

‘Saya tulis Drs. Umar Hamzah MPd, begitu pak. Pada kolom nomor kartu identitas saya tulis saja, kepala sekolah SMU 369 Jakarta Timur,’ jawab Arif.

Pak Hardjono memperlihatkan pengumuman di koran itu kepada Arif. Arif membacanya sepintas.

‘Benar seperti itu yang kamu tulis?’ tanya pak Hardjono.

‘Iya, pak. Kecuali saya tulis nomor SMUnya lengkap. Jadi pak Umar dapat hadiah mobil, pak? Subhanallah….. saya senang sekali pak,’ jawab Arif.

‘Pertanyaan saya yang pertama, kuponnya tidak ada yang kamu simpan? Maksud saya tidak ada potongannya sebagai bukti ikut serta perlombaan itu?’ tanya pak Hardjono.

‘Ada, pak. Ada, saya tarok di album foto dulu itu, Har. Kamu masih ingat nggak?’ tanya Arif ke Hardi.

‘Ya, saya masih ingat pak. Album itu masih ada di kamar saya di rumah. Saya yakin sekali itu. Tapi saya tidak melihat ada kupon didalamnya. Atau mungkin tidak saya perhatikan,’ jawab Hardi.

‘Baik, mudah-mudahan kupon itu masih ada di sana. Bisa kamu bawa besok?’ tanya pak Hardjono.

‘Kalau diijinkan bisa saya jemput sekarang pak. Rumah saya nggak jauh kok. Saya tinggal di Pondok Bambu, dekat sini saja. Dua puluh menit deh, pulang balik, mungkin kurang,’ ujar Hardi.

‘Kamu habis ini pelajaran apa?’ tanya pak Hardjono.

‘Harusnya pelajaran ibu Rita pak. Tapi, katanya ibu Rita masih cuti. Mungkin ada penggantinya. Mungkin pak….. apa ya? Apa pak Darsono? Minggu kemarin pas ibu Rita nggak ada, digantiin pak Darsono, tapi cuman satu jam pelajaran karena bentrok dengan kelas IPA 4.’

‘Kalau begitu mungkin kamu ambil saja sebentar. Tapi hati-hati. Kamu naik apa?’

‘Saya naik motor pak.’

‘Mungkin dikasih izin aja ya, bu Rita? Sebentar?’

‘Silahkan saja! Asal hati-hati! Jangan ngebut,’ ujar ibu Rita.

Hardi bergegas pergi. Pak Hardjono masih melanjutkan pertanyaan ke Arif. Guru-guru lain masih ikut mendengarkan. Semua ikut tertarik mendengarkan wawancara khusus itu.

‘Nah sekarang begini, ternyata undian ini menang Rif. Bagaimana pendapat kamu? Karena yang mengisinya adalah kamu? Kenapa sih tidak kamu isi nama kamu saja waktu itu?’ tanya pak Hardjono.

‘Ya itu milik pak Umar, pak. Jelas itu milik pak Umar. Bukan milik saya,’ jawab Arif polos.

Guru-guru pada tersenyum mendengarkan kepolosan anak ini.

‘Yakin?’ tanya pak Hardjono.

‘Yakin sekali pak. Itu milik pak Umar, karena jelas-jelas nama pak Umar tertulis sebagai pemenangnya di koran itu,’ jawab Arif.

Lonceng masuk sesudah istirahat berbunyi. Pak Hardjono sudah cukup puas dengan jawaban-jawaban Arif dan tidak ingin menanyakan apa-apa lagi.

‘Baik Rif. Nanti kami sampaikan berita ini ke pak Umar. Kita tunggu bagaimana reaksi pak Umar. Seandainya sama pak Umar kamu dikasih separo kamu mau tidak?’ tanya pak Hardjono.

‘Biar buat pak Umar saja, pak,’ jawab Arif.

‘Baiklah, kamu boleh masuk kelas. Terima kasih atas informasi kamu,’ ujar pak Hardjono.

Pertemuan itu bubar. Guru-guru itu menuju ke kelasnya masing-masing. Kecuali pak Darmaji dan ibu Rita yang masih cuti. Mereka kembali pulang.


*****

Pak Umar agak lega, karena urusan di rumah sakit Keluarga Sejahtera sudah ada kemajuan. Rumah sakit setuju mau mengoperasi Gito, dan pak Slamet menyanggupi untuk mengusahakan uang dengan menjual saja rumah tinggalnya untuk biaya operasi. Tidak perlu buru-buru. Fihak rumah sakit memberi tempo satu bulan, dengan jaminan pak Umar seperti kemarin. Setelah semua urusan itu beres, pak Umar ingin kembali ke sekolah. Operasinya sendiri akan dilangsungkan jam sebelas nanti. Masih satu setengah jam lagi. Pak Slamet mengantarkan pak Umar ke sekolah, dengan taksinya. Praktis sejak siang kemarin dia tidak bisa membawa penumpang.

Dalam perjalanan mereka terlibat obrolan.

‘Entah dengan apa jasa pak kepala sekolah akan saya bayar,’ celetuk pak Slamet.

‘Jangan pikirkan itu dulu pak Slamet. Kita berkonsentrasi dengan doa. Kita mintakan kepada Allah agar Suwagito diselamatkan Allah. Hanya Allah semata yang dapat menolong. Kita ini hanya berikhtiar, berusaha. Setelah itu kita pulangkan kepada Allah,’ jawab pak Umar.

‘Tentu, pak. Tak henti-hentinya saya berdoa. Saya ikhlas dengan musibah ini pak. Mudah-mudahan Gusti Allah menolong menyembuhkan Gito. Anak itu anak baik pak. Tidak pernah menyusahkan kami selama ini. Dia rajin dan taat, pak. Semoga saja Gusti Allah menolongnya. Ya Allah… sedihnya saya karena penderitaan Gito.’

Lama mereka terdiam. Pak Umar khawatir mengajak pak Slamet ngobrol lagi, takut dia larut dalam kesedihannya. Tapi setelah hening beberapa menit pak Umar bertanya.

‘Mobil ini mobil siapa, pak Slamet?’ tanya pak Umar.

‘Punya orang Padang. Dia tinggal dekat tempat saya tinggal pak. Orangnya baik sekali. Setorannya seratus dua puluh ribu sehari. Tadi malam saya antarkan mobil ini dan saya bilang saya sedang mengurus anak saya kena musibah dan saya minta ijin tidak bisa narik. Sama dia malah disuruh bawa terus mobilnya. Dan saya dibebaskan setoran hari ini,’ jawab pak Slamet.

‘Syukurlah kalau begitu,’ ujar pak Umar.

Akhirnya mereka sampai di SMU 369. Pak Umar turun dari mobil. Sebelum keluar dari mobil pak Umar berpesan agar dia segera diberi tahu perkembangan keadaan Gito. Dia juga mengingatkan agar berhati-hati dalam merundingkan untuk menjual rumah. Jangan terburu-buru. Tinjau betul dulu harganya. Jangan cepat saja dijual. Toh masih ada waktu satu bulan. Pak Slamet berjanji akan berhati-hati mengurus jual beli rumahnya itu.

Pak Umar langsung menuju kantornya. Ruangan guru-guru sedang kosong. Tiba-tiba terlihat seorang murid menuju ke kantor guru dari arah berlawanan. Anak itu adalah Hardi. Hardi mencari pak Hardjono. Dia kelihatan agak ragu-ragu waktu melihat pak Umar. Pak Umar melihat sesuatu yang tidak normal pada anak itu.

‘Ada apa Hardi? Kamu mencari siapa?’ tanya pak Umar.

‘Saya mencari pak Hardjono pak,’ jawab Hardi.

‘Ada apa? Pak Hardjono mestinya lagi mengajar. Kamu ndak cari di kelas atau di lapangan?’

‘Belum pak. Biar saya cari sekarang pak. Soalnya tadi saya disuruh pak Hardjono pak,’ jawab Hardi.

‘Kalau begitu coba kamu cari di sana. Sebentar saya lihat. Pak Hardjono sedang mengajar kelas dua D,’ kata pak Umar memberi tahu.

‘Baik pak,’ jawab Hardi, sambil bergegas meninggalkan ruangan guru.

Hampir saja dia terpikir mau menyerahkan sobekan kupon undian itu ke pak Umar. Hardi mencari pak Hardjono ke kelas dua D. Betul sekali dia sedang mengajar. Hardi mengetuk pintu kelas dua itu. Pak Hardjono yang melihat Hardi segera menghampirinya.

‘Kamu temukan?’ tanya pak Hardjono.

‘Ada nih, pak,’ jawab Hardi sambil menyerahkan sobekan kupon itu.

‘Bagus. Terima kasih banyak Hardi, kamu boleh masuk kelas sekarang,’ ujar pak Hardjono.

‘Baik pak. Hampir saja barusan saya berikan ke pak Umar kertas itu pak,’ ujar Hardi sebelum melangkah pergi.

‘Pak Umar sudah datang?’ tanya pak Hardjono.

‘Sudah pak. Baru saja datang. Saya barusan ketemu,’ jawab Hardi.

‘Baik. Terima kasih sekali lagi,’ ujar pak Hardjono.

Pak Hardjono kembali meneruskan pelajaran.


*****

Sunday, December 21, 2008

SANG AMANAH (101)

(101)

Jam dua lebih sepuluh siang. Hujan baru agak reda sesudah dari pagi turun tidak berhenti-henti meskipun tidak lebat. Murid-murid SMU 369 baru saja bubar. Mereka bergegas ingin cepat-cepat pulang mumpung hujan agak reda. Kebetulan siang ini tidak ada kegiatan kelas tambahan untuk anak kelas tiga. Hari Rabu memang biasanya kelas itu tidak ada. Gitopun bergegas pulang. Dia biasanya berjalan kaki saja, karena memang rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Gito berjalan tergesa-gesa menuju jalan raya Kali Malang, lalu menyeberanginya.

Jalan Kali Malang sedang macet-macetnya. Begini biasanya kalau musim hujan dan pas siang-siang begini. Tapi yang macet hanya yang dari arah Bekasi sementara arah sebaliknya kosong. Ada dua jajar mobil merayap pelan-pelan menuju ke arah Halim karena macet. Gito menyeberang di belakang kendaraan yang sedang macet itu, lalu menoleh ke kiri melihat arus lalu lintas dari arah sebaliknya yang ternyata kosong. Waktu dia mau melangkah untuk menyeberang, sebuah angkot datang dari arah Bekasi dengan laju, menggunakan jalur kosong itu. Sopir angkot itu terlambat melihat Gito dan tak ayal lalu menabraknya meski dia sudah berusaha membanting stir ke kanan. Gito jatuh terhempas dan kepalanya membentur salah satu mobil yang sedang antri dalam kemacetan. Dia langsung pingsan. Orang-orang langsung berkerumun datang menolong. Teman-teman Gito, murid SMU 369 segera menggotongnya. Sopir angkot bandel yang mencuri jalur itu, tidak berani melarikan diri. Dia membantu mengangkat tubuh Gito ke mobil angkotnya untuk diantarkan ke rumah sakit. Dengan ditemani murid-murid SMU 369, termasuk di antaranya Arif, Gito diantarkan ke rumah sakit Harmoni. Dia langsung dibawa ke unit Gawat Darurat.

Pak Umar yang diberitahu salah seorang murid tentang kecelakaan itu, bergegas menyusul ke rumah sakit Harmoni. Waktu beliau sampai di sana, Gito masih pingsan. Dia tidak mengalami luka-luka, tapi dokter menyimpulkan bahwa dia mengalami pendarahan dalam kepala akibat benturan waktu dia jatuh tadi. Menurut dokter dia harus dioperasi tapi operasi itu tidak mungkin dilakukan di rumah sakit Harmoni. Peralatan untuk operasi seperti itu tidak ada di rumah sakit ini. Dokter itu menyarankan agar Gito dibawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara yang peralatannya jauh lebih baik.

Pak Umar belum bisa memutuskan sendiri. Dia ingin berunding dulu dengan orang tua Suwagito. Bagaimana cara menghubungi orang tuanya itu? Pak Umar yang melihat Arif masih berada di rumah sakit itu menanyakan apakah Arif tahu alamat orang tua Gito. Dan Arif mengetahuinya. Pak Umar meminta agar Arif menghubungi orang tua Gito. Arif langsung berangkat ke rumah Gito naik ojek.

Dua puluh menit kemudian ayah dan ibu Suwagito sampai di rumah sakit Harmoni. Kebetulan ayah Gito baru saja pulang dari menarik taksi siang itu untuk makan siang. Mendengar berita yang disampaikan Arif mereka bergegas ke rumah sakit. Ibunya menangis histeris melihat keadaan Gito seperti itu. Pak Umar mengingatkan ibu itu agar bersabar.

Pak Umar mengajak ayah Gito untuk berunding keluar menyampaikan apa yang tadi diberitahu oleh dokter rumah sakit itu. Pak Slamet ayah Gito kebingungan mendengar yang disampaikan pak Umar. Dari penampilan pak Slamet dengan seragam sopir taksi seperti itu pak Umar sadar bahwa urusan biaya operasi itu bukan hal yang mudah bagi orang tua ini. Mereka berdua kembali menghadap dokter jaga tadi untuk berkonsultasi.

‘Pak dokter, ini orang tua dari pasien tadi. Bisa tolong pak dokter jelaskan kembali bagaimana keadaan Suwagito?’

‘Begini pak. Dia itu mengalami benturan cukup serius di kepalanya. Ada memar yang terlihat di bagian belakang kepala dekat kuping sebelah kiri. Saya khawatir luka di dalamnya lebih serius lagi. Kalau menurut pengamatan saya dia itu harus dioperasi. Tadi sudah saya sampaikan bahwa operasi seperti itu tidak mungkin dikerjakan di rumah sakit ini. Saya anjurkan untuk dibawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara.’

‘Tidak adakah kemungkinan dia disembuhkan tanpa di operasi?’ tanya pak Umar.

‘Saya khawatir tidak ada pak. Darah menggumpal cukup banyak di bagian belakang kepala itu. Darah yang menggumpal itu harus di keluarkan dengan di operasi. Karena di bagian itu tidak banyak pembuluh darah yang dapat mengalirkan darah yang bergumpal tersebut,’ jawab dokter itu pula.

‘Ya sudahlah pak. Saya akan jual rumah yang kami tempati sekarang untuk menyelamatkan anak saya Gito,’ ujar pak Slamet sendu.

Mereka sepakat memindahkan Suwagito ke rumah sakit Keluarga Sejahtera. Pak Umar ikut menemani sampai ke sana. Sampai di rumah sakit itu mereka segera dihadapkan kepada kenyataan yang tidak mereka bayangkan sebelumnya. Kepada pak Slamet diminta menyerahkan uang jaminan sebanyak empat juta rupiah kalau ingin anaknya di rawat di rumah sakit itu. Pak Slamet hampir saja menyerah dan ingin membawa saja anaknya pulang. Air mata laki-laki itu berlinang menghadapi kenyataan seperti itu. Pak Umar tidak mau menyerah. Anak ini harus diselamatkan. Pak Umar pergi menghadap direktur rumah sakit itu. Dengan jaminan pak Umar bahwa uang sebanyak itu akan diserahkannya besok, akhirnya Suwagito baru diijinkan dirawat di sana. Tapi sebelumnya sempat terjadi perdebatan panjang dengan direktur rumah sakit itu.

‘Itu sudah merupakan aturan di sini pak. Bukan apa-apa, rumah sakit ini tidak bisa dijalankan tanpa biaya. Kalau tidak ada uang jaminan, setelah anak bapak sembuh, lalu bapak diam-diam pergi siapa yang bertanggung jawab? Sering terjadi kasus penipuan seperti itu. Jadi kami tidak mau mengambil resiko,’ ungkap direktur rumah sakit itu.

‘Tapi ini darurat pak. Anak itu harus segera ditolong. Harus segera diselamatkan. Saya berjanji, insya Allah besok pagi saya serahkan uang jaminan empat juta itu ke rumah sakit ini,’ desak pak Umar.

‘Katanya itu bukan anak bapak? Kenapa bapak yang akan membayarnya besok?’ tanyanya lagi.

‘Saya gurunya. Anak itu murid saya. Murid saya yang baru keluar dari sekolah mengalami kecelakaan di jalan raya dekat sekolah saya. Saya akan membawa uang jaminan itu besok. Saya tidak punya uang itu dikantong saya sekarang. Uang itu bisa saya ambil di bank besok pagi dan saya antarkan ke sini,’ ujar pak Umar dengan suara bergetar.

‘Bapak kepala sekolahnya?’

‘Iya, saya kepala sekolahnya. Saya yang akan menjamin anak itu. Meski jaminan saya saat ini hanya bisa saya ucapkan dengan kata-kata. Atau bapak mau menyita Vespa saya?’

‘Vespa?’

‘Ya, kendaraan saya. Vespa. Mungkin harganya tidak sampai empat juta. Saya bersedia meninggalkannya di sini kalau bapak mau,’ desak pak Umar.

‘Bapak…………, sungguhan kepala sekolah anak itu?’ tanya direktur itu ragu-ragu sambil menatap tajam ke arah Pak Umar.

‘Astaghfirullah….. Ini pak, kartu pegawai saya. Ini KTP saya,’ ujar pak Umar sambil mengeluarkan surat-surat itu dari dompetnya,

‘Dan harus bapak ketahui, kalau anak itu harus dioperasi biaya operasinya akan lebih besar lagi.’

Pak Umar terdiam. Dia tidak punya bayangan dengan cara apa dia akan membantu seandainya biaya operasi itu memang jauh lebih besar. Tadi orang tua Suwagito bilang mau menjual rumahnya. Darimana akan mendapatkan pembeli secara mendadak? Uang empat juta dia yakin punya. Dia akan kumpulkan semua tabungan mereka sekeluarga, uang sebanyak itu mudah-mudahan ada. Tidak ada gunanya uang itu disimpan-simpan jika ada yang sangat membutuhkan seperti saat ini.

Atau barangkali dia minta tolong ke pak Suryanto? Ayah Adrianto itu mungkin bisa menolong pak Slamet yang malang ini, membeli rumahnya. Ah, biar satu-satu dulu. Biar dengan empat juta ini saja dulu. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kemudahan pula sesudah itu.

Direktur itu memperhatikan pak Umar yang tengah melamun beberapa saat. Timbul juga simpatinya. Orang ini pastilah orang baik. Yang mau berkorban untuk muridnya. Padahal ayah anak tadi itu, sopir taksi tadi itu, kelihatan sudah menyerah, tapi dia masih tetap gigih. Kepala sekolah SMU? Pakai Vespa? Sepertinya orang ini memang agak istimewa.

‘Begini saja, pak. Saya percaya dengan jaminan bapak. Pasien itu akan kami urus. Perlu di observasi dulu sehari ini paling tidak apakah memang bisa dioperasi. Artinya, kalau akan dioperasi nggak bakalan sebelum besok siang. Bapak punya waktu untuk mencari biaya tambahan. Jadi tolong besok bapak serahkan uang jaminan yang empat juta itu. Besok bapak akan diberitahu berapa uang jaminan untuk melakukan tindakan operasi. Bapak puas?’ tanya direktur rumah sakit itu.

‘Ya. Baik, pak. Terima kasih banyak. Saya akan menepati yang saya janjikan dan saya akan berusaha mencari biaya tambahan itu besok insya Allah,’ jawab pak Umar.

*****

Gito masih pingsan sampai keesokan harinya. Dia diinfus. Sepintas terlihat seperti orang tidur, tak berdaya. Tapi tarikan nafasnya teratur. Dia di tempatkan di bangsal, di ruang kelas tiga bersama-sama pasien-pasien lain. Ibu Gito menungguinya sejak kemarin, sambil sekali-sekali berurai air mata. Ah, kalau musibah akan datang. Tidak ada firasat, tidak ada tanda-tanda, tiba-tiba dia muncul begitu saja.

Jam sembilan pagi pak Umar sudah sampai di rumah sakit Keluarga Sejahtera itu. Diantarkan pak Slamet yang masih terbingung-bingung saja. Tadi mereka pergi ke Bank Muamalat di Bekasi. Pak Umar mengambil tabungan mereka sekeluarga berlima, untuk mendapatkan uang empat juta rupiah. Tabungan mereka bersisa seratus dua puluh delapan ribu setelah uang itu diambil.

Pak Umar menyerahkan uang itu di kasir rumah sakit. Kasir itu menyerahkan tanda terima. Tanda terima itu dibawa pak Umar ke direktur rumah sakit untuk mengambil kembali KTPnya yang kemarin ditinggalkannya di sana. Direktur itu semakin kagum saja. Orang ini memang luar biasa, katanya dalam hati.

‘Menurut laporan yang saya terima pagi ini, anak itu masih pingsan. Dokter-dokter di sini sudah mengobservasinya. Anak itu cukup sehat untuk dioperasi. Maksudnya, tekanan darahnya normal. Dan kelihatannya memang operasi itu satu-satunya jalan. Kelihatannya terjadi penyumbatan pada pembuluh darah ke otak akibat darah beku di kepala itu. Kalau darah beku itu bisa dikeluarkan, mudah-mudahan aliran darah ke otak yang sementara ini tersendat bisa lancar kembali. Demikian laporan yang saya dapatkan. Lalu mengenai biaya, saya akan bertoleransi dengan bapak. Artinya, saya bisa membebaskan biaya rumah sakit. Tapi bapak tetap dikenakan biaya obat, dokter-dokter dan perawatan. Biaya operasi itu normalnya sekitar dua puluh juta rupiah. Saya akan usahakan menekan serendah mungkin. Tapi masih tetap akan dikisaran dua belas sampai lima belas juta rupiah. Dan saya tidak akan mintakan uang jaminan, asal bapak bisa kembali menjamin seperti kemarin. Saya beri tempo bapak untuk melunasinya sekitar satu bulan. Apakah bapak sanggup?’ tanya direktur itu mengakhiri keterangannya.

‘Saya akan rundingkan sebentar dengan ayah anak itu,’ jawab pak Umar.

‘Apakah ayahnya ada di sini?’

‘Ya, dia ada di sini. Tadi kami datang bersama-sama,’ jawab pak Umar.

‘Silahkan bapak rundingkan. Beritahu saya keputusannya segera. Rencananya pasien itu akan dioperasi jam sebelas sebentar lagi,’ ujar direktur.

Pak Umar keluar mendapatkan pak Slamet. Dia menjelaskan apa yang baru saja disampaikan direktur rumah sakit itu.

‘Iya sajalah, pak. Biarlah saya usahakan menjual rumah saya itu segera. Saya kenal saudara teman sesama sopir taksi yang biasa tempat kami berhutang. Mudah-mudahan dia mau membeli rumah itu seharga itu,’ ujar pak Slamet.

‘Apa rencana pak Slamet sesudah rumah itu dijual? Dimana akan tinggal?’ tanya pak Umar.

‘Soal mudah itu pak. Saya akan mengontrak lagi. Dulu juga saya biasanya ngontrak bulanan sebelum mampu membeli rumah itu,’ jawab pak Slamet.

‘Baik, kalau begitu. Kita pastikan dulu ke direktur rumah sakit ini bahwa kita setuju. Urusan berikutnya nanti kita selesaikan pelan-pelan,’ ujar pak Umar.


*****