Monday, May 18, 2009

DERAI-DERAI CINTA (31)

31. DUA SAHABAT

Sudah hampir seminggu Lala dirawat di rumah sakit. Kesehatannya sudah berangsur-angsur pulih. Sudah tidak mual-mual lagi. Demamnya juga sudah banyak berkurang. Kata dokter dalam sehari dua, kalau kondisinya tetap bertambah baik, Lala sudah boleh pulang. Selama berada di rumah sakit uni dan mama bergantian menjaga Lala di malam hari. Yuni datang dua kali di waktu siang sehabis kuliah. Yuni berjanji akan menemani Lala hari Sabtu malam.

Imran datang sekali dua hari, biasanya menjelang maghrib. Setiap dia akan pulang, Lala selalu meminta agar besok-besok datang lagi. Imran selalu mengiyakan. Itulah sebabnya dia datang sekali dua hari. Hari Sabtu sore Imran datang lagi ke rumah sakit. Lala sangat senang setiap kali Imran datang berkunjung. Sangat senang kalau ditemani Imran. Entah kenapa, setiap kali melihat Imran ada suatu perasaan yang dia tidak tahu apa artinya, bergelora di dalam hatinya. Imran adalah kakak sepupunya. Dia tahu Imran menganggap dia sebagai adiknya. Tapi perasaan di hati Lala mengharapkan Imran lebih dari sekedar kakak sepupu. Lebih dari sekedar kakak.

Sebaliknya Imran seperti tidak merasakan apa-apa. Ketika dia datang ke rumah sakit, dia merasa kedatangannya itu sebagai suatu yang biasa-biasa saja. Karena Lala adalah anak mak dang Taufik. Lala adalah adik sepupunya.

Waktu Imran datang hari Sabtu sore Lala sedang ditemani tante Ratna. Muka Lala sudah tidak pucat seperti terakhir kali dilihatnya. Sudah kelihatan lebih segar.

‘Ada kuliah juga hari Sabtu ini, Ran,’ tanya tante Ratna menyapa Imran.

‘Tadi ada tugas mengawasi praktikum, mak tuo,’ jawab Imran.

‘Bang Imran kan asisten dosen sekarang, ma,’ Lala menambahkan.

Imran hanya tersenyum.

‘Bagaimana? Sudah banyak kemajuan?’ tanya Imran.

‘Sudah lumayan, bang,’ jawab Lala.

‘Sudah dikasih tahu dokter kapan bisa pulang?’

‘Kata dokter mungkin dalam dua hari ini sudah boleh pulang. Mudah-mudahan hari Senin. Lala sudah bosan disini....’

’Disini kan tujuannya untuk beristirahat...’

‘Ya.... Tapi ngebosenin.... Nggak enak....’

‘Ya iyalah...... Mana ada rumah sakit yang enak. Yang namanya rumah sakit ya seperti ini,’ tante Ratna ikut berkomentar.

‘Makannya sudah normal? Atau masih makan nasi bubur?’

‘Masih. Masih belum boleh makan nasi biasa,’ tante Ratna yang menjawab.

‘Nggak enak. Ngelihatnya aja udah malas...’

‘Tapi kan harus makan. Biar bertambah tenaga. Kalau tidak akan lama sembuhnya..’

Mereka ngobrol sampai terdengar azan maghrib. Imran pergi shalat maghrib ke mushala di rumah sakit itu. Tidak lama kemudian bang Lutfi dan teteh Yani datang menjemput mama. Abang akan mengantar mama pulang dan sekalian menjemput Yuni karena dia yang akan menjaga Lala malam ini. Teteh menunggu di rumah sakit sampai Yuni datang.

Waktu Imran kembali dari shalat maghrib yang ada hanya teteh Yani.

‘Mak tuo kemana ?’ tanya Imran.

‘Sudah pulang diantar abang,’ jawab Lala.

‘Apa kabar, teh?’ tanya Imran ke teteh Yani.

‘Baik-baik saja..... Kamu bagaimana? Kuliahnya lancar?’ tanya teteh Yani pula.

‘Alhamdulillah aman-aman saja, teh,’ jawab Imran.

‘Sibuk terus dong sekarang.’

‘Lumayan sibuk.’

‘Pantesan jarang ke Sekeloa, ya?’

‘Emang, nih. Bang Imran nggak pernah main ke rumah,’ Lala ikut menambahkan.

Imran hanya tersenyum mendengar ocehan Lala.

Sebenarnya dia sudah ingin pulang. Tapi tidak enak meninggalkan Lala sekarang. Biarlah dia tunggu sampai sehabis shalat isya.

Mereka melanjutkan obrolan santai. Teteh Yani menyindir Imran, apakah dia tidak pergi bermalam minggu. Imran balik bertanya dengan lugu, bermalam minggu kemana? Teteh memperjelas pertanyaan apakah Imran tidak pergi ke rumah pacarnya? Kata Imran dia tidak punya pacar. Mereka tertawa-tawa bertiga disela-sela obrolan dan jawaban-jawaban Imran yang lugu dan lucu.

Sampai terdengar azan isya. Imran pamit lagi mau pergi shalat.

Kembali dari shalat isya teteh Yani sudah tidak ada. Yang ada sekarang Yuni. Rupanya sudah terjadi lagi pergantian yang jaga ketika Imran pergi shalat. Yuni tidak tahu kalau Imran sudah dari tadi berada di rumah sakit.

‘Kok kayak janjian, pas Yuni datang bang Imran juga datang,’ kata Yuni menyapa.

‘Yuni baru datang rupanya...... Apa kabar?’

‘Kabar baik-baik, bang.’

‘Bang Imran sudah disini sejak tadi, tau ?’ kata Lala.

‘Emangnya barusan dari mana?’ tanya Yuni lagi.

‘Dari shalat isya di mushala,’ jawab Imran.

‘Bang Imran sangat taat..... Senang punya abang yang taat....’ Yuni asal ngomong.

‘La, abang pulang dululah ya? Kan sudah ada Yuni yang menemani Lala.’

‘Mau kemana sih bang? Kok buru-buru?’ tanya Yuni.

‘Saya mau mengerjakan tugas praktikum,’ jawab Imran.

‘Yaa... bang. Kan malam minggu. Atau abang mau ke tempat pacar ya?’

‘Benar, saya mau mengerjakan tugas. Untuk hari Senin ada tiga tugas yang harus dikumpulkan,’ Imran menjelaskan.

‘Ya lah bang. Mudah-mudahan hari Senin Lala sudah boleh pulang. Abang doain saja.’

‘Akan abang doakan.... Baik-baik kalian berdua, ya. Abang pergi dulu....’

‘Hati-hati bang....’

Imran segera meninggalkan rumah sakit.


***

Sepeninggal Imran kedua sahabat itu membahas pribadi Imran.

‘Aku benar-benar tertarik sama bang Imran itu,’ kata Yuni mengawali.

‘Tertarik apanya?’ jawab Lala.

Dada Lala sebenarnya bergemuruh mendengar pernyataan Yuni.

‘Dia benar-benar laki-laki ideal. Taat. Gagah. Pintar, calon insinyur. Tidak bisa kau membantu agar aku jadi pacarnya?’

‘Dia bukan laki-laki yang suka berpacaran.’

‘Maksudmu?’

‘Dia yang bilang begitu. Tadi teteh menanyakan tentang pacar juga. Begitu jawabnya.’

‘Ah... Pasti dia itu laki-laki normal.’

‘He..he..he.. Tadi teteh Yani juga menanyakan begitu sambil bercanda. Kamu ini laki-laki normal nggak, sih ? Terus dia jawab, bahwa dia sangat normal. Pada waktunya dia akan menikah. Akan punya istri. Tapi tanpa proses berpacaran, begitu katanya.’

‘Masak dia nggak mau pacaran?’

‘Dia yang bilang.’

‘Kenapa? Alasannya apa?’

‘Alasannya, berpacaran itu mendekati maksiat. Mendekati perbuatan dosa.’

‘Begitu katanya......? Tambah naksir aku padanya. Tambah pengen aku jadi istrinya. Bisa kau tolong bilangin ke dia?’

‘Hih. Ganjen kali kau ini.’

‘Aku ndak ganjen bagai, do.’

‘Apa namanya kalau bukan ganjen?’

‘Aku wanita normal. Tertarik sama anak laki-laki gagah macam bang Imran itu kan normal. Masak kau bilang aku ganjen?’

‘Sudahlah. Kau berharap sajalah. Dan berdoa, kalau kau memang menginginkan dia. Akupun akan berdoa pula.’

‘Begitu baru namanya sahabat....... Kau akan berdoa untukku kan?’

‘Tidak. Aku akan berdoa untukku pula.... he..he..he...’

‘Maksudmu?’

‘Maksudku, aku akan berdoa untuk diriku sendiri.’

‘Untuk mendapatkan bang Imran?’

‘Kenapa tidak?’

‘Gila kau. Kau naksir pula sama dia? Itu kan saudaramu?’

‘Tapi aku bisa dan boleh jadi istrinya.....’

‘Kau serius?’

‘Memangnya kenapa kalau aku serius?’

‘Benar-benar gila... Kau sungguh-sungguh menginginkan bang Imran?’

‘Aku sejujurnya juga sangat mengagumi bang Imran.’

‘Wah, payah kau ini. Berat dong sainganku kalau kau juga naksir padanya.’

‘Kenapa berat? Mari bersaing secara fair. ‘

‘Serius kau?’

‘Dari tadi serius-serius melulu..... Sudahlah.... Sementara ini kita lupakan saja dia...’

Yuni masih penasaran. Antara percaya dan tidak dia dengan apa yang diucapkan Lala. Rasanya tidak mungkin kalau Lala sekedar bercanda. Selama ini memang tidak ada rahasia di antara mereka berdua. Tapi untuk hal yang satu ini, tidak pernah sedikitpun terlintas dalam omongan mereka selama ini.


*****

Sunday, May 17, 2009

DERAI-DERAI CINTA (30)

30. LALA SAKIT

Masa kuliah dengan segala kesibukannya sudah kembali berjalan. Setiap hari adalah hari-hari yang sibuk. Sibuk dengan kuliah, dengan praktikum, dengan tugas-tugas seperti biasa. Imran punya tambahan kesibukan baru. Menjadi asisten dosen untuk membantu dan mengawas di ruang praktikum. Dengan kesibukan rutin pula di rumah. Seperti biasa, sibuk mengurus urusan dapur. Urusan perut. Sejak berada di Bandung Imran sudah sangat terlatih dengan kesibukan yang satu ini. Meski kalah lincah dibandingkan Imran, Syahrul juga terbiasa untuk bekerja sama. Kedua anak muda itu tidak canggung untuk pergi berbelanja ke pasar. Menenteng bungkusan plastik berisi belanjaan bahan makanan. Biasanya mereka bergantian pergi berbelanja. Semua dikerjakan dengan santai.

Siang ini Imran ada praktikum dari jam dua sampai jam empat sore. Sebelum praktikum dimulai, Tahir datang membawa berita.

‘Ada pesan dari anak mamak kau,’ katanya.

‘Pesan apa?’ tanya Imran.

‘Adik sepupu kau sakit dan masuk rumah sakit. Ini ada surat untuk kau dari kakaknya yang teman kakakku.’

Imran membuka amplop surat dari uni Lani. Isinya memberi tahu bahwa Lala sakit dan mulai siang ini diopname di RS Hasan Sadikin. Tidak dijelaskan sakit apa. Tapi badannya panas, begitu kata uni Lani.

‘Terima kasih, Hir...... Kapan kakak sepupuku itu bertemu denganmu?’

‘Persis aku mau berangkat kesini. Dia datang ke rumah,’ jawab Tahir.

‘Mungkin dia kecapekan barangkali,’ Imran bergumam.

‘Mungkin juga. Dia anak bungsu ya? Anak bungsu kan biasa agak cengeng.’

‘Iyalah. Terima kasih sekali lagi. Nanti pulang praktikum aku pergi melihatnya,’ kata Imran.


***

Seperti yang direncanakannya sepulang praktikum Imran pergi mengunjungi Lala di rumah sakit. Ada uni Lani disana menungguinya. Lala sedang tertidur. Dia diinfus.

‘Sakit apa dia?’ tanya Imran ke uni Lani setengah berbisik.

‘Kata dokter mungkin gejala tiphus. Sekarang panasnya naik lagi nih. Kemarin sampai mengigau,’ jawab uni Lani.

‘Sejak kapan ?’

‘Dari kemarin mengeluh sakit perut. Sampai muntah-muntah. Sore kemarin panasnya tinggi. Sama bang Lutfi disuruh kompres. Sampai tadi pagi agak baikan. Terus siang ini merasa mual dan muntah-muntah lagi. Lalu sama abang langsung disuruh opname.’

‘Mungkin salah makan,’ kata Imran.

‘Kebanyakan jajan bakso. Makan bakso pakai sambel yang pedes nggak ketulungan itu.’

‘Mungkin juga kecapekan,’ tambah Imran.

‘Memang lagi sibuk-sibuknya.’

Tiba-tiba Lala mengigau lagi. Dia menggerutu tidak jelas dengan suara sengau. Suhu badannya panas sekali. Mungkin diatas 39 derajat. Uni Lani membel suster perawat. Sementara itu kening Lala dikompresnya dengan handuk dingin. Lala mulai diam. Suster perawat datang memberikan obat untuk menurunkan panas. Uni membangunkan Lala menyuruhnya minum obat. Lala membuka matanya. Mata yang sayu.

‘Bang Imran, ya?’ Lala menyapa begitu melihat Imran.

‘Ya...... Semoga Lala cepat sembuh....’ kata Imran.

Lala mengangguk dan tersenyum. Diminumnya obat penurun panas yang diberikan uni Lani. Lala kembali berbaring. Dipejamkannya matanya. Cepat juga reaksi obat itu. Pelan-pelan badan Lala terasa agak nyaman. Panas badannya mulai turun.

‘Jam berapa un?’ tanya Lala.

‘Jam lima seperempat,’ jawab uni Lani.

‘Uni nggak jadi pergi?’ tanya Lala lagi.

‘Ntar ajalah,’ jawabnya lagi.

‘Mau kemana, un?’ Imran ikut bertanya.

‘Tadinya mau menyerahkan makalah. Uni janji hari ini.’

‘Pergi saja un. Kan ada bang Imran. Abang tungguin Lala, ya?’

‘Ya... Kalau uni mau pergi biar saya disini menjaga Lala,’ kata Imran.

‘Kamu nggak apa-apa uni tinggal?’

‘Nggak apa-apa.... Mama jadi datang kan ?’

‘Mudah-mudahan mama datang malam ini. Tadi pesawat Caltex berangkat sore dari Pakan Baru. Tapi uni nggak tahu jam berapa mama sampai nanti...’

‘Ya udah... Uni pergi aja. Abang juga ntar kesini, kan ?’

‘Ya... abang kesini pulang dari praktek..... Benar kamu nggak apa-apa uni tinggal ?’

‘Nggak apa-apa.’

‘Kalau gitu uni pergi sebentar ya Ran. Ntar dari rumah dosen itu uni kembali lagi kesini.’

‘Ndak apa-apa un. Uni pergi aja. Biar saya disini.’

Uni Lani meraba kening Lala. Lala kelihatan lebih baikan. Badannya sudah tidak panas lagi. Baru Lani merasa tenang meninggalkan Lala. Meninggalkan mereka berdua.

‘Apa yang terasa sakit?’ tanya Imran.

‘Perut. Perut Lala mual........ Abang tahu dari siapa kalau Lala sakit ?’

‘Dari uni. Uni mengasih tahu melalui teman abang yang tinggal di sebelah rumah di Sekeloa.’

‘Adiknya kak Ida Tarigan itu? Yang namanya Tahir ya, bang ?’’

‘Ya......’

‘Abang kuliahnya barengan dengan dia terus, ya....... ‘

‘Ya, hampir selalu.’

‘Nggak ada kuliah sore tadi, bang ?’

‘Tadi ada praktikum. Pulang dari praktikum abang kesini.’

‘Iya, nih. Kacau...... Bagaimana kuliah sama praktikum Lala nanti?’

‘Jangan dipikirin dulu. Nanti ikut praktikum susulan. Nanti pinjam catatan kuliah teman...’

‘Doain Lala cepat sembuh ya bang ?’

‘Ya, pasti abang doain.’

‘Kemarin siang pulang kuliah Lala seperti mau pingsan. Pusing dan perut mual.’

‘Kata uni karena kebanyakan jajan bakso. Benar?’

‘Iya.... Barangkali memang gara-gara itu. Lala dan Yuni hampir tiap hari jajan bakso.’

‘Yuni nggak apa-apa ?’

‘Nggak apa-apa tuh.... Dia aman-aman aja....’

‘Nanti kalau sudah sembuh dikurang-kurangi...’

‘Lala kapok sekarang.... ‘ kata Lala sambil menguap.

‘Lebih baik Lala istirahat. Nanti kalau kebanyakan ngomong panasnya naik lagi.’

‘Iya sih. Tapi pegel juga tiduran terus begini.’

‘Ya harus istirahat. Kan lagi sakit....’

‘Bang Imran nggak kemana-mana kan?’

‘Ndak. Abang tungguin disini. Lala tidur saja...’

Lala memicingkan matanya. Akhirnya dia tertidur.

Sementara Lala tidur, Imran membaca-baca catatan praktikumnya tadi sore.


***

Jam setengah delapan uni Lani sudah kembali lagi.

‘Lagi tidur.... ? Sudah lama dia tidur?’ tanya uni berbisik sambil meraba kening Lala.

‘Hampir sejak uni pergi tadi....... Sudah beres urusannya, un ?’

‘Sudah.... Uni cuman menyerahkan laporan saja, kok.......’

‘Tante mau datang sendiri?’

‘Iya.... Kan papa kerja...’

‘Karena Lala sakit atau memang sudah ada rencana mau kesini ?’

‘Karena Lala sakit. Lala yang menelpon mama tadi malam.’

‘Mudah-mudahan Lala cepat sembuh....’

‘Amiin..... Dari tadi aman-aman saja? Maksud uni, Lala nggak ada mengigau?’

‘Ndak ada. Tadi ada dokter datang memeriksa. Tapi Lala tidur. Kata dokter biar saja dia tidur, ndak usah dibangunin. Katanya pula suhu badan Lala normal.’

‘Syukurlah....... Kamu tahu kenapa uni mengasih tahu kamu, Lala sakit?’

‘Nggak........ Kan wajar saja saya dikasih tahu. Memangnya kenapa?’

‘Kemarin waktu mengigau Lala memanggil-manggil kamu. Katanya, bang Imran, bang Imran, jangan tinggalin Lala. Memang sih, cuman igauan.... Tapi siapa tahu, kalau ketemu kamu menyenangkan hati Lala. Membantunya biar cepat sembuh. Makanya tadi uni pengen kamu datang.’

‘Wajar-wajar saja saya dikasih tahu. Namanya kita bersaudara....’

‘Ya... Uni senang kamu bisa datang.... Tapi ngomong-ngomong, kamu pasti banyak tugas di rumah. Kalau kamu mau pulang, nggak apa-apa. Tinggalin aja uni. Sebentar lagi abang juga datang.’

‘Uni mau menjagain Lala disini malam ini?’

‘Lihat bagaimana nanti. Tapi memang harus ada yang menjagai dia.’

Lala terbangun. Mungkin mendengar suara percakapan setengah berbisik-bisik itu.

‘Eh.... Uni sudah balik?’

‘Sudah...... Bagaimana? Enakan? Kamu makan ya. Habis tu minum obat.’

‘Perut Lala masih agak mual...’

‘Dipaksain aja makan. Biar habis itu bisa minum obat.’

Lala mau makan. Makan bubur, disuapi uni.

‘Imran mungkin banyak tugas. Nggak apa-apa dia pergi ya?’ tanya uni.

‘Iya, bang?’ tanya Lala.

‘Ya. Abang pulang dululah ya? Besok abang kesini lagi,’ jawab Imran.

‘Doain Lala, ya...’

‘Insya Allah abang doain.’

‘Ya, udah. Terima kasih ya, bang. Hati-hati....’

Imran berpamitan ke uni lalu pergi.

*****

Saturday, May 16, 2009

DERAI-DERAI CINTA (29)

29. PERTANYAAN

Akhirnya mereka bertemu siang hari itu. Di ujung jalan sebelum masuk ke gang tempat tinggal mereka. Ratih baru kembali dari acara di kampus. Imran dari Balubur. Imran yang melihat Ratih di kejauhan. Mukanya terlihat merah ditimpa sinar matahari siang. Ratih tersenyum begitu dia melihat Imran.

‘Susah benar dicari orang penting ini..... Kapan dari Jakarta?’ Ratih yang duluan menyapa.

‘Susah dicari bagaimana.... ? Saya pulang kemarin sore,’ jawab Imran tersenyum.

Mereka berjalan bersama di gang menuju ke rumah.

‘Kemarin sore? Tadi malam Ratih lewat di depan rumah masih gelap, kok.’

‘Jam berapa?’

‘Sekitar jam delapan malam,’ jawab Ratih.

‘Mungkin waktu kami pergi makan ke luar.’

‘Kami? Maksudnya kak Syahrul juga sudah kembali?’

‘Sudah. Tadi malam.’

Beberapa saat kemudian keduanya saling diam. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar mengetuk jalan beton di gang.

‘Saya berkali-kali mencari kak Imran....’ kata Ratih memecah keheningan.

‘Waktu itu saya kerja praktek lapangan. Empat puluh hari. Terus, waktu kembali kebetulan ada paman saya disini. Terakhir saya ke Jakarta. Syahrul memang bilang kalau Ratih mencari saya. Ada apa?’ Imran menjelaskan.

‘Ratih merasa kehilangan waktu kak Imran nggak ada.’

‘Kok bisa begitu? Kenapa?’

‘Entah. Senang rasanya setiap kali ngobrol dengan kak Imran.’

Imran terdiam. Apa maksud gadis ini? Dia bercerita apa adanya atau sedang merayu? Dia mengucapkan kata-kata tadi dengan polos. Tanpa beban. Tanpa malu-malu. Dan kata-katanya juga datar-datar saja. Mungkin saja dia memang senang diajak ngobrol. Bukankah obrolan mereka tidak pernah sekali juga menyinggung hal-hal yang tabu? Yang tidak sopan? Yang tidak pantas?

‘Sebenarnya ada hal lain yang ingin saya tanyakan,’ jawab Ratih lagi.

‘Tentang apa?’ tanya Imran.

‘Tentang Minang. Tentang kebiasaan orang Minang. Boleh?’

Mereka sudah sampai di depan rumah kontrakan Imran.

‘Boleh saja. Tentang kebiasaan orang Minang yang mana?’

‘Kak Imran nggak sedang capek?’

‘Ndak. Saya santai-santai saja. Mungkin Ratih justru yang kecapekan. Kayaknya dari acara ospek, ya?’

‘Saya juga nggak capek kok. Barusan sedikit olah raga berjalan kaki dari Dago. Tapi benar. Ratih nggak apa-apa. Apa boleh bertanyanya sekarang?’

‘Boleh. Kalau mau, mari kita ngobrol di dalam,’ ajak Imran.

Ratih mengangguk.

‘Yang mau Ratih tanyakan ini berdasarkan cerita benaran. Ada teman, orang Padang, yang bilang bahwa di Minangkabau harta warisan adat adalah milik perempuan. Seperti rumah adat, sawah ladang, semua adalah milik perempuan. Ratih menanyakannya ke uci. Tapi uci tidak mau menjelaskan. Beliau bilang harta di kampung itu bermasalah. Ratih tanyakan apa masalahnya. Beliau tidak mau menjelaskan, selain mengatakan bahwa uci tidak pernah mau memikirkan harta yang tinggal di kampung itu. Terus, Ratih tanya siapa yang mengurusnya? Beliau bilang diurus sama saudara-saudara uci yang masih tinggal di kampung. Pertanyaan Ratih, bagaimana sebenarnya pengaturan harta di Minang sana?’

Imran tidak bisa segera menjawab. Ini bukan pertanyaan yang mudah menjawabnya. Dia pernah mendengar perdebatan di mesjid. Perdebatan antara orang-orang dewasa waktu dia masih murid SMP dulu di kampung. Ada yang mengatakan bahwa menurut hukum Islam harta itu diwariskan kepada anak-anak dengan bagian untuk anak laki-laki lebih banyak dari pada bagian anak perempuan. Sedangkan di kampung, betul seperti yang ditanyakan Ratih, harta itu diatur dan diurus oleh kaum wanita. Apakah itu yang dimaksud neneknya Ratih bahwa harta di kampung itu bermasalah?

‘Kenapa timbul pertanyaan seperti itu?’ tanya Imran setelah hening beberapa saat.

‘Ratih bercerita kepada teman yang orang Padang, seperti kak Imran katakan bahwa menurut sistim adat Minang, Ratih adalah orang Minang. Lalu dia bercerita, kalau di Padang, maksudnya di negeri Minang, orang wanita yang memiliki harta pusaka adat. Berarti Ratih juga mempunyai harta di Minang sana. Begitu katanya. Pertanyaan awalnya, apakah benar demikian. Ratih bertanya ke uci. Nggak tahunya jawaban uci seperti itu. Makanya Ratih ingin tahu penjelasan dari kak Imran yang tentu lebih tahu....’

‘Saya ndak tahu juga harus menjawab bagaimana. Kenyataannya memang harta pusaka, apakah itu sawah, kebun dan rumah itu dimiliki kaum wanita.’

‘Jadi orang laki-laki disana tidak punya harta?’

‘Punya. Kalau dia bekerja atau berdagang, maka orang laki-laki mempunyai hasil yang dia peroleh dari pekerjaannya atau dari perdagangannya.’

‘Jadi maksudnya?’

‘Maksudnya....... Sawah atau kebun atau rumah yang bukan dibeli atau diusahakan oleh orang laki-laki, memang dimiliki oleh orang perempuan. Tapi hasil perolehan laki-laki dari usahanya sendiri, misalnya karena perdagangannya, dia beli mobil atau dia buat rumah, setahu saya itu adalah hartanya. Miliknya.’

‘Kok begitu ya?’

‘Itu saya tidak tahu. Tapi memang begitu...’

‘Kalau orang tua meninggal, kepada siapa harta itu diberikan?’

‘Harta yang mana?’

‘Harta seperti sawah ladang tadi itu.’

‘Dimiliki oleh anak-anak perempuan lagi.’

‘Kalau tidak ada anak perempuan? Seperti kak Imran, katanya kakak tidak punya saudara perempuan?’

‘Saya tidak tahu tepatnya. Kalau saya tidak salah, harta itu akan jadi milik saudara sepupu saya yang perempuan. Jadi bukan kepada saya. Kenapa demikian? Entahlah. Saya belum mempunyai pengetahuan tentang itu.’

‘Aneh sekali ya?’

‘Mungkin kamu benar. Mungkin cara seperti itu memang aneh. Tapi saya benar-benar tidak tahu jawabannya.’

‘Bagaimana dengan harta yang ditinggalkan ayah? Seandainya ada?’

‘Ditinggalkan untuk anak. Saya bisa mengatakan begitu karena sepeda peninggalan ayah saya, tidak ada yang protes. Saya yang mewarisi dan menggunakannya di kampung.’

‘Satu pertanyaan lagi, kak. Benarkah orang wanita di kampung tinggal berkelompok sesama saudara perempuan? Di satu rumah yang sama. Atau kalaupun rumahnya berbeda masih di pekarangan yang sama? Lalu suami mereka yang datang ke rumah perempuan itu? Apa benar demikian?’

‘Benar.’

‘Jadi bukan istri ikut ke rumah suami?’

‘Suami kan tidak punya rumah.’

‘Lah. Katanya kalau suaminya berusaha, punya penghasilan, dia buat rumah, atau dia beli kendaraan. Semuanya jadi milik laki-laki. Milik si suami. Apa istrinya tidak dibawa ke rumah yang dibangunnya sendiri itu?’

‘Pertanyaanmu sulit-sulit. Kalau seorang laki-laki membangun rumahpun, biasanya dibangunnya di lingkungan tempat tinggal istrinya.’

‘Ooo..... Jadi begitu ya, kak.’

‘Yang saya ceritakan hanya yang saya lihat dan saya ketahui. Tapi saya tidak punya cukup pengetahuan untuk menjelaskannya secara lebih jelas.’

‘Baiklah, kak...... Itulah yang ingin Ratih tanyakan sejak lebih sebulan yang lalu.’

‘Kenapa tidak menanyakannya ke Syahrul?’

‘Pertama, karena awal ceritanya Ratih dapatkan dari kak Imran. Kedua, karena kak Syahrul orangnya agak pendiam. Ratih belum pernah ngobrol berdua saja dengannya. Malu mau bertanya sama kak Syahrul.’

‘Keterangan saya tidak menjawab semua pertanyaan.’

‘Ada pertanyaan terakhir, kak.’

‘Apa itu?’

‘Masih adakah sekarang di Minang anak-anak muda dijodoh-jodohkan?’

‘Mungkin saja. Saya rasa itu bukan hanya di Minang. Dimana-mana ada saja orang tua yang menjodoh-jodohkan anak-anaknya. Kenapa?’

‘Kalau kak Imran........ Sudah dijodohkan juga?’

‘Kok pertanyaannya jadi kesana?’

Muka ratih memerah ditanya balik seperti itu.

‘Maaf kalau pertanyaannya lancang. Ratih hanya sekedar bertanya....’

‘Saya tidak merasa dijodoh-jodohkan.’

‘Ya baiklah, kak. Terima kasih banyak atas penjelasan-penjelasan kak Imran tadi. Maaf kalau ada salah-salah kata. Ratih pamit dulu....’


*****

Friday, May 15, 2009

DERAI-DERAI CINTA (28)

28. LAMUNAN DALAM KESEPIAN

Rizal ikut sebagai panitia perkenalan mahasiswa baru di kampusnya. Imran lebih betah di Jakarta kalau bersama-sama Rizal. Karena Rizal sibuk, Imran memilih kembali ke Bandung. Selama seminggu di Jakarta dia ke hilir ke mudik dengan Rizal di siang hari yang panas, menumpang bus Kopaja atau Metro Mini. Melintasi jalan raya yang macet. Melihat-lihat kota Jakarta yang panas dan berdebu. Terasa betapa Bandung memang lebih nyaman dibandingkan Jakarta. Bandung lebih bersahabat. Walaupun Bandung kadang-kadang juga cukup panas di siang hari.

Dia berangkat setelah berpamitan dengan nenek. Setelah berpamitan dengan mak tuo Fatma dan etek Munah. Sudah lepas rindu nenek kepadanya begitu pula rindunya kepada orang tua yang sangat disayanginya itu. Seperti biasa nenek menasihatinya agar berhati-hati, agar bekerja keras menyelesaikan sekolahnya. Biar cepat tamat dan usahakan untuk datang ke Jakarta kalau ada masa libur, begitu pesan beliau. Imran tersenyum mendengarnya. Dia berjanji akan mengerjakan seperti yang dinasihatkan nenek.

Imran naik kereta api Parahiyangan kembali ke Bandung. Rizal mengantarnya ke stasiun Jatinegara. Kecuali karena jadwalnya yang terbatas, naik kereta api sebenarnya lebih nyaman. Tempat duduknya lebih lega. Apa lagi naik kereta api Parahiyangan yang menempuh jarak Jakarta - Bandung dalam waktu tiga setengah jam. Dengan bus diperlukan waktu sampai lima jam untuk menghubungkan kedua kota ini. Jam lima kurang Imran sudah sampai di stasiun Bandung. Masih siang dan udara cerah. Dia langsung naik oplet ke arah Dago.

ITB masih sibuk dengan masa perkenalan mahasiswa baru. Waktu turun oplet Imran melihat serombongan mahasiswa baru dengan atribut aneh-aneh mereka mengayuh sepeda beriringan. Mahasiswa baru angkatan 1984. Mereka diijinkan untuk sejenak beristirahat dan mandi, sebelum melanjutkan acara lagi nanti malam. Imran masih ingat bagaimana beratnya masa-masa perkenalan itu dulu. Digojlok mahasiswa-mahasiswa senior sejak pagi buta sampai tengah malam. Banyak teman-temannya, anak-anak orang berada yang manja-manja terampun-ampun selama masa perkenalan itu. Imran membayangkan tentu Lala sedang mengalami hal yang sama saat ini.

Didapatinya rumah terkunci. Rumah kontrakan mungil yang sudah ditempatinya selama dua tahun. Di meja belajarnya ada secarik kertas. Pesan dari Syahrul. Rupanya dia juga ke Jakarta dua hari yang lalu. Disertai pesan tambahan, ‘si R uring-uringan dan berkali-kali menanyakan kapan kau pulang.’ Timbul sedikit rasa kasihan dalam hati Imran. Meski dia tidak tahu apa sebenarnya kepentingan Ratih ingin bertemu dengannya. Apa sebaiknya dia datang ke rumah sebelah? Menemui Ratih? Tapi ah, biarkan sajalah, pikirnya. Kalau dia datang dan bertemu layani dia berbicara baik-baik. Jangan datang berkunjung ke rumahnya, nanti bisa menimbulkan persepsi yang aneh-aneh.

Tiba-tiba bayangan anak dara itu mampir di otaknya. Bayangan Ratih. Dalam bayangan Imran anak gadis itu cukup sopan. Mungkin karena dia baru beberapa kali saja ngobrol dengannya. Dia mengenal beberapa anak-anak gadis yang lain, teman sama kuliah dari jurusan lain, yang bergaul akrab dengan anak laki-laki. Saling colek, saling berpegangan tangan tanpa malu-malu. Imran sangat risih melihatnya. Entahlah kalau mereka itu berpacaran pula. Apakah Ratih juga seperti itu dengan teman laki-laki di tempat kuliahnya? Aneh, kenapa bayangan Ratih ini tiba-tiba muncul di pikirannya?

Dinyalakannya tv. Untuk sekedar melengahkan pikiran. Ada acara taman kanak-kanak di TVRI. Lucu-lucu penampilan anak-anak kecil itu di depan kamera tv. Mereka menyanyi dengan lidah yang masih cadel terpatah-patah, dengan senyum polos kanak-kanak, dengan gerakan tubuh patah-patah yang kaku. Masa kanak-kanak memang masa yang paling indah. Bayangan Imran surut ke masa kanak-kanaknya di kampung. Masa bahagia dengan ibu dan ayah. Ketika dia juga menjadi murid Taman Kanak-kanak di kampungnya. Dan sekali waktu dibawa ibu-ibu guru untuk mengisi acara di RRI Bukit Tinggi. Ternyata itu adalah kenangan dari lima belas tahun yang lalu. Sudah cukup lama.

Sekarang usianya sudah lebih dua puluh tahun. Sebatang kara karena dia anak tunggal. Dia berbeda dengan Rizal yang punya kakak-kakak. Dan masih punya ayah dan ibu. Dia berbeda dengan anak-anak etek Munah. Walaupun di tengah keluarga mak tuo Fatma dan etek Munah dia diperlakukan seperti anak sendiri, dia tidak mungkin memungkiri kenyataan bahwa dia adalah anak yatim piatu. Ayah sudah meninggalkannya sebelas tahun yang lalu ketika dia masih duduk di kelas tiga SD. Sementara ibunya meninggal enam tahun kemudian. Ibu meninggal dipelukannya ketika terjadi bencana besar. Galodo, atau banjir bandang disertai batu-batu besar yang melanda dan merusak kampung. Ibunya yang sakit lumpuh terkorban pada waktu itu. Beliau menghembuskan nafas terakhir dipelukan Imran dengan pesan terakhir agar dia berhati-hati dalam menjalani hidup. Pesan yang selalu terngiang-ngiang di telinganya sampai sekarang.

Kenapa lamunannya sampai sejauh itu? Atau mungkinkah karena selama seminggu dia berada di tengah-tengah keakraban dua buah keluarga yang bahagia? Keluarga mak tuo Fatma dan etek Munah yang selalu hangat dan ceria? Sepertinya, meskipun dirinya diterima dengan penuh kehangatan dalam keluarga besar itu, alam bawah sadarnya tetap merasa iri tanpa dia sadari. Dia tidak memiliki kehangatan seperti yang dirasakan Rizal. Seperti yang dirasakan Dito, Andam dan Deman anak-anak etek Munah. Apalagi sekarang dia kembali berada di tempat tinggalnya. Sunyi di dalam kesendirian. Di rumah kontrakan ini.

Imran dikagetkan oleh suara azan maghrib. Dia bergegas pergi berwuduk. Dan pergi ke mushala untuk shalat berjamaah. Mushala itu berjarak sekitar tiga ratus meter saja dari tempatnya. Imran cukup rajin ikut shalat berjamaah di mushala itu. Jemaahnya tidak banyak. Yang banyak justru anak-anak kecil yang belajar membaca al Quran di mushala itu. Sehabis shalat maghrib dia tidak langsung pulang. Dia ikut mengaji. Dengan suara pelan. Dia sering melakukan hal yang sama di mushala ini.

Sesudah shalat isya baru dia kembali ke rumah. Dia melewati jalan di depan rumah induk tempat keluarga pak Bambang Sadarta tinggal. Jalan satu-satunya untuk ke mushala. Bagian depan rumah itu terlihat sepi dari luar. Mungkin keluarga itu sedang berkumpul di ruangan tengah. Imran baru sekali masuk ke rumah ini. Ketika menolong membukakan pintu kamar mandi yang macet.

Ternyata Syahrul sudah pulang.

‘Dari mana kau?’ tanya Syahrul begitu Imran masuk.

‘Dari mushala. Dari shalat...... Kau baru sampai ?’

‘Baru setengah jam...... Berarti kau di mushala sejak dari waktu maghrib.....’

‘Ya..... Aku pikir kau belum pulang.’

‘Kau kapan pulang ?’ tanya Syahrul pula.

‘Tadi sore. Aku naik kereta.’

‘Aku juga naik kereta. Berarti kita berselisih satu jam. Aku tidak tahu kalau kau pulang hari ini juga. Bagaimana kabar nenekmu?’

‘Beliau kurang sehat waktu aku datang. Batuk dan demam. Tapi sekarang sudah sembuh kembali.’

‘Pergi meraun panik dengan si Rizal seperti biasa?’

‘Ya, iyalah. Turun naik Metro Mini. Kau sendiri? Kok sebentar saja di Jakarta?’

‘Aku hanya mencari buku-buku. Aku memang tidak betah berlama-lama disana.’

‘Jakarta sangat panas.’

‘Ya... itu yang menyebabkan aku tidak tahan tinggal lama-lama di Jakarta....... Bagaimana? Si Ratih sudah ketemu ?’

‘Belum.’

‘Hari kau pergi ke Jakarta, sorenya dia datang mencari kau. Dua hari kemudian datang lagi. Terakhir di hari aku berangkat ke Jakarta. Rindu berat kelihatannya.. he..he..he..’

‘Masak sih?’

‘Kalau bukan rindu berat apa lagi namanya?’

‘Entahlah..... Kau belum lapar ?’ tanya Imran

‘Sudah lapar. Sudah jam berapa ini? Kita makan ke Balubur saja?’

Mereka pergi makan keluar.


***

Beberapa menit setelah kedua anak muda itu keluar, Ratih lewat di depan rumah mereka. Dia baru saja dari kampus. Ratih ikut jadi panitia masa perkenalan mahasiswa baru. Panitia itu baru saja mengadakan rapat persiapan pelaksanaan masa perkenalan yang akan dimulai besok. Dilihatnya lampu rumah Imran tidak menyala. Masih belum pulang juga orang itu, pikirnya.


*****

Monday, May 11, 2009

DERAI-DERAI CINTA (27)

27. KE JAKARTA

Imran naik bus ke Jakarta. Dia lebih senang naik bus karena bus tidak terikat waktu seperti kereta api. Bus berangkat setiap saat. Naik di Kebon Kelapa agar terjamin dapat tempat duduk. Jam setengah sembilan malam dia sudah sampai di rumah mak tuo Fatma di daerah Condet. Rumah itu sepi. Hanya ada etek Timah di rumah. Etek Timah adalah adik pak tuo Syawal, suami mak tuo Fatma. Kata etek Timah, mak tuo dan yang lain-lain ke rumah etek Munah di Cipinang karena nenek sakit. Tapi etek Timah tidak tahu sakit apa beliau.

Imran segera mau berangkat ke rumah tek Munah ketika Rizal tiba-tiba muncul.

‘Kau baru sampai.......? Jam berapa kau berangkat dari Bandung?’ tanya Rizal.

‘Ya... Aku baru saja sampai.... Kau dari mana?’

‘Dari Cipinang... Kau tahu kalau nenek sakit?’

‘Baru saja diberi tahu etek Timah....Sakit apa nenek?’ tanya Imran.

‘Jadi kau tidak tahu sebelum berangkat dari Bandung tadi....? Benar-benar kau cucu kesayangan nenek,’ kata Rizal.

‘Kenapa....? Kau belum jawab pertanyaanku. Sakit apa nenek?’

‘Nenek demam. Badan beliau panas.... Tadi dibawa ke dokter. Sudah minum obat dan sekarang sudah agak baikan...... Tadi sebelum pergi ke dokter nenek menyuruh menjemputmu ke Bandung... Beliau bilang, sangat rindu dengan mu....’

‘Terus?’

‘Barusan nenek masih bertanya.... Mana si Imran? Ndak dijemput dia....? Pergilah jemput....., begitu kata beliau. Tadi sore ayah menelpon abang Lutfi di Bandung, minta tolong menyampaikan pesan agar menghubungi kau. Kata tante Ratna, ada pesan dari kau, bahwa kau sudah ke Jakarta tadi sore. Aku kesini mau menjemput kau karena aku yakin pasti kau kesini dulu. Dan teryata benar...’

‘Kita kesana sekarang ?’ ajak Imran.

‘Baik.... Tapi aku mandi dulu sebentar.... Kau sudah makan? Kalau belum kau makan saja dulu sementara aku mandi, ’ jawab Rizal.

‘Tidak usah. Aku tadi makan sate di Cipanas. Kau cepat saja mandi dan kita segera kesana melihat nenek.’

Rizal buru-buru mandi. Kedua anak muda itu segera berangkat ke Cipinang. Imran mengajak naik taksi supaya cepat.

‘Sakit apa agaknya nenek? Apa kata dokter? Tahu kau?’ tanya Imran waktu mereka sudah di dalam taksi.

‘Kata dokter hanya radang tenggorokan. Memang beliau banyak batuk akhir-akhir ini. Waktu itu mak dang Taufik membeli duren. Beliau ikut memakannya karena disuruh-suruh mak dang. Makan duren dan ketan. Sejak itu beliau mulai batuk-batuk. Terakhir disertai demam.’

‘Sudah lama?’

‘Batuk sudah sejak beberapa hari. Beliau minta dibelikan obat batuk. Tapi sepertinya tidak berpengaruh. Tadi pagi agak demam.’

‘Mudah-mudahan nenek cepat baik...’

‘Ya... Mudah-mudahan... Kapan kau pulang dari Jawa Tengah?’

‘Empat hari yang lalu,’ jawab Imran.

‘Apa saja kerja kau disana.... ? Sampai hitam legam begini kulitmu ?’

‘Aku ke sawah disana. Tiap hari di bawah terik panas mata hari... sehari suntuk... tiap hari selama sebulan lebih....’

‘Mencari belut? Seperti dulu di kampung...?’

‘Bukan..... Mencari batu dan mencari jejak di batu.’

‘Hebat.... Aman-aman aja kan ?’

‘Ya.... Syukurlah... aman-aman saja. Kecuali kulitku yang terbakar ini, lain-lainnya baik-baik saja.’

‘Kuliah masih lama, kan ?’

‘Dua minggu lagi.’

‘Aku sudah menduga kau pasti akan datang karena masih libur. Tapi aku tidak tahu kalau kau datang hari ini.’

‘Kemarin-kemarin kan ada mak dang Taufik di Bandung. Lagi pula aku mengurus bisnis dulu sedikit. Tadi pagi begitu urusanku selesai aku pastikan saja segera berangkat kesini. Aku tidak tahu kalau nenek sakit.’

‘Makanya kubilang kau benar-benar cucu nenek. Ada kontak batin antara nenek dan kau.’

‘Entahlah... Mungkin juga......’

Mereka sampai di rumah etek Munah di Cipinang. Tek Munah yang pertama melihat kedatangan mereka langsung berteriak.

‘Ini dia cucu kesayangan mak sudah datang, mak!’

Kedua anak muda itu langsung masuk ke kamar nenek. Nenek sedang berbaring. Mata beliau berbinar-binar melihat Imran. Imran menyalami dan mencium nenek. Di kamar nenek ada mak tuo Fatma.

‘Jam berapa kau sampai?’ tanya mak tuo Fatma.

‘Jam setengah sembilan mak tuo. Awak segera mau kesini, ketika Rizal datang.’

‘Tadi pak tuo menelpon ke Bandung menyuruh mencari kau.’

‘Ya, tadi Rizal bercerita begitu.’

‘Nenekmu teragak sangat denganmu rupanya...’

Imran tersenyum mendengar kata-kata mak tuo.

‘Bagaimana keadaan nenek ?’ tanya Imran.

‘Nenek baik-baik saja...... Kau sendiri tak apa-apa?’ tanya nenek.

‘Ndak apa-apa nek,’ jawab Imran agak bertanya-tanya dalam hati.

‘Nenek dengar kau bekerja di bukit berbatu-batu. Di sungai berbatu-batu... Ada aman-aman saja disana?’

Imran menangkap jalan pikiran nenek. Sepertinya beliau teringat peristiwa galodo di kampung lima tahun lebih yang lalu.

‘Alhamdulillah, awak baik-baik saja nek. Tidak ada apa-apa,’ jawab Imran.

‘Nenek takut memikirkan kalau-kalau terjadi pula yang tidak baik di bukit berbatu-batu itu,’ kata nenek.

‘Alhamdulillah tidak apa-apa nek. Aman-aman saja. Nenek sakit apa?’

‘Batuk. Batuk bersangatan. Sehabis makan ketan dan durian. Tadi malam hampir tidak bisa tidur karena kebanyakan batuk. Tadi pagi jadi agak demam sedikit. Sekarang, karena sudah dibawa ke dokter dan sudah minum obat, sudah agak baik. Ketika tidak bisa tidur tadi malam, engkau saja yang jadi pikiran nenek...... Bila kau pulang dari Jawa?’

‘Sudah empat hari nek. Kemarin-kemarin ada mak dang Taufik di Bandung. Jadi baru hari ini awak datang,’ jawab Imran.

‘Mak dang kau itu sudah pergi ke Rumbai tadi pagi...... Pergilah kau makan keluar.. Pasti kau belum makan..’

Imran tersenyum. Nenek masih seperti di kampung dulu saja. Selalu mengingatkannya untuk makan.

Etek Munah memanggil menyuruhnya makan. Imran makan ditemani Rizal.

Imran dan Rizal menginap di rumah tek Munah malam itu. Sambil bercerita-cerita segala macam. Mereka memang tidak pernah kehabisan bahan obrolan.


***

‘Masih belum mau punya pacar?’ tanya Rizal.

‘Tidak mau. Bukan belum mau,’ jawab Imran.

‘Pasti kau sudah berjumpa Yuni... Teman Lala...’ kata Rizal pula.

‘Ya.. Sudah.... Kemarin dulu kami diajak mak dang makan malam bersama-sama. Lala ulang tahun. Yuni juga ikut... Kenapa?’

‘Yuni itu cantik....’

‘Ya.... Dia cantik.’

‘Kau tidak tertarik kepadanya?’

‘Tidak... Kenapa?’

‘Tidak apa-apa..... Kalau aku terus terang tertarik dengan cewek secantik dia.’

‘Oh ya? Meskipun kau belum kenal pribadinya? Baru melihat sekali itu?’

‘Ya.. Tertarik karena dia cantik.... Begitu saja...’

‘Sekedar tertarik dalam hati, tidak apa-apa. Tapi kalau ingin menjadikannya istri, kau harus tahu dulu pribadinya dengan lebih baik.’

‘Kau tak berubah......’

‘Mudah-mudahan jangan sampai berubah.....,’ jawab Imran tersenyum.

‘Ada gurauan di antara orang-orang tua. Entah bagaimana kau menanggapinya.’

‘Tentang apa?’

‘Tentang kau.’

‘Tentang aku.......? Gurauan siapa?’

‘Ya tentang kau.... Kata mak dang Taufik kau akan dijodohkan dengan Lala. Mak dang berkata begitu sambil bergurau.’

‘Biarkan sajalah..... Kan hanya bergurau......’

‘Tapi nenek memikirkannya dengan serius.’

‘Maksudmu?’

‘Sepertinya beliau sangat setuju. Beliau menanyakan apakah mak dang bersungguh-sungguh.’

‘Lalu apa kata mak dang?’

‘Kalau mereka mau, kenapa tidak. Begitu kata beliau.’

‘Ya sudah.’

‘Kau mau?’

‘Sekarang belum mau.’

‘Aku rasa tidak ada salahnya juga pemikiran itu.’

‘Sudahlah. Tidak usah dipikirkan sekarang..... Aku sudah mau tidur.’


*****

Saturday, May 9, 2009

DERAI-DERAI CINTA (26)

26. RATIH

Kalau ada yang menanyakan dari mana aslinya, Ratih selalu menjawab bahwa dia anak Indonesia asli. Jawaban yang tidak mengada-ada. Ayahnya campuran Jawa dan Sunda. Ibunya campuran Aceh dan Minang. Namanya biasa ditulis Cut Ratih. Nama yang agak aneh terdengar. Tapi yang lebih populer, yang lebih dikenal adalah Ratih saja. Ayahnya pegawai PU di Bandung dan ibunya guru SMP. Ratih adalah anak kedua dari empat orang bersaudara. Kakaknya mahasiswa APDN di Dago. Dua adiknya masing-masing seorang laki-laki bersekolah di SMA dan yang paling kecil, perempuan, masih duduk di bangku kelas satu SMP. Ayahnya bernama Bambang Sadarta. Orangnya ramah. Pak Bambang Sadarta memiliki 4 buah rumah petak kecil di samping rumahnya, yang dikontrakkan kepada mahasiswa-mahasiswa.

Keluarga Bambang Sadarta menempati rumah induk yang lumayan besar. Di rumah yang besar itu ikut tinggal ibu mertuanya yang oleh cucu-cucunya dipanggil uci. Uci yang usianya hampir tujuh puluh tahun itu masih sehat. Masih kuat dan gesit. Di rumah itu mereka tidak punya pembantu. Uci yang memimpin mengatur rumah karena pak Bambang Sadarta dan istrinya sama-sama bekerja. Uci merupakan figur yang sangat berpengaruh. Beliau tidak banyak omong dan sangat berwibawa. Cucu-cucu beliau hormat dan segan kepada beliau. Kehadiran beliau di tengah-tengah keluarga sangat dihargai dan sangat diperlukan. Uci yang mengajar Ratih kakak beradik perduli dengan agama. Uci yang mengajar mengaji. Uci yang selalu hadir di rumah karena ayah dan ibu bekerja.

Bapak dan ibu Bambang Sadarta sangat keras dalam mendidik anak-anak. Terutama ibu Bambang. Mungkin karena beliau adalah seorang guru. Di rumah anak-anak diajar mengenal peraturan dan disiplin. Mengenali kewajiban dan tanggung jawab masing-masing. Semua ikut bertanggung jawab mengurus rumah tanpa kecuali. Membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak dan semua pekerjaan rumah tangga lainnya dikerjakan bergotong royong.

Ratih yang paling dekat dengan uci, mungkin karena dia anak perempuan yang lebih tua. Boleh dikatakan dia adalah tangan kanan uci dalam mengurus rumah terutama untuk urusan dapur. Ratih terbiasa dan pintar memasak. Kadang-kadang dia juga pergi berbelanja ke pasar. Karena lebih dekat dengan uci, beliau lebih sering menasihati Ratih. Uci selalu menasihati agar dia menjadi wanita yang cekatan. Agar selalu menjaga adab sopan santun. Agar selalu taat beribadah kepada Allah. Agar berhati-hati dalam pergaulan. Agar tidak ikut-ikutan bergaul bebas tanpa kendali. Ratih menerima semua nasihat uci itu dengan patuh dan ikhlas.

Ratih sangat pandai bergaul. Dia disenangi teman-teman karena orangnya ramah dan sederhana. Dalam berteman dia tidak memilih-milih. Selama orang baik kepadanya, Ratih berusaha lebih baik lagi kepada orang itu. Teman-teman Ratih tidak terbatas anak-anak perempuan saja. Dengan teman laki-lakipun dia tidak canggung bergaul. Tapi tidak berarti dia mudah didekati untuk dijadikan teman istimewa. Untuk dijadikan pacar. Ratih belum pernah mau berpacaran. Banyak teman laki-lakinya yang berusaha mendekatinya karena dia cantik dan ramah. Belum pernah ada yang berhasil.

Namun bagaimanapun, dia adalah seorang remaja biasa. Kira-kira setahun yang lalu dia secara tidak sengaja bertemu pandang dengan Imran penghuni salah satu rumah petak kontrakan. Waktu itu dia memerlukan pertolongan. Bukan sekali itu dia melihat Imran. Karena Imran sudah tinggal disitu lebih setahun. Dia tahu bahwa di rumah petak paling ujung itu tinggal dua orang mahasiswa dari Padang. Dia tahu bahwa kedua mahasiswa asal Padang itu boleh dikatakan yang paling tertib di antara penghuni rumah kontrakan yang lain dalam segala hal. Sebelum itu, kalau bertemu biasanya mereka hanya sekedar saling mengangguk dan tersenyum.

Pada hari itu, setahun yang lalu itu, Ratih terpaksa minta tolong karena uci terkunci di kamar mandi dan kunci itu tidak bisa dibuka. Tidak bisa dibuka dari luar dan tidak bisa dibuka dari dalam. Di rumah hanya ada nenek dan Ratih. Lebih setengah jam uci terkurung, Ratih tidak berhasil membuka kunci pintu yang macet itu. Akhirnya dia terpaksa mencari pertolongan. Ketika itu Imran baru saja pulang kuliah. Hanya dia satu-satunya yang ada karena semua penghuni rumah kontrakan yang lain sedang kuliah. Ratih minta tolong kepada Imran membukakan kunci macet itu. Kunci itu tetap tidak bisa dibuka. Imran akhirnya mencopot pegangan pintu kamar mandi itu, baru pintunya bisa dibuka dan uci bisa keluar. Kunci itu akhirnya diperbaiki oleh tukang kunci. Ratih sangat berterima kasih. Begitu pula uci. Uci berbicara dengan Imran dalam bahasa Minang.

Ternyata Imran seorang pemuda yang ramah. Dan sangat sopan. Sejak itu kalau bertemu mereka tidak lagi hanya sekedar mengangguk dan tersenyum tapi diikuti dengan sedikit obrolan. Begitulah seterusnya sampai mereka jadi lebih akrab. Bagi Imran kenal dengan Ratih adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Sejak kejadian kunci macet itu belum pernah sekali juga dia kembali ke rumah itu untuk beramah tamah dengan Ratih.


***

Mengenal Imran rupanya sangat berkesan bagi Ratih. Diam-diam dia semakin tertarik kepada anak muda itu. Dia gagah. Ngobrol dengannya sangat menyenangkan karena dia sopan. Bicaranya santun. Tidak ada kesan sombong. Tidak pernah sekali juga ada kesan pamer. Tidak seperti kebanyakan teman laki-lakinya yang umumnya agak slengekan. Yang suka ngobrol rada-rada menjurus. Atau yang suka pamer dan sombong mentang-mentang mahasiswa ITB. Imran bukan tipe seperti itu. Tutur katanya manis dan tidak dibuat-buat. Sorot matanya tidak sama dengan sorot mata anak laki-laki yang suka jahil. Yang suka melirik kemana-mana.

Ratihpun jatuh hati. Agak terbalik. Tapi itulah yang terjadi. Ratih terbuai mimpi setiap kali dia punya kesempatan untuk berbincang-bincang sedikit dengan Imran. Dicari-carinya alasan untuk bisa ngobrol lagi. Untuk bisa bertemu lagi. Beberapa kali Ratih datang membawakan makanan dengan pesan bahwa makanan itu dari uci. Katanya uci yang menyuruh antarkan. Padahal Ratih yang mengingat-ingatkan sehingga uci akhirnya menyuruh antarkan sedikit makanan untuk si Imran urang awak itu.

Pada suatu kesempatan ngobrol, Imran mengatakan bahwa menurut ketentuan adat Minang, Ratih adalah orang Minang. Karena uci, nenek perempuannya orang Minang, ibunya adalah orang Minang dan dia sendiri adalah orang Minang. Begitu menurut aturan matriakhat yang dianut orang Minangkabau. Ratih terkagum-kagum mendengarnya. Dia tanyakan kebenaran dari cerita Imran itu kepada uci dan uci membenarkannya. Ratih bangga rasanya jadi orang Minang. Meskipun namanya Ratih. Meskipun namanya Cut Ratih. Cut sebagai pemberian dari kakeknya almarhum. Ternyata dia orang Minang sama seperti Imran. Seperti kak Imran.

Ratih merasa sangat kehilangan selama Imran mengerjakan praktek lapangan di Karang Sambung. Dia tidak tahu ketika Imran berangkat. Pada hal pada hari Imran berangkat itu dia datang mengantarkan undangan ke acara ulang tahunnya. Ternyata Imran sedang keluar kota. Dan dia tidak menyangka Imran pergi selama itu. Beberapa kali dia menanyakan kapan Imran kembali kepada Syahrul teman serumahnya. Pada hal Syahrul sudah memberi tahu bahwa tugas lapangan Imran itu empat puluh hari lamanya.

Waktu dia menanyakan lagi dua hari yang lalu, Syahrul mengatakan bahwa Imran sudah kembali, tapi sedang tidak ada di rumah. Ratih semakin ingin bertemu. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya nanti kalau bertemu Imran. Tapi sampai sekarang dia belum juga berhasil melihat Imran. Sore kemarin sampai tiga kali dia bolak balik menanyakan Imran. Orang itu tetap belum ada. Ingin rasanya dia kembali lagi sekali lagi. Tapi dia malu. Malu dengan seisi rumah. Malu dengan Syahrul.

***

Imran ingin pergi ke Jakarta. Rindu dia kepada nenek. Sudah beberapa bulan berlalu sejak terakhir kali dia mengunjungi nenek. Mumpung masih belum ada kegiatan kuliah. Kuliah baru akan dimulai sesudah selesai masa perkenalan mahasiswa baru nanti. Berarti masih sekitar dua minggu lagi. Pagi ini dia akan mengurus belanjaan kain untuk dikirim ke Bukit Tinggi dan sore nanti dia akan ke Jakarta.

Waktu Imran naik oplet di jalan Dago dia lihat Ratih baru turun dari oplet di seberang jalan. Ratih juga melihatnya dan berteriak memanggil. Imran melambaikan tangan dan memberi isyarat bahwa dia ada keperluan sebentar. Masih didengarkannya ujung kata-kata Ratih dari kejauhan. ‘Nanti ya...’ Entah apa maksudnya.

Ratih tambah penasaran karena bertemu Imran hanya sekelebat itu saja. Mudah-mudahan nanti sore dia bisa bertemu.

Urusan pengiriman kain selesai jam satu siang. Selama hampir dua bulan ini tidak ada pengiriman. Masalahnya bukan hanya sekedar mengirim, yang bisa saja diminta-tolongkan kepada syahrul, tapi yang lebih rumit adalah memilih corak dan warna kain. Hal ini memerlukan sedikit keahlian dan jiwa seni. Imran memiliki kedua-duanya. Kain pilihannya terjual dengan mudah di Bukit Tinggi. Imran sepertinya mengenal selera pembeli disana.

Setelah urusan pengiriman kain selesai Imran mampir ke Sekeloa untuk memberi tahu bahwa dia akan ke Jakarta. Ternyata hanya ada bibik saja di rumah. Imran menitip pesan untuk disampaikan ke tante Ratna bahwa dia akan ke Jakarta. Lalu dia langsung pulang.

Imran mengemasi pakaian dan tas kecilnya. Ditinggalkannya pesan untuk Syahrul bahwa dia mendadak ke Jakarta untuk dua tiga hari.


*****

Friday, May 8, 2009

DERAI-DERAI CINTA (25)

25. LUPUT SAJA

Syukurlah. Lala kelihatan senang dengan kado berupa tafsir kitab suci al Quran. Memang sebaiknya pemberian itu barang yang bermanfaat. Yang ada gunanya. Pemberian berupa boneka pasti hanya untuk main-main. Disenangi sebentar setelah itu dilupakan dan lama-lama dibuang. Tapi al Quran, apalagi tafsirnya, bisa dibaca-baca. Bahkan bisa dibaca sampai tua sekalipun. Imran ingat di kampung dia juga senang membaca tafsir Mahmud Yunus peninggalan ayah. Kulit sampulnya berwarna hijau. Dulu Imran sampai bercucuran air mata ketika membaca terjemahan surat Yusuf. Membaca kisah nabi Yusuf yang dijahili saudara-saudaranya, tapi kemudian Allah membalikkan keadaan. Penderitaan nabi Yusuf berubah menjadi kebahagiaan. Dan membaca kisah-kisah di dalam al Quran itu mampu menggetarkan kalbu. Menambah keimanan. Menambah takut akan azab Allah. Takut akan hukuman Allah. Allah Maha Kuasa memberikan tegoran, memberikan hukuman kepada hamba-hambanya yang ingkar.

Kebiasaan membaca tafsir al Quran berpengaruh cukup dalam pada keperibadian Imran. Dia takut untuk berbohong. Takut untuk menipu. Takut untuk bergaul sembarangan. Takut untuk menyakiti orang lain. Dan takut berpacaran. Imran ingat petaruh guru agamanya di SMA, pak Rusyad yang menerangkan bahwa berpacaran itu berarti mendekati zina. Beliau terangkan dengan sangat apik bahwa anak-anak muda yang beriman seharusnya menghindari berpacaran. Kalau sepasang anak muda berdua-dua, di tempat yang tersembunyi maka yang ketiganya adalah setan. Dan setan sudah sangat berpengalaman memperosokkan manusia ke jalan yang sesat. Maka kalian lihatlah, bagaimana buruknya pengaruh pergaulan bagi anak-anak muda yang suka berpacaran. Yang hamil ketika masih remaja, tidak jadi meneruskan sekolah. Yang terperosok ke jurang kehinaan. Begitu pesan pak Rusyad dulu di SMA. Meskipun pada waktu beliau menerangkan pelajaran agama itu banyak teman-teman yang mencemooh. Yang berteriak huuuuuu. Bagi Imran pesan itu berbekas sangat dalam. Dia takut. Bahkan sangat takut untuk berpacaran.

Sebenarnya dia sadar, sejak masih di SMP dulu, banyak teman-teman wanita yang senang berdekatan dengannya. Senang berbincang-bincang dengannya. Dan perasaan Imran menangkap ada di antara anak-anak perempuan itu yang bertingkah dibuat-buat kalau berdekatan dengannya. Ada yang mati kerancakan. Ada yang mengamek-ngamek mencuri perhatian. Imran berusaha santai-santai saja. Dia selalu berbisik dalam hatinya, jangan kau layani. Jangan kau ikut-ikutan mati kerancakan.

Tadi waktu menunggu Lala, dia berbincang-bincang dengan Yuni. Berbincang santai dan seperlunya saja. Kelihatannya ada benarnya yang dikatakan Syahrul tentang Yuni. Dia itu menaruh perhatian pada dirinya. Yuni yang berusaha menampilkan dirinya anggun dan sopan selama mereka ngobrol tadi, beberapa kali dipergokinya melihat ke arahnya dengan pandangan yang ganjil. Pandangan yang genit. Pandangan mata yang diredup-redupkan. Entahlah, begitu perasaan hatinya. Dan Yuni terlihat sekali sangat kecewa ketika tiba-tiba tante Ratna dan Lala pulang. Nyata sekali berubah sikap dan air mukanya sesudah itu.

Benarkah bahwa Yuni cantik seperti yang dikatakan Syahrul? Imran tidak menyangkalnya. Gadis itu cantik, diapun menilainya demikian. Justru dari sanalah titik keberhati-hatian dipasangnya. Menyadari bahwa anak gadis yang dilawannya berbicara punya daya tarik, Imran semakin rajin berzikir di dalam hatinya. Berusaha agar jangan sampai keluar dari mulutnya kalimat yang bernada sumbang. Yang bernada merayu-rayu. Atau bernada memancing-mancing.


***

Sudah jam setengah sembilan ketika dia meninggalkan Sekeloa. Masih panjang obrolan sesudah makan malam dengan bang Lutfi. Dengan uni Lani. Dengan semuanya, di meja makan. Obrolan ke hilir ke mudik seperti biasa. Obrolan yang disertai tawa canda. Disertai sentilan dan cemooh. Dan yang agak mengherankannya, tante Ratna sekarang sangat jauh berbeda dengan tante Ratna yang dikenalnya selama beberapa hari dulu di Rumbai. Dulu ada kesan angker. Kesan angkuh. Tapi sekarang jauh lebih santai. Beliau sepertinya bersungguh-sungguh agar dipanggil mak tuo saja. Bahkan mempelesetkan bahwa di kampung seharusnya istri mamak itu dipanggil mintuo. Sementara Imran sudah merasa terbiasa membahasakan beliau dengan panggilan tante.

Imran naik becak dari Dipati Ukur. Melingkari jalan Dipati Ukur sampai melintasi jalan Dago dan menyeberang terus ke arah Balubur. Bandung terasa dingin malam ini. Imran menutup dadanya dengan tas ransel dari terpaan angin. Abang becak melawannya berbicara sepanjang perjalanan. Dia yang mengawali pembicaraan, menggunakan beberapa patah kata bahasa Sunda yang dikuasainya. Sayang bahasa Sundanya masih terlalu payah untuk memahami jawaban si abang tukang becak itu.

Syahrul sedang ngobrol dengan temannya Rinto waktu Imran sampai di rumah.

‘Dari mana aja lu?’ Rinto yang menyapa duluan.

‘Dari tempat saudara,’ jawab Imran.

‘Disambung lagi acara tadi malam?’ tanya Syahrul.

‘Ah nggak...... Cuma tadi kami ngobrol-ngobrol dulu disana.’

‘Cewek lu bolak-balik nanyain lu dari tadi,’ kata Rinto lagi.

‘Cewek? Cewekku? Siapa?’ tanya Imran.

‘Ratih sampai tiga kali dari sore menanyakan kau,’ jawab Syahrul.

‘Oo.. Terus?’

‘Terus...... Ya dia kecewalah. Terakhir kira-kira setengah jam yang lalu dia mampir. Kayaknya dari depan, entah dari mana. Kak Imran masih belum pulang juga? Begitu, katanya.’

‘Samperin sana....’ kata Rinto.

‘Ah, nggak usah. Biar sajalah.’

‘Eeeee.... nggak baik gitu.. Kan cewek lu.....’

‘Bukan. Bukan cewekku kok.’

‘Gimana sih, Rul? Lu bilang itu ceweknya Imran.... Kok dia bilang bukan....?’

‘Aku nggak bilang itu ceweknya Imran. Aku bilang si Ratih itu senang sama dia. Tapi lu lihat sendiri kan? Imrannya biasa-biasa saja.’

‘Hebat lu... Lu yang dikejar-kejar cewek cakep.... Bisa cuek begitu..’

‘Nggak juga. Nggaklah dia ngejar-ngejar aku. Mungkin dia memang ada perlu barangkali.’

‘Emang lu udah punya pacar yang lain, ya?’

‘Nggak. Aku nggak punya pacar.’

‘Heran, gue. Emangnya berpacaran itu dosa ya?’

‘Itu tergantung pribadi masing-masing. Kebetulan aku memang tidak berminat untuk berpacaran.’

‘Payah..... Ya udah deh. Rul, gue mau balik dulu. Besok aja kita bahas lagi..’

‘Ya lah. Besok biar aku datang ke tempatmu deh,’ jawab Syahrul.

‘Lho. Kenapa? Kalau belum selesai tugas kalian kenapa nggak diteruskan?’ kata Imran.

‘Nggak ah. Udah capek, gue. Biar besok-besok aja. Ini bukan tugas kok. Santai aja.... Ya lah..... gue balik dulu ya..?

Rinto pergi meninggalkan mereka berdua. Suara motornya membuat heboh sebentar, kemudian menghilang di kejauhan.

‘Ada sate, Ran. Kami tadi beli sate ayam di Balubur. Ada sebungkus untuk kau.’

‘Wah... Aku udah makan....’

‘Kalau begitu biarin aja dulu disana.... Sebentar lagi pasti ada lagi tempatnya di perut....... Makan di restoran lagi kalian tadi ?’

‘Ndak, di rumah saja.’

‘Akhirnya......, hadiah apa yang kau belikan buat Lala?’

‘Tafsir al Quran. Tafsir Mahmud Yunus.’

‘Lala menyukainya?’

‘Aku rasa dia menyukainya. Dia bilang dia biasa membaca tafsir kepunyaan papanya di Rumbai. Dia senang sekarang memilikinya sendiri.’

‘Apa lagi cerita mak dang kau? Sampai lama begitu disana?’

‘Mak dang sudah pergi ke Jakarta tadi sore.‘

‘Ooo....., nggak jadi besok beliau berangkat ?’

‘Kata tante Ratna ada pekerjaan penting yang harus beliau selesaikan. Besok pagi beliau harus sudah ada di Rumbai.’

‘Beliau berangkat sendiri?’

‘Ya. Tante Ratna masih disini.’

‘Ya lah, ya. Kan katanya mau menemani Lala selama ospek.’

‘Alih-alih cerita, beneran si Ratih sampai tiga kali datang?’ Imran mengganti topik.

‘Benar.’

‘Ndak kau tanya ada keperluan apa?’

‘Aku tanya, memang ada apa nyariin Imran? Dia jawab, kangen aja. Katanya udah tiga hari balik dari Jawa kok nggak pernah kelihatan.’

‘Terus kau bilang apa?’

‘Aku bilang, ada pamannya disini. Dia diajak pamannya, gitu.’

‘Biarin sajalah.’

‘Kayaknya kau harus berjelas-jelas dengan dia. Aku khawatir dia sepertinya merasa kau ada perhatian pula kepadanya.’

‘Ya ndaklah. Ada perhatian bagaimana?’

‘Ya...... nggak tahu?’

‘Lagi pula apa yang harus diperjelas? Aku ndak merasa ada apa-apa kok.’

‘Kalau kau memang tidak ingin menanggapi dia, jangan seperti memberi harapan.’

‘He..he..he... Kapan aku memberi harapan? Harapan apa yang aku berikan?’

‘Kau kan selalu mau meladeni dia untuk ngobrol. Dari sana semakin timbul harapannya.’

‘Masak ngobrol tidak boleh aku layani. Dia datang kesini, bertanya ini – itu mengajak ngobrol, ya aku layani baik-baik.’

‘Nggak pernah dia bertanya memancing-mancing? Maksudku, misalnya menanyakan apakah kau sudah punya pacar apa belum?’

‘Pernah. Dan aku jawab belum.’

‘Yaaa.... Itu namanya kau memberi angin. Memberi dia kesan bahwa kau mungkin tertarik kepadanya.’

‘Kok bisa seperti itu kesimpulannya? Lagi pula, masak aku harus berbohong mengatakan aku sudah punya pacar?’

‘Sebenarnya memang agak terbalik. Biasanya yang suka bertanya seperti itu anak laki-laki kepada cewek. Itu namanya pertanyaan penjajakan. Ketika cewek menjawab dia belum punya pacar, anak laki-laki biasanya cepat menyambar, kalau begitu bisa dong... Dan seterusnya.’

‘Dan dalam kasus ini kan dia tidak bertanya demikian, he..he..he..’

‘Kalau dia bertanya begitu? Apa kau mau jawab, bisa. Aku mau jadi pacarmu, begitu ?’

‘Ya ndak. Aku akan jawab bahwa aku tidak mau berpacaran.’

‘Baik. Lebih baik kau cari kesempatan. Kau kondisikan agar kata-kata itu bisa kau ucapkan di hadapannya. Dengan demikian dia tahu, kau tidak ada hati kepadanya. Jadi dia tidak lagi berangan-angan.‘

‘Mungkin kau benar.’

‘Ya sudah...’

‘Jadi lapar lagi aku ngobrol denganmu.’

‘Ya sudah...., itu masih ada sate jatahmu.’


*****

Thursday, May 7, 2009

DERAI-DERAI CINTA (24)

24. MENGANTAR KADO

Akhirnya Imran membeli sebuah tafsir al Quran sebagai kado. Seingatnya, Lala cukup perhatian tentang masalah agama. Tafsir Mahmud Yunus dengan kulit berwarna merah. Kepada pelayan toko dimintanya agar tafsir itu dibungkus dengan kertas kado. Sebelum dibungkus dimasukkannya secarik kartu dengan tulisan ‘Selamat.... Mudah-mudahan tafsir ini bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman agama.. Dari bang Imran..’ Tidak ditulisnya selamat ulang tahun. Kan ulang tahunnya sudah lewat. Tapi kalau nanti Lala bertanya akan dijelaskannya bahwa itu adalah kado ulang tahun yang dijanjikannya kemaren.

Sorenya Imran pergi ke rumah di Sekeloa mengantarkan kado yang disimpannya di dalam ransel kuliahnya. Ternyata di rumah hanya ada Yuni, ditemani bibik. Menurut Yuni, tante Ratna dan Lala pergi mengantar oom Taufik ke stasiun.

‘Sudah lama mereka pergi?’ tanya Imran.

‘Tadi, kurang jam setengah empat. Oom Taufik akan naik kereta jam empat,’ jawab Yuni.

Imran melirik jam. Sudah jam empat lebih sepuluh menit. Harusnya mak dang sudah berangkat.

‘Tunggu ajalah, bang. Sebentar lagi pasti mereka pulang.’

‘Ya lah....... Kapan mulai masa orientasi di Unpad?’

‘Minggu depan bang...... Kalau ITB hari Sabtu ini kan..... ? Duduklah sebentar bang, saya buatkan minum. Abang mau minum apa?’

‘Apa sajalah....’

‘Maksud saya, abang mau minum teh? Atau kopi? Atau minum dingin?’

‘Teh saja. Terima kasih.’

Yuni pergi ke dapur membuat minuman. Ternyata sudah dibuatkan si bibik. Dua cangkir teh. Yuni mengangkat minuman itu ke ruangan tamu.

‘Dag dig dug nih... Ngeri membayangkan masa orientasi. Takut dijahilin,’ kata Yuni setelah meletakkan cangkir teh itu di meja.

‘Di Unpad biasanya nggak aneh-aneh.... Di ITB di jurusan-jurusan tertentu biasanya agak berat. Termasuk di geologi.’

‘Kenapa begitu, ya bang?’

‘Mungkin karena kebanyakan mahasiswanya laki-laki. Di geologi sedikit sekali mahasiswa cewek..’

‘Bang Imran ikut jadi panitia?’

‘Nggak. Tapi biar bukan panitia pun boleh saja datang mengikuti acaranya.’

‘Bang Imran ikut-ikutan galak sama mahasiswa baru?’

‘Nggak ikutan. Saya nggak pandai jadi orang galak... he..he..he..’

‘Ya.. kelihatan kok. Bang Imran itu orangnya santun.....’ kata Yuni tersenyum.

‘Kamu berlebihan...’

‘Benar, kok. Saya perhatikan..... Bang Imran itu penyabar...’

Mungkin benar seperti yang dikatakan Syahrul, Yuni senang mengamati dirinya. Baru kenal beberapa hari saja sudah merasa tahu banyak tentang diriku orang ini, kata Imran dalam hati.

‘Kamu terlalu cepat menilai orang...’ kata Imran akhirnya.

‘He..he.. iya juga barangkali ya, bang. Tapi benar, kok. Kesan saya bang Imran memang seperti itu.’

‘Ngomong-ngomong, di Rumbai kamu tinggal berdekatan dengan Lala?’

‘Nggak, bang. Papa saya staf biasa saja di Caltex. Tempat tinggal kami berbeda. Kalau oom Taufik kan bos.’

‘Tapi tinggal di Rumbai juga, kan?’

‘Iya bang. Kami tinggal dekat rumah sakit di Rumbai.’

‘Rumah sakit Caltex......? Papa kamu bekerja di rumah sakit itu?’

‘Bukan. Papa bekerja di bagian Maintenance istilahnya. Kalau oom Taufik kan di bagian Engineering. Tempat tinggal atau rumah kami berdekatan dengan rumah sakit Caltex.’

‘Oo begitu. Dan kalian berteman sejak dari SD?’

‘Ya, bang. Bahkan sejak dari TK.’

‘Awet sekali persahabatannya. Tidak pernah kalian bertengkar?’

‘Waktu masih kecil dulu sering. Tapi biasanya bertengkar, bermusuhan sebentar, habis tu berbaikan lagi. Sejak di SMP sudah tidak pernah lagi.’

‘Hebat..... Hanya kalian berdua saja yang bersahabat dekat atau ada lagi yang lain?’

‘Ada satu lagi. Teman kami itu sekarang diterima di UI.’

‘Ngomong-ngomong.... orang tua Yuni berasal dari mana?’

‘Ibu orang Maninjau. Papa dari Palembang.’

‘Itu namanya orang Minang iya, orang Palembang juga iya... Hebat...’

‘Kayaknya kami lebih dekat ke Minang. Papa pandai berbahasa Minang. Papa dan mama di rumah biasanya berbahasa Minang.’

‘Sering mana, pulang ke Maninjau atau pergi ke Palembang?’

‘Ke Maninjau lebih sering karena lebih dekat. Ke Palembang ada juga. Akas, papanya papa masih ada di Palembang.’

Akas itu maksudnya kakek?’

‘Ya. Orang Palembang menyebut akas.’

Terdengar suara mesin mobil memasuki pekarangan. Tante Ratna dan Lala turun dari mobil. Bang Lutfi kembali buru-buru berangkat. Dia mau menyusul teteh Yani ke tempat praktek mereka.

‘Heh, ada bang Imran.....,’ teriak Lala tersenyum lebar.

‘Sudah lama kamu datang, Ran? Mak dang sudah berangkat ke Jakarta. Besok pagi dia terus ke Rumbai,’ kata tante Ratna.

‘Sudah kira-kira setengah jam, tante. Awak ndak tahu kalau mak dang berangkat sore ini.’

‘Rencananya berubah sedikit. Tadinya memang mau ke Jakarta besok siang. Ternyata ada pekerjaan penting. Jadi harus buru-buru pulang.’

‘Bang Imran kesini mau bikinin gulai tunjang lagi?’ tanya Lala.

‘Masak tiap kesini urusan gulai tunjang terus?’

‘Kan sudah janji?’

‘He..he..he.. Kamu ngarang.... Kapan lagi abang berjanji?’

‘Tadi malam, kan? Katanya kado ulang tahun Lala mau diganti dengan masakin gulai tunjang. Benar, kan?’

‘Itu kamu yang ngomong. Abang ndak ada ngomong begitu... he..he....’

‘Ya... abang... Kalau gitu mana kadonya?’

‘Ada... Nih...’

Imran mengeluarkan bungkusan kado dari tas ranselnya dan menyerahkannya kepada Lala.

‘Asyiiiiikk.... Apaan nih bang? Kayaknya besar banget...’

‘Silahkan dibuka......’

Lala membuka bungkusan itu hati-hati. Tante Ratna dan Yuni juga ikut memperhatikan, ingin tahu apa isi bungkusan itu. Ternyata sebuah tafsir al Quran. Lala tersenyum dengan mata sedikit berkaca-kaca.

‘Terima kasih bang.... Terima kasih... Lala sangat senang dengan kado ini.’

‘Ada kartu ucapan selamatnya nggak?’ tanya Yuni.

Lala membalik lembaran tafsir itu dan menemukan kartu ucapan selamat bertuliskan ; ‘Selamat.... Mudah-mudahan tafsir ini bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman agama.. Dari bang Imran..’

‘Terima kasih sekali lagi, bang. Di Rumbai Lala sering membaca tafsir Mahmud Yunus kepunyaan papa. Sekarang Lala punya sendiri.’

Imran ingin segera pamit, tapi ditahan tante Ratna dan Lala. Dia disuruh makan malam dulu disitu.


*****

Wednesday, May 6, 2009

DERAI-DERAI CINTA (23)

23. KADO

Ketika Imran sampai di rumah Syahrul sedang tidak ada. Di meja belajarnya ada sebuah amplop berwarna merah muda. Imran mengambil amplop itu yang bertuliskan ‘Buat kak Imran’. Rupanya sebuah undangan pesta ulang tahun. Dari Ratih. Wah, ulang tahun lagi? Tercium bau wangi dari amplop itu. Imran mendekatkannya ke hidung. Benar, amplop itu berbau semerbak. Wangi. Tapi ada yang agak ganjil. Hari ini baru tanggal 4. Undangan itu untuk tanggal 22. Kok jauh-jauh amat sudah mengirim undangan? Imran mencermatinya lagi. Ternyata lebih aneh lagi, undangan itu untuk sebulan setengah yang lalu. Apa maksudnya ini? Imran berpikir keras.

Dia faham sekarang. Ulang tahun Ratih rupanya tepat sehari sesudah dia berangkat ke Karang Sambung tempohari. Dia diundang ketika itu tapi sudah terlanjur berangkat. Tapi kenapa sekarang undangan ini tiba-tiba ada di atas meja belajarnya? Apa Ratih tetap menginginkan dia tahu hari ulang tahunnya? Lalu mengirim undangan yang sudah kedaluarsa ini sekarang? Kalau benar demikian agak norak juga ya? Semua pertanyaan itu menari di otak Imran.

Imran kembali mengingat-ingat acara makan malam barusan. Makan malam merayakan hari ulang tahun Lala. Imran belum pernah sekali juga merayakan hari ulang tahunnya. Di kampung mana pula ada orang merayakan ulang tahun. Ini sebuah kebudayaan orang-orang kota. Anak-anak sejak dari masih bayi dirayakan ulang tahunnya. Seperti yang dilakukan tetangga-tetangga ketika merayakan ulang tahun anak-anak mereka. Baru pula dia sadar, anak-anak yang datang ke acara ulang tahun, seperti yang biasa dilihatnya, membawa kado. Bungkusan kecil berwarna-warni dan diberi berpita. Anak-anak menyanyikan lagu selamat ulang tahun di acara itu. Seperti tadi mereka bernyanyi untuk Lala di restoran di hotel Homan.

Kado. Ya, kado atau hadiah untuk yang berulang tahun. Dia ingat tentang kado. Tadi Lala menagih kado. Kado ini rupanya menjadi bagian dari sebuah pesta ulang tahun. Ketika kita diundang, kita wajib membawa hadiah ulang tahun. Begitu rupanya. Tapi dia tidak membawa kado untuk Lala. Tentulah orang akan menilainya tidak sopan. Tidak tahu aturan perulang-tahunan. Wah, memang memalukan. Meski tadi Imran menjanjikan akan menyusulkan kado. Artinya dia harus mencari dan membelikan kado untuk Lala. Kado apa yang harus diberikannya? Biarlah dia tunggu Syahrul. Dia akan bertanya kepada Syahrul. Meskipun rasanya belum pernah dia melihat Syahrul membelikan kado untuk ulang tahun siapapun.

Sedang Imran melamun di depan tv hitam putih ukuran 20 inci yang dinyalakan sekali-sekali itu, Syahrul datang. Dia baru pulang dari menonton di bioskop Braka Sky.

‘Sudah lama kau pulang?’ tanya Syahrul.

‘Sudah setengah jam...... Kau dari mana?’

‘Dari nonton.... Bagaimana acara makan malamnya ?’

‘Makan malam mahal. Tapi bagiku tidak seberapa ternikmati,’ jawab Imran.

‘He..he..he.. Dasar selera kampung. Memangnya apa saja makanannya.’

‘Kaupun pasti tidak akan suka. Lalap mentah disiram minyak... entah minyak apa. Daging panggang dimakan dengan kentang ditumbuk. Makan kentang lumat itu meloyo perutku.’

‘Ha..ha..ha... Payah kali kau. Itu steak namanya. Makanan orang Eropah itu. Jadi mau muntah kau memakannya? Ha..ha..ha..’

‘Apapun namanya.’

‘Tapi tak sampai muntah, kan?’

‘Untunglah tidak sampai. Dan kentang lumat itu tidak sanggup aku menghabiskan.’

‘Sementara yang lain menikmatinya?’

‘Sepertinya begitu. Sepertinya semua orang menikmati makanan seperti itu, kecuali aku.’

‘Paling tidak kau sudah bertambah pengalaman. Tidak makanan Minang melulu.’

‘Hebat sekali cara orang menikmati uang. Merayakan hari ulang tahun.’

‘Mungkin perlu kau tiru. He..he..he.’

Imran tersenyum kecut.

‘Tadi ada pula undangan ulang tahun di mejaku. Dari Ratih. Kau yang menaroknya ?’ tanya Imran.

‘Ooo, itu. Itu diantar Ratih tepat hari kau berangkat ke Jawa Tengah dulu. Besoknya dia ulang tahun. Dia kecewa sekali ketika tahu kau tidak ada.’

‘Tapi kenapa baru tadi ada di mejaku?’

‘Aku baru ingat. Ketika kau mengatakan akan pergi makan malam ulang tahun Lala, aku ingat undangan ulang tahun dari Ratih. Undangan yang sangat istimewa, untuk orang istimewa dengan amplop istimewa. Tadi aku tarok di mejamu,’ jawab Syahrul.

‘Undangan untuk orang istimewa? Apa maksudnya?’

‘Kau itu orang istimewa bagi Ratih. Tidak kau cium bau amplopnya? Wangi dan segar. Itu amplop khusus untuk orang istimewa. Begitu biasanya.’

‘Maksudmu aku ini orang istimewa, begitu?’

‘Ya. Bagi Ratih kau diistimewakannya. Aku juga dapat undangan waktu itu. Amplopnya biasa-biasa saja. Tidak seperti amplop untukmu.’

‘Dan kau datang? Ke undangannya Ratih?’

‘Ya. Aku datang. Yang datang teman-teman kuliahnya. Mungkin sekitar sepuluh orang. Ada yang berbisik-bisik bertanya, mana yang namanya Imran.’

‘Ah, kau pasti mengada-ada.’

‘Tidak ada untungnya aku mengada-ada. Aku bercerita sebenarnya.’

‘Lalu.... Kau membawa kado waktu itu ?’

‘Ya... Memang begitu aturannya. Aku membawa kado. Kado main-main... Boneka panda putih yang aku beli di pasar Kota Kembang.’

‘Jadi.... Membawa kado itu wajib hukumnya, ya?’

‘Begitu tata kramanya. Bukan pula wajib. Tandanya kita memberi perhatian kepada orang yang mengundang kita. Masak kau tidak faham?’

‘Jadi, maksudnya kau ada perhatian kepada Ratih?’

‘Oo tidak. Aku tahu diri. Dia naksir kepadamu, aku tidak mau berusaha mendekatinya.’

‘Naksir itu maksudnya dia menginginkan aku mendekatinya, begitu ya ?’

‘Naksir itu, dia menginginkanmu jadi pacarnya... Payah kau ini....’

‘Biar sajalah kalau begitu... Ngomong-ngomong tentang kado. Apakah kado itu bisa berma’na sesuatu pula? Seperti ketika kau memberi kado boneka panda, bisakah diartikan bahwa itu sekedar pemberian tanpa maksud?’

‘Entahlah. Mudah-mudahan saja begitu?’

‘Aku sedang berpikir, kado apa sebaiknya yang aku belikan buat Lala. Mungkin seperti yang kau lakukan. Kubelikan kado boneka berupa beruang besar. Untuk lucu-lucuan.’

‘Jadi tadi kau tidak memberi kado?’

‘Belum. Aku bilang kadonya menyusul.’

‘Payah kau.’

‘Tadinya aku berniat membelikannya buku. Sebuah novel atau sebangsanya. Tapi aku ragu-ragu lagi. Kalau aku belikan buku yang aku sendiri belum membacanya? Jangan-jangan ceritanya nanti tidak karuan. Tentu akan sangat memalukan. Lalu terpikir pula untuk membelikan al Quran dan tafsirnya. Harusnya pemberian seperti itu kan banyak manfaatnya. Tapi setelah mendengar ceritamu, aku bertambah ragu.’

‘Untuk adikmu, pemberian tafsir al Quran itu bagus aku rasa,’ komentar Syahrul.

‘Kau rasa begitu?’

‘Ya, kurasa begitu. Kurang tepat seandainya kado seperti itu kau berikan untuk Ratih. Nanti jangan-jangan dikira mahar... he..he..he..’

‘Iya, ya. Apalagi kalau ku tambah pula dengan seperangkat alat shalat he..he..he..’

Keduanya tertawa terkekeh-kekeh.

‘Sudah ketemu Ratih?’ tanya Syahrul beberapa saat kemudian.

‘Belum. Kenapa?’

‘Dia sangat nyinyir menanyakan kapan kau pulang.’

‘Terus kau bilang apa?’

‘Kubilang awal bulan. Tiga hari yang lalu dia bertanya lagi. Inikan sudah awal bulan, kapan kak Imran pulang ?’

‘Kita lihat saja apa yang akan dikatakannya kalau nanti ketemu,’ kata Imran.

‘Kira-kira bagaimana? Sudah ada perubahan di hatimu? Terhadap Ratih?’

‘Tidak ada yang berubah. Hatiku tetap untukku... he..he..he.’

‘Mungkin kau perlu agak jelas dengan dia. Dari pada dia menggantang-gantang asap. Berharap-harap yang tidak jelas.’

‘Apa yang harus kuperjelas? Aku akan biasa-biasa saja.’

‘Seandainya dia mengingatkan bahwa dia dulu mengundangmu ke acara ulang tahunnya, kau masih akan memberinya kado atau tidak?’

‘Tidak. Tidak pada tempatnya lagi. Kalau aku memberinya kado, bisa-bisa nanti dia akan menafsirkannya macam-macam.’

‘Betul juga. Sebenarnya kasihan juga Ratih.’

‘Kasihan kenapa? Kau bersimpati kepadanya? Tertarik kepadanya?’

‘Kasihan karena sepertinya dia bertepuk sebelah tangan.’

‘Atau, kau saja yang mendekatinya.’

‘Aku tidak berminat.’

‘Kalau begitu ndak usah dipikirkan. Nanti malahan pusing. Ngomong-ngomong nonton dimana kau tadi?’

‘Di Braka Sky.’

‘Sendiri?’

‘Nggak. Ramai-ramai sebioskop. He..he..he.. Pertanyaan kau aneh-aneh saja.’

‘Film apa?’

‘Film lama. Gone with the wind.’

‘Kepengen juga aku sekali-sekali pergi menonton.’

‘Ya udah. Pergi nonton sana... Ajak si Ratih... he..he..he..’

‘Ah.. Si Ratih saja isi kepalamu. Sepertinya kau yang memimpi-mimpikan dia.... ‘


*****

Tuesday, May 5, 2009

DERAI-DERAI CINTA (22)

22. ULANG TAHUN

Beberapa bulan berlalu. Pengumuman hasil ujian saringan masuk perguruan tinggi sudah keluar. Lala diterima di jurusan Biologi ITB. Jurusan itu sebenarnya pilihan keduanya. Lala senang bukan main. Papanya Lala, (mak dang Taufik) senang bukan main. Harapannya agar ada di antara anaknya yang mengikuti jejaknya masuk ITB, sekarang terkabul. Sesudah mendengar pengumuman itu papa dan mama datang ke Bandung. Papa mengambil cuti beberapa hari.

Dan Yuni diterima di Unpad. Di bagian Psikologi, pilihan keduanya pula. Yuni juga sangat bahagia. Sesuai rencana mereka sejak dari Rumbai, Yuni akan ikutan tinggal di rumah di Sekeloa ini. Yuni memang kawan akrab Lala. Lala yang mendesak agar mereka tinggal bersama-sama. Papa dan mama menyetujuinya.

Segera setelah mendaftar sebagai mahasiswa baru mereka akan menjalani masa perkenalan. Dulu namanya masa perkenalan mahasiswa atau disingkat mapram. Setelah itu namanya diganti beberapa kali. Intinya tetap sama, masa perkenalan dengan mahasiswa senior. Pada saat mana mahasiswa lama akan menggojlok mental mahasiswa baru, memperlakukan mereka sebagai objek lucu-lucuan. Disuruh berpakaian aneh-aneh dan norak, dijahili, disuruh mencari dan membawa benda yang aneh-aneh, dibentak-bentak.

Lala dan Yuni sedang mempersiapkan diri untuk masa perkenalan itu. Jadwalnya hampir bersamaan. Mereka sedang menunggu hari. Sambil takut-takut. Sambil harap-harap cemas. Sambil bahagia karena status mereka sebentar lagi adalah mahasiswa. Kedatangan mama sangat penting artinya untuk memberi dukungan moral. Disamping mengawasi gizi dan makanan, terutama selama berlangsungnya masa perkenalan itu. Mama pasti akan cerewet mengingatkan makan agar jangan sampai jatuh sakit karena kecapekan.

Ada alasan lain bagi papa dan mama untuk datang. Persis tiga hari sesudah hari pengumuman ujian itu adalah hari ulang tahun Lala yang ke delapan belas. Seolah-olah diterima di ITB merupakan sebuah kado istimewa buat Lala. Papa dan mama datang untuk mengucapkan selamat diterima di ITB dan sekaligus mengucapkan selamat ulang tahun. Merayakan hari ulang tahun memang dibiasakan keluarga ini. Karena begitu pula lazimnya di lingkungan tempat mereka tinggal di Rumbai. Di Rumbai ada yang membuat pesta besar ketika merayakan ulang tahun. Di keluarga Taufik, hari ulang tahun dirayakan sekedarnya saja. Makan-makan di rumah atau makan ke luar ke restoran diikuti beberapa orang teman akrab yang berulang tahun. Tidak meriah-meriah amat. Kali inipun mereka akan makan malam di hotel Homan untuk merayakan ulang tahun Lala.


***


Setiap kali berada di Bandung mak dang selalu menyuruh Imran datang. Pesan itu dititipkan melalui Tahir Tarigan, melalui kakaknya yang teman uni Lani. Dan Imran pasti segera datang kalau mendengar mak dang ada di Bandung.

Imran baru saja kembali dari tugas praktek lapangan di Karang Sambung. Kulitnya hitam seperti habis terbakar. Selama bertugas di lapangan setiap hari dia bekerja di alam terbuka sejak jam delapan pagi sampai jam empat sore. Menyusuri tebing sungai, mendaki bukit, melintasi hamparan batuan yang terbuka. Semua dilakukannya dibawah terik matahari Karang Sambung.

Kemarin sore Tahir datang ke tempat tinggalnya di Taman Sari, tapi Imran sedang keluar. Tahir menitipkan pesan dari mak dang melalui Syahrul. Jam sembilan pagi Imran datang ke Sekeloa. Di rumah hanya ada mak dang dan bibik. Mak dang heran melihat penampilan Imran seperti itu.

‘Kenapa kau? Kulitmu matang seperti baru pulang dari padang pasir,’ komentar mak dang pertama kali melihat Imran.

‘Awak baru dari lapangan di Karang Sambung, mak dang,’ jawab Imran.

‘Apa yang kau kerjakan disana ?’

‘Praktek lapangan, mak dang. Mempraktekkan ilmu-ilmu geologi,’ jawab Imran pula.

‘Berapa tahun lagi kau akan tamat?’

‘Kuliahnya masih dua tahun lagi. Setelah itu mempersiapkan skripsi.’

‘Untuk skripsi ada lagi tugas lapangan biasanya, kan?’

‘Betul, mak dang. Awak harus melakukan perpetaan geologi. Lapangannya bisa dimana saja nanti.’

‘Syukurlah.... Tapi sementara itu pengiriman kain ke Bukit Tinggi masih tetap berjalan ?’

‘Masih, mak dang.’

Mak dang dan Imran meneruskan obrolan tentang apa saja. Tentang kuliah, tentang usaha sampingan Imran, tentang rencana setelah selesai kuliah nanti. Mak dang berharap agar Imran nanti bisa pula bekerja di Caltex.

‘Nanti kita pergi makan malam di hotel Homan. Kau ikut ya ?’ kata mak dang.

‘Kok di hotel makannya mak dang. Dalam rangka apa?’ tanya Imran.

‘Hari ini Lala berulang tahun. Kita makan istimewa merayakan ulang tahunnya,’ jawab mak dang.

‘Iyalah, mak dang. Tapi kemana Lala? Kemana tante dan uni Lani?’ tanya Imran pula.

‘Lani pergi seminar ke kampus. Lala sama mamanya, sama Yuni sedang pergi sebentar. Kan Lala mau mengikuti perpeloncoan. Mungkin entah mencari apa.’

‘Kalau begitu, awak pergi dulu sebentar mak dang. Biar nanti sore awak kesini lagi.’

‘Mau kemana kau?’

‘Awak mau mengembalikan peralatan yang awak pinjam untuk tugas kemarin itu. Petugas gudang ini biasanya sudah tidak ada di tempat sesudah jam dua belas.’

‘Peralatan apa?’

‘Palu dan kompas geologi,’ jawab Imran.

‘Baiklah. Atau nanti sore kau tunggu saja di tempat kau tinggal itu. Biar mak dang jemput kesana. Bersiap-siap sehabis maghrib.’

‘Baik, mak dang. Akan awak tunggu. Awak pergi, mak dang.’


***

Mak dang ditemani abang Lutfi menjemput Imran ke rumah kontrakannya. Imran sudah siap ketika mak dang datang. Ada Syahrul di rumah. Mak dang mengajak Syahrul ikut, tapi dia menolak dengan sopan. Syahrul beralasan dia sudah ada janji dengan temannya. Syahrul sudah menebak tidak akan ada tempat untuknya di mobil.

Bang Lutfi yang menyetir mobil Kijang itu. Mak dang duduk di depan di samping bang Lutfi. Tante Ratna dan uni Lani di bangku tengah sementara Lala, teteh Yani dan Yuni di bangku belakang. Imran duduk di samping uni Lani. Mobil Kijang itu pas untuk mereka delapan orang.

Imran bersalaman dengan tante Ratna sebelum naik mobil. Dan menyalami Lala sambil mengucapkan selamat ulang tahun.

‘Kok bang Imran tahu ini ulang tahun Lala?’ tanya Lala.

‘Diberi tahu mak dang,’ jawab Imran polos.

‘Mana kadonya?’ Lala sengaja mengolok.

‘Iya, ya. Abang belum menyiapkan kado. Nantilah. Menyusul. Boleh kan menyusul ?’ tanya Imran.

‘Ya.... abang...... Kalau begitu kadonya masakin gulai tunjang lagi.’

‘Ha..ha...ha... Abang setuju banget itu,’ abang Lutfi langsung menyambar.

‘Boleh juga itu, Ran. Mak tuo baru mendengar saja cerita gulai tunjang. Ingin juga mencobanya,’ tante Ratna ikut menimpali.

‘Tumben mama jadi ‘mak tuo’. Bukannya ‘tante’. Biasanya tante?!’ giliran Lala.

‘Kalau di Rumbai, tante. Kalau disini atau di kampung boleh mak tuo he..he..he..’ mak dang yang menjawab.

‘Bukan begitu. Karena Imran memanggil mak dang, yang paling pas jadi pasangan mak dang itu memang hanya mak tuo,’ jawab mama asal-asalan.

Giliran Imran jadi agak bingung.

Tanpa terasa mereka sudah sampai di hotel Homan. Mereka langsung menuju restoran. Sebuah meja dengan delapan kursi sudah ditandai ‘reserved’ untuk mereka. Papa dan abang Lutfi duduk di ujung meja. Tante Ratna , uni Lani dan teteh Yani di satu sisi. Imran, Lala dan Yuni disisi yang lain. Imran berhadapan dengan tante Ratna di dekat mak dang. Yuni dan teteh Yani dekat abang Lutfi.

Mereka makan ala Eropa. Sebelum makan mak dang memimpin doa. Mendoakan agar Lala berhasil kuliahnya. Diberi panjang umur dan dilindungi Allah. Baru mereka mulai makan. Dimulai dengan salad. Sayur-sayuran hijau yang disiram dengan ‘dressing’. Diikuti sup asparagus. Setelah itu baru menu utama. Sirloin steak dengan kentang pure. Minumannya ice lemon tea. Namanya keren, ternyata maksudnya teh es pakai jeruk. Imran menyimak dan mengikuti saja dengan hati-hati. Diliriknya cara mak dang menggunakan alat-alat makan. Mak dang lebih banyak menggunakan garpu. Makan salad pakai garpu, sesudah sayuran itu diiris-iris. Makan steak atau daging panggang pakai garpu, sesudah daging itu diiris juga. Makan kentang lumat pakai garpu. Sendok hanya untuk makan sup. Imran meniru sebisa-bisanya. Meniru cara makan tidaklah seberapa sulit. Tapi menerima makanan itu di lidah terasa sangat pelik. Bagi Imran, pecal jauh lebih enak dari salad ini. Sup asparagusnya bolehlah, tidak terlalu masalah. Tapi kemudian giliran daging panggang dengan kentang dilumatkan timbul kesulitan. Perut Imran berontak rasanya. Tapi dia berusaha setenang mungkin.. Menghabiskan daging panggang lebih mudah. Tapi urusan kentang pure, Imran menyerah. Lebih separo terpaksa ditinggalkannya.

Lalu datang sebuah kue tart dengan lilin menyala di atasnya. Rupanya itu kue ulang tahun. Semua menyanyi selamat ulang tahun. Lala meniup lilin berangka delapan belas. Lala memotong-motong kue lalu membagi-baginya. Semua mencicipi kue ulang tahun. Dan semua mengucapkan selamat ulang tahun sekali lagi kepada Lala.

Masih ada lagi es krim sesudah itu. Hebat betul cara makan orang-orang ini, kata Imran dalam hati. Terakhir, mak dang masih memesan teh dan kopi.

Sudah hampir jam sembilan malam acara ulang tahun itu berakhir. Imran diantar ketempatnya sebelum mereka semua pulang ke Sekeloa. Sebuah pengalaman baru dilalui Imran malam ini. Pengalaman yang diajarkan oleh mak dang dan keluarganya.


*****

Monday, May 4, 2009

DERAI-DERAI CINTA (21)

21. SEBUAH DISKUSI

Semua makan besar siang itu. Abang Lutfi makan bertambuh-tambuh sampai keluar keringat. Dia benar-benar pencinta gulai tunjang. Lala menyindir bahwa abang Lutfi sudah termimpi-mimpi makan gulai tunjang sejak hari Jumat malam. Teteh Yani memuji-muji gurihnya sayur rebung, teman gulai tunjang.

‘Benar, Ran. Kita seharusnya membuka restoran. Pasti akan laku keras,’ kata bang Lutfi.

‘Memangnya banyak orang seperti abang di Bandung ini?’ tanya Imran bercanda.

‘Pasti banyak. Masakan seperti ini, tidak usah diiklankan, orang akan kata mengatakan satu sama lain. Dalam tempo singkat masakan kau ini akan sangat dikenal orang. Bagaimana? Kau sanggup? Bak kata papa, lantas tidak angan kau?’

‘Abang serius nih?’ tanya Lala.

‘Kenapa tidak?’ jawab abang.

‘Si abang paling bisa. Ya, kenapa tidak. Itukan, kata abang. Si abang kan jadi manajernya saja. Enteng kerjanya,’ teteh Yani mengomentari.

‘Yaaa... enggaklah. Kita bekerja samalah. Gimana Ran?’

‘Maksudnya kita siapa nih? Abang berdua Imran atau kita yang lain juga dilibatkan?’ tanya uni Lani.

‘Siapa yang mau ikut. Ya, nggak Ran? Kalau perlu memasaknya gotong royong kayak tadi. Semua terlibat. Abang ikutlah, tukang cuci-cuci he..he..he...’.

‘Ndak dulu lah bang. Ndak jadi selesai sekolah awak nanti... he..he..he....’ jawab Imran.

‘Yaa..... Awak........ Awak nggak yakin sih. Tapi benar, Ran. Ini serius. Kamu benar-benar punya skill memasak. Kamu ahli. Dari mana kau belajar?’

‘Dari pengalaman saja, bang. Bertahun-tahun akrab dengan dapur, bertambah juga pengalaman.’

‘Di tempat kalian, selalu kamu yang masak?’

‘Dibantu Syahrul. Syahrul ahli membuat nasi goreng,’ jawab Imran.

‘Hebat kalian. Pasti senang istri kalian nanti, kalau kalian sudah punya istri...’

‘Emangnya......... ‘ kata Lala dan Yuni berbarengan.

‘Kalau sudah punya istri nanti, saya tidak mau lagi memasak, bang. Saya akan pensiun memasak,’ jawab Imran.

‘Kalau masakan istrimu nggak enak ? Hayo.... Pasti kau kembali lagi masuk dapur....’

‘Diajari dululah dia, bang. Diajar dulu, sampai dia pintar memasak. Baru saya pensiun.’

Omongan hilir mudik itu berlangsung lama. Disertai canda dan derai ketawa. Pertemuan yang menyenangkan. Sudah menjelang sore waktu Imran dan Syahrul berpamitan.


***

‘Cantik sekali Lala, sepupu kau itu. Dan Yuni temannya itupun manis sekali,’ kata Syahrul waktu mereka berbincang santai malam harinya.

‘Ya. Betul,’ jawab Imran pendek.

‘Tapi kau sepi-sepi saja kulihat terhadap mereka.’

‘Maksudmu?’

‘Kau seperti acuh tak acuh saja kepada mereka.’

‘Acuh tak acuh bagaimana? Adikku itu minta dibuatkan gulai, aku buatkan. Bagaimana bisa kau katakan aku acuh tak acuh?’

‘Bukan itu maksudku.’

‘Lalu apa?’

‘Aku lihat, kau tidak sedikitpun tertarik kepada mereka. Sebagai seorang laki-laki. Faham tidak kau?’

‘Ya ndaklah. Lala adik ku. Yuni, teman adikku. Mau tertarik kepada siapa? Dan tertarik bagaimana maksudnya?’

‘Lala, adik sepupumu. Baik. Yuni teman adik sepupumu. Sah-sah saja seandainya kau tertarik kepada Yuni, misalnya.’

‘Maksudnya tertarik itu apa?’ tanya Imran kembali.

‘Ah, masak kau nggak faham. Laki-laki tertarik kepada perempuan? Anak muda tertarik kepada anak gadis?’

‘Baik. Lalu setelah itu mau apa? Mau berpacaran?’

‘Ya. Katakan begitu. Wajar kan? Selama kita menjaga norma-norma pergaulan, tentu saja.’

‘Itulah yang aku tidak sependapat. Begini. Kau tertarik kepada seorang anak gadis. Kepada seorang cewek. Kau datangi dia. Kau sampaikan perasaan hatimu kepadanya. Diapun menanggapi. Diapun jatuh cinta kepadamu. Lalu apa? Kalian berpacaran. Berpacaran itu apa? Kalian menyerempet-nyerempet hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Mulai dari yang kecil-kecil. Yang kau anggap tidak apa-apa. Kau lupa. Ada setan yang selalu menggoda. Pasti kau masih ingat pak Rusyad, guru agama kita. Beliau menerangkan hadits nabi. Bila sepasang anak manusia yang bukan mahram berkhalwat, berdua-dua, maka yang ketiganya adalah setan. Kata setan, tidak apa-apa kalian sekedar berpandang-pandangan. Hari ini kalian sekedar berpandang-pandangan. Besok setan membisikkan lagi. Tidak apa-apa kalian sekedar berpegang-pegangan tangan. Kalian lakukan lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya kalian terjerumus. Setan bertepuk tangan.’

‘Wah...... Berat betul pengajianmu.’

‘Bukan pengajian. Aku mengatakan apa yang aku tanamkan di dalam diriku,’ jawab Imran.

‘Jadi.... Maksudmu? Kau tidak akan pernah berpacaran? Tidak akan pernah membuka hatimu untuk wanita? Untuk seorang anak gadis?’

‘Kau salah. Pada waktunya nanti, insya Allah aku juga akan menikah. Aku akan membuka hatiku untuk wanita. Yang sudah menjadi istriku, tentu saja. Tapi itu masih jauh. Biarlah kita tamatkan dulu sekolah ini. Baru nanti aku berpikir ke arah itu.’

‘Terus terang, bagaimana perasaanmu kalau berdekatan dengan anak perempuan? Dengan anak gadis? Katakan misalnya dengan si Ratih tetangga kita?’

‘Aku membunuh perasaan ke arah yang tidak-tidak. Aku beristighfar. Aku ingatkan diriku dalam hati, perlakukan orang ini baik-baik dan wajar-wajar.‘

‘Jadi artinya, sebenarnya di dalam bagian hatimu pasti ada juga katakanlah sebangsa keinginan. Ada hasrat untuk......’

‘Ada. Aku alhamdulillah laki-laki normal. Tapi aku berusaha keras untuk tidak salah langkah.’

Syahrul terdiam. Baru sekali ini mereka berdiskusi seperti ini.

‘Kau tahu tidak, Ratih sebenarnya menaruh hati kepadamu?’ tanya Syahrul kembali memecah kesunyian.

‘Entahlah. Aku tidak memperdulikannya, kalau iya sekalipun.’

‘Maksudmu tidak memperdulikan? Buktinya kau layani dia ketika dia minta tolong diajarkan matematika ?’

‘Itulah bedanya. Sebagai teman. Sebagai tetangga, atau sebagai orang yang saling kenal, aku harus berbuat baik secara wajar. Kalau orang minta tolong, dan kebetulan aku sanggup menolong, insya Allah aku tolong. Tapi kalau ada anak gadis misalnya mengarah kepada.... katakanlah tertarik kepadaku seperti yang kau katakan, aku tidak akan menanggapinya. Dan rasanya tidak mungkin wanita akan lebih dulu mengatakan bahwa dia jatuh hati kepada seorang laki-laki.’

‘Kau keliru. Sangat mungkin. Mungkin tidak secara nyata mengatakan demikian, tapi dengan tingkah laku, dengan perhatian khusus. Banyak saja sekarang anak gadis yang terang-terangan mencoba menarik perhatian laki-laki.’

‘Dalam hal itu aku tidak akan menanggapinya.’

‘Kau akan cuek saja?’

‘Ya. Aku tidak akan memberi harapan. Tidak akan menunjukkan bahwa aku merespon harapan seperti itu.’

‘Aku menduga Yunipun tertarik kepadamu.’

‘Kok bisa? Kok bisanya kau tahu, padahal baru tadi kau mengenalnya.’

‘Aku berkali-kali memergoki matanya mencuri pandang ke arahmu.’

‘Wah ! Apa itu cukup sebagai bukti?’

‘Bagiku itu sebuah indikasi sangat positif.’

‘Tapi maaf.... Berarti kau juga sering mencuri-curi pandang ke arahnya kalau begitu...’

‘Maksudmu ?’

‘Kau sendiri yang bilang. Kau sering memergoki matanya.’

‘Ya,’ jawab Syahrul sedikit jengah.

‘Kau tertarik kepada Yuni ?’

‘Dia itu cantik.’

‘Sepupuku kau bilang juga cantik.’

‘Sepupumu tidak levelku. Dia itu anak ‘orkay’.’

‘Lalu?’

‘Aku tidak berminat mendapatkannya.’

‘Dan berminat untuk mendapatkan Yuni?’

‘Ya... tapi menduga bahwa Yuni lebih tertarik kepadamu.’

‘Repotkan? Jadi sudahlah. Kalau kau sependapat denganku, tidak usah mengurusi hal-hal seperti itu sekarang. Kau akan jadi pengkhayal. Akan banyak berangan-angan. Semua itu hanya membuang-bunag energi dan waktu. Tunggu sajalah.’


*****

Sunday, May 3, 2009

DERAI-DERAI CINTA (20)

20. GULAI TUNJANG

Hari Minggu pagi yang cerah. Imran bersiap untuk pergi begitu mereka selesai sarapan nasi goreng buatan Syahrul. Nasi goreng pete. Lumayan enak. Syahrul masih bermalas-malas membalik-balik koran Pikiran Rakyat.

‘Mau kemana kau, pagi-pagi begini sudah rapi?’ tanya Syahrul.

‘Mau ke pasar. Kau ada acara hari ini?’ Imran balik bertanya.

‘Ndak. Aku mau istirahat. Tapi, kenapa memang?’

‘Mau ikut aku ke pasar? Habis tu ke Sekeloa ?’

‘Hah? Ngapain?’

‘Adik sepupuku itu minta dibikinin gulai tunjang. Aku mau ke pasar berbelanja.’

‘Terus? Aku ngapain ikut?’

‘Menemaniku. Katanya ingin berkenalan dengan adik sepupuku.’

‘Wah, iya juga. Baik. Mau...mau..’

‘Ayo, buruan kalau gitu.’

‘Ke pasar mana?‘ tanya Syahrul sambil mengganti pakaian buru-buru.

‘Kosambi,’ jawab Imran

‘Kok jauh amat?’

‘Disana lengkap. Dan murah.’

Kedua anak muda itu berangkat ke pasar dengan naik oplet. Imran sangat cekatan berbelanja. Tidak lebih dari setengah jam semua bahan yang diperlukan sudah diperolehnya. Lengkap dengan nangka muda dan rebung muda.


***

‘Kau yakin bang Imran itu benaran datang ?’ tanya Yuni.

‘Pasti dia datang,’ jawab Lala.

‘Mau pergi belanja jam berapa? Sudah siang begini......’

‘Tenang aja. Kalau dia bilang datang, dia pasti datang. Kenapa? Kau mau menemani dia belanja ke pasar?’ tanya Lala.

‘Kalau dia ajak, aku mau banget... he..he..’

‘Semprul.....’

‘Nggak apa-apa kan.. he..he..he..?’

‘Cengengesan melulu.... Atau kita aja yang pergi ke pasar. Kita ajak si bibik. Mau nggak?’

‘Yaa.... Terus, yang mau dibeli apa?’

‘Kikil mentah, kan?’

‘Lah, masak cuman kikil mentah. Bahan-bahan lainnya ?’

‘Nggak tau?!’

‘Makanya itu...’

‘Ya, udah. Kalau gitu kita tungguin aja bang Imran....’

Terdengar bel berbunyi.

‘Itu dia datang.....’ Lala bergegas menuju pintu.

Yuni ikut menyusul. Disana berdiri Imran dan satu lagi temannya. Keduanya menjinjing plastik belanjaan. Lala mempersilahkan keduanya masuk.

‘Wadduuh. Ternyata dia sudah dari pasar...’ teriak Lala.

‘Memangnya kenapa?’ tanya Imran.

‘Kami nungguin mau diajak pergi belanja ke pasar... he..he...,’ jawab Lala.

‘Ngapain repot-repot menjemput dulu kesini. Kelamaan. Kami langsung saja ke pasar. Oh ya....Kenalkan ini. Ini teman abang, namanya bang Syahrul. Rul, ini adik sepupuku, Lala. Ini temannya Yuni,’ Imran memperkenalkan.

Mereka bersalam-salaman.

Bibik datang mengambil bungkusan belanjaan itu lalu membawanya ke dapur.

‘Abang, teteh dan uni kemana?’ tanya Imran.

‘Mereka pergi sebentar. Nggak tahu kemana,’ jawab Lala.

‘Makan di luar?’

‘Pasti bukan. Abang dari tadi pagi nggak berhenti-henti ngomongin mau makan gulai tunjang siang ini.’

‘Masak iya sampai sebegitunya.’

‘Masak Lala bohong..... Terus kapan mau masaknya?’

‘Ya . Entar dululah. Untuk makan siang kan? Pokoknya beres....’

Yuni datang membawakan minuman. Yuni terlihat agak salah tingkah.

‘Mau mulai sekarang?’ tanya Imran.

‘Ayo...ayo...’ kata Lala dan Yuni bersemangat.

‘Mau ikut bekerja semua, nih?’ tanya Imran.

Lala dan Yuni berpandang-pandangan sambil tersenyum.

‘Apa yang bisa dibantu, bang?’ tanya Lala.

‘Lala bisa apa sih? Bisa mengupas bawang?’

‘Ya bisalah. Berapa banyak?’

Imran mengambil segenggam bawang dan menyerahkannya ke Lala.

Imran membagi-bagi tugas. Si bibik disuruh mengulek cabe. Yuni kebagian mengupas dan mengiris jahe, kunyit dan lengkuas. Syahrul yang juga ikut, kebagian memotong nangka muda dan mengiris rebung. Semua sibuk. Imran yang memberi komando. Dia sendiri sibuk memotong dan kemudian merebus potongan kikil.

Anak-anak dara itu terlihat sangat kikuk bekerja di dapur tapi tetap memaksakan diri. Sambil menarik perhatian? Berkali-kali mata Yuni mencuri-curi pandang. Begitu pula berkali-kali mata Syahrul mencuri-curi pandang. Entahlah. Hanya Imran yang berkonsentrasi penuh dengan gulai yang sedang dimasak itu. Dia mengamati, menakar, menambahkan bumbu-bumbu yang beraneka macam.

Setengah jam kemudian gulai tunjang itu sudah terjerang di atas kompor. Kuah bersantan berwarna merah kekuningan. Pelan-pelan gulai sekuali penuh itu mulai bergejolak mendidih. Pelan-pelan bau wanginya mulai tercium.

‘Berapa lama lagi itu, bang ?’ tanya Lala.

‘Setengah jam,’ jawab Imran.

Diceduknya sedikit kuah yang sedang menggelegak pelan itu dengan sendok kecil lalu dicicipinya.

‘Mmmh.... ‘ Imran mendesah.

‘Enak? Mantap? Lala boleh nyoba?’ Lala tidak sabaran.

‘Silahkan. Pakai sendok itu,’ Imran menunjuk ke rak piring.

Lala ikut mencicipi.

‘Waaaaw. Benar-benar......’

Yuni ikut-ikutan pula mencoba.

‘Paten.... Benar-benar gulai Kapau,’ komentarnya.

Terdengar suara bel. Rupanya abang, teteh dan uni sudah kembali.

‘Ha haaa.... Gulai Kapau...... ‘ teriak abang begitu masuk.

Abang Lutfi diikuti teteh Yani dan uni Lani berebutan menuju dapur. Bau gulai tunjang itu semakin semriwing.


*****