Wednesday, October 27, 2010

MISIONARIS

MISIONARIS

Wanita muda itu bersirobok pandang lagi denganku. Ini adalah yang ke empat kali, kalau aku tidak salah, kami bertemu di dalam metro ini. Kali ini dia duduk di bangku diagonal berseberangan denganku. Sepertinya dia tersenyum kepadaku. Aku balas dengan senyuman pula. Melihat wanita yang warna kulitnya sama denganku memang menyuruhku untuk terlihat ramah kepadanya. Ingin juga aku menyapanya sekedar berbasa basi, tapi tentu tidak mungkin kulakukan dari jarak sejauh ini.

Ketika metro mendekati pemberhentian Lourmel, aku segera berdiri dari tempat dudukku dan memutar tubuhku menuju ke arah pintu, membelakangi wanita muda itu. Aku bergegas turun. Di luar gerbong metro udara terasa dingin sekali. Aku melilitkan syal ke leher dan menutupi sebahagian telinga. Aku melangkah cepat menuju ke luar, menuju ke tempat tinggalku di rue de Lourmel. Orang berduyun-duyun menaiki tangga untuk menyembul dari stasiun bawah tanah. Semua kedinginan. Semua tergopoh-gopoh. Memang begitu caranya di sini. Di Paris ini.

Lamat-lamat aku mendengar orang memanggil ‘monsieur – monsieur’ di belakangku. Tentu saja aku tidak menyangka bahwa panggilan itu ditujukan kepadaku, di tengah kerumunan sebegitu banyak orang. Sampai akhirnya si pemanggil itu menepuk pundakku. Aku menoleh dan ternyata si wanita muda di metro tadi. Dia berdua dengan seorang wanita lain berkulit putih.

Oui?!’ kataku dengan pandangan setengah tidak percaya.

‘Bolehkah kami minta waktu anda sebentar?’ tanyanya dengan bahasa Perancis yang fasih.

Sok benar wanita ini, pikirku dalam hati. Atau mungkin dia menjaga hati temannya yang wanita kulit putih itu sehingga dia berbahasa Perancis kepadaku? Ah, sesuka hatinyalah.

‘Ada apa? Apa yang bisa saya perbuat untuk anda?’ jawabku berbasa basi.

Tanganku seperti beku kedinginan. Aku meremas-remaskan kedua telapak tanganku menahan dingin. Di sebuah toko di depan sana terpampang pada sebuah running text informasi temperatur saat itu; satu derajad celcius.

‘Maukah anda kami ajak minum kopi di café itu? Disana kita berbicara sebentar? Disini dingin sekali,’ katanya. Mungkin memperhatikan keadaanku yang ‘mati’ kedinginan.

‘Kalian mau berbicara apa?’ tanyaku sambil setengah melotot kepada wanita muda berparas Solo itu.

‘Ayolah kita ke café itu,’ ajaknya lagi.

Aku menurut sambil bertanya-tanya dalam hati. Jangan-jangan wanita muda ini sedang ada masalah dengan wanita kulit putih itu lalu ingin meminta bantuanku. Kami masuki café itu dan mengambil tempat duduk di bagian dalam. Wanita muda itu memesan tiga cangkir kopi.

‘Maaf, kalau kami mengganggu anda. Kami ingin berkenalan dengan anda,’ katanya sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

‘Anda orang Indonesia, kan? Kenapa dari tadi berbahasa Perancis terus? Ada apa sebenarnya?’ tanyaku dalam bahasa Indonesia.

Dia mengangkat alis matanya dan tersenyum.

‘Anda berbicara kepada saya?’ tanyanya lagi dalam bahasa Perancis.

‘Ya,’ kataku. ‘Anda bukan orang Indonesia?’ tambahku lagi.

‘Ah…. Bukan. Tentu anda mengira saya orang Indonesia,’ katanya tersenyum.

‘Anda……… orang Pilipina?’

‘Non plus…… Saya orang Madagaskar katanya.’

Aku terperangah. Aku langsung ingat guru sejarah di SMA dulu yang bercerita bahwa, ‘nenek moyangku orang pelaut, menempuh badai tiada takut,’ lalu nenek moyang kita itu berhanyut-hanyut sampai ke Madagaskar dengan rakit pohon kelapa. Inilah bukti keterangan sejarah pak guruku itu. Sekarang di depan mataku. Wanita muda yang aku sangka orang Solo, ternyata adalah orang Madagaskar.

‘Mais….. est-ce que vous êtes originaire de Madagascar?’

‘Ya…. Anda mengira saya orang Indonesia ?’ tanyanya tersenyum.

‘Kulit anda dengan kulit saya persis sama.’

‘Anda orang Indonesia rupanya. Saya menyangka anda orang Jepang,’ katanya.

‘Ya sudahlah….. Apa maksud anda? Apa yang anda perlukan dari saya?’

‘Baiklah….. Agar anda tidak penasaran…. Kami ingin menyampaikan pesan kepada anda. Mudah-mudahan anda berkenan mendengarnya.’

‘Pesan? Pesan apa?’

‘Baik…. Saya mulai. Saya ingin bertanya. Apakah anda seorang yang beragama?’

Waaaw.. Aku mulai bisa menebak.

‘Ya. Saya beragama,’ jawabku pendek.

‘Anda bukan seorang Kristen?’

‘Malheureusement non. Pourquoi?’

‘Oui…. Malheureusement non. Pasti anda akan tertarik kalau anda saya tunjukkan jalan yang menuju keselamatan.’

Aku tersenyum. Bersobok lawan aku rupanya, kataku dalam hati.

‘Jalan apa itu maksud anda ?’ tanyaku.

‘Jalan juru selamat. Ikutilah, anda pasti selamat.’

‘Bagaimana kalau anda berdua saya ajak untuk berbicara di tempat tinggal saya saja ? Mungkin di tempat ini kita kurang leluasa untuk bercerita panjang,’ ajakku.

Wanita muda Madagaskar berwajah Solo itu tersenyum sumringah. Mungkin dalam hatinya dia berkeyakinan bahwa kailnya sudah dimakan ikan pancingannya.

‘Seandainya hal itu tidak mengganggu anda, kami akan sangat bersenang hati. Anda tinggal di mana ?’ tanyanya.

‘Tidak akan mengganggu. Lagi pula saya sudah ditunggu istri saya. Ayolah kita ke tempat saya,’ ajakku.

Kami tinggalkan café itu, menuju ke apartemenku di rue de Lourmel.

‘Anda tinggal dekat sini?’ tanya wanita berkulit putih. Baru sekali itu suaranya terdengar.

‘Ya,’ jawabku. ‘Di bangunan di depan itu,’ aku menunjuk ke bangunan beberapa puluh meter di hadapan kami.

Aku persilahkan kedua wanita itu masuk ke apartemen kecil kami. Istriku sedikit terheran-heran melihat mereka.

‘Sebelum kita lanjutkan pembicaraan tadi, saya minta izin untuk beberapa saat. Mungkin sekitar sepuluh menit. Mudah-mudahan anda tidak keberatan.’

‘Pasti tidak. Terima kasih, anda telah baik hati sekali mengajak mampir. Silahkan anda melakukan keperluan anda. Biar kami tunggu,’ kata wanita kulit putih, yang tiba-tiba sekarang jadi banyak bicara.

Apartemen kami itu kecil. Hanya ada satu kamar tidur, lalu ruangan tamu yang sempit dan dapur merangkap ruangan makan. Di ruang terakhir ini biasanya kami shalat berjamaah. Aku memberi isyarat kepada istriku untuk mengerjakan shalat isya.

Kami shalat isya berjamah. Dengan bacaan dijahar tentu saja. Sesudah shalat dan berzikir barulah aku menghampiri mereka.

‘Sebelumnya, walaupun kita belum saling kenal, tapi saya ingin memberitahu anda bahwa ini istri saya.’

Istri saya menyalami kedua wanita itu.

‘Lalu….., silahkanlah lanjutkan cerita anda tadi.’

‘Jadi….. Anda orang Islam ?’ tanya wanita kulit putih.

‘Ya…. Saya beragama Islam.’

‘Bon…. Tidak apa-apa….. Kami ini dari gereja Hati Kudus. Kami ingin mengajak anda untuk mengikuti juru selamat. Dia yang menyelamatkan umat manusia semuanya….’ Si wanita kulit putih agak terbata-bata.

‘Siapa itu juru selamat anda?’

‘Jesus. Dia yang mati di tiang salib untuk menyelamatkan semua manusia dari hukuman atas dosa-dosa mereka,’ giliran si wanita Madagaskar berbicara.

‘Begini…… Pertama, saya sudah mempunyai ‘juru selamat’ saya sendiri. Dia adalah Allah, Sang Maha Pencipta alam raya ini. Dia yang menciptakan bumi yang kita huni sebagaimana juga Dia yang menciptakan matahari, bulan dan bermilyar-milyar bintang……’

‘Ya….. itulah Tuhan. Dan Tuhan itu mengutus anak Nya yang tunggal untuk menyelamatkan semua manusia. Kita tidak akan sampai ke rumah Tuhan kalau tidak melalui anak Nya itu,’ kata wanita kulit putih memotong pembicaraanku.

‘Saya tidak percaya. Bagaimana dia akan menyelamatkan manusia sementara dia tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri?’

‘Dia tidak mau menyelamatkan dirinya karena dia mengorbankan dirinya untuk keselamatan manusia.’

‘Siapa yang mengatakan itu? Yang mengatakan bahwa dia membiarkan dirinya disalibkan orang untuk menyelamatkan manusia?’

‘Dia sendiri yang mengatakan.’

‘Anda punya bukti bahwa itu kata-katanya sendiri? Bahwa dia mengatakan dirinya disalib untuk keselamatan manusia? Apa bukan dia malahan merintih memanggil Tuhan dan protes kenapa Tuhan meninggalkan dia? Apa bukan dia yang mengatakan Eli..Eli Lama sabakhtani ?’

‘Anda tahu itu ?’

‘Ya saya tahu itu.’

‘Tapi dia adalah juru selamat……’

‘Tidak…. Dia adalah seorang nabi utusan Tuhan. Nabi Allah. Dia mengajak manusia, khususnya Bani Israel agar menyembah Allah. Allah Yang Maha Satu. Yang tidak ada Tuhan selain dari Dia. Yang tidak ada yang setara dengan Nya.’

‘Anda pernah mendengar tentang Jesus?’

‘Kami menyebutnya Nabi Isa. Dia seorang di antara nabi-nabi utusan Allah.’

‘Dia anak Tuhan. Dia lahir dari seorang perawan suci yang tidak bersuami.’

‘Dia bukan anak Tuhan. Dia adalah manusia biasa, makhluk ciptaan Tuhan. Ciptaan Allah.’

‘Dia bukan manusia biasa. Dia terlahir dari seorang wanita. Wanita suci yang tidak pernah disentuh manusia.’

‘Ya…. Wanita itu Maryam, seorang wanita tidak bersuami. Lalu Allah, Tuhan yang Maha Pencipta meniupkan ruh ke dalam rahimnya, sehingga dia mengandung kemudian melahirkan Isa. Kami juga menyebutnya sebagai Isa putera Maryam.’

‘Dia bukan manusia biasa. Dia anak Tuhan, diutus Tuhan untuk menyelamatkan anak-anak manusia yang berdosa.’

‘Terserah anda mau menyebutnya seperti itu. Tapi bagi kami orang Islam, Isa putera Maryam adalah seorang utusan Allah untuk Bani Israel. Kelahirannya tanpa ayah adalah hal yang mudah bagi Allah Yang Maha Pencipta. Sebagaimana mudahnya bagi Allah menciptakan Adam yang tidak punya ayah dan ibu.’

‘Jadi anda tidak mempercayainya sebagai juru selamat ?’

‘Dia seorang utusan Allah, dikhususkan untuk Bani Israel. Anda menyebutnya untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang dari anak-anak Israel. Begitu kan?’

‘Dari mana anda tahu ?’

‘Saya membaca juga kitab anda sedikit-sedikit.’

‘Jadi anda mempunyai penyelamat sendiri? Anda yakin bahwa dia akan menyelamatkan anda? Tanpa bantuan sang juru selamat?’

‘Ya… Penyelamat dan penolong saya adalah Allah. Saya tidak memerlukan juru selamat selain Dia’

‘Maaf…. Tadi… Sebelum ini apa yang anda kerjakan berdua dengan istri anda?’

‘Kami mengerjakan shalat. Kami menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta.’

‘Dimana Tuhan anda itu berada?‘

'Dia berada di tempat Nya. Yang tidak dapat dilihat oleh mata. Tapi Dia Maha Melihat. Dia menyaksikan dan mendengar apa yang sedang kita perbincangkan saat ini karena Dia Maha Mendengar.’

‘Pernahkah anda berjumpa dengan Nya ?’

‘Tidak pernah. Karena Dia tidak terjangkau oleh panca indera kita.’

‘Baiklah…… Kalau begitu…….. Karena anda sudah mempunyai penyelamat anda sendiri…. Mungkin kami tidak perlu lagi meneruskan…..’

‘Terserah anda.’

‘Maaf, kami telah mengganggu anda. Biarlah kami mohon diri kalau begitu…’

Kedua wanita itu meninggalkan apartemen kami.

‘Siapa mereka? Kenal di mana dengan mereka?’ tanya istriku setelah mereka pergi.’

‘Kan kamu dengar sendiri tadi siapa mereka. Tadi aku disamperi setelah keluar dari metro. Mula-mula diajak ke café. Setelah itu aku ajak sekalian ke sini,’ jawabku menjelaskan.


*****

Monday, October 25, 2010

GEMPA

GEMPA

Jam sembilan pagi. Matahari bersinar cerah mengusir embun dan udara dingin. Sinar matahari itu terasa enak menghangatkan badan. Malin Marajo, petugas mesjid sedang membersihkan kolam besar di belakang mesjid. Mengais dan membuang kumpulan kalayau sendok atau enceng gondok kata orang di Jawa. Kalau tidak segera dikeluarkan tumbuhan itu akan berkembang biak dengan cepat menutupi permukaan kolam dan pada gilirannya akan mengganggu kehidupan ikan-ikan di dalam kolam. Ikan mas, mujair dan gurame. Ikan-ikan yang merupakan cadangan dana mesjid. Kalayau sendok itu ikut masuk kolam bersama air bandar, entah dari mana asalnya.

Kak Zahara, seorang pedagang beras bersiap-siap akan menjemur padi di pagi hari itu. Wanita separuh baya itu biasa menjemurnya di pekarangan mesjid yang rata dan luas. Kak Zahara memergoki setumpuk kalayau sendok yang baru saja diangkat Malin Marajo tergeletak di tepi kolam dekat tempat dia biasa menjemur padi. Kak Zahara langsung mengingatkan.

‘Jangan di sana diletakkan kalayau itu Marajo. Tidak elok dipandang dan sebentar nanti dia akan berbau busuk,’ katanya.

‘Ah, di mana pula akan busuk. Dipanggang matahari sehari ini akan langsung kering. Kalau sudah kering nanti kubakar,’ jawab Malin Marajo.

‘Jangan kau bantah aku. Kalayau itu belum akan kering meski ditimpa panas matahari agak seminggu. Lebih baik kau buang ke pinggir kebun di seberang sana. Di sini, aku akan kena baunya, orang sembahyang di mesjid akan kena baunya.’

‘Bagaimana pula aku akan membuangnya ke pinggir sebelah sana, dia adanya di pinggir kolam sebelah sini. Kakak ini mempersulit pekerjaanku saja.’

‘Lebih baik kau dengar apa kataku. Atau kau akan dimarahi engku Imam. Bau kalayau ini busuk memusingkan kepala. Tanggung-tanggung bekerja, lebih baik kau lakukan sungguh-sungguh atau kalau tidak, tak usah kau kerjakan.’

‘Kenapa kakak pula yang memerintah-merintah?’

‘Aku bukan memerintah-merintah. Aku mengatakan yang benar. Bukan asal memerintah. Kalau sudah keluar bau busuknya nanti, pasti kau juga yang akan disuruh engku Imam memindahkannya.’

‘Kakak nyinyir. Pening kepalaku mendengar orang nyinyir.’

Malin Marajo bersungut-sungut sambil berusaha mendorong tumpukan kelayau yang masih di dalam kolam ke arah kebun yang dikatakan kak Zahara. Dia mendorongnya dengan galah bambu.

‘Yang ini jangan kau biarkan di sini,’ kak Zahara mengingatkan lagi, sambil menunjuk ke tumpukan yang sudah terangkat.

‘Berhentilah memerintah kak! Tanganku hanya dua. Dan berhentilah jadi orang nyinyir.’

Kak Zahara hanya tersenyum sambil medorong gerobak berisi karung-karung padi. Padi yang akan dijemurnya. Malin Marajo meneruskan pekerjaannya. Masih bersungut-sungut.

Tiba-tiba, Malin Marajo yang sedang mendorong-dorong kalayau sendok itu terpelanting masuk kolam. Air kolam itu beriak sejadi-jadinya sampai memancur ke atas. Air itu terpancur sangat tinggi, sementara yang di dalam kolam bergoyang-goyang. Bumi bergoncang sangat dahsyat. Malin Marajo yang tidak kehilangan kesadaran berpegangan ke pinggir kolam, pada saat bumi bergoncang luar biasa dan air kolam bagai diaduk-aduk itu. Entah berapa puluh detik suasana mencekam itu berlangsung. Malin beristighfar sambil menggigil ketakutan. Sambil berpegang kuat-kuat ke pinggir kolam.

Terdengar suara bunyi benda besar jatuh. Bunyi sesuatu yang runtuh menghantam bumi. Malin Marajo bertakbir dengan suara parau. Allaaahu Akbaaar. Dia menutup matanya. Rasanya inilah akhir hayatnya.

Kak Zahara dibantu sepupunya Salma baru saja selesai mengembangkan tikar penjemuran padi. Dua lembar tikar mensiro berukuran dua kali empat meter. Empat karung padi terletak di atasnya siap untuk dijemur, sebelum nanti digiling di mesin penggilingan padi. Kak Zahara baru akan menuangkan karung pertama ketika gempa dahsyat itu terjadi. Tubuh wanita separuh baya itu terpelanting dan terduduk di tanah. Salma yang berdiri dekat sebuah karung berpegangan erat-erat ke karung itu sambil berteriak ketakutan.

Kejadian itu berlalu begitu cepat. Hanya dalam bilangan beberapa detik. Kubah mesjid besar itu jatuh menimpa tepat ke tempat kedua wanita malang itu. Kedua wanita itu mungkin tidak sempat memikirkan apa yang tengah menimpa mereka. Keduanya terkorban. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.


****

Gempa besar itu berlangsung sekitar seratus detik Seratus detik yang luar biasa mencekam. Yang luar biasa dahsyat. Meninggalkan kehancuran yang mengerikan. Di kampung itu dua puluh buah rumah runtuh, hancur, rata dengan tanah. Lebih banyak pula yang rusak sebagian atau retak-retak. Menara mesjid runtuh dan sebagian dinding mesjid rengkah. Dalam waktu begitu singkat. Beberapa buah pohon tumbang. Jalan kampung retak aspalnya di sana-sini. Gempa itu terjadi di bawah cuaca cerah di sebelah pagi. Ada empat orang yang terkorban maut, termasuk kak Zahara dan Salma.

Malin Marajo menangis meratap ketika dia yang pertama sekali mendapatkan jasad kak Zahara yang sudah tidak bernyawa.

‘Berdosa aku kaaaaak…….,’ rintihnya pilu sambil mengusap darah di mulut wanita itu dengan kain sarungnya.

Tubuh wanita malang itu terhimpit runtuhan kubah mesjid. Hanya bagian dadanya ke atas yang terlihat. Darah keluar dari mulutnya. Di sebelahnya, terlihat sebagian kaki Salma. Sungguh sangat mengerikan pemandangan itu. Belum sampai sepuluh menit sejak Malin Marajo berbantah-bantahan dengan kak Zahara, yang sekarang sudah menjadi mayat dengan kondisi sangat mengenaskan seperti itu.

Korban lain adalah seorang laki-laki tua yang terbaring sakit di tempat tidur. Rumahnya runtuh. Orang tua itu terhimpit kayu besar yang jatuh dari langit-langit rumah. Korban ke empat seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun yang terhimpit runtuhan dinding sebuah rumah. Ada belasan orang yang luka-luka dan patah tulang. Sungguh sebuah musibah dahsyat. Musibah yang terjadi dalam sekejap mata.

Semua yang masih selamat terperangah. Terperanjat menyaksikan mimpi buruk di siang hari yang datang begitu tiba-tiba. Kampung itu jadi centang perenang mengenaskan. Tangis pilu terdengar di sana-sini. Tangis duka memandang kehancuran.

Terperangah itu tentu tidak bisa dibiarkan berlama-lama. Beberapa orang yang tinggal dekat mesjid bergotong royong mengeluarkan jasad kak Zahara dan Salma dari himpitan reruntuhan kubah mesjid. Lalu kedua jenazah itu dibawa pulang ke rumah mereka , sebuah rumah kayu lama, yang alhamdulillah tidak mengalami kerusakan berarti. Satu dari dua puteri kak Zahara jatuh pingsan ketika melihat jasad ibu dan etek mereka. Yang beberapa menit yang lalu masih segar bugar. Masih penuh semangat. Laa hawla wa laa quwwata illa billaahi. Kalau Allah berkehendak, apapun terjadi di bawah kekuasaan Nya.

****

Sore harinya bantuan datang dari kota. Dari perorangan maupun dari kelompok masyarakat. Menurut berita banyak sekali kampung dan nagari yang juga hancur seperti kampung ini, luluh-lantak disebabkan gempa pagi tadi itu. Berpuluh banyaknya korban yang meninggal. Entah berapa ratus yang terluka dan patah-patah. Entah berapa ratus, atau bahkan mungkin ribuan buah bangunan yang hancur..

Atas saran wali nagari, sekolah dasar yang alhamdulillah selamat, kecuali sedikit retak-retak, dijadikan tempat penampungan korban yang rumahnya hancur. Mesjid masih bisa dipakai untuk shalat berjamaah walaupun bagian atapnya sekarang terbuka karena kubahnya jatuh. Dinding mesjid hanya retak-retak di beberapa bagian.

Sesudah shalat maghrib, dengan jamaah lebih banyak dari biasanya, Buya Haji memberikan ceramah singkat untuk menenangkan hati masyarakat. Buya mengingatkan agar musibah yang terjadi dijadikan pelajaran untuk menyadari ke Maha Kuasaan Allah. Sebagai makhluk kita memang tidak ada apa-apanya di bawah kekuasaan Allah. Terjadi sedikit tanya jawab sesudah ceramah Buya Haji.

‘Buya! Apakah yang terjadi ini merupakan peringatan atau hukuman dari Allah?’ tanya guru Sofyan.

‘Biarlah kita berprasangka baik saja kepada Allah bahwa ini adalah sebuah peringatan. Kita diperingatkan agar lebih banyak mengingat Allah dan beribadah kepada Nya. Karena kita ini ternyata tidak ada apa-apanya. Karena Allah begitu Maha Perkasa dan Maha Berkuasa. Betapa mudahnya bagi Allah untuk berbuat sesuatu. Rumah, bangunan, mesjid yang kita bina bersusah payah dalam waktu lama, dalam beberapa detik saja, dengan kekuasaan Allah jadi porak poranda. Allah kuasa melakukannya. Allah kuasa menghancurkan alam raya ini.’

‘Tapi ada yang mengartikan bahwa ini adalah hukuman Allah karena sudah semakin banyaknya kemaksiatan, Buya. Bagaimana pula itu?’ tanya etek Syarifah.

‘Boleh-boleh saja ada yang berpendapat seperti itu. Tapi pada gilirannya, kan tetap saja merupakan sebuah peringatan Allah. Akankah kita sadar? Akankah mereka yang suka bermaksiat mau bertobat? Memperbaiki diri? Kalau mereka mau, maka beruntunglah mereka.’

‘Benarkah gempa itu juga merupakan sunatullah Buya?’ kembali guru Sofyan bertanya.

‘Benar sekali. Hujan, panas, laut bergelora, gunung-gunung mengeluarkan asap atau bahkan letusan yang melemparkan batu-batuan, gempa bumi semua itu adalah ketetapan-ketetapan Allah. Semua sudah diadakan Allah sejak dunia terkembang. Begitu kata para ahli. Tentulah guru Sofyan yang lebih tahu tentang itu. Tapi adakalanya sesuatu yang sunatullah itu dijadikan Allah untuk memperingatkan umat manusia bahkan ada juga umat-umat terdahulu yang dihukum Allah dengan bencana yang berasal dari alam. Kaum Luth yang dimusnahkan Allah dengan letusan gunung berapi. Kaum nabi Nuh yang ditenggelamkan dengan air bah. Kita sebagai orang yang beriman kepada Allah, tidak punya pilihan selain bertawakkal dan berserah diri kepada Allah. Seandainya musibah itu menimpa kita, mendatangkan maut kepada kita seperti yang dialami saudara-saudara kita hari ini, mudah-mudahan itu terjadi pada saat kita ikhlas bertawakkal kepada Nya.’

Begitu Buya Haji mengakhiri ceramah singkat beliau.


*****